Oleh karena itu dalam suatu percakapan lepas di rumah kediamannya Jl Don Thomas Maumere, Frans Seda pernah berkata dengan tulus dan polos “adalah tepat kalau Bandara Waioti diberi nama Don Thomas”
Kabupaten Sikka juga harus memberi penghargaan dan penghormatan kepada L. Say, pemimpin yang sudah berjasa bagi kabupaten ini. Torehlah namanya di Pelabuhan Laut Maumere dengan nama L. Say. Berilah nama jalan kepada banyak tokoh Kabupaten Sikka yang berjasa secara nasional dan regional seperti: Ben Mangreng Say, Bung Kanis, P.H. Embuiru, P. Piet Petu, P. Osiaz Fernandez, Mgr Abdon Longginus da Cunha, P.J. Bapa Mekeng, Pieter Pedor, Fredrik Djati, Drs A.M. Konterius dan lain-lain.
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
*Oleh : E.P da Gomez
DALAM catatan sejarah perjalanan Kabupaten Sikka, bandar udara (bandara) Maumere yang terletak di sebuah “klo’ang” bernama Waioti, mulai dibangun pada masa pemerintahan militerisme Jepang, tahun 1943-1944. Tatkala itu, Don Yosephus Thomas Ximenes da Silva (1895-1954), Raja Sikka ke-15 (1920-1954) bertindak menunjuk lokasinya dan mengerahkan rakyat dari kampung-kampung secara bergilir turun bekerja membangun landasan udara yang hendak digunakan penguasa Jepang untuk kepentingan militer dan perang. Bandara ini dibom sekutu tanggal 28 Juli 1944. Jepang membangun juga sebuah lapangan udara di Tanjung Darat, di pantai utara Kecamatan Talibura, yang kini sudah menjadi kebun rakyat.
Sesudah Perang Dunia II usai, Bandara Waioti dengan kondisinya yang sederhana digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan pelayanan publik. Hanya dengan lapangan berumput saja dan fasilitas terminalnya sangat minim, namun menjadi pusat pelayanan udara untuk pemerintah dan masyarakat seluruh Flores, jauh sebelum adanya lapangan udara di Ruteng, Ende, Labuan Bajo, Bajawa, Larantuka dan Lewoleba, yang mulai dibangun secara bertahap sejak awal tahun tujuhpuluhan.
Pada awal tahun 1971, Bupati Sikka L. Say (1967-1977) memprakarsai pembenahan fasilitas bandara Waioti, dengan pekerjaan antara lain memindahkan ruas jalan lama dekat jembatan Waioti ke ruas jalan sekarang, dan membangun berbagai fasilitas terminal. Berbarengan dengan Frans Seda menjadi Menteri Perhubungan (1968-1973), L. Say menggunakan kesempatan yang baik itu, menarik perhatian Frans Seda membangun berbagai fasilitas pelabuhan udara yang lebih representatif. Menhub Frans Seda memenuhi dengan semangat akan tekad L. Say. Departemen Perhubungan segera mengembalikan seluruh biaya yang sudah dikeluarkan pemerintah Kabupaten Sikka untuk pembangunan awal. Selanjutnya Menhub Frans Seda memberikan perhatian untuk pembangunan berbagai fasilitas sesuai standar kebutuhan sebuah bandara tingkat kabupaten.
Dari periode ke periode pemerintahan, sejak Bupati L. Say hingga Bupati Sosimus Mitang, upaya peningkatan fasilitas bandara Waioti selalu mendapat perhatian, baik melalui alokasi dana APBD Kabupaten Sikka, maupun dari hasil perjuangan melalui biaya APBN, sehingga kondisi landasan dan fasilitas bandara Waioti sudah semakin baik, meskipun kualitas dan penampilannya masih di bawah bandara El Tari Kupang.
Semenjak hadirnya di bumi Kabupaten Sikka, bandara ini tidak punya nama. “Waioti” itu hanyalah nama sebuah “klo’ang”, sebuah perkampungan kecil dengan nama pribumi setempat (wai = kali, sungai; oti = biawak). Di situ memang ada sebuah kali kering, yang mungkin saja pada masa yang lalu mengalir air keruh, tempat biawak-biawak berenang dan berkumpul ramai.
Sejak tahun 1984, pada masa pemerintahan Bupati Sikka Drs Daniel Woda Pale, sudah mengudara aspirasi dan semangat untuk memberi nama Don Thomas bagi bandara Waioti. Namun semangat itu tidak berlanjut karena Don Thomas adalah seorang tokoh kontroversial dalam nuansa kepolitikan lokal. Hasrat untuk membaptis nama Don Thomas terhenti, belum bisa diwujudnyatakan, menanti timing yang tepat.
