Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Sunday 31 January 2010

Canabis Band, Rendah Hati Untuk Sebuah Prestasi


Canabis Band terbentuk tahun 2006. Band beraliran reggae ini tak hanya dicintai kaum remaja namun juga disukai kalangan dewasa di Kabupaten Sikka. Meski harus mengalami reposisi player beberapa kali, band yang berasal dari kawasan Misir Kota Maumere ini mencoba terus eksis dan setia pada jalur yang digelutinya. Dengan para personil terbaru saat ini yakni Elbit (Vokal), Rony (Guitar Melody), Deniz (Guitar Rhytim), Gomez (Bass), Vian (Keyboard), Piter (Vokal Latar) Canabis Band tak berhenti untuk terus mengekspresikan dan menyuarakan cinta dan perdamaian lewat musik reggae sekaligus menghibur fans beratnya. Dalam karier bermusiknya Canabis Band telah mengantongi banyak prestasi. Satu diantaranya adalah ketika terpilih sebagai group band terfavorit pada Parade Band Djarum LA Lights yang di gelar baru-baru ini di Maumere. Berangkat dari beberapa prestasi itulah, mereka berharap bisa memiliki album reggae sendiri.

“Ini bukan sebuah mimpi, karena kami pun sedang mempersiapkan beberapa lagu. Ya sambil berharap ada mau yang mendukung produksinya,” ungkap Elbit sang vokalis.

27 September 2006 adalah awal berdirinya Canabis Band. Pungawa band ini semula ditempati Elbit (Vokal), Iron ( guitar utama), Vian (Bass), Ary (Rhythim), Andre (Drum). Band yang mereka awaki pelan-pelan mulai terdengar gaungnya. Tembang-tembang reggae yang dibawakan diminati oleh anak-anak muda. Kapan saja dan dimana saja tampil Canabis Band selalu menarik perhatian. Apalagi musik beraliran reggae begitu disukai oleh kaum muda Maumere. Namun seiring waktu, Canabis Band juga mengalami keretakan. Beberapa punggawa awal Canabis Band memilih hengkang. Pergantian personil dibeberapa posisi terjadi hingga akhirnya mendapatkan ‘feel’pada para pemain terkini.

Bagi Canabis Band, permainan musik mereka terinspirasi pada dedengkot reggae seperti Bob Marley, Lucky Dube dan Big Mountain. Meski suka pada reggae dan mencoba untuk tetap eksis dijalur ini mereka mengaku tak mengikuti jejak band lain yang kadang melakukan ritual menghisap ganja sebelum tampil.
"Kami sadar banyak yang mengatakan reggae begitu indentik dengan ganja tapi bagi kami ganja hanyalah sebuah tanaman suci, tak lebih. Kami tak akan pernah melakukan ritual seperti band-band lain” ucap Rony sang gitaris yang sebelumnya menyukai musik punk. “Bermusik reggaelah dengan jiwa (soul) tanpa ganja,”tambahnya.

Band reggae yang dimotori oleh Elbit ini memiliki keinginan untuk menjadikan reggae sebagai salah satu musik perdamaian khususnya di Kabupaten Sikka ini.
“Biarkanlah kami bersuara dengan cinta demi kabupaten ini, karena dengan cinta dan reggae kita bisa membangun Sikka bersama-sama tanpa rasa ego dan fanatik kedaerahan,”ujar Elbit yang diamini para personil lainnya.
Saat ini Canabis Band selalu berlatih rutin tiga kali seminggu di studio musik yang disewa secara urunan.

Prestasi
- Juara Pertama (I) Festival Band HUT Katedral
- Juara III Festival Band FLORATA (Flores-Lembata) di Maumere
- Juara III Festival Band FLORATA (Flores-Lembata), Sumba di Ende
- Juara I (Satu) Parade Band Djarum LA Ligth’s di Maumere
- Dan lain-lain


Salah Satu Video saat tampil di sebuah Parade Band



Bergabung di Fansclub Facebook Canabis Band

Canabis Reggae Band on Facebook


www.inimaumere.com



Selengkapnya...

Cabo da Flores

Flores. Berasal dari nama pemberian bangsa Portugis yang berarti Bunga. Berada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan 8 daerah pemerintahan setingkat kabupaten. Kabupaten Sikka yang beribukota Maumere adalah salah satu dari 8 kabupaten tersebut.
Hampir seluruh dasar laut pulau itu dipenuhi terumbu karang warna-warni, beserta aneka ragam satwa laut yang juga kaya warna. Bersih dan bening, di beberapa area yang dangkal semburat hijau tosca menyembul di sela-sela kemilau biru samudera, berhias taburan batu granit dan karang berwarna perak disiram ombak yang membuih di bentangan pasir putih. Indah bak permata… Cantik tiada tara…!

Ketakjuban akan pesona alam itulah yang mengilhami para pelaut Portugis menyebut pulau yang baru disinggahi, sekitar awal abad ke-15 silam, sebagai Cabo da Flores. Ketika itu, para pelaut Portugis yang berlayar dari Macao (Malaka) singgah di Tanjung Bungan, ujung timur Pulau Flores sekarang. Tanjung Bungan dalam bahasa setempat berarti Tanjung Indah, untuk melukiskan keindahan fauna dan taman laut di tanjung itu.

Karena terpesona oleh keindahannya, pelaut de Elcano (catatan lain menyebut SM Cabot) menerjemahkan kata bunga(n) menjadi flores, maka dinamakan Cabo da Flores atau Tanjung Bunga(n). Sejak saat itu, nama pulau yang terletak di sebelah utara lautan Hindia dan Pasifik itu dikenal dengan nama Flores, yang terdengar janggal bagi telinga orang Melayu. Nama itu kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer.

Menurut antropolog Pater Piet Petu SVD dalam bukunya Nusa Nipa, Nama Pribumi Nusa Flores Warisan Purba (1969), jauh sebelum kedatangan para pelaut Portugis, pulau ini sudah memiliki nama pribumi sendiri. Orang Manggarai menyebut Nuca Nepa Lale (Pulau Ular/Naga yang Indah). Orang Ngada dan Ende menamai Nusa Nipa, dan orang Sikka menyebut Nuhan Nagasawaria. Bagi orang Larantuka menamai Nuha Ula Bungan (Pulau Ular/Naga yang Suci). Semua sebutan itu melukiskan pulau ini sebagai Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular atau Pulau Naga. Alasan penyebutan Nusa Nipa karena di pulau ini banyak dijumpai ular. Bila mengamati peta pulau ini, segera tampak gambaran seekor ular/naga yang sedang tidur, dengan kepala di ujung timur (Tanjung Bunga/Larantuka) dan badan/ekor yang melilit di ujung barat
(Manggarai).

Nenek moyang pulau ini mempunyai keyakinan, jika seseorang bertemu ular atau didatangi ular, maka ia akan memperoleh rezeki. Bahkan, ular dianggap sebagai dewa atau titisan arwah leluhur oleh marga tertentu. Oleh karena itu, sampai sekarang masih dipegang kepercayaan jika ular memasuki rumah atau berhenti di ladang, maka oleh tuan rumah atau pemilik ladang tak akan diusir, dilukai, atau dibunuh. Sebaliknya, ular itu akan dibentangkan sarung serta dihidangkan makanan berupa telur dan beras mentah. Konon hingga kini, sesewaktu masih dijumpai ular/naga sebesar dan sepanjang batang pohon kelapa yang melintasi jalan di suatu areal pegunungan atau hutan yang lebat.

Menurut para tetua adat setempat, nama pribumi Nusa Nipa tersebut memberi daya magis tersendiri bagi masyarakatnya dengan karakter pemberani, gagah, perkasa, cerdas, gesit dan lincah ketika menjelajahi wilayah pegunungan yang terjal dengan sungai yang berkelok-kelok mengitari deretan perbukitan atau mengarungi hamparan lautan luas dengan pusaran gelombang yang menantang sekaligus menyimpan taman laut yang menawan.

Itulah sebabnya pernah muncul wacana di kalangan pemerhati kebudayaan lokal untuk mengembalikan nama pulau itu ke nama pribuminya, Nusa Nipa. Alasannya, nama Flores yang sudah hidup hampir lima abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan flora yang dikandung oleh pulau ini. Selain itu, nama Flores dirasa lebih berkesan halus, lembut, indah, tapi kurang ”berenergi”. Kesan indahnya nama Flores, menurut para pemerhati kebudayaan lokal tersebut, secara sosial-psikologis telah memberi gambaran masyarakat yang cenderung lembut dan indah tapi kurang berkarakter pemberani, gagah, perkasa, cerdas, gesit dan lincah seperti gambaran sosok para leluhur Nusa Nipa dahulu, sebagaimana dilukiskan dalam berbagai legenda rakyat setempat. Dari sudut antropologi, nama Nusa Nipa mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakatnya.

Sebelum bernama Flores, Nusa Nipa sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Posisinya cukup strategis karena menjadi jalur lintasan perdagangan kayu cendana dari Pulau Timor ke Cina dan ke India. Hal ini membuat Kerajaan Gowa, Kerajaan Ternate, Bangsa Portugis, Belanda dan Jepang berebut untuk menguasai pulau ini. Namun, tak satu pun di antara mereka benar-benar berhasil menaklukkan para raja atau kapitan yang menguasai suatu wilayah setempat.

Para pendatang tersebut berusaha menanamkan pengaruhnya di wilayah pesisir, tetapi hanya sedikit yang dapat menyentuh daerah pedalaman karena terhalang oleh deretan pegunungan terjal dengan sungai yang berkelok-kelok di dasarnya. Kini daerah pedalaman Flores sudah lebih mudah dicapai dengan adanya jalan yang naik-turun membelah gunung dan berkelok-kelok mengitari perbukitan dengan tebing yang menjulang tinggi di satu sisi dan di sisi lainnya terbentang jurang dengan kedalaman puluhan meter. Sungguh sebuah perjalanan yang fantastik bagi mereka yang gemar berpetualang.

Lukisan Alam
Flores berada dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan luas wilayah 14.300 kilometer persegi.

Beberapa ikon pariwisata di Flores antara lain: Varanus Komodoensis di Kabupaten Manggarai Barat (termasuk Taman Nasional Komodo di Pulau Komodo dan Pulau Rinca), taman laut 17 pulau di Riung dan perkampungan tradisional Bena di Kabupaten Ngada, danau tiga warna Kelimutu (Taman Nasional Kelimutu) di Kabupaten Ende, taman laut Waiara Maumere di Kabupaten Sikka, tradisi religi Portugis “Semana Santa” di Larantuka Kabupaten Flores Timur, dan tradisi penangkapan ikan paus di Lamalera Kabupaten Lembata. Selain itu terdapat berbagai situs, artefak, tradisi maupun panorama alam yang dapat dinimati di berbagai daerah Flores.

Misalnya, panorama alam perbukitan yang hijau dan teduh pada musim hujan akan segera berganti dengan sabana yang menguning kecoklatan pada suatu siklus kemarau yang panjang. Namun, kehangatan dan keramahan masyarakat dari etnik campuran Melayu, Melanesia, dan Portugis serta decak kagum akan keindahan alamnya seakan silih berganti mengiringi perjalanan menjelajahi pulau sepanjang 375 km ini. Sebuah lukisan alam dan kebudayaan yang menakjubkan, dari timur hingga ke barat atau sebaliknya!(pgobang)

www.inimaumere.com


Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Sunday, January 31 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---