Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Saturday 31 May 2014

Menuju Air Panas Blidit

Adventure Bersama Bocah Dusun
Air Panas Blidit. Cerita mengenai keberadaanya di bumi Sikka telah terdengar sejak lama. Namun tak sekalipun menikmati pesona kehangatannya yang telah menjadi buah bibir para pengelana. Hingga akahirnya pengelaman pertama datang. Kamis, 29 Mei 2014, disaat warga Kota Maumere tenggelam menikmati liburan, bersama petualang Ferly Irwanto, kami menikmati pelukan alam di bawah kaki Gunung Egon. Didalam hutan lindung yang masih perawan, melewati lekukan dan tanjakan terjal, dibawah nyanyian penghuni hutan, kami menikmati kebersamaan dengan para anak kampung. Blidit memang mempesona.

Anda mungkin perlu mencoba menceburkan diri kedalam air panas ini. Ia berada di sisi aliran air sungai. Batu-batu kali seakan membentuknya seperti kolam. Nah kolam inilah yang memiliki sumber air panas. Memang tidak mendidih, namun ketika menceburkan diri kedalam kolamnya tubuh kita akan merasakan sensasinya. Panasnya seakan meresap kedalam pori-pori. Nikmat dan rasanya tak cukup untuk sekali dua kali berendam.

Saya dan Feely anak WAI oTI,  beruntung. Kami akhirnya bisa menikmati pesona alam ditengah hutan. Menurut kami, destinasi ini layak menjadi tujuan wisata alam. Namun sayang, tidak ada tanda-tanda sedikitpun bahwa air panas yang berpotensi sebagai obyek wisata ini dikelolah secara baik. Jadi jangan heran kalau untuk mencapainya kita mesti mencari tau sendiri letak keberadaanya yang misterius. Contoh kecil, di depan pertigaan Jalan Trans Maumere-Larantuka dan Blidit, tidak ada tanda-tanda adanya papan informasi mengenai keberadaan air panas ini.

***
Kami berangkat siang itu ketika terik membakar jantung kota. Tujuan kami menuju arah timur dimana air panas tersebut berada. Air panas ini berada di Dusun Blidit, Desa Egon, Kecamatan Waigete. Ferly Irwanto sebagai salah satu pecinta alam membawa diriku merambah badan jalan. Ajakannya ke Air Panas Blidit kusambut erat.

Si Putih melaju kencang melewati Desa Waipare, Geliting, Waiara, Wairita, hingga memasuki kawasan Kota Kecamatan Waigete. Dari sini kita bergerak sedikit lagi hingga akhirnya berada di persimpangan Dusun Blidit. Ambil arah kanan dan nikmatilah alam yang melukis indah di depan. Gunung Egon, gunung berapi yang masih aktif sangat jelas menampakan ketegarannya. Dibawah sana, lukisan samudera Laut Flores dengan beberapa pulaunya begitu cantik dan teduh. Sekitar 3 Km kita akan melaju hingga bertemu lagi persimpangan, Disinilah titik utama menuju air panas Blidit.

Cerita menarik tersaji kemudian. Ditengah kebingungan, Bocah-bocah Blidit menawarkan jasa mengantar kami. Dengan senang hati, para guide cilik ini membawa kami menuju wisata alam kebanggaannya.

Lagi-lagi, anak-anak ini menjadi sentra penting dalam menghidupkan wisata di dusun mereka. Pertanyaanya, dimanakah para pengelolah wisata? Ataukah mungkin destinasi air panas ini tidak dianggap sebagai potensi wisata bagi kabupaten ini?

Sayang sekali. Padahal, sudah sering para wisatawan lokal maupun mancanegara menuju ke pemandian air panas. Rupanya pengelolahan wisata alam ini masih belum jelas, kabur dan dibiarkan apa adanya tanpa sentuhan.

Akses Masuk
"Kira-kira jaraknya masih 1,5 Km Om," jelas bocah yang bernama Lius sebelum kami beranjak dari simpang jalan. Saya menarik napas. Artinya butuh stamina lagi dan tentu saja fisik prima.

"Nanti baru ada sedikit turunan yang terjal baru kita jalan lagi sedikit dan sampai," sambung bocah Nadus. Saya tak mau lagi mendengar. Langsung saja kaki ini bergegas. Kami perlahan memasuki hutan Blidit, sebelumnya melewati dulu perkebunan warga.

Ferly yang dasarnya tukang offroad (Offroader) mulai kegatalan medengar jalur ekstrim. Ia tak mau jalan kaki. Dengan menunggang si putih, mulailah kawasan kaki Egon dipenuhi jejak oto.


"Baru pertama kali ini oto masuk sampai kedalam sini Om," jelas bocah Lius yang setia berada disamping saya. Kami berdua memang mengambil langkah duluan dari si Putih yang dikendarai Ferly.

Dibelakang, suara raungan oto mengagetkan kawanan hewan ternak. Yang lebih unik lagi tersaji, ketika para bocah lainnya mengawal mobil dari samping dan depan. Menarik tali hewan, memindahkan potongan pohon yang melintang dan sebagainya. Antusias mereka sungguh menampakan kesahajaan khas warga dusun yang tanpa pamrih menolong.

Hingga akhirnya Si Putih terjerembab. Meski dengan sekuat tenaga, mobil tersebut tak mampu sedikitpun beranjak. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk membujuk Siputih agar keluar dari jebakan. Bocah-bocah riang bergembira ketika menyaksikan si putih berhasil lolos. Keringat membasahi wajah kami. Namun tak ada sedikitpun rasa capek. Semangat menyentuh air panas ditengah alam yang begitu natural mengalahkan segalanya.

Lanjuutttttttttttt...

Kami kemudian bergegas diikuti Si Putih dengan suara raungan yang mencekam. Dan tak lama kemudian, "Berhenti! Oto taruh disini saja Om, dibawah su jurang," teriak bocah perempuan bernama Martha. Saya mengintip dan ternyata benar. Mobil tak bisa turun, terlalu ekstrim.

Ferly menyatakan setuju, selanjutnya dengan berjalan kaki, kami mulai menelusuri hutan Blidit, mulai menjauh dari perkebunan warga. Suara burung dan binatang hutan terdengar riuh. Kami terus melangkah hingga perlahan mulai bertemu aliran sungai. Namun akses jalan pun mulai tak menentu, kadang datar dan kadang pula mendaki tajam. Masih sekita 15 menit perjalanan.
 memindahkan batangan pohon agar bisa dilalui si putih

Menaruh Uang
Jejak kaki kami yang begitu panjang akhirnya menyentuh aliran air. Meski diketinggian, namun air sungai kecil ini tidak dingin. Rasanya biasa-biasa saja. Bahkan dibeberapa titik ada yang terasa hangat. Sudah dekat kah? Ya betul, sedikit lagi Om, koor para bocah.

Saya melangkah makin pasti meski dengan tubuh terengah-engah. Harapan akan menikmati panasnya air yang keluar dari perut bumi terbayang jelas.

"Nanti sampai disana sebelum mandi, Om mereka mesti taruh uang Rp 5 ribu atau Rp 10 ribu ya, " terang Martha.

Oh Begitu ka? Menarik sekali. Meski penuh tanda tanya namun kepercayaan setempat meski
dijunjung tinggi. Dimana Bumi dipijak, Disitu Langit Dijunjung. Demikian pepatah kuno yang menggambarkan etika akan tanah yang baru kita kenal. Banyak mitos yang telah saya dengar sebelumnya tentang air panas Blidit ini.

Setelah cukup lama berjalan, akhirnya sungai yang merupakan kawasan mata air panas Blidit berhasil kami gapai. Rasanya biasa saja. Tak ada yang istimewa. Seperti sungai lain pada umumnya. Ah, jadi jalan jauh-jauh hanya melihat sungai seperti ini?

Tentu tidak! Sebelum melompat masuk kedalam air panas, uang Rp 10 ribu saya dan Ferly menaruhnya dibawah pohon besar, seperti anjuran sang bocah Marta, guide cilik kami. Sesajen ini merupakan ungkapan selamat datang sebagai orang baru. Dalam bahasa adat Maumere biasa disebut Plewo Pla'a, atau sopan santun, sapaan kepada daerah yang baru kita masuki.

Dan setelah itu mulailah ritual mandi-mandi dilaksanakan. Horeeeeeeeeeeeeeeeeeeee..

Betapa hangatnya merasuk kulit. Sehingga rasa capek dan pegal lenyap seketika. Kami dan para bocah seakan tak ada batas. Saling bercanda bak sahabat karib. Ditengah hutan Egon, kebersamaan layak dinikmati.

Selain aliran sungainya, pada sisi sebelhnya terbentuk kolam air panas. Ada beberapa mata air panas di beberapa sisi. Kolam inilah yang paling panas. Ketika baru pertama kali mencoba masuk, panasnya sungguh membuat hati menjerit. Tapi rasa nikmat juga tak bisa dipungkiri. Nikmat ketika panasnya merasuk kedalam tulang, membasuh rasa pegal yang mendera.

Setelah kolam air panas, sebelahnya ada air yang terasa hangat. Tidak begitu panas sehingga bisa berleha-leha menikmati kehangatannya. Sungguh nikmat. Ditengah hutan Egon, diantara nyanyian burung hutan kami dan para bocah Blidit merayakan keberhasilan menjamah air panas ini. Terima kasih.

Sekitar dua jam kami menikmati air panas sebelum akhirnya kembali berpamitan pada alam agar menuntun kami kembali pulang ke rumah.

Perjalanan balik terasa lebih cepat. Namun beberapa tanjakan terjal kembali memporakporandakan stamina tubuh. Dengan susah payah, akhirnya kami kembali sampai ditempat dimana si putih parkir manis. Menanti tuannya Ferly yang terengah-engah bak banteng aduan hehehe..

Kali ini saya dan para bocah tak lagi berjalan kaki. Dengan Si Putih yang di kendarai Ferly kami menikmati sisa-sisa kemesraan yang hampir saja lenyap. Nostalgia bersama Air Panas Blidit semoga terulang lagi.

Jika memng air panas ini dianggap sebagai potensi pariwisata kita, maka berbenahlah, kelolahlah dan berilah sentuhan agar wisata alam ini bermanfaat bagi semua orang terutama masyarakat dusun yang telah menjaga kelestariannya dari dulu hingga sekarang.

Sampai Jumpa di petualangan selanjutnya, (ossrebong) 


 Sampai Jumpa Pemirsaaaa.. :)
www.inimaumere.com
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Saturday, May 31 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---