Mengapa Don Thomas? Don Thomas adalah peletak dasar pembangunan Kabupaten Sikka. Kenyataan ini tak dapat dipungkiri oleh siapa pun. Raja Sikka ke-15 ini (1920-1954), dalam kurun waktu 30 tahun masa pemerintahannya, telah membangun ruas jalan dan jembatan, ”proyek” air minum dalam bentuk sumur/perigi di beberapa kampung, pipa air minum dari Wairpuang ke Kota Maumere, melanjutkan budidaya penanaman kelapa yang sudah dirintis raja terdahulu, mendirikan pasar di lokasi yang strategis, pembangunan di bidang pertanian dan irigasi.
Di bidang pendidikan, Don Thomas bekerja sama dengan Pimpinan Gereja Katolik membangun sekolah-sekolah desa, mendirikan Yayasan Pendidikan Thomas (Yapenthom) yang mengawali sebuah SMP yang terkenal di Flores pada tahun 1949, menunjuk lokasi Ledalero di mana Gereja Katolik mendirikan Seminari Tinggi Ledalero, mendukung pembangunan awal rumahsakit Lela, dan merancang peta pembangunan kota Maumere. Semuanya itu boleh dibaca dalam buku “Don Thomas, Peletak Dasar Sikka Membangun” (E.P. da Gomez & Oscar P. Mandalangi, Yapenthom Maumere, 2003/2005/2006).
Sangatlah tepat kesan Tasuku Sato, Komandan Angkatan Laut Kerajaan Jepang yang bertugas di Flores tahun 1943-1945, mengagumi Don Thomas, antara lain : ”Raja Sikka merupakan tokoh yang amat penting di Flores. Bukan saja karena daerah Sikka yang dibawahinya memang lebih terkemuka dari yang lainnya, tapi karena dia juga adalah tokoh yang berwibawa. Kelihatannya setengah tua, cermat dan bijaksana. Saya sangat berkesan akan sikapnya yang meyakinkan dan wajahnya yang coklat dan keren yang menunjukkan bahwa ia seorang yang berkepribadian dan sungguh-sungguh” (dalam buku “I Remember Flores” karya tulis Kapten Tasuku Sato & P. Mark Tennien, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Thom Wignyanta dengan judul “Aku Terkenang Flores” Penerbit Nusa Indah Ende, 1976/2005).
Apa yang telah dikerjakan selama 30 tahun masa pemerintahan Don Thomas, jika dilihat dengan kacamata masa depan, sesungguhnya merupakan bagian yang mendasar dari tahap-tahap awal bagi terwujudnya berbagai gagasan dan cita-cita pembangunan masa kini dan masa depan. Kita boleh menyimpulkan bahwa sejarah sangat sabar, dan bahwa generasi yang datang silih berganti akan bisa menilai tentang seorang Don Thomas sebagai pemimpin memang bertugas untuk melihat sangat jauh ke depan. Atau barangkali ia memang bukan politikus seperti pemahaman yang dianut James Freeman: “Seorang politikus memikirkan soal pemilu yang akan datang, tapi seorang negarawan memikirkan generasi yang akan datang”.
Jauh dari pretensi untuk membanggakan seorang Don Thomas, atau berusaha untuk menghapus jejak kekurangannya dalam bobot kepemimpinannya pada waktu lampau (ia dicap feodalis dan nepotis yang kental), namun patut diakui dan disadari bahwa gagasan dan pelaksanaan pembangunan yang diletakkan Don Thomas sungguh strategis dan tidak pernah usang sampai kini. Ketokohannya tampak hadir secara meyakinkan karena kemampuannya menempa diri, menerobos pagar besi yang menghadang, dan dengan penuh keteguhan mengusung panji-panji keutamaan atas cita-citanya yang luhur berdimensi masa depan.
Justeru itu, Frans Seda dalam kata pengantar buku “Don Thomas Peletak Dasar Sikka Membangun”, menulis sebagai berikut: “Raja Sikka Don Thomas adalah seorang tokoh kontroversial dan multidimensi. Seorang yang memiliki bakat-bakat dan kemampuan kepemimpinan secara alami. Seorang pandai besi, yang pandai pula menempa suatu pemerintahan daerah secara modern. Seorang raja yang mampu memimpin kerajaannya menjadi solid sebagai kesatuan yang kuat. Beliau adalah pula seorang modernisator yang memiliki wawasan-wawasan dan persepsi-persepsi yang luas dan maju ke depan”.
Oleh karena itu dalam suatu percakapan lepas di rumah kediamannya Jl Don Thomas Maumere, Frans Seda pernah berkata dengan tulus dan polos “adalah tepat kalau Bandara Waioti diberi nama Don Thomas”.
Itulah penilaian Frans Seda, seorang sarjana ekonomi tamatan Katholieke Economische Hogeschool Tilburg, Belanda (1956) terhadap Don Thomas, seorang raja yang hanya menamatkan pendidikan Standaarschool kelas lima di Lela (1910) dan pada usia 15 tahun bekerja keras sebagai tukang kayu dan tukang besi di bengkel Misi di Lela.
Frans Seda, demikian pula V.B. da Costa dan Ben Mang Reng Say, trio Kabupaten Sikka berkaliber nasional pada zamannya, adalah rahmat Tuhan bagi rakyat dan bangsa Indonesia melalui bidang politik sebagai pilihannya dan moralitas Katolik sebagai landasannya. Bagi masyarakat Flores, Seda-Sentis-Say, adalah personifikasi demokrasi dan integrasi etnis Flores dan golongan Katolik ke tengah kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Kita semua tahu bahwa Frans Seda adalah seorang tokoh Partai Katolik di tingkat nasional (1956-1973) dan Penasehat PDI dan PDI Perjuangan (1973-20009). Semenjak pulang dari studinya di Belanda (1956), hampir seluruh kegiatan Frans Seda diserap dalam “karya kerasulan” Partai Katolik. Naiknya beliau ke jenjang tertinggi partai kontas itu, banyak sangkut pautnya dengan kemelut politik nasional yang bergejolak sejak akhir tahun 1956, suatu peralihan yang menentukan sejarah Indonesia. Di sinilah berawal karier Frans Seda sebagai pemimpin tertinggi Partai Katolik, dan berbarengan dengan itu Presiden Soekarno mengangkat beliau menjadi Menteri Perkebunan (1964-1966). Ketika terjadi peralihan kekuasaan ke tangan Soeharto, Frans Seda menduduki kursi pemerintahan selama 12 tahun pada masa awal Orde Baru sebagai Menteri Pertanian merangkap Menteri Perkebunan (1966), Menteri Keuangan (1966-1968), Menteri Perhubungan & Pariwisata (1968-1973), Duta Besar RI untuk Belgia, Luxemburg dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE, 1973-1976), dan terakhir sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA, 1976-1978).
Dalam penugasan sebagai pejabat negara dan kiprahnya sebagai politisi nasional, Frans Seda telah berbuat banyak untuk bangsa dan negara. Selain itu, beliau adalah salah seorang yang mendirikan Unika Atma Jaya Jakarta (1960), menerbitkan harian Kompas (1965), mendirikan Rumahsakit Atma Jaya di Pluit Jakarta (1973), dan berbagai yayasan/lembaga pendidikan dan ekonomi. Frans Seda juga terkenal sebagai kolumnis suratkabar yang cerdas dengan tulisan-tulisannya yang sangat menarik, menyentuh dan menukik.
Antara tahun 1956 sampai 1971 saya mendapat kesempatan dalam berbagai pertemuan dan kegiatan dengan Pak Frans Seda. Mulai dekat dan akrab sejak Pemilu 1971, ketika saya terlibat dalam kampanye “kontas” untuk memenangkan Partai Katolik di Kabupaten Sikka. Sejak itu terjalin keakraban dan persaudaraan sampai dengan wafatnya tanggal 31 Desember 2009. Tiga puluh delapan tahun, bukan waktu yang pendek. Banyak orang mengenal dan dikenal Frans Seda, khususnya di Kabupaten Sikka ini. Kecuali keluarga serumpunnya, mungkin di Sikka tidak ada sepuluh orang yang sangat akrab dengan beliau. Saya termasuk dalam sepuluh orang itu. Sebab itu saya terdorong untuk menulis sebuah buku kecil setebal 135 halaman untuk menginformasikan kepada khalayak tentang siapa itu Frans Seda, dalam judul “Drs Frans Seda 80 Tahun: Catatan Perjalanan Seorang Pejuang” (Yayasan Kasimo Cabang Sikka & Yayasan Dobo Nualolo Maumere, September 2006). Buku itu bukanlah sebuah biografi. Lebih tepat disebut saja sebagai catatan sekilas tentang perjalanan hidup, karya dan perjuangan tokoh tiga zaman itu. Karena isi buku ini saya angkat dari pengalaman bersama beliau, sambil memetik, merangkum, meringkas dan mengintisarikan dari banyak sumber naskah/buku, dengan tekad yang tulus dan niat yang lurus untuk memaknai HUT ke-80 ekonom senior itu, tanggal 4 Oktober 2006.
Di sisi lain, saya bersama Oscar P. Mandalangi menulis sebuah buku biografi Don Thomas setebal hampir 400 halaman. Buku yang terbit tahun 2003, lalu dicetak ulang tahun 2005 dan 2006 itu, didukung dengan komentar dari 16 orang tokoh Kabupaten Sikka yang tahu dan dekat dengan Don Thomas sebagai keluarga, politisi, tokoh masyarakat, bahkan lawan politik Don Thomas.
Banyak suara-suara sumbang terhadap kepribadian, ketokohan dan kepemimpinan Don Thomas. Benturan dan konflik kepentingan dalam konteks riwayat seorang tokoh dan kepemimpinannya dalam sejarah perjalanan Kabupaten Sikka ini, dengan latar belakang dan persepsi yang berbeda, adalah hal yang wajar dan lumrah sebagai bagian dari sifat manusia, apalagi dalam sebuah negeri yang menganut paham demokrasi. Masalahnya, bagaimana kita berkemauan untuk menempatkan soal secara lebih proporsional. Siapapun mempunyai hak untuk tidak menyukai Don Thomas. Namun, siapapun juga tidak punya wewenang yang sah untuk menggelapkan peran dan prestasi Don Thomas dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan pembangunan Kabupaten Sikka ini pada masa pemerintahannya. P. Dr Paul Budi Kleden, SVD, dosen STFK Ledalero dalam orasi ilmiahnya pada tanggal 29 Desember 2003 di Hotel Maiwali Maumere, antara lain menegaskan “Don Thomas adalah peletak dasar Sikka membangun. Dia bukanlah satu-satunya tokoh pembangun Sikka. Dia meletakkan dasar mental membangun. Dengan itu setiap warga masyarakat Sikka dalam berbagai peran, kedudukan dan kemungkinannya, diajak untuk menjadi pembangun Sikka, pelaku sejarah di kabupaten ini”.
Untuk membuat sejarah terhadap sejarah perjalanan Kabupaten Sikka, kita dihadapkan dengan tugas sejarah untuk memberi nama Bandara Waioti. Dua tokoh sejarah terkemuka yang menjadi kebanggaan rakyat Kabupaten Sikka, tokoh yang menjadi idola banyak orang, Don Thomas atau Frans Seda menjadi pilihan nama tersebut.
Don Thomas adalah seorang raja yang feodalis, hidup dalam zaman yang memiliki peluang dan fasilitas yang sangat minim, namun telah menjadi pemrakarsa dan perintis pembangunan Bandara Waioti. Ia seorang pionir. Sementara Frans Seda adalah pelanjut, memiliki gagasan yang cemerlang dan modernisator pembangunan. Frans Seda sebagai salah seorang arsitek ekonomi modern Indonesia, seorang politisi Katolik yang beken, piawai dan bermoral, pendekar di bidang pendidikan, pendiri harian Kompas yang ternama, penulis kolom suratkabar yang jempol, dan selaku pengukir rautan wajah Gereja Katolik di Indonesia, sudah dapat dinilai pada takaran nasional yang berdimensi sejarah.
Sebab itu, apabila Pemerintah dan DPRD Kabupaten Sikka hendak membuat keputusan tentang nama Bandara Waioti, hendaknya didahului dengan membuka sebuah forum pembicaraan dan pembahasan yang mendalam dan luas dengan mengikut sertakan banyak komponen masyarakat Kabupaten Sikka. Dengan demikian keputusan yang akan diambil, benar-benar melalui pengamatan dan penilaian yang saksama, cermat, arif dan bijak, aspiratif dan dapat dipertanggungjawabkan kepada sejarah.
Kabupaten Sikka juga harus memberi penghargaan dan penghormatan kepada L. Say, pemimpin yang sudah berjasa bagi kabupaten ini. Torehlah namanya di Pelabuhan Laut Maumere dengan nama L. Say. Berilah nama jalan kepada banyak tokoh Kabupaten Sikka yang berjasa secara nasional dan regional seperti: Ben Mangreng Say, Bung Kanis, P.H. Embuiru, P. Piet Petu, P. Osiaz Fernandez, Mgr Abdon Longginus da Cunha, P.J. Bapa Mekeng, Pieter Pedor, Fredrik Djati, Drs A.M. Konterius dan lain-lain.
Dalam mengambil keputusan politik yang sangat mendasar, hati nurani kita harus bersih dari kepentingan apapun dan jujur terhadap sejarah.
Selengkapnya...
Kabupaten Sikka juga harus memberi penghargaan dan penghormatan kepada L. Say, pemimpin yang sudah berjasa bagi kabupaten ini. Torehlah namanya di Pelabuhan Laut Maumere dengan nama L. Say. Berilah nama jalan kepada banyak tokoh Kabupaten Sikka yang berjasa secara nasional dan regional seperti: Ben Mangreng Say, Bung Kanis, P.H. Embuiru, P. Piet Petu, P. Osiaz Fernandez, Mgr Abdon Longginus da Cunha, P.J. Bapa Mekeng, Pieter Pedor, Fredrik Djati, Drs A.M. Konterius dan lain-lain.
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
*Oleh : E.P da Gomez
DALAM catatan sejarah perjalanan Kabupaten Sikka, bandar udara (bandara) Maumere yang terletak di sebuah “klo’ang” bernama Waioti, mulai dibangun pada masa pemerintahan militerisme Jepang, tahun 1943-1944. Tatkala itu, Don Yosephus Thomas Ximenes da Silva (1895-1954), Raja Sikka ke-15 (1920-1954) bertindak menunjuk lokasinya dan mengerahkan rakyat dari kampung-kampung secara bergilir turun bekerja membangun landasan udara yang hendak digunakan penguasa Jepang untuk kepentingan militer dan perang. Bandara ini dibom sekutu tanggal 28 Juli 1944. Jepang membangun juga sebuah lapangan udara di Tanjung Darat, di pantai utara Kecamatan Talibura, yang kini sudah menjadi kebun rakyat.
Sesudah Perang Dunia II usai, Bandara Waioti dengan kondisinya yang sederhana digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan pelayanan publik. Hanya dengan lapangan berumput saja dan fasilitas terminalnya sangat minim, namun menjadi pusat pelayanan udara untuk pemerintah dan masyarakat seluruh Flores, jauh sebelum adanya lapangan udara di Ruteng, Ende, Labuan Bajo, Bajawa, Larantuka dan Lewoleba, yang mulai dibangun secara bertahap sejak awal tahun tujuhpuluhan.
Pada awal tahun 1971, Bupati Sikka L. Say (1967-1977) memprakarsai pembenahan fasilitas bandara Waioti, dengan pekerjaan antara lain memindahkan ruas jalan lama dekat jembatan Waioti ke ruas jalan sekarang, dan membangun berbagai fasilitas terminal. Berbarengan dengan Frans Seda menjadi Menteri Perhubungan (1968-1973), L. Say menggunakan kesempatan yang baik itu, menarik perhatian Frans Seda membangun berbagai fasilitas pelabuhan udara yang lebih representatif. Menhub Frans Seda memenuhi dengan semangat akan tekad L. Say. Departemen Perhubungan segera mengembalikan seluruh biaya yang sudah dikeluarkan pemerintah Kabupaten Sikka untuk pembangunan awal. Selanjutnya Menhub Frans Seda memberikan perhatian untuk pembangunan berbagai fasilitas sesuai standar kebutuhan sebuah bandara tingkat kabupaten.
Dari periode ke periode pemerintahan, sejak Bupati L. Say hingga Bupati Sosimus Mitang, upaya peningkatan fasilitas bandara Waioti selalu mendapat perhatian, baik melalui alokasi dana APBD Kabupaten Sikka, maupun dari hasil perjuangan melalui biaya APBN, sehingga kondisi landasan dan fasilitas bandara Waioti sudah semakin baik, meskipun kualitas dan penampilannya masih di bawah bandara El Tari Kupang.
Semenjak hadirnya di bumi Kabupaten Sikka, bandara ini tidak punya nama. “Waioti” itu hanyalah nama sebuah “klo’ang”, sebuah perkampungan kecil dengan nama pribumi setempat (wai = kali, sungai; oti = biawak). Di situ memang ada sebuah kali kering, yang mungkin saja pada masa yang lalu mengalir air keruh, tempat biawak-biawak berenang dan berkumpul ramai.
Sejak tahun 1984, pada masa pemerintahan Bupati Sikka Drs Daniel Woda Pale, sudah mengudara aspirasi dan semangat untuk memberi nama Don Thomas bagi bandara Waioti. Namun semangat itu tidak berlanjut karena Don Thomas adalah seorang tokoh kontroversial dalam nuansa kepolitikan lokal. Hasrat untuk membaptis nama Don Thomas terhenti, belum bisa diwujudnyatakan, menanti timing yang tepat.
Mengapa Don Thomas? Don Thomas adalah peletak dasar pembangunan Kabupaten Sikka. Kenyataan ini tak dapat dipungkiri oleh siapa pun. Raja Sikka ke-15 ini (1920-1954), dalam kurun waktu 30 tahun masa pemerintahannya, telah membangun ruas jalan dan jembatan, ”proyek” air minum dalam bentuk sumur/perigi di beberapa kampung, pipa air minum dari Wairpuang ke Kota Maumere, melanjutkan budidaya penanaman kelapa yang sudah dirintis raja terdahulu, mendirikan pasar di lokasi yang strategis, pembangunan di bidang pertanian dan irigasi.
Di bidang pendidikan, Don Thomas bekerja sama dengan Pimpinan Gereja Katolik membangun sekolah-sekolah desa, mendirikan Yayasan Pendidikan Thomas (Yapenthom) yang mengawali sebuah SMP yang terkenal di Flores pada tahun 1949, menunjuk lokasi Ledalero di mana Gereja Katolik mendirikan Seminari Tinggi Ledalero, mendukung pembangunan awal rumahsakit Lela, dan merancang peta pembangunan kota Maumere. Semuanya itu boleh dibaca dalam buku “Don Thomas, Peletak Dasar Sikka Membangun” (E.P. da Gomez & Oscar P. Mandalangi, Yapenthom Maumere, 2003/2005/2006).
Sangatlah tepat kesan Tasuku Sato, Komandan Angkatan Laut Kerajaan Jepang yang bertugas di Flores tahun 1943-1945, mengagumi Don Thomas, antara lain : ”Raja Sikka merupakan tokoh yang amat penting di Flores. Bukan saja karena daerah Sikka yang dibawahinya memang lebih terkemuka dari yang lainnya, tapi karena dia juga adalah tokoh yang berwibawa. Kelihatannya setengah tua, cermat dan bijaksana. Saya sangat berkesan akan sikapnya yang meyakinkan dan wajahnya yang coklat dan keren yang menunjukkan bahwa ia seorang yang berkepribadian dan sungguh-sungguh” (dalam buku “I Remember Flores” karya tulis Kapten Tasuku Sato & P. Mark Tennien, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Thom Wignyanta dengan judul “Aku Terkenang Flores” Penerbit Nusa Indah Ende, 1976/2005).
Apa yang telah dikerjakan selama 30 tahun masa pemerintahan Don Thomas, jika dilihat dengan kacamata masa depan, sesungguhnya merupakan bagian yang mendasar dari tahap-tahap awal bagi terwujudnya berbagai gagasan dan cita-cita pembangunan masa kini dan masa depan. Kita boleh menyimpulkan bahwa sejarah sangat sabar, dan bahwa generasi yang datang silih berganti akan bisa menilai tentang seorang Don Thomas sebagai pemimpin memang bertugas untuk melihat sangat jauh ke depan. Atau barangkali ia memang bukan politikus seperti pemahaman yang dianut James Freeman: “Seorang politikus memikirkan soal pemilu yang akan datang, tapi seorang negarawan memikirkan generasi yang akan datang”.
Jauh dari pretensi untuk membanggakan seorang Don Thomas, atau berusaha untuk menghapus jejak kekurangannya dalam bobot kepemimpinannya pada waktu lampau (ia dicap feodalis dan nepotis yang kental), namun patut diakui dan disadari bahwa gagasan dan pelaksanaan pembangunan yang diletakkan Don Thomas sungguh strategis dan tidak pernah usang sampai kini. Ketokohannya tampak hadir secara meyakinkan karena kemampuannya menempa diri, menerobos pagar besi yang menghadang, dan dengan penuh keteguhan mengusung panji-panji keutamaan atas cita-citanya yang luhur berdimensi masa depan.
Justeru itu, Frans Seda dalam kata pengantar buku “Don Thomas Peletak Dasar Sikka Membangun”, menulis sebagai berikut: “Raja Sikka Don Thomas adalah seorang tokoh kontroversial dan multidimensi. Seorang yang memiliki bakat-bakat dan kemampuan kepemimpinan secara alami. Seorang pandai besi, yang pandai pula menempa suatu pemerintahan daerah secara modern. Seorang raja yang mampu memimpin kerajaannya menjadi solid sebagai kesatuan yang kuat. Beliau adalah pula seorang modernisator yang memiliki wawasan-wawasan dan persepsi-persepsi yang luas dan maju ke depan”.
Oleh karena itu dalam suatu percakapan lepas di rumah kediamannya Jl Don Thomas Maumere, Frans Seda pernah berkata dengan tulus dan polos “adalah tepat kalau Bandara Waioti diberi nama Don Thomas”.
Itulah penilaian Frans Seda, seorang sarjana ekonomi tamatan Katholieke Economische Hogeschool Tilburg, Belanda (1956) terhadap Don Thomas, seorang raja yang hanya menamatkan pendidikan Standaarschool kelas lima di Lela (1910) dan pada usia 15 tahun bekerja keras sebagai tukang kayu dan tukang besi di bengkel Misi di Lela.
Frans Seda, demikian pula V.B. da Costa dan Ben Mang Reng Say, trio Kabupaten Sikka berkaliber nasional pada zamannya, adalah rahmat Tuhan bagi rakyat dan bangsa Indonesia melalui bidang politik sebagai pilihannya dan moralitas Katolik sebagai landasannya. Bagi masyarakat Flores, Seda-Sentis-Say, adalah personifikasi demokrasi dan integrasi etnis Flores dan golongan Katolik ke tengah kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Kita semua tahu bahwa Frans Seda adalah seorang tokoh Partai Katolik di tingkat nasional (1956-1973) dan Penasehat PDI dan PDI Perjuangan (1973-20009). Semenjak pulang dari studinya di Belanda (1956), hampir seluruh kegiatan Frans Seda diserap dalam “karya kerasulan” Partai Katolik. Naiknya beliau ke jenjang tertinggi partai kontas itu, banyak sangkut pautnya dengan kemelut politik nasional yang bergejolak sejak akhir tahun 1956, suatu peralihan yang menentukan sejarah Indonesia. Di sinilah berawal karier Frans Seda sebagai pemimpin tertinggi Partai Katolik, dan berbarengan dengan itu Presiden Soekarno mengangkat beliau menjadi Menteri Perkebunan (1964-1966). Ketika terjadi peralihan kekuasaan ke tangan Soeharto, Frans Seda menduduki kursi pemerintahan selama 12 tahun pada masa awal Orde Baru sebagai Menteri Pertanian merangkap Menteri Perkebunan (1966), Menteri Keuangan (1966-1968), Menteri Perhubungan & Pariwisata (1968-1973), Duta Besar RI untuk Belgia, Luxemburg dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE, 1973-1976), dan terakhir sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA, 1976-1978).
Dalam penugasan sebagai pejabat negara dan kiprahnya sebagai politisi nasional, Frans Seda telah berbuat banyak untuk bangsa dan negara. Selain itu, beliau adalah salah seorang yang mendirikan Unika Atma Jaya Jakarta (1960), menerbitkan harian Kompas (1965), mendirikan Rumahsakit Atma Jaya di Pluit Jakarta (1973), dan berbagai yayasan/lembaga pendidikan dan ekonomi. Frans Seda juga terkenal sebagai kolumnis suratkabar yang cerdas dengan tulisan-tulisannya yang sangat menarik, menyentuh dan menukik.
Antara tahun 1956 sampai 1971 saya mendapat kesempatan dalam berbagai pertemuan dan kegiatan dengan Pak Frans Seda. Mulai dekat dan akrab sejak Pemilu 1971, ketika saya terlibat dalam kampanye “kontas” untuk memenangkan Partai Katolik di Kabupaten Sikka. Sejak itu terjalin keakraban dan persaudaraan sampai dengan wafatnya tanggal 31 Desember 2009. Tiga puluh delapan tahun, bukan waktu yang pendek. Banyak orang mengenal dan dikenal Frans Seda, khususnya di Kabupaten Sikka ini. Kecuali keluarga serumpunnya, mungkin di Sikka tidak ada sepuluh orang yang sangat akrab dengan beliau. Saya termasuk dalam sepuluh orang itu. Sebab itu saya terdorong untuk menulis sebuah buku kecil setebal 135 halaman untuk menginformasikan kepada khalayak tentang siapa itu Frans Seda, dalam judul “Drs Frans Seda 80 Tahun: Catatan Perjalanan Seorang Pejuang” (Yayasan Kasimo Cabang Sikka & Yayasan Dobo Nualolo Maumere, September 2006). Buku itu bukanlah sebuah biografi. Lebih tepat disebut saja sebagai catatan sekilas tentang perjalanan hidup, karya dan perjuangan tokoh tiga zaman itu. Karena isi buku ini saya angkat dari pengalaman bersama beliau, sambil memetik, merangkum, meringkas dan mengintisarikan dari banyak sumber naskah/buku, dengan tekad yang tulus dan niat yang lurus untuk memaknai HUT ke-80 ekonom senior itu, tanggal 4 Oktober 2006.
Di sisi lain, saya bersama Oscar P. Mandalangi menulis sebuah buku biografi Don Thomas setebal hampir 400 halaman. Buku yang terbit tahun 2003, lalu dicetak ulang tahun 2005 dan 2006 itu, didukung dengan komentar dari 16 orang tokoh Kabupaten Sikka yang tahu dan dekat dengan Don Thomas sebagai keluarga, politisi, tokoh masyarakat, bahkan lawan politik Don Thomas.
Banyak suara-suara sumbang terhadap kepribadian, ketokohan dan kepemimpinan Don Thomas. Benturan dan konflik kepentingan dalam konteks riwayat seorang tokoh dan kepemimpinannya dalam sejarah perjalanan Kabupaten Sikka ini, dengan latar belakang dan persepsi yang berbeda, adalah hal yang wajar dan lumrah sebagai bagian dari sifat manusia, apalagi dalam sebuah negeri yang menganut paham demokrasi. Masalahnya, bagaimana kita berkemauan untuk menempatkan soal secara lebih proporsional. Siapapun mempunyai hak untuk tidak menyukai Don Thomas. Namun, siapapun juga tidak punya wewenang yang sah untuk menggelapkan peran dan prestasi Don Thomas dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan pembangunan Kabupaten Sikka ini pada masa pemerintahannya. P. Dr Paul Budi Kleden, SVD, dosen STFK Ledalero dalam orasi ilmiahnya pada tanggal 29 Desember 2003 di Hotel Maiwali Maumere, antara lain menegaskan “Don Thomas adalah peletak dasar Sikka membangun. Dia bukanlah satu-satunya tokoh pembangun Sikka. Dia meletakkan dasar mental membangun. Dengan itu setiap warga masyarakat Sikka dalam berbagai peran, kedudukan dan kemungkinannya, diajak untuk menjadi pembangun Sikka, pelaku sejarah di kabupaten ini”.
Untuk membuat sejarah terhadap sejarah perjalanan Kabupaten Sikka, kita dihadapkan dengan tugas sejarah untuk memberi nama Bandara Waioti. Dua tokoh sejarah terkemuka yang menjadi kebanggaan rakyat Kabupaten Sikka, tokoh yang menjadi idola banyak orang, Don Thomas atau Frans Seda menjadi pilihan nama tersebut.
Don Thomas adalah seorang raja yang feodalis, hidup dalam zaman yang memiliki peluang dan fasilitas yang sangat minim, namun telah menjadi pemrakarsa dan perintis pembangunan Bandara Waioti. Ia seorang pionir. Sementara Frans Seda adalah pelanjut, memiliki gagasan yang cemerlang dan modernisator pembangunan. Frans Seda sebagai salah seorang arsitek ekonomi modern Indonesia, seorang politisi Katolik yang beken, piawai dan bermoral, pendekar di bidang pendidikan, pendiri harian Kompas yang ternama, penulis kolom suratkabar yang jempol, dan selaku pengukir rautan wajah Gereja Katolik di Indonesia, sudah dapat dinilai pada takaran nasional yang berdimensi sejarah.
Sebab itu, apabila Pemerintah dan DPRD Kabupaten Sikka hendak membuat keputusan tentang nama Bandara Waioti, hendaknya didahului dengan membuka sebuah forum pembicaraan dan pembahasan yang mendalam dan luas dengan mengikut sertakan banyak komponen masyarakat Kabupaten Sikka. Dengan demikian keputusan yang akan diambil, benar-benar melalui pengamatan dan penilaian yang saksama, cermat, arif dan bijak, aspiratif dan dapat dipertanggungjawabkan kepada sejarah.
Kabupaten Sikka juga harus memberi penghargaan dan penghormatan kepada L. Say, pemimpin yang sudah berjasa bagi kabupaten ini. Torehlah namanya di Pelabuhan Laut Maumere dengan nama L. Say. Berilah nama jalan kepada banyak tokoh Kabupaten Sikka yang berjasa secara nasional dan regional seperti: Ben Mangreng Say, Bung Kanis, P.H. Embuiru, P. Piet Petu, P. Osiaz Fernandez, Mgr Abdon Longginus da Cunha, P.J. Bapa Mekeng, Pieter Pedor, Fredrik Djati, Drs A.M. Konterius dan lain-lain.
Dalam mengambil keputusan politik yang sangat mendasar, hati nurani kita harus bersih dari kepentingan apapun dan jujur terhadap sejarah.
Wodonggabe-Nangalimang, 12 Januari 2010
*E.P. DA GOMEZ
Pemerhati masalah sospol Kabupaten Sikka
tinggal di Maumere
www.inimaumere.com
Pemerhati masalah sospol Kabupaten Sikka
tinggal di Maumere
www.inimaumere.com