Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Friday, 28 November 2014

Jejak Sejarah di Watuliwung

Sumur Tua, Bak dan Gua Nipon
Bapak Kepala Desa Yoseph Jumaldi mengantar kami hingga Posyandu Wairhubing. Di pertigaan Jalan Raya Maumere-Larantuka itu senