Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Sunday 31 January 2010

Canabis Band, Rendah Hati Untuk Sebuah Prestasi


Canabis Band terbentuk tahun 2006. Band beraliran reggae ini tak hanya dicintai kaum remaja namun juga disukai kalangan dewasa di Kabupaten Sikka. Meski harus mengalami reposisi player beberapa kali, band yang berasal dari kawasan Misir Kota Maumere ini mencoba terus eksis dan setia pada jalur yang digelutinya. Dengan para personil terbaru saat ini yakni Elbit (Vokal), Rony (Guitar Melody), Deniz (Guitar Rhytim), Gomez (Bass), Vian (Keyboard), Piter (Vokal Latar) Canabis Band tak berhenti untuk terus mengekspresikan dan menyuarakan cinta dan perdamaian lewat musik reggae sekaligus menghibur fans beratnya. Dalam karier bermusiknya Canabis Band telah mengantongi banyak prestasi. Satu diantaranya adalah ketika terpilih sebagai group band terfavorit pada Parade Band Djarum LA Lights yang di gelar baru-baru ini di Maumere. Berangkat dari beberapa prestasi itulah, mereka berharap bisa memiliki album reggae sendiri.

“Ini bukan sebuah mimpi, karena kami pun sedang mempersiapkan beberapa lagu. Ya sambil berharap ada mau yang mendukung produksinya,” ungkap Elbit sang vokalis.

27 September 2006 adalah awal berdirinya Canabis Band. Pungawa band ini semula ditempati Elbit (Vokal), Iron ( guitar utama), Vian (Bass), Ary (Rhythim), Andre (Drum). Band yang mereka awaki pelan-pelan mulai terdengar gaungnya. Tembang-tembang reggae yang dibawakan diminati oleh anak-anak muda. Kapan saja dan dimana saja tampil Canabis Band selalu menarik perhatian. Apalagi musik beraliran reggae begitu disukai oleh kaum muda Maumere. Namun seiring waktu, Canabis Band juga mengalami keretakan. Beberapa punggawa awal Canabis Band memilih hengkang. Pergantian personil dibeberapa posisi terjadi hingga akhirnya mendapatkan ‘feel’pada para pemain terkini.

Bagi Canabis Band, permainan musik mereka terinspirasi pada dedengkot reggae seperti Bob Marley, Lucky Dube dan Big Mountain. Meski suka pada reggae dan mencoba untuk tetap eksis dijalur ini mereka mengaku tak mengikuti jejak band lain yang kadang melakukan ritual menghisap ganja sebelum tampil.
"Kami sadar banyak yang mengatakan reggae begitu indentik dengan ganja tapi bagi kami ganja hanyalah sebuah tanaman suci, tak lebih. Kami tak akan pernah melakukan ritual seperti band-band lain” ucap Rony sang gitaris yang sebelumnya menyukai musik punk. “Bermusik reggaelah dengan jiwa (soul) tanpa ganja,”tambahnya.

Band reggae yang dimotori oleh Elbit ini memiliki keinginan untuk menjadikan reggae sebagai salah satu musik perdamaian khususnya di Kabupaten Sikka ini.
“Biarkanlah kami bersuara dengan cinta demi kabupaten ini, karena dengan cinta dan reggae kita bisa membangun Sikka bersama-sama tanpa rasa ego dan fanatik kedaerahan,”ujar Elbit yang diamini para personil lainnya.
Saat ini Canabis Band selalu berlatih rutin tiga kali seminggu di studio musik yang disewa secara urunan.

Prestasi
- Juara Pertama (I) Festival Band HUT Katedral
- Juara III Festival Band FLORATA (Flores-Lembata) di Maumere
- Juara III Festival Band FLORATA (Flores-Lembata), Sumba di Ende
- Juara I (Satu) Parade Band Djarum LA Ligth’s di Maumere
- Dan lain-lain


Salah Satu Video saat tampil di sebuah Parade Band



Bergabung di Fansclub Facebook Canabis Band

Canabis Reggae Band on Facebook


www.inimaumere.com



Selengkapnya...

Cabo da Flores

Flores. Berasal dari nama pemberian bangsa Portugis yang berarti Bunga. Berada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan 8 daerah pemerintahan setingkat kabupaten. Kabupaten Sikka yang beribukota Maumere adalah salah satu dari 8 kabupaten tersebut.
Hampir seluruh dasar laut pulau itu dipenuhi terumbu karang warna-warni, beserta aneka ragam satwa laut yang juga kaya warna. Bersih dan bening, di beberapa area yang dangkal semburat hijau tosca menyembul di sela-sela kemilau biru samudera, berhias taburan batu granit dan karang berwarna perak disiram ombak yang membuih di bentangan pasir putih. Indah bak permata… Cantik tiada tara…!

Ketakjuban akan pesona alam itulah yang mengilhami para pelaut Portugis menyebut pulau yang baru disinggahi, sekitar awal abad ke-15 silam, sebagai Cabo da Flores. Ketika itu, para pelaut Portugis yang berlayar dari Macao (Malaka) singgah di Tanjung Bungan, ujung timur Pulau Flores sekarang. Tanjung Bungan dalam bahasa setempat berarti Tanjung Indah, untuk melukiskan keindahan fauna dan taman laut di tanjung itu.

Karena terpesona oleh keindahannya, pelaut de Elcano (catatan lain menyebut SM Cabot) menerjemahkan kata bunga(n) menjadi flores, maka dinamakan Cabo da Flores atau Tanjung Bunga(n). Sejak saat itu, nama pulau yang terletak di sebelah utara lautan Hindia dan Pasifik itu dikenal dengan nama Flores, yang terdengar janggal bagi telinga orang Melayu. Nama itu kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer.

Menurut antropolog Pater Piet Petu SVD dalam bukunya Nusa Nipa, Nama Pribumi Nusa Flores Warisan Purba (1969), jauh sebelum kedatangan para pelaut Portugis, pulau ini sudah memiliki nama pribumi sendiri. Orang Manggarai menyebut Nuca Nepa Lale (Pulau Ular/Naga yang Indah). Orang Ngada dan Ende menamai Nusa Nipa, dan orang Sikka menyebut Nuhan Nagasawaria. Bagi orang Larantuka menamai Nuha Ula Bungan (Pulau Ular/Naga yang Suci). Semua sebutan itu melukiskan pulau ini sebagai Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular atau Pulau Naga. Alasan penyebutan Nusa Nipa karena di pulau ini banyak dijumpai ular. Bila mengamati peta pulau ini, segera tampak gambaran seekor ular/naga yang sedang tidur, dengan kepala di ujung timur (Tanjung Bunga/Larantuka) dan badan/ekor yang melilit di ujung barat
(Manggarai).

Nenek moyang pulau ini mempunyai keyakinan, jika seseorang bertemu ular atau didatangi ular, maka ia akan memperoleh rezeki. Bahkan, ular dianggap sebagai dewa atau titisan arwah leluhur oleh marga tertentu. Oleh karena itu, sampai sekarang masih dipegang kepercayaan jika ular memasuki rumah atau berhenti di ladang, maka oleh tuan rumah atau pemilik ladang tak akan diusir, dilukai, atau dibunuh. Sebaliknya, ular itu akan dibentangkan sarung serta dihidangkan makanan berupa telur dan beras mentah. Konon hingga kini, sesewaktu masih dijumpai ular/naga sebesar dan sepanjang batang pohon kelapa yang melintasi jalan di suatu areal pegunungan atau hutan yang lebat.

Menurut para tetua adat setempat, nama pribumi Nusa Nipa tersebut memberi daya magis tersendiri bagi masyarakatnya dengan karakter pemberani, gagah, perkasa, cerdas, gesit dan lincah ketika menjelajahi wilayah pegunungan yang terjal dengan sungai yang berkelok-kelok mengitari deretan perbukitan atau mengarungi hamparan lautan luas dengan pusaran gelombang yang menantang sekaligus menyimpan taman laut yang menawan.

Itulah sebabnya pernah muncul wacana di kalangan pemerhati kebudayaan lokal untuk mengembalikan nama pulau itu ke nama pribuminya, Nusa Nipa. Alasannya, nama Flores yang sudah hidup hampir lima abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan flora yang dikandung oleh pulau ini. Selain itu, nama Flores dirasa lebih berkesan halus, lembut, indah, tapi kurang ”berenergi”. Kesan indahnya nama Flores, menurut para pemerhati kebudayaan lokal tersebut, secara sosial-psikologis telah memberi gambaran masyarakat yang cenderung lembut dan indah tapi kurang berkarakter pemberani, gagah, perkasa, cerdas, gesit dan lincah seperti gambaran sosok para leluhur Nusa Nipa dahulu, sebagaimana dilukiskan dalam berbagai legenda rakyat setempat. Dari sudut antropologi, nama Nusa Nipa mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakatnya.

Sebelum bernama Flores, Nusa Nipa sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Posisinya cukup strategis karena menjadi jalur lintasan perdagangan kayu cendana dari Pulau Timor ke Cina dan ke India. Hal ini membuat Kerajaan Gowa, Kerajaan Ternate, Bangsa Portugis, Belanda dan Jepang berebut untuk menguasai pulau ini. Namun, tak satu pun di antara mereka benar-benar berhasil menaklukkan para raja atau kapitan yang menguasai suatu wilayah setempat.

Para pendatang tersebut berusaha menanamkan pengaruhnya di wilayah pesisir, tetapi hanya sedikit yang dapat menyentuh daerah pedalaman karena terhalang oleh deretan pegunungan terjal dengan sungai yang berkelok-kelok di dasarnya. Kini daerah pedalaman Flores sudah lebih mudah dicapai dengan adanya jalan yang naik-turun membelah gunung dan berkelok-kelok mengitari perbukitan dengan tebing yang menjulang tinggi di satu sisi dan di sisi lainnya terbentang jurang dengan kedalaman puluhan meter. Sungguh sebuah perjalanan yang fantastik bagi mereka yang gemar berpetualang.

Lukisan Alam
Flores berada dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan luas wilayah 14.300 kilometer persegi.

Beberapa ikon pariwisata di Flores antara lain: Varanus Komodoensis di Kabupaten Manggarai Barat (termasuk Taman Nasional Komodo di Pulau Komodo dan Pulau Rinca), taman laut 17 pulau di Riung dan perkampungan tradisional Bena di Kabupaten Ngada, danau tiga warna Kelimutu (Taman Nasional Kelimutu) di Kabupaten Ende, taman laut Waiara Maumere di Kabupaten Sikka, tradisi religi Portugis “Semana Santa” di Larantuka Kabupaten Flores Timur, dan tradisi penangkapan ikan paus di Lamalera Kabupaten Lembata. Selain itu terdapat berbagai situs, artefak, tradisi maupun panorama alam yang dapat dinimati di berbagai daerah Flores.

Misalnya, panorama alam perbukitan yang hijau dan teduh pada musim hujan akan segera berganti dengan sabana yang menguning kecoklatan pada suatu siklus kemarau yang panjang. Namun, kehangatan dan keramahan masyarakat dari etnik campuran Melayu, Melanesia, dan Portugis serta decak kagum akan keindahan alamnya seakan silih berganti mengiringi perjalanan menjelajahi pulau sepanjang 375 km ini. Sebuah lukisan alam dan kebudayaan yang menakjubkan, dari timur hingga ke barat atau sebaliknya!(pgobang)

www.inimaumere.com


Selengkapnya...

Monday 25 January 2010

Bandara Wai Oti ; DonThomas, L. Say dan Frans Seda

Oleh karena itu dalam suatu percakapan lepas di rumah kediamannya Jl Don Thomas Maumere, Frans Seda pernah berkata dengan tulus dan polos “adalah tepat kalau Bandara Waioti diberi nama Don Thomas
Kabupaten Sikka juga harus memberi penghargaan dan penghormatan kepada L. Say, pemimpin yang sudah berjasa bagi kabupaten ini. Torehlah namanya di Pelabuhan Laut Maumere dengan nama L. Say. Berilah nama jalan kepada banyak tokoh Kabupaten Sikka yang berjasa secara nasional dan regional seperti: Ben Mangreng Say, Bung Kanis, P.H. Embuiru, P. Piet Petu, P. Osiaz Fernandez, Mgr Abdon Longginus da Cunha, P.J. Bapa Mekeng, Pieter Pedor, Fredrik Djati, Drs A.M. Konterius dan lain-lain.
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
*Oleh : E.P da Gomez

DALAM catatan sejarah perjalanan Kabupaten Sikka, bandar udara (bandara) Maumere yang terletak di sebuah “klo’ang” bernama Waioti, mulai dibangun pada masa pemerintahan militerisme Jepang, tahun 1943-1944. Tatkala itu, Don Yosephus Thomas Ximenes da Silva (1895-1954), Raja Sikka ke-15 (1920-1954) bertindak menunjuk lokasinya dan mengerahkan rakyat dari kampung-kampung secara bergilir turun bekerja membangun landasan udara yang hendak digunakan penguasa Jepang untuk kepentingan militer dan perang. Bandara ini dibom sekutu tanggal 28 Juli 1944. Jepang membangun juga sebuah lapangan udara di Tanjung Darat, di pantai utara Kecamatan Talibura, yang kini sudah menjadi kebun rakyat.

Sesudah Perang Dunia II usai, Bandara Waioti dengan kondisinya yang sederhana digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan pelayanan publik. Hanya dengan lapangan berumput saja dan fasilitas terminalnya sangat minim, namun menjadi pusat pelayanan udara untuk pemerintah dan masyarakat seluruh Flores, jauh sebelum adanya lapangan udara di Ruteng, Ende, Labuan Bajo, Bajawa, Larantuka dan Lewoleba, yang mulai dibangun secara bertahap sejak awal tahun tujuhpuluhan.

Pada awal tahun 1971, Bupati Sikka L. Say (1967-1977) memprakarsai pembenahan fasilitas bandara Waioti, dengan pekerjaan antara lain memindahkan ruas jalan lama dekat jembatan Waioti ke ruas jalan sekarang, dan membangun berbagai fasilitas terminal. Berbarengan dengan Frans Seda menjadi Menteri Perhubungan (1968-1973), L. Say menggunakan kesempatan yang baik itu, menarik perhatian Frans Seda membangun berbagai fasilitas pelabuhan udara yang lebih representatif. Menhub Frans Seda memenuhi dengan semangat akan tekad L. Say. Departemen Perhubungan segera mengembalikan seluruh biaya yang sudah dikeluarkan pemerintah Kabupaten Sikka untuk pembangunan awal. Selanjutnya Menhub Frans Seda memberikan perhatian untuk pembangunan berbagai fasilitas sesuai standar kebutuhan sebuah bandara tingkat kabupaten.

Dari periode ke periode pemerintahan, sejak Bupati L. Say hingga Bupati Sosimus Mitang, upaya peningkatan fasilitas bandara Waioti selalu mendapat perhatian, baik melalui alokasi dana APBD Kabupaten Sikka, maupun dari hasil perjuangan melalui biaya APBN, sehingga kondisi landasan dan fasilitas bandara Waioti sudah semakin baik, meskipun kualitas dan penampilannya masih di bawah bandara El Tari Kupang.

Semenjak hadirnya di bumi Kabupaten Sikka, bandara ini tidak punya nama. “Waioti” itu hanyalah nama sebuah “klo’ang”, sebuah perkampungan kecil dengan nama pribumi setempat (wai = kali, sungai; oti = biawak). Di situ memang ada sebuah kali kering, yang mungkin saja pada masa yang lalu mengalir air keruh, tempat biawak-biawak berenang dan berkumpul ramai.
Sejak tahun 1984, pada masa pemerintahan Bupati Sikka Drs Daniel Woda Pale, sudah mengudara aspirasi dan semangat untuk memberi nama Don Thomas bagi bandara Waioti. Namun semangat itu tidak berlanjut karena Don Thomas adalah seorang tokoh kontroversial dalam nuansa kepolitikan lokal. Hasrat untuk membaptis nama Don Thomas terhenti, belum bisa diwujudnyatakan, menanti timing yang tepat.

Mengapa Don Thomas? Don Thomas adalah peletak dasar pembangunan Kabupaten Sikka. Kenyataan ini tak dapat dipungkiri oleh siapa pun. Raja Sikka ke-15 ini (1920-1954), dalam kurun waktu 30 tahun masa pemerintahannya, telah membangun ruas jalan dan jembatan, ”proyek” air minum dalam bentuk sumur/perigi di beberapa kampung, pipa air minum dari Wairpuang ke Kota Maumere, melanjutkan budidaya penanaman kelapa yang sudah dirintis raja terdahulu, mendirikan pasar di lokasi yang strategis, pembangunan di bidang pertanian dan irigasi.

Di bidang pendidikan, Don Thomas bekerja sama dengan Pimpinan Gereja Katolik membangun sekolah-sekolah desa, mendirikan Yayasan Pendidikan Thomas (Yapenthom) yang mengawali sebuah SMP yang terkenal di Flores pada tahun 1949, menunjuk lokasi Ledalero di mana Gereja Katolik mendirikan Seminari Tinggi Ledalero, mendukung pembangunan awal rumahsakit Lela, dan merancang peta pembangunan kota Maumere. Semuanya itu boleh dibaca dalam buku “Don Thomas, Peletak Dasar Sikka Membangun” (E.P. da Gomez & Oscar P. Mandalangi, Yapenthom Maumere, 2003/2005/2006).

Sangatlah tepat kesan Tasuku Sato, Komandan Angkatan Laut Kerajaan Jepang yang bertugas di Flores tahun 1943-1945, mengagumi Don Thomas, antara lain : ”Raja Sikka merupakan tokoh yang amat penting di Flores. Bukan saja karena daerah Sikka yang dibawahinya memang lebih terkemuka dari yang lainnya, tapi karena dia juga adalah tokoh yang berwibawa. Kelihatannya setengah tua, cermat dan bijaksana. Saya sangat berkesan akan sikapnya yang meyakinkan dan wajahnya yang coklat dan keren yang menunjukkan bahwa ia seorang yang berkepribadian dan sungguh-sungguh” (dalam buku “I Remember Flores” karya tulis Kapten Tasuku Sato & P. Mark Tennien, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Thom Wignyanta dengan judul “Aku Terkenang Flores” Penerbit Nusa Indah Ende, 1976/2005).

Apa yang telah dikerjakan selama 30 tahun masa pemerintahan Don Thomas, jika dilihat dengan kacamata masa depan, sesungguhnya merupakan bagian yang mendasar dari tahap-tahap awal bagi terwujudnya berbagai gagasan dan cita-cita pembangunan masa kini dan masa depan. Kita boleh menyimpulkan bahwa sejarah sangat sabar, dan bahwa generasi yang datang silih berganti akan bisa menilai tentang seorang Don Thomas sebagai pemimpin memang bertugas untuk melihat sangat jauh ke depan. Atau barangkali ia memang bukan politikus seperti pemahaman yang dianut James Freeman: “Seorang politikus memikirkan soal pemilu yang akan datang, tapi seorang negarawan memikirkan generasi yang akan datang”.

Jauh dari pretensi untuk membanggakan seorang Don Thomas, atau berusaha untuk menghapus jejak kekurangannya dalam bobot kepemimpinannya pada waktu lampau (ia dicap feodalis dan nepotis yang kental), namun patut diakui dan disadari bahwa gagasan dan pelaksanaan pembangunan yang diletakkan Don Thomas sungguh strategis dan tidak pernah usang sampai kini. Ketokohannya tampak hadir secara meyakinkan karena kemampuannya menempa diri, menerobos pagar besi yang menghadang, dan dengan penuh keteguhan mengusung panji-panji keutamaan atas cita-citanya yang luhur berdimensi masa depan.

Justeru itu, Frans Seda dalam kata pengantar buku “Don Thomas Peletak Dasar Sikka Membangun”, menulis sebagai berikut: “Raja Sikka Don Thomas adalah seorang tokoh kontroversial dan multidimensi. Seorang yang memiliki bakat-bakat dan kemampuan kepemimpinan secara alami. Seorang pandai besi, yang pandai pula menempa suatu pemerintahan daerah secara modern. Seorang raja yang mampu memimpin kerajaannya menjadi solid sebagai kesatuan yang kuat. Beliau adalah pula seorang modernisator yang memiliki wawasan-wawasan dan persepsi-persepsi yang luas dan maju ke depan”.

Oleh karena itu dalam suatu percakapan lepas di rumah kediamannya Jl Don Thomas Maumere, Frans Seda pernah berkata dengan tulus dan polos “adalah tepat kalau Bandara Waioti diberi nama Don Thomas”.

Itulah penilaian Frans Seda, seorang sarjana ekonomi tamatan Katholieke Economische Hogeschool Tilburg, Belanda (1956) terhadap Don Thomas, seorang raja yang hanya menamatkan pendidikan Standaarschool kelas lima di Lela (1910) dan pada usia 15 tahun bekerja keras sebagai tukang kayu dan tukang besi di bengkel Misi di Lela.

Frans Seda, demikian pula V.B. da Costa dan Ben Mang Reng Say, trio Kabupaten Sikka berkaliber nasional pada zamannya, adalah rahmat Tuhan bagi rakyat dan bangsa Indonesia melalui bidang politik sebagai pilihannya dan moralitas Katolik sebagai landasannya. Bagi masyarakat Flores, Seda-Sentis-Say, adalah personifikasi demokrasi dan integrasi etnis Flores dan golongan Katolik ke tengah kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Kita semua tahu bahwa Frans Seda adalah seorang tokoh Partai Katolik di tingkat nasional (1956-1973) dan Penasehat PDI dan PDI Perjuangan (1973-20009). Semenjak pulang dari studinya di Belanda (1956), hampir seluruh kegiatan Frans Seda diserap dalam “karya kerasulan” Partai Katolik. Naiknya beliau ke jenjang tertinggi partai kontas itu, banyak sangkut pautnya dengan kemelut politik nasional yang bergejolak sejak akhir tahun 1956, suatu peralihan yang menentukan sejarah Indonesia. Di sinilah berawal karier Frans Seda sebagai pemimpin tertinggi Partai Katolik, dan berbarengan dengan itu Presiden Soekarno mengangkat beliau menjadi Menteri Perkebunan (1964-1966). Ketika terjadi peralihan kekuasaan ke tangan Soeharto, Frans Seda menduduki kursi pemerintahan selama 12 tahun pada masa awal Orde Baru sebagai Menteri Pertanian merangkap Menteri Perkebunan (1966), Menteri Keuangan (1966-1968), Menteri Perhubungan & Pariwisata (1968-1973), Duta Besar RI untuk Belgia, Luxemburg dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE, 1973-1976), dan terakhir sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA, 1976-1978).

Dalam penugasan sebagai pejabat negara dan kiprahnya sebagai politisi nasional, Frans Seda telah berbuat banyak untuk bangsa dan negara. Selain itu, beliau adalah salah seorang yang mendirikan Unika Atma Jaya Jakarta (1960), menerbitkan harian Kompas (1965), mendirikan Rumahsakit Atma Jaya di Pluit Jakarta (1973), dan berbagai yayasan/lembaga pendidikan dan ekonomi. Frans Seda juga terkenal sebagai kolumnis suratkabar yang cerdas dengan tulisan-tulisannya yang sangat menarik, menyentuh dan menukik.

Antara tahun 1956 sampai 1971 saya mendapat kesempatan dalam berbagai pertemuan dan kegiatan dengan Pak Frans Seda. Mulai dekat dan akrab sejak Pemilu 1971, ketika saya terlibat dalam kampanye “kontas” untuk memenangkan Partai Katolik di Kabupaten Sikka. Sejak itu terjalin keakraban dan persaudaraan sampai dengan wafatnya tanggal 31 Desember 2009. Tiga puluh delapan tahun, bukan waktu yang pendek. Banyak orang mengenal dan dikenal Frans Seda, khususnya di Kabupaten Sikka ini. Kecuali keluarga serumpunnya, mungkin di Sikka tidak ada sepuluh orang yang sangat akrab dengan beliau. Saya termasuk dalam sepuluh orang itu. Sebab itu saya terdorong untuk menulis sebuah buku kecil setebal 135 halaman untuk menginformasikan kepada khalayak tentang siapa itu Frans Seda, dalam judul “Drs Frans Seda 80 Tahun: Catatan Perjalanan Seorang Pejuang” (Yayasan Kasimo Cabang Sikka & Yayasan Dobo Nualolo Maumere, September 2006). Buku itu bukanlah sebuah biografi. Lebih tepat disebut saja sebagai catatan sekilas tentang perjalanan hidup, karya dan perjuangan tokoh tiga zaman itu. Karena isi buku ini saya angkat dari pengalaman bersama beliau, sambil memetik, merangkum, meringkas dan mengintisarikan dari banyak sumber naskah/buku, dengan tekad yang tulus dan niat yang lurus untuk memaknai HUT ke-80 ekonom senior itu, tanggal 4 Oktober 2006.

Di sisi lain, saya bersama Oscar P. Mandalangi menulis sebuah buku biografi Don Thomas setebal hampir 400 halaman. Buku yang terbit tahun 2003, lalu dicetak ulang tahun 2005 dan 2006 itu, didukung dengan komentar dari 16 orang tokoh Kabupaten Sikka yang tahu dan dekat dengan Don Thomas sebagai keluarga, politisi, tokoh masyarakat, bahkan lawan politik Don Thomas.

Banyak suara-suara sumbang terhadap kepribadian, ketokohan dan kepemimpinan Don Thomas. Benturan dan konflik kepentingan dalam konteks riwayat seorang tokoh dan kepemimpinannya dalam sejarah perjalanan Kabupaten Sikka ini, dengan latar belakang dan persepsi yang berbeda, adalah hal yang wajar dan lumrah sebagai bagian dari sifat manusia, apalagi dalam sebuah negeri yang menganut paham demokrasi. Masalahnya, bagaimana kita berkemauan untuk menempatkan soal secara lebih proporsional. Siapapun mempunyai hak untuk tidak menyukai Don Thomas. Namun, siapapun juga tidak punya wewenang yang sah untuk menggelapkan peran dan prestasi Don Thomas dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan pembangunan Kabupaten Sikka ini pada masa pemerintahannya. P. Dr Paul Budi Kleden, SVD, dosen STFK Ledalero dalam orasi ilmiahnya pada tanggal 29 Desember 2003 di Hotel Maiwali Maumere, antara lain menegaskan “Don Thomas adalah peletak dasar Sikka membangun. Dia bukanlah satu-satunya tokoh pembangun Sikka. Dia meletakkan dasar mental membangun. Dengan itu setiap warga masyarakat Sikka dalam berbagai peran, kedudukan dan kemungkinannya, diajak untuk menjadi pembangun Sikka, pelaku sejarah di kabupaten ini”.

Untuk membuat sejarah terhadap sejarah perjalanan Kabupaten Sikka, kita dihadapkan dengan tugas sejarah untuk memberi nama Bandara Waioti. Dua tokoh sejarah terkemuka yang menjadi kebanggaan rakyat Kabupaten Sikka, tokoh yang menjadi idola banyak orang, Don Thomas atau Frans Seda menjadi pilihan nama tersebut.

Don Thomas adalah seorang raja yang feodalis, hidup dalam zaman yang memiliki peluang dan fasilitas yang sangat minim, namun telah menjadi pemrakarsa dan perintis pembangunan Bandara Waioti. Ia seorang pionir. Sementara Frans Seda adalah pelanjut, memiliki gagasan yang cemerlang dan modernisator pembangunan. Frans Seda sebagai salah seorang arsitek ekonomi modern Indonesia, seorang politisi Katolik yang beken, piawai dan bermoral, pendekar di bidang pendidikan, pendiri harian Kompas yang ternama, penulis kolom suratkabar yang jempol, dan selaku pengukir rautan wajah Gereja Katolik di Indonesia, sudah dapat dinilai pada takaran nasional yang berdimensi sejarah.

Sebab itu, apabila Pemerintah dan DPRD Kabupaten Sikka hendak membuat keputusan tentang nama Bandara Waioti, hendaknya didahului dengan membuka sebuah forum pembicaraan dan pembahasan yang mendalam dan luas dengan mengikut sertakan banyak komponen masyarakat Kabupaten Sikka. Dengan demikian keputusan yang akan diambil, benar-benar melalui pengamatan dan penilaian yang saksama, cermat, arif dan bijak, aspiratif dan dapat dipertanggungjawabkan kepada sejarah.

Kabupaten Sikka juga harus memberi penghargaan dan penghormatan kepada L. Say, pemimpin yang sudah berjasa bagi kabupaten ini. Torehlah namanya di Pelabuhan Laut Maumere dengan nama L. Say. Berilah nama jalan kepada banyak tokoh Kabupaten Sikka yang berjasa secara nasional dan regional seperti: Ben Mangreng Say, Bung Kanis, P.H. Embuiru, P. Piet Petu, P. Osiaz Fernandez, Mgr Abdon Longginus da Cunha, P.J. Bapa Mekeng, Pieter Pedor, Fredrik Djati, Drs A.M. Konterius dan lain-lain.

Dalam mengambil keputusan politik yang sangat mendasar, hati nurani kita harus bersih dari kepentingan apapun dan jujur terhadap sejarah.

Wodonggabe-Nangalimang, 12 Januari 2010

*E.P. DA GOMEZ
Pemerhati masalah sospol Kabupaten Sikka
tinggal di Maumere

www.inimaumere.com


Selengkapnya...

Thursday 21 January 2010

Berkail Di Tepian Pelabuhan..

Hari-hari ini, saat senggang di sore hari, disaat matahari terkurung dibalik awan, saat rasa jenuh membebani pikiran, cobalah kita sejenak meluangkan waktu 'tuk berada di tepian pantai Teluk Maumere. Di sepanjang tepian yang menjadi garis pantai ini kita bisa menyaksikan pemandangan yang indah. Sambil bersantai di atas turap penahan gelombang kita dihadiahi keleluasaan menjelajahi samudera luas didepan sana. Apalagi disaat sore berteman angin dan mendung tebal, dijamin rasa jenuh akan segera pergi, jauh dan jauh. Jika Anda seorang fotografer handal, obyek pantai ini jelas akan menjadi salah satu target bidikan.
Nah, secara tak sengaja inimaumere.com berada di Pelabuhan Sadang Bui. Ini adalah satu-satunya pelabuhan di Flores yang aktifitasnya cukup ramai . Kebetulan hari-hari terakhir ini cuaca di perairan Nusa Tenggara Timur dilanda angin kencang. Tinggi gelombang laut bahkan membatalkan jadwal pelayaran kapal dan segala macam aktifitas pelabuhan. Tapi untungnya diperairan Flores khususnya di perairan Laut Maumere gelombang lautnya masih tergolong biasa-biasa saja. Karena itulah, sejumlah penggila mancing menggunakan kesempatan ini untuk mengeruk sesuka hati isi laut. Mereka bagaikan yang memiliki isi laut tersebut. Sekali membuang kail dan upssss satu dua ikan sekejap berpindah keatas lantai pelabuhan. Memang inilah Maumere. Kota kecil di tepi pantai yang memiliki kekayaan laut beragam, yang menyediakan bagi penghuni kota ini segalanya.

Kesempatan untuk memancing secara leluasa di Pelabuhan Sadang Bui ini digunakan sebaik-baiknya oleh para penggila mancing. Tak ada kapal yang bersandar sehingga benar-benar leluasa (penundaan pelayaran terutama dari Jawa, Makasar dan Kupang akibat gelombang laut yang tinggi). Pemancing tradisional ini adalah para pencari kesenangan bukanlah nelayan asli. Mereka hanya menggunakan kesempatan ini untuk meluangkan waktu selagi kapal tak bersandar sekaligus mengusir kebosanan. Jadwal mancingnya bisa dari sore hari hingga malam hari. Duduk berjam-jam sambil celoteh bareng teman sangat terlihat disela-sela aktifitas mewaspadai umpannya yang dimakan ikan hehehe... Ya begitulah, suasana ini bukan hanya dilihat di Pelabuhan Sadang Bui bahkan sepanjang tepian pantai Maumere, dari Sadang Bui hingga turap penahan gelombang yang membentang dari Beru hingga Wai Oti (sedang dalam pengerjaan).

Dibawah ini beberapa gambar aktifitas mereka ;










www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Tuesday 19 January 2010

Frans Seda; Politisi, Pendiri Unika Atma Jaya dan Kompas, Ekonom dan Kolumnis

Mengenang Tokoh Tiga Zaman

FRANS SEDA

(4 Oktober 1926 – 31 Desember 2009)

*oleh : E.P. DA GOMEZ

“Sejarah dilakukan oleh banyak orang. Tapi hanya segelintir orang yang dapat tampil, karena mereka lahir pada saat yang tepat dan mampu menafsirkannya”. Begitu tulis wartawati Italia Oriana Fallaci dalam pengantar bukunya yang terkenal, Interview With History.

Drs Frans Seda, putra Flores, kelahiran Lekebai 4 Oktober 1926, boleh jadi termasuk salah seorang seperti yang dikatakan Fallaci itu: orang yang beruntung dapat tampil dalam pentas perjalanan sejarah Republik Indonesia. “Kita mengenal beliau sebagai tokoh tiga zaman. Beliau pernah menjadi menteri pada zaman Bung Karno, dan menteri di berbagai portefolio pada masa Pak Harto. Juga pada era reformasi, berkontribusi dalam pengembangan demokrasi dan pembangunan”, kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan para wartawan seusai melayat jenazah Frans Seda (Kompas, 02/01/2010).
Beliau meninggal dunia di rumah kediamannya Jl Metro Kencana V/5 Pondok Indah, Jakarta Selatan, pada hari Kamis pagi pukul 05.00 tanggal 31 Desember 2009, dalam usia 83 tahun, 2 bulan dan 26 hari.

Selain Presiden SBY, telah datang melayat ke rumah duka itu antara lain Wapres Budiono, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, mantan Presiden Megawati, mantan Wapres Tri Sutrisno. Pimpinan Kompas Gramedia Jakob Oetomo, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, mantan Gubernur NTT Ben Mboi dan istrinya Nafsiah, Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Perumahan Rakyat Cosmas Batubara, mantan Menteri Perhubungan dan Menteri Kependudukan & Lingkungan Hidup Emil Salim, Menpan E.E. Mangindaan, Menhub Fredy Numberi, mantan Meneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dan suaminya Sri Edi Swasono, Gubernur NTT Frans Leburaya, Bupati Sikka Drs Sosimus Mitang, Pimpinan DPRD Sikka Rafael Raga dan Alex Longginus, mantan Menkeu J.B. Sumarlin, mantan Sekjen DPP Partai Katolik dan Pendiri CSIS Harry Tjan Silalahi, Rektor dan Civitas Acedemica Unika Atma Jaya, dan ratusan orang yang tak dapat disebut namanya satu persatu di sini. Sepanjang lebih kurang 2 Km jalan di depan rumah duka itu berjejer ratusan karangan bunga sebagai pernyataan belasungkawa atas kepergian politisi kawakan, pendekar pendidikan dan ekonom senior ini. Itulah wujud dan bukti dari ketokohan Frans Seda, nama yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, nama yang sangat akrab dalam masyarakat NTT, khususnya Kabupaten Sikka.

Prosesi pemakaman orang besar Frans Seda, dilangsungkan tanggal 2 Januari 2010 dalam sebuah untaian upacara yang megah, mulia dan bermartabat. Dimulai ada pagihari dengan acara penupan peti jenazah di rumah duka Pondok Indah, lalu disemayamkan selama satu jam di Kampus Unika Atma Jaya untuk mendapat penghormatan dari komunitas universitas yang didirikannya itu. Tepat jam 11.00 dilangsungkan Misa Requiem di Gereja Katedral Jakarta, dipimpin Uskup Agung Jakarta, Julius Kardinal Darmaatmaja, SJ, didampingi tujuh Uskup lainnya, antara lain Mgr M.D. Situmorang, OFM,Cap (Ketua KWI/Uskup Padang), Mgr Ignatius Suharyo, SJ (Sekjen KWI/Uskup Agung Co-Ajutor KAJ) dan Mgr G. Kherubim Pareira, SVD (Bendahara KWI/Uskup Maumere). Gereja Katedral penuh sesak dengan umat sampai meluber di luarnya. Hadir tokoh-tokoh pemerintah dan masyarakat dari berbagai kalangan dan profesi, dan masyarakat Flores yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya. Sementara upacara pemakaman dilakukan oleh negara secara militer dengan inspekturnya Menteri Perhubungan Fredy Numberi, mulai dari depan Katedral sampai ke liang lahat di kompleks pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.

*****

Frans Seda, V.B. da Costa dan Ben Mangreng Say, trio Kabupaten Sikka yang terkenal pada zamannya, adalah rahmat Tuhan untuk rakyat dan bangsa Indonesia melalui bidang politik sebagai pilihannya dan moralitas Katolik sebagai landasannya. Sedangkan bagi masyarakat Flores, Seda-Sentis-Say, adalah personifikasi demokrasi dan integrasi etnis Flores dan golongan Katolik ke tengah kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia ini.

Saya telah mendengar nama Frans Seda sejak medio tahun limapuluhan ketika masih di bangku SMPK Yapenthom Maumere (1953-1956). Antara tahun 1956 sampai 1971 saya mendapat kesempatan dalam berbagai pertemuan dan kegiatan dengan Pak Frans Seda. Mulai dekat dan akrab sejak Pemilu 1971, ketika saya terlibat dalam kampanyenya “Kontas” untuk memenangkan Partai Katolik di Kabupaten Sikka. Sejak itu terjalin keakraban dan persaudaraan sampai dengan wafatnya 31 Desember 2009. Tigapuluh delapan tahun, bukan waktu yang pendek. Sebab itu saya menulis sebuah buku kecil setebal 135 halaman untuk menginformasikan kepada khalayak tentang siapa itu Frans Seda, dalam judul “Drs Frans Seda 80 tahun: Catatan Perjalanan Seorang Pejuang” (Yayasan Kasimo Cabang Sikka & Yayasan Dobo Nualolo Maumere, Percetakan Arnoldus Ende, September 2006). Buku itu bukanlah sebuah biografi. Lebih tepat disebut saja sebagai catatan sekilas tentang perjalanan hidup, karya dan perjuangan tokoh tiga zaman itu. Karena isi buku ini saya angkat dari pengalaman bersama beliau, sambil memetik, merangkum, meringkas dan mengintisarikan dari banyak sumber naskah/buku, dengan tekad yang tulus dan niat yang lurus untuk memaknai hari ulang tahun ke-80 ekonom senior itu tanggal 4 Oktober 2006.

Saya tersentak kaget dan terkejut, ketika membaca Pos Kupang dan Flores Pos (05/01/2010) yang memberitakan bahwa Bupati Sikka dan satu-dua Anggota DPRD Kabupaten Sikka mengusulkan agar Bandara Waioti dibaptis dengan nama Frans Seda. Alasannya, Frans Seda telah berjasa dalam mengupgrade landasan dan fasilitas bandara itu ketika beliau menjadi Menteri Perhubungan (1968-1973). Pada hemat saya, karya, jasa pengabdian, kebesaran nama dan ketokohan Frans Seda tidak bisa diukur karena perhatiannya pada sepenggal tanah dan sebuah “proyek” kecil di lapangan Waioti itu. Karya dan jasa Frans Seda sebagai putera Gereja Katolik, politisi, ekonom dan pendekar pendidikan, jauh lebih luas cakupan dan jangkauannya, menyentuh banyak aspek, dimensi dan dampaknya. Saya sependapat dengan Gubernur NTT Frans Lebu Raya yang mengatakan bahwa “pengabdian nama Frans Seda untuk nama bandara di NTT mungkin dinilai terlalu kecil” (Pos Kupang, 05/10/2010). Terus terang, saya tidak setuju, kalau Bandara Waioti diberi nama Frans Seda. Terlalu kecil untuk ukuran kebesaran dan ketokohan Frans Seda, apabila dihubungkan dengan alasan yang diangkat Bupati Sikka dan sementara Anggota DPRD Kabupaten Sikka. Akan tetapi jika hal itu telah menjadi tekad dan keputusan Pemerintah bersama DPRD Kabupaten Sikka, tentu saja saya tidak berhak menghalanginya, meski hati kecil saya tidak bisa menerimanya.

Frans Seda telah berbuat banyak untuk bangsa dan negara ini. Secara luas telah saya tulis dalam buku yang saya sebutkan di atas. Di sini saya hendak meringkasnya dalam uraian berikut.

Sejak pulang dari Negeri Belanda (Mei 1956) setelah menyelesaikan studinya di Katholieke Economische Hogeschool Tilburg (beliau adalah awam Flores pertama yang meraih gelar sarjana, Drs), Frans Seda memilih Partai Katolik sebagai kendaraan politiknya. Menduduki posisi sebagai Wakil Ketua DPP, mendampingi I.J. Kasimo. Oleh kemampuan dan kepiawaiannya, ia terpilih menjadi Ketua Umum DPP Partai Katolik (1961-1968), seterusnya menjadi Anggota Presidium DPP Partai Katolik (1968-1973). Setelah Partai Katolik dilebur ke dalam PDI (1973), ia dipercayakan sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Pusat (1973-1996), kemudian Anggota Penasehat DPP PDI Perjuangan (1996-2009). Frans Seda adalah satu-satunya pejabat negara pada awal tahun tujuhpuluhan yang dengan sadar dan berani menolak “perintah wajib” menjadi anggota Golkar.

Di antara sekian banyak prestasi yang dicapainya dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum DPP Partai Katolik, saya mencatat prestasinya sebagai negosiator dalam penyelesaian masalah Irian Barat. Atas permintaan pimpinan ABRI (Jenderal A.H. Nasution), pada Maret 1962 Frans Seda diutus untuk mendukung Pastor Oudejans, OFM (kelahiran Belanda yang masuk menjadi WNI), yang dikirim resmi oleh negara dalam suatu misi rahasia ke Negeri Belanda, Misi Frans Seda dan Pastor Oudejans adalah mengupayakan agar Pemerintah Kerajaan Belanda menerima Plan Bunker (yang sudah disetujui Pemerintah RI) sebagai bentuk kesepakatan penyelesaian masalah Irian Barat dan untuk mencegah perang terbuka antara RI dan Belanda.

Frans Seda dalam misi rahasia ini telah melakukan pembicaraan tertutup dengan Pimpinan Partai Katolik Belanda (KVP), yang ketika itu mempunyai peran kunci dalam Kabinet Belanda. Singkat ceriteranya, Menlu Belanda Yosef Luns yang sangat berpengaruh, akhirnya sebagai seorang politisi katolik Belanda sangat memahami peran perjuangan Partai Katolik Indonesia di bawah kepemimpinan Frans Seda. Sepulangya Frans Seda di Indonesia (melalui liku-liku visa dan paspor), pada Mei 1962 Pemerintah Belanda mengumumkan keputusan politiknya menerima Plan Bunker.

Uraian lebih rinci dan jelimet tentang perjalanan misi rahasia Frans Seda dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat dari cengkeraman Belanda, dapat dibaca pada buku “I.J. Kasimo, Hidup dan Perjuangannya” (Tim Wartawan Kompas & Redaksi Penerbit Gramedia, kerjasama Yayasan Kasimo & Penerbit Gramedia, Jakarta 1980). Baca juga Kompas (04/01/2010) tulisan wartawan Pieter P. Gero, di bawah judul “Diplomasi Frans Seda”. Peristiwa politik yang berbobot dan bertaraf internasional ini sungguh menarik. Prof Dr J.J.A.M. Van Gennip menulis dsalam bahasa Belanda, “Seda, De Onvervangdare Intermediar” (= Seda, Perantara Yang Tak Tergantikan, dalam buku Frans Seda, Ad Multos Annos, Atma Jaya Jakarta, 1991, halaman 129-131).

Semenjak pulang dari studinya di Belanda (1956), hampir seluruh kegiatan Frans Seda diserap dalam “karya kerasulan” Partai Katolik. Naiknya beliau ke jenjang tertinggi partai kontas itu, banyak sangkut pautnya dengan kemelut politik nasional yang bergejolak sejak awal Desember 1956, suatu peralihan yang menentukan sejarah Indonesia sendiri. Di sinilah berawal karier Frans Seda sebagai pemimpin tertinggi Partai Katolik selama hampir satu dasawarsa, dan berbarengan dengan itu Bung Karno mengangkat Frans Seda sebagai Menteri Perkebunan (1964-1966). Ketika terjadi peralihan kekuasaan ke tangan Soeharto, Frans Seda menduduki kursi pemerintahan selama 12 tahun masa awal Orde Baru sebagai Menteri Pertanian merangkap Menteri Perkebunan (1966), Menteri Keuangan (1966-1968), Menteri Perhubungan & Pariwisata (1968-1973), Duta Besar RI untuk Belgia, Luxemburg dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE, 1973-1976), dan terakhir sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA, 1976-1978).

*****

Frans Seda dilantik sebagai Menteri Perkebunan tanggal 3 Juni 1964. Hal-hal yang boleh dicatat sebagai sukses dalam jabatannya ini antara lain : (1) Meningkatkan efisiensi perkebunan sebagai sumber devisa utama negara; (2) Mengamankan perkebunan sebagai modal bangsa dari penguasaan PKI/Komunis yang memang berusaha keras tapi tidak bisa berkutik, dicegah Gerakan Turbun (Turun Kebun) yang diorganisir pimpinan departemen, dan pengorganisasian dari Badan Pengamanan Produksi Perkebunan; (3) Mempolakan kerja sama Perusahaan Perkebunan Negara dengan Swasta dalam satu keterkaitan usaha, terutama dalam hal teknologi dan pemasaran; dan (4) Mengalihkan pelelangan tembakau ke Bremen (Jerman) dan membentuk joint venture dalam bidang pemasaran tembakau.

Setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September, Presiden Soekarno melakukan perombakan kabinet, yang disebut Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan Lagi, di mana Frans Seda dipercayakan sebagai Menteri Pertanian merangkap Menteri Perkebunan. Selama tiga bulan usia kabinet ini, dapat dicatat hasil karya Frans Seda memimpin Departemen Pertanian adalah antara lain: (1) Menyatukan Departemen Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perikanan yang tergabung dalam Kompartemen Pertanian dan Agraria dalam satu departemen saja, yakni Departemen Pertanian; (2) Mengaktifkan BIMAS dan memasukkan Indonesia kembali menjadi anggota FAO.

Pada tanggal 25 Juli 1966, Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan Lagi. Selanjutnya Presiden menugaskan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Pengemban Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 (tentang Supersemar) segera membentuk Kabinet AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat). Sangat mengejutkan banyak orang, terutama di kalangan politisi nasional dan kelompok non Kristen/Katolik, bahwa Frans Seda mendapat porsi jabatan Menteri Keuangan, suatu posisi kunci dalam urusan kenegaraan ini.

Frans M Parera menyatakan bahwa Frans Seda termasuk dalam anggota barisan pemikir dan arsitek pembangunan ekonomi nasional. Sementara pakar dan begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo mengatakan, “Sebagai Menteri Keuangan pada masa yang paling sulit, Frans Seda memberikan andil yang besar kepada perekonomian negara”. Menurut Sumitro, ketika Frans Seda menjadi Menteri Keuangan (1966-1968), keadaan keuangan negara waktu itu masih kacau balau dengan menanggung inflasi sekitar 600%. Suasana masih serba gaduh, dan ancaman komunis masih kuat. Dalam keadaan seperti itu Frans Seda mampu mengatasinya.

Menurut Sumitro, banyak orang, termasuk di lingkungan Katolik sendiri kurang menghargai Frans Seda dari sisi ini, yakni sebagai Menteri Keuangan. Padahalnya dari sisi inilah Frans Seda telah memberikan andil yang besar kepada negara. Ditanya tentang kelemahan apa yang dimiliki Frans Seda, Sumitro hanya menebarkan senyumnya yang khas itu. Ia menuturkan, yang unik dari Frans Seda ialah selain seorang ekonom, sekaligus juga seorang politisi. Kombinasi ini sangat bermanfaat menunjang kariernya. Orang seperti Frans Seda sulit didapat. Kalau toh ini dapat dianggap sebagai kelemahannya, menurut Sumitro, rasa sebagai politisinya sering mempengaruhi dirinya dalam mengambil keputusan-keputusan.

Sedangkan Jenderal A.H. Nasution berpendapat bahwa pengangkatan Frans Seda sebagai Menteri Keuangan saat itu, berdasarkan pertimbangan antara lain, Indonesia ingin memperbaiki hubungan dengan Eropa Barat khususnya untuk meminta bantuan ekonomi. Waktu Orde Lama, Indonesia condong ke Blok Timur yang komunis dan memusuhi dunia barat, termasuk Amerika. Frans Seda dinilai sebagai orang yang tepat, terutama karena ia dari Partai Katolik. Ternyata harapan yang dibebankan kepada Frans Seda, menurut Nasution, dapat dijalankannya dengan baik. Dengan menggunakan relasinya, secara cepat dapat memperbaiki hubungan Indonesia dengan Belanda, oleh karena saat itu di negeri Belanda sendiri ada orang Partai Katolik Belanda duduk dalam kabinet. Menurut Pak Nas, usaha Frans Seda inilah yang melahirkan IGGI (= Inter Governmental Group on Indonesia), sebuah forum multilateral negara-negara donor pembangunan Indonesia yang dibentuk untuk memulihkan dan mengembangkan pembangunan ekonomi Indonesia pada awal Orde Baru. Anggota-anggotanya antara lain Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Kanada, Australia, Belgia, Perancis, Jerman Barat, Italia, dan Inggris. Lembaga yang dipimpin oleh seorang Menteri dari negara Belanda itu, didukung pula Selandia Baru, Norwegia dan Swis, serta lembaga-lembaga keuangan internasional seperti: IMF, Bank Dunia, Program Pembangunan PBB (UNDP), Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Pertemuan pertama kali dilaksanakan di Amsterdam pada Pebruari 1967). “Zaman kita beralih dengan mencari bantuan dunia barat, di situlah Frans Seda berposisi sangat penting,” demikian Nasution.

Menurut Drs R.J. Kaptin Adisumarta (Pembantu Khusus Menteri Keuangan, 1966-1970), sebagai Menteri Keuangan Frans Seda berjasa membereskan keuangan negara yang masih berantakan. Salah satu kebijakan tokoh Partai Katolik ini waktu itu adalah tidak memperbolehkan adanya menteri yang memegang manajemen keuangan. Semua keuangan negara dikelola satu orang, yaitu Menteri Keuangan. Akibatnya, semua menteri ”memusuhi” Frans Seda. ”Bayangkan saja, kalau enggak diumpat sama menteri lain. Sebab, semua departemen punya sumber penerimaan negara sendiri, kok diciut semua. Tapi, itu dilaksanakan Frans Seda demi perbaikan keuangan negara. Hasilnya? Sekarang sudah settled, tinggal meneruskan”, ujarnya.

Kaptin juga mengungkapkan, pihak luar negeri melihat Frans Seda sebagai seorang figur yang mempunyai tujuan kerja yang jelas, strategi jelas, memiliki sikap tegas dan bijak dalam pemilihan orang-orang. Ini berkaitan dengan keberhasilan Indonesia menata keuangan negara.

Menurut Kaptin, Frans Seda ditunjuk menjadi Menteri Keuangan karena memang Indonesia pada saat itu membutuhkannya. Waktu itu Indonesia sedang membangun kerja sama dengan luar negeri, seperti Jerman, Perancis, Belanda, Amerika Serikat. Frans Seda yang punya banyak teman dan sudah biasa di Eropa membuat segala sesuatunya menjadi mudah. Namun yang terpenting – kata Kaptin – Frans Seda mempunyai ide yang sudah jelas mengenai sanering (penyehatan) keuangan. Dan mendapat dukungan.

Masih banyak orang di antara para pakar ekonomi dan politik yang memberi penilaian terhadap karya Frans Seda sebagai Menteri Keuangan. Pada hemat saya, yang paling menarik adalah tulisan Rizal Ramli dalam Kata Pengantar buku “Simfoni Tanpa Henti”. Buku ini diterbitkan Desember 1991, ketika Frans Seda berusia 65 tahun dan Rizal Ramli sendiri baru berusia 38 tahun. Terpaut 27 tahun memang. Rizal bukan orang Flores dan bukan dari lingkungan Katolik, sehingga tidak ada alasan primordial untuk meng-“katrol” peranan dan kontribusi pikiran-pikiran Frans Seda dalam sejarah ekonomi Indonesia. Rizal Ramli antara lain menulis, ”Ada hal yang terlupakan dalam sejarah ekonomi Indonesia, yaitu peranan Frans Seda dalam periode stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi pada awal Orde Baru, yaitu dalam kapasitasnya sebagai Menteri Keuangan tahun 1966-1968. Masa itu adalah masa transisi dan periode yang sangat kritis bagi Orde Baru. Banyak penulis sejarah ekonomi Indonesia, terutama penulis-penulis dari barat, yang hanya menonjolkan peranan Prof Wijoyo dan kawan-kawan dalam masa transisi ini. Sebagai Aspri Presiden, tim Prof Wijoyo memang terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan pada masa transisi itu. Peranan Prof Wijoyo dan kawan-kawan baru mulai menonjol, baik secara konseptual maupun operasional, setelah Prof Wijoyo ditunjuk sebagai Ketua Bappenas”.
Sebagai Menteri Keuangan pada masa transisi tersebut, ada sejumlah langkah strategis yang dilakukan Frans Seda. Pertama, mendaftarkan kembali Indonesia sebagai anggota Bank Dunia dan IMF. Langkah strategis tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan internasional terhadap Indonesia dan memudahkan negosiasi utang-utang Orde Lama. Kedua, melakukan lobbying dengan negara Eropa untuk penjadwalan kembali utang-utang luar negeri. Frans Seda bersama-sama dengan Radius Prawiro (ketika itu Gubernur Bank Indonesia), dan Hans Pandelaki (saat itu Sekjen Departemen Keuangan) melakukan perjalanan keliling Jerman, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya. Pada saat yang hampir bersamaan, tim Sultan Hamengkubuwono IX berangkat ke Tokyo untuk mendapatkan pinjaman baru dari pemerintah Jepang. Sebagai hasil dari kedua tim tersebut, negara-negara kreditor Indonesia kemudian setuju menjadwalkan kembali utang-utang Indonesia dan membentuk konsorsium IGGI.

Frans Seda juga memperkenalkan prinsip anggaran berimbang (balanced budget), yaitu prinsip agar pengeluaran dan penerimaan negara berimbang. Jika pengeluaran lebih besar dari penerimaan, maka defisitnya harus bisa dibiayai oleh pinjaman luar negeri.
Prinsip tersebut diperlukan agar tidak terjadi lagi pembiayaan defisit anggaran dengan cara mencetak uang – cara yang lazim dipakai pada awal tahun 1960-an dan merupakan penyebab utama inflasi. Dalam konteks saat itu, usaha menerapkan anggaran berimbang adalah bagian dari upaya untuk menekan laju inflasi yang mencapai angka 635 persen pada tahun 1966.

Hal-hal yang dapat dicatat sebagai karya besar Frans Seda ketika menjabat Menteri Keuangan, antara lain: (1) Operasi penyelamatan ekonomi negara dengan mengganyang “hyperinflation” dan kebijakan stabilitas dan rehabilitasi ekonomi sebagai landasan untuk pelaksanaan pembangunan; (2) Mengembalikan kepercayaan rakyat pada ekonomi dan demokrasi antara lain dengan mengembalikan “single management” APBN di tangan Menteri/Departemen Keuangan dan mengintroduksi-kan APBN Berimbang yang dibicarakan dengan DPR; (3) Mengembalikan kepercayaan luar negeri pada RI dengan antara lain kembali menjadi anggota Bank Dunia/IMF dan Asian Development Bank (ADB), menyelesaikan utang-utang dan membuka pintu investasi swasta asing dan domestik; (4) Meletakkan dasar-dasar dan kebijakan anggaran berimbang dan Undang-Undang APBN, menyelesaikan Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Modal Dalam Negeri dan Undang-Undang Pokok Perbankan; (5) Merombak etatisme dalam ekonomi dengan mengadakan deregulasi, debirokratisasi, dekonsentrasi dan desentralisasi; (6) Mendorong terbentuknya IGGI sebagai suatu konsorsium penyelesaian utang-utang lama dan pemberian utang-utang baru yang berfungsi sampai tahun 1992.

Pada tanggal 6 Juni 1968, Kabinet Ampera dibubarkan, dan Presiden Soeharto mengumumkan pembentukan Kabinet Pembangunan I (1968 – 1973). Frans Seda digeser dari Menteri Keuangan menjadi Menteri Perhubungan. Menurut Presiden Soeharto, bahwa di dalam menetapkan posisi kabinet itu, dipertimbangkan berbagai faktor, antara lain, “Meliputi berbagai golongan kekuatan yang ada di dalam masyarakat dewasa ini, ialah dari Golongan Karya, ABRI dan non ABRI dan golongan politik yang sedapat mungkin terdiri dari tenaga-tenaga yang ahli (tehnokrat)”. Patut disadari dan dimaklumi, bahwa basis dukungan politik Frans Seda melalui kekuatan Partai Katolik dipandang tidak cukup dan tidak pas dengan situasi dan kondisi politik yang sedang berkembang saat itu. Satu-satunya kekuatan yang dimiliki adalah kualifikasi atas kapasitas pribadi sebagai tehnokrat ekonomi yang punya relasi kuat dengan kepentingan-kepentingan negara dalam hubungan ekonomi dengan luar negeri.

Prestasi Frans Seda sebagai Menteri Perhubungan adalah membuat terobosan dan keputusan-keputusan yang strategis, antara lain: (1) Mempersatukan seluruh kegiatan perhubungan (darat, laut, udara dan telkom) dalam satu kebijakan nasional terpadu, dan mengembalikan penguasaan sektor perhubungan di tangan sipil; (2) Meletakkan dasar-dasar kebijakan “reguler liner service“ di laut, udara, dan darat, dan sistem telekomunikasi nusantara; (3) Membina sistem pengelolaan perhubungan secara “regulated competition“ dengan perusahaan-perusahaan negara sebagai usaha inti; (4) Mengintroduksikan angkutan laut dan udara perintis bagi daerah-daerah terpencil; (5) Mengorganisasikan pelayaran Samudera Nasional dalam suatu “Freight Conference” dan memberi peran pada pelayaran rakyat dalam pelayaran dalam negeri; (6) Mengintroduksikan di Departemen Perhubungan, Direktorat Jenderal Pariwisata dengan rencana pengembangan pariwisata serta lembaga-lembaganya dan penentuan Bali sebagai Pusat Pengembangan Pariwisata Indonesia; (7) Mengambil insiatif dan merencanakan pembangunan Bandar Udara Soekarno-Hatta di Cengkareng (sebagai peralihan kegiatan Bandara Kemayoran ke Halim Perdana Kusuma); (8) Mengambil inisiatif dan membentuk Otorita Pulau Batam (yang kemudian diserahkan kepada Pertamina); (9) Memilih dan menentukan Nusa Dua sebagai daerah pengembangan sarana turis internasional dan membentuk BTDC Nusa Dua.

Pada tanggal 27 Maret 1973, Presiden Soeharto didampingi Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan II (1973-1978). Frans Seda tidak masuk lagi dalam kabinet ini dan untuk seterusnya. Itulah konsekuensi politik dari apa yang dikemukakan Presiden Soeharto ketika mengumumkan susunan kabinet ini antara lain mengatakan, “Dalam menyusun Kabinet Pembangunan II ini, saya telah mendapatkan banyak saran dan pertimbangan dari parpol-parpol, ormas-ormas, organisasi mahasiswa dan perorangan”. Harus dimaklumi bahwa Partai Katolik dari mana Frans Seda berasal hanya mendapat 3 kursi pada Pemilu 1971, dan sejak Januari 1973 telah difusikan ke dalam PDI yang tergolong sebagai partai “gurem”.

Apakah Frans Seda sudah terlempar dari panggung politik dan pemerintahan? Ternyata ia masih dipercayakan pemerintah untuk jabatan Duta Besar RI untuk Belgia dan Luxemburg sekaligus merangkap sebagai Kepala Perwakilan RI di Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Penempatan Frans Seda sebagai Duta Besar Indonesia di Belgia, menurut Mh. Isnaeni, memang dialah orangnya yang paling tepat. Belgia merupakan sentrum ekonomi di mana Indonesia mempunyai kepentingan, dan Frans Seda yang ahli ekonomi itu sudah cocok. Jadi tidak berlebihan. Penugasannya boleh dikatakan “the right man on the right place”, kata Isnaeni.

Dalam tiga tahun penugasan ini (1973-1976), Frans Seda mencatat prestasi kerjanya, antara lain: (1) Membentuk Asean Brussels Commitee sebagai wadah kerja sama Perwakilan Negara ASEAN pada MEE; (2) Meletakkan dasar kerja sama formal antara MEE dan ASEAN; (3) Membawa Raja dan Ratu Belgia berkunjung ke Indonesia; (4) Membawa Presiden MEE berkunjung ke Indonesia; (5) Mengambil inisiatif menghubungi secara informal Pemerintah Portugal untuk bekerjasama dengan Indonesia dalam policy dan proses dekolonisasi mereka di Timor Timur, yang kemudian diikuti suatu perutusan formal dari RI di bawah pimpinan Jenderal Ali Murtopo.

Tentang butir (5) tersebut, dalam buku INTEGRITAS ditulis lengkap seperti diuraikan di bawah ini, “Dalam hubungan ini, Duta Besar RI di Belgia, Frans Seda, mempunyai saham yang cukup besar dalam ikut berusaha mengadakan pendekatan di Lisabon. Duta Besar Frans Seda sebelumnya telah mempunyai kontak-kontak pribadi dengan salah seorang pejabat Departemen Luar Negeri Portugal, yakni Prof Campignos, yang juga sebagai seorang mahaguru di salah satu Universitas di Lisabon. Prof Campignos, merupakan salah seorang teman akrab Dubes Frans Seda sewaktu bersama-sama mengikuti kuliah di perguruan tinggi di Perancis. Sebagai seorang pejabat dari Departemen Luar Negeri, Prof Campignos saat itu juga mempunyai jalur-jalur langsung dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintah Portugal. Hal ini oleh Dubes Frans Seda tidak disia-disiakan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menggunakan Prof Campignos. Sekitar bulan September 1974, Dubes Frans Seda dan Mohamad berhasil masuk ke Lisabon untuk mengadakan kontak-kontak kepada beberapa pejabat pemerintah serta membuat dan mengatur acara kunjungan Jenderal Ali Murtopo di Lisabon”.

Tahun 1976 tugas Frans Seda sebagai duta besar berakhir. Ada komentar yang menarik dari Emil Salim, rekan dekatnya ketika bersama duduk dalam kabinet. “Sayang sekali, masa jabatannya terlalu singkat”. Belgia itu pusat pasaran bersama dan saat itu masuknya Indonesia ke pasar Eropa tidak gampang. Sebagai dubes, Frans Seda berusaha memperlancar kondisi itu. Tapi yah, iklim dingin Belgia membuat anaknya yang kedua, Nesa, menderita semacam alergi terhadap udara dingin, sehingga terus menerus sakit, delapan bulan dari satu tahun. “Frans rupanya lebih baik mengorbankan jabatannya demi puterinya itu,” demikian Emil Salim.

Sekembalinya dari Belgia, Frans Seda diminta masuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA, 1976-1978). Dua tahun, terasa seperti namanya “tenggelam” dalam hiruk pikuk politik Orde Baru. Ketika itu mulai timbul reaksi masyarakat, khususnya di kalangan mahasiswa terhadap kebijakan pembangunan pada umumnya, khususnya konsep BKK/NKK (normalisasi kampus) yang menjurus kepada pembungkaman kegiatan politik mahasiswa. Juga sekitar konsep pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan dan kurang mengandalkan pemerataan. Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa menggelegar. Salah satu konsep yang disiapkan DPA adalah Pengaturan Pendidikan Nasional dalam satu rancangan undang-undang pokok.

Apa tugas yang paling mengesankan yang pernah ditangani? Menjawab pertanyaan menggelitik dari wartawan Kompas Julius Pour, mantan Duta Besar ini mengenang kembali sebuah peristiwa yang agak menggelikan: ”Mengantar Ratu Febiola dari Belgia ke Keraton Yogyakarta agar beliau segera punya putera. Baru kemudian saya tahu, jamu Jawa itu rumit dan tak sekali minum, beres, perlu ramuan untuk beberapa kali. Maka, sewaktu saya kembali ke Brussel, Sultan Yogya titip ramuan tersebut; mungkin hanya saya, Dubes yang membawa titipan jamu Jawa di kantong diplomatik ........” (Kompas, 4/10/2006).

Masih ada yang lebih menarik tentang Frans Seda sebagaimana diceriterakan Prof Dr Widjojo Nitisastro pada tanggal 6 Oktober 1996 ketika acara peluncuran buku ”Kekuasaan dan Moral” yang berlangsung di Jakarta, dalam rangka peringatan 70 tahun usia Frans Seda. Prof Widjojo adalah Ketua Tim Penasehat Ahli Ekonomi Presiden (1968-1973). Anggota-anggotanya antara lain Emil Salim, Frans Seda, Mohamad Sadli, Subroto, Ali Wardhana dan Sumitro Djojohadikusumo.

Widjojo menceriterakan bahwa pada setiap hari Kamis, Tim Penasehat ini melakukan rapat. Ada tiga anggota tim yang selalu datang terlambat, yaitu: (1) Emil Salim sering datang terlambat, dan meminta maaf atas keterlambatannya; (2) Mohamad Sadli, datang terlambat, minta maaf dan menerangkan sebab-sebab keterlambatannya; dan (3) Frans Seda, paling terlambat datang, tidak minta maaf dan tidak menjelaskan alasan keterlambatannya.

Demikian ringkasan sekilas tentang masa pengabdian Frans Seda di lingkungan pemerintahan sejak menjadi Menteri Perkebunan tahun 1964.



*****

Dalam karya kerasulan Gereja Katolik, Frans Seda memaknai penghayatan imannya dalam wujud empat karya besar di bawah ini:

Pertama, dengan sejumlah kawannya sebanyak 15 orang, terdiri dari unsur tokoh-tokoh eks IMKI (Ikatan Mahasiswa Katolik Indonesia, organisasi mahasiswa Katolik yang berstudi di Negeri Belanda), diwakili Frans Seda, unsur PMKRI yang diwakili Anton M. Moeliono, ISKA (Ikatan Sarjana Katolik) yang diketuai Drs Lo Siang Hien Ginting, dan tokoh Katolik seperti I.J. Kasimo dan Ben Mang Reng Say, mereka mendirikan Universitas Katolik Atma Jaya di Jakarta. Unika ini mulai beroperasi tanggal 1 Juni 1960, berarti tahun 2010 ini mencapai usia emas, 50 tahun. Sayang, Frans Seda telah meninggal lebih cepat lima bulan, tak dapat menyaksikan hari raya yang sedang dikemas. Dalam sambutannya ketika jenazah Frans Seda disemayamkan di Komplek Unika Atma Jaya selama lebih kurang satu jam, Rektor Unika Atma Jaya Prof Dr F.G. Winarno menegaskan bahwa Frans Seda adalah jiwa dan tokoh sentral dari universitas ini.

Kedua, Frans Seda bersama I.J. Kasimo, Jakob Oetomo dan P.K. Ojong adalah pendiri Harian Kompas, yang terbit pertama kalinya tanggal 28 Juni 1965. Kini sudah menyongsong usia 45 tahun. Ada mulut usil yang mempelesetkan Kompas sebagai “Komando Pastor”, atau “Komando Pak Seda”. Padahalnya semua orang tahu bahwa yang memegang komando atas pengelolaan harian terbesar tirasnya di Indonesia yang terbit dari dapur kerja di Jl Palmerah Selatan 26-28 Jakarta itu adalah P.K. Ojong (+ 31 Mei 1980) dan Jakob Oetomo.

Terbitnya harian Kompas ini dimulai dengan proses minta izin usaha, izin terbit dan izin cetak. Penuh rintangan dan liku-liku, walaupun sudah ada restu dari Presiden Soekarno, bantuan pimpinan Angkatan Darat dan berkat Uskup Agung Jakarta. PKI dan kaki tangannya yang menguasai birokrasi aparatur berusaha keras untuk menghadang penerbitan harian ini, antara lain dengan mematok syarat bahwa izin cetak dapat diberikan apabila sudah terdaftar 3.000 pelanggan. Menurut Frans Seda, ini benar-benar suatu pukulan yang bisa knock out!. Namun mereka lupa, bahwa masih ada satu kekuatan yang bernama Flores. Frans Seda segera berpaling ke Flores, mengimbau semua anggota Partai Katolik, guru-guru dan anggota Koperasi Kopra di Kabupaten Sikka, Ende dan Flores Timur. Dalam waktu singkat daftar pelanggan lebih dari 3.000 orang lengkap dengan alamat dan tandatangannya tiba di Jakarta. Nah, izin cetak segera diterbitkan penguasa militer, Kodam V Jaya.

Cita-cita Kompas, demikian Frans Seda, adalah menjadi sebuah monumen nasional dari hati nurani rakyat, sebagai sumbangsih para pemrakarsa dan pendirinya, dari profesi kewartawanan Indonesia dan dari korps wartawan pengasuhnya.

Ketiga, tanggal 24-30 Juli 1988 diselenggarakan Perayaan Nasional Tahun Maria di Maumere, ibukota Kabupaten Sikka. Perayaan akbar ini dihadiri 33 uskup Indonesia dengan utusan umat sekitar 3.000 orang dan umat Katolik sekitar 50.000 orang. Peristiwa keagamaan ini sangat berkesan dan mengangkat pamor Kabupaten Sikka ke pentas sejarah gereja dan dunia pariwisata. Selain kerja keras dari ratusan anggota panitia yang dipimpin mantan Bupati L. Say, tidaklah kurang peran yang dimainkan Frans Seda untuk menyukseskan perayaan tersebut.

Keempat, tanggal 11-12 Oktober 1989, Maumere, Kabupaten Sikka dan Flores mencatat sejarah. Hari-hari itu adalah kunjungan kegembalaan Sri Paus Yohanes Paulus II. Tidak lain, peristiwa bersejarah ini bisa terjadi karena kerja keras dan perjuangan Frans Seda bersama para uskup Indonesia yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), sehingga Sri Paus boleh berkunjung ke Jakarta, Yogyakarta, Maumere, Dili dan Medan.

”Mengapa Sri Paus ke Flores? Mengapa tidak ke Denpasar, Kupang, Makasar, Ambon atau kota besar lain di Indonesia Timur?” tanya wartawati Intisari Lily Wibisono kepada Frans Seda, Putra Flores itu menjawab dengan santai saja, ”Flores, pulau Katolik; 90% penduduk Flores adalah orang Katolik. Bangun pagi tanda salib, mau makan tanda salib, mau berenang di air laut tanda salib, mau tidur tanda salib, mau panjat pohon tanda salib, mau curi kelapa di kebun orang juga tanda salib. Bahkan batu-kayu, gunung dan lembah, babi-kambing, ikan di laut dan burung di udara, semuanya sudah Katolik”. Si wartawati yang Katolik itu tertawa terbahak-bahak. ”Dan mengapa di Maumere, bukan di Ende?” tanya wartawati yang cantik itu. ”Hanya soal praktis saja, bukan luar biasa. Kota kecil Maumere punya landasan udara yang memadai, fasilitas penginapan, transportasi, kantor pos, bank, rumah sakit bisa diandalkan, punya dua seminari tinggi, dan ada Gelora Samador”, ujar Frans Seda.

Itulah sekelumit cerita tentang karya Frans Seda dari sekian banyak yang telah dikerjakannya sepanjang hidupnya bagi kejayaan Gereja Katoli di Indonesia. ”Pro Exclesia et Patria”.

*****

Jelaslah sudah, tulisan ini tidak bermaksud lain dari pada menolak ide atau gagasan untuk memberi nama Frans Seda bagi Bandara Waioti. Sebab, peranan Frans Seda sebagai salah seorang arsitek ekonomi modern Indonesia, seorang politisi Katolik yang beken, piawai dan bermoral, pendekar di bidang pendidikan, pendiri sebuah harian ternama, penulis kolom surat kabar yang jempol, dan selaku pengukir rautan wajah Gereja Katolik di Indonesia, sudah dapat dinilai pada takaran yang berdimensi sejarah. Dengan demikian ketokohan Frans Seda tidak hanya dapat dihitung dan diukur dari sebuah ”proyek kecil” di Bandara Waioti Maumere.

Sudah lama ada pikiran yang masih tersimpan di benak banyak orang yang bersikap kritis dan rasional, hendak mengusulkan agar Bandara Waioti diabadikan dengan nama ”Don Thomas”. Raja Sikka ke-15 (1895-1954) itu adalah seorang pemimpin yang genius, brilian dan visioner yang telah memprakarsai dan merintis pembangunan bandar udara Waioti pada tahun 1943-1944. Tentang beliau, dengan seluruh karya dan jasanya, ide dan gagasannya, kelebihan dan kekurangannya, boleh dibaca buku ”Don Thomas, Peletak Dasar Sikka Membangun” (E.P. da Gomez & Oscar P. Mandalangi, Yapenthom Maumere, Percetakan Arnoldus Ende, 2003/2005/2006). Bahkan semasa hidupnya Frans Seda pernah berkata ”adalah tepat apabila Bandara Waioti diberi nama Don Thomas”.** (djo)




E.P. DA GOMEZ
Fungsionaris Partai Katolik (1961-1973), PDI (1973-1996) dan PDI Perjuangan (1996-kini).
www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Sunday 17 January 2010

Perkawinan Dalam Adat Sikka-Krowe





Persiapan Pembelisan, Pengantaran Belis dan Persiapan Perkawinan

Di dalam perkawinan adat Sikka pemberian belis atau mas kawin dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak perempuan merupakan proses penting di dalam menyatukan dua insan ke sebuah ikatan kekeluargaan. Artikel ini merupakan sambungan dari tulisan sebelumnya tentang proses perkawinan secara adat pada masyarakat beretnis Sikka-Krowe. Masyarakat Sikka-Krowe merupakan etnis terbesar di Kabupaten Sikka dari 6 etnis besar yang ada. Dari segi etnis, istilah Sikka-Krowe menunjuk pada suatu kelompok masyarakat yang tersebar mulai dari pantai selatan Kabupaten Sikka (Sikka Natar) menuju kearah timur kabupaten yakni Desa Tana Ai. Proses pembelisan dalam perkawinan adat beretnis Sikka seperti juga pada etnis-etnis lain di Kabupaten Sikka tergolong memakan waktu, tenaga dan biaya yang besar.
Pada dasarnya belis hanyalah sebuah simbol untuk menjaga kehormatan seorang wanita. Tapi belis juga mengundang kontroversi di kalangan generasi sekarang. Nah, kali ini www.inimaumere.com akan memaparkan secara bertahap tentang proses pembelisan dalam perkawinan adat Sikka-Krowe terlepas dari segala kontroversinya. Anda penasaran? Sekedar untuk diketahui kenapa tidak?


Tulisan dibawah ini telah memasuki tahapan Proses Persiapan dan Pemberian Belis. Sebelumnya, telah dipaparkan tahap pertama yakni Persiapan Perkawinan. Yang belum membaca tentang tahap Persiapan Perkawinan dalam adat Sikka-Krowe silakan membacanya disini... (klik aja jangan malu-malu ya hehe).

Persiapan Pembelisan

Tahap pertama dalam persiapan pembelisan adalah plage wae ara matang, yaitu berarti duduk bersila dan saling berhadapan. Pada tahap ini kedua belah pihak akan duduk bersama untuk membicarakan besarnya belis perkawinan. Proses pembicaraan untuk menentukan jenis dan jumlah belis ini disebut dengan taser.

Nah, pihak-pihak yang terlibat dalam penentuan belis :

(1) pihak laki-laki yang diwakili satu orang laki-laki dari pihak bapak, seorang laki-laki dari keluarga mama, dan dari pihak om (kera/tiu/mame);

(2) para pembawa barang barang: anak-anak muda dari pihak laki-laki. Barang-barang yang biasa dibawa adalah buah-buahan dan kue. Kelompok ini juga termasuk keluarga-keluarga dalam suku;

(3) seorang pemuda pembawa tuak dan ayam (tuamanu). Biasanya tuak yang dibawa sebanyak dua botol dan ayam jantan seekor. Biasanya rombongan pembicara belis berjumlah ganjil (5,7,9,...) karena ada harapan bahwa jumlah mereka akan digenapi oleh gadis yang mau dipinang.








Pada saat rombongan pembicara belis tiba di depan rumah pihak perempuan, mereka akan mengetuk pintu sebanyak tiga kali sambil bertanya: Ina ama re' ta une, ami lema ko lohor - mama-bapak dalam rumah kami naik atau turun? Pihak perempuan akan menjawab: Uhe die dang hading (pintu terbuka, tangga terpasang).

Itu berarti keluarga membuka hati agar anak gadis mereka dipinang oleh pihak laki-laki. Sebelum memulai pembicaraan para pembicara belis disuguhkan tuak (moke) dan lawar bura.
Lawar bura adalah sejenis kuah yang terdiri dari kelapa yang sudah dikukur dicampur dengan sedikit air panas dan ikan bakar yang sudah dirajang/diiris kecil-kecil.

Isi dan tujuan pembicaraan belis adalah agar pihak laki-laki mulai menyiapkan belis yang diminta pihak perempuan. Wujud belis yang biasa dibicarakan berupa gading, emas, uang dan kuda. Selama proses bincang-bincang itu berlangsung, kedua pihak tidak akan dihidangkan makanan untuk makan bersama. Acara makan bersama hanya akan terjadi kalau sudah ada kesepakatan bersama antara pihak laki-laki dan perempuan tentang besarnya belis. Tanda bahwa kata sepakat sudah dicapai dapat dikenal melalui teriakkan seekor babi; babi itu akan ditikam/ ditusuk dan ketika berteriak semua orang dalam rombongan pembicaraan belis itu akan tahu bahwa sudah dicapai kata sepakat soal belis.

Selanjutnya akan diadakan makan bersama. Separuh dari daging babi yang ditikam akan dimakan oleh pembicara belis dari pihak laki-laki dan separuhnya lagi dibawa pulang untuk diberikan kepada orang tua laki-laki. Daging yang dibawa ini bermakna demikian: (wawi dading tena inang gita, amang rena (babi tanda jadi untuk ibu melihat/bapak mendengar).
Ini berarti bahwa daging ini menjadi tanda nyata untuk keluarga pihak laki-laki tentang kesepakatan yang sudah dicapai. Selain babi pihak perempuan juga memberi makanan dan kue-kue kepada keluarga pihak lelaki.

Selanjutnya seluruh barang bawaan dari rumah perempuan saat taser wajib dibagikan ke semua keluarga dari pihak laki-laki. Hal ini menjadi pemberitahuan awal bahwa pertunangan sudah sah dan semua keluarga bersiap-siap untuk membantu dalam proses-proses selanjutnya.

Pengantaran Belis

Acara pengantaran belis dari pihak keluarga laki-laki ke pihak perempuan akan dilakukan secara besar-besaran. Dalam Adat Sikka biasa disebut tung gete. Nah, dari pihak para pembawa belis tadi biasanya terdiri dari delegasi taser (delegasi yang membicarakan jenis dan jumlah belis); para pengeret kuda dan pembawa gading; orang yang membawa makanan berupa kue-kue, pisang bertandan-tandan, pisang masak dalam keranjang, padi, jagung yang bertongkol, ayam jantan, pisang bertandan dan ikan kering besar (tama uhe teker); serta pembawa tua¬manu (ayam dan moke).

Pihak perempuan pun akan membalas barang-barang dari pihak laki-laki berupa empat ekor babi. Empat ekor babi ini menjadi simbol empat malam (gumang hutu). Selain babi pihak perempuan juga akan memberikan seekor kambing jantan. Kambing ini dimaksudkan untuk mereka yang tidak makan (pemali) daging babi atau dalam bahasa Sikka disebut lurung pireng.






Juga diberikan moke, sarung, baju (utang-labu) dan beras (pare). Kewajiban untuk menghantar belis tepat pada waktunya akan menjadi pertanda awal bahwa si laki-laki mampu untuk menghidupi calon isteri dan keluarganya di kemudian hari. Keren kan?hehehe.

Selain tung gete dikenal juga diat/tiat makok pane ratong, yang artinya pemberian belis kecil-kecilan berupa makanan dan minuman dalam kehidupan sehari-sehari seperti ikan, daging dll. Pemberian kecil-kecilan ini merupakan wujud tanggung jawab pihak lelaki kepada tunangannya, getooo...

Persiapan Perkawinan

Setelah penentuan waktu/ tanggal nikah disepakati pada waktu taser maka kedua belah pihak akan melakukan persiapan-persiapan. Di pihak perempuan, persiapan-persiapan dilakukan dengan membuat bolo plagar,ini kue adat lho yang khusus dinikmati pada waktu pesta nikah nantinya.

Oya, bahan-bahan untuk membuat kue adat bolo plagar ini biasanya disiapkan oleh pihak laki-laki dengan membawa beras. Proses pembuatan bolo plagar biasanya didahului dengan menumbuk tepung. Ketika menumbuk tepung ada sebuah alu yang dililit dengan kulit jagung atau bahasa Sikkanya gu'ung ina ama. Orang yang biasa memegang alu itu adalah salah seorang perempuan yang mewakili keluarga paman (dede/bhs.sikka) sang gadis.

Nah, mendekati hari perkawinan adat, biasanya keluarga dekat pihak perempuan akan membawa baju, sarung, beras /pare gala ha (50 kg) dan moke/tua takar ha (+15-18 botol).
Keluarga agak jauh akan membawa beras dan moke dengan takaran: beras lima liter yang dsimpan dalam wadah yang dinamakan pare rakang ha dan moke dua botol yang disimpan dalam wadah yang biasa disebut tua polang rua. Keluarga agak dekat menyiapkan pare lepong ha, tua polang ha. Sedangkan pihak yang makan belis (mendapatkan mas kawin pihak perempuan) disebut Tiu (om/ paman). Tiu biasanya membawa seekor babi besar dan moke satu kumbang/tua kumbang ha (+25-40 botol), kue-kue, baju, sarung, dll.

Pada pihak laki-laki, keluarga jauh (me wari blawir) dan keluarga dekat (me wari lu'ur) membawa seekor babi besar dan moke kumbang ha (moke satu kumbang). Ina-ama (dede/om dan tante) akan menambah lagi kalar gelang (gelang gading) dan perlengkapan kamar yang disebut kama tanding (kasur, bantal dan kulambu).

Sedangkan pihak perempuan kemudian akan mengantar makanan dan minuman siap saji untuk pihak laki-laki yang berasal dari luar kampung yang agak jauh sebab mereka menginap di salah satu rumah pihak perempuan. Makanan siap saji ini sebagai ucapan selamat datang.

Pada malam hari pihak perempuan juga membuat persiapan dengan hiasan-hiasan dalam tenda. Pihak laki-laki akan memberikan seekor ayam dan dua botol moke kepada para penghias tenda. Pemberian ini dinamakan tua-manu karang bunga. Tua manu dimakan hanya oleh para penghias karena tidak masuk dalam rumah, getooo..

Nah, nanti di depan pintu utama masuk tenda ditanam pohon pisang yang bertandan dan berjantung (mu' karang bunga). Artinya ini merupakan lambang kesuburan. Buah pisang pun harus sudah matang dan siap untuk dimakan.

Pas malam itu juga pihak wanita menjemput seorang ibu untuk menjaga kamar pengantin yang dalam bahasa Sikka disebut a'a gete jaga ola Wang. Ibu ini adalah tanta dari pengantin laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar kamar pengantin tidak boleh dimasuki oleh orang-orang yang tak berkepentingan dan sekaligus menghindari gangguan ata u'eng (suanggi/roh jahat).

Pada malam itu secara istimewa dimainkan sebuah musik khusus yang disebut dengan sora. Sora adalah pantun (syair-syair bermakna) yang dinyanyikan dengan hanya diiringi oleh sebuah gendang. Sora diisi juga dengan tarian-tarian. Proses-proses ini sungguh indah jika dilaksanakan sesuai dengan adat.

Demikian proses Persiapan Perkawinan dalam Adat Etnis Sikka. Lalu bagaimanakah dengan Hari Peresmian Perkawinan? Tentu akan banyak proses adat yang menarik dan layak untuk diketahui. Kami akan memaparkan selanjutnya. So, pastikan hanya di www.inimaumere.com


Disadur dari tulisan Alex Sila,S.Fil dan Agustinus Joram,S.Fil, Puslitbang STFK (Sekolah Tinggi Filsafat Khatolik) Ledalero,Kabupaten Sikka,2008.

SETIAP PENGUTIPAN ARTIKEL INI HARUS MENYERTAKAN NAMA PENULIS DAN SUMBER TULISAN

www.inimaumere.com



Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: 01.10 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---