Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Friday 24 September 2010

GEREJA yang Diam?

Oleh: Justin L. Wejak, Dosen Kajian Indonesia di Universitas Melbourne, Viktoria, Australia

“Mengapa KWI (Konperensi Wali Gereja Indonesia) hanya diam menghadapi eksekusi Tibo Cs?” Demikian bunyi pertanyaan seorang imam dan misionaris Katolik dalam salah satu acara ceramah dan diskusi di Kota Melbourne (Australia) belum lama ini. “Paus Benediktus XVI mengeluarkan pernyataan sekaligus meminta pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali keputusan hukuman mati kepada Tibo Cs, tetapi KWI tidak pernah mengeluuarkan pernyataan apapun. Sang Pastor menambahkan, “Saya sebetulnya sangat kecewa dan ingin sekali menulis surat ke KWI untuk menyatakan sikap penyesalan saya atas sikap KWI itu”, cetusnya lagi.

Pada 11 agustus 2006, Paus Benediktus menyurati Presiden RI Susilo bambang Yudhoyono yang meminta pemerintah RI mempertimbangkan kembali keputusan dan pelaksanaan hukuman mati kepada Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva terkait kasus Poso.

Surat Paus itu ditanggapi SBY dengan positip. Eksekusi Tibo Cs yang seharusnya dilaksanakan pada 12 Agustus 2006 di tunda. Namun, tidak ada spesifikasi durasi penundaan dan kalau hukuman mati Tibo Cs dibatalkan.

Namun akhirnya, dini hari 22 Sepetember 2006, Tibo Riwu dan da Silva dieksekusi oleh negara di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka dinyatakan terlibat dalam kekerasan berdarah yang diwacanakan secara dominan sebagai kekerasan antar agama Islam dan Kristen di Poso.

Tibo Cs dinyatakan terlibat sebagai pelaku dilapangan dan (lebih) sebagai otak serangan kelompok nasrani terhadap kaum muslim, khususnya selama Kerusuhan Poso III, Mei- Juli 2000. Mereka adalah transmigran asal Flores beragama Katolik Roma.

Tuduhan keterlibatan Tibo Cs mati-matian disangkal oleh mereka dan tim hukum dengan bukti-bukti, namun tidak di gubris. Pilihan untuk tidak menguji bukti-bukti baru atau novum akhirnya menggiring Tibo Cs dalam ketidakberdayaan untuk ditembak.

Akademisi Dr. Paul Budi Kleden SVD, alumnus Universutas Freiburgh (Jerman) dan dosen STFK Ledalero Flores dalam ceramah dibawah tajuk "Gerakan Perlawanan Eksekusi Tibo Cs dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat Akar Rumput di Flores”, di Universitas Melbourne tertanggal 14 Agustus 2010 menyebutkan bahwa surat Paus ini dianggap sebagai sesuatu yang berhasil. Ditambahkan bahwa surat ini kemudian dijadikan rujukan dalam doa-doa bersama agar pelaksanaan eksekusi Tibo Cs tidak hanya ditunda tapi dibatalkan. Hak hidup adalah hak paling hakiki dari manusia yang harus dihormati dan dilindungi.

Dr Kleden juga menyebutkan Surat Gembala oleh Uskup Maumere, Mgr. Vincent Sensi Pr, kepada para pastor, biarawan/biarawati, umat khatolik dan semua orang yang berkehendak baik di Keuskupan Maumere tertanggal 19 Agustus 2006. Demikian penggalan surat Gembala itu: ‘kita menolak eksekusi mati kepada tiga saudara kita diatas, karena menurut keyakinan kita sebagai umat beriman, anugerah kehidupan merupakan anugerah tertingi yang diberikan Tuhan kepada ciptaan-Nya. Sebab itu kami menolak segala bentuk pengambilan hak hidup atas alasan apapun.

Sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa secara intrinsik menyokong isi iman ini. Pancasila menghormati iman agama bahwa membunuh itu tidak boleh karena tidak baik. Akan tetapi negara dengan Pancasila sebagai filsafat negara ternyata masih membunuh orang dengan pemberlakuan hukuman mati. Maka jelas negara telah melanggar Pancasila itu sendiri yang menghormati isi iman agama yang melihat kehidupan sebagai anugerah tertinggi dari Tuhan kepada ciptaan-Nya.

Dalam terang sila pertama dari Pancasila saja, hukuman mati bertentangan dengan Pancasila dan oleh karena itu haru dihapus kalau Pancasila tetap menjadi filsafat negara. Negara harus memilih Pancasila atau hukuman mati? Tidak bisa dan tidak boleh kedua-duanya sekaligus!

Uskup Atambua Mgr. Anton Painratu SVD, adalah sosok lain yang peka terhadap persoalan kemanusiaan dan keadilan. Beliau ikut turun kejalan untuk menyatakan protes tehadap keputusan pengadilan mengeksekusi Tibo Cs. Beliau mengungkapkan penyesalan yang mendalam setelah Tibo Cs ditembak pada 22 september 2006 di Palu.

Para pastor dan biarawan/biarawati se-NTT, dalam cara dan kapasitasnya masing-masing ikut mendesak agar hukuman mati tersebut dibatalkan. Bahkan pemuka agama-agama lain di NTT ikut memperkuat front penolakan eksekusi Tibo Cs.

Sikap mereka jelas namun mengapa KWI yang berkantor dipusat kekuasaan negara tidak bisa menyatakan sikapnya untuk menolak? Membiarkan para Uskup bergerak dengan inisiatif sendiri di wilayah keuskupannya dapat mempertanyakan keutuhan Gereja Katolik Indonesia dibawah komando KWI.

Gereja-gereja Katolik Roma sangat dihargai oleh karena ajaran-ajaran sosialnya. Namun kegagalan KWI menyatakan penolakan terhadap eksekusi Tibo Cs merupakan sesuatu yang patut disayangkan. Pertanyaannya, mengapa KWI tidak menyatakan penolakan? Sejauh mana kegagalan KWI ini merupakan cermin ketakutan politis terhadap kekuasaan pusat?
Memang KWI yang diam telah lama menjadi semacam pattern atau pola. Pola ini telah lama terbentuk sehingga untuk mengubahnya diperlukan keberanian untuk mulai dan kesabaran.

KWI yang pada tahun 1960-an masih disebut MAWI terkesan diam ketika ratusan ribu orang-orang kecil dibantai oleh negara atas tuduhan memiliki afiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tuduhan komunis ini tetap tanpa bukti hingga saat ini karena tidak ada proses hukum Namun, afilasi dengan PKI tidak pernah boleh dipandang sebagai kejahatan dalam sebuah negara dengan hukum yang melindungi hak berafiliasi. Saat itu PKI merupakan partai resmi.

Pembunuhan massal atau genocide sebagai konsekuensi logis dari G.30.S dibiarkan terjadi olejhMAWI tanpa ada suatu pernyataan tegas yang menolak. Elit Partai Katolik dan elit MAWI (KWI) tidak pernah menyatakan penyesalan apalagi meminta maaf atas tragedi kemanusiaan itu. Gereja sebagai institusi bahkan memiliki hubungan khusus dengan pemerintah Orde Baru (1966-1998), yang justru dibangun atas darah korban kekerasan negara.

Mendiang Gus Dur, atas nama NU, justru telah dengan rendah hati meminta maaf kepada para korban pembantaian 1965-1966 atas keterlibatan anggota NU. Tetapi mengapa elit Partai Katolik tidak? Demikian pertanyaan menyindir yang pernah disampaikan oleh Ahli Indonesia Benedikt Anderson.

Sikap diam KWI terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan seperti yang terjadi dalam kasus Tibo Cs mencerminkan sikap yang bertentangan dengan ajaran sosial gereja. Gereja sebagai institusi yang diharapkan memihak kaum kecil dan tertindas ternyata telah membiarkan kaum ini menjadi korban rekayasa kepentingan kekuasaan. Menyuarakan suara kaum tertindas adalah tugas Gereja sebagai institusi.

Memang diam bisa berarti melawan, namun bisa pula berarti PATUH.

Penulis, meneliti “Peranan Gereja Katolik dalam Peritiwa-Peristiwa Politik 1960-an di Indonesia”, dan Dosen Kajian Indonesia di Universitas Melbourne, Viktoria, Australia.

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Friday, September 24 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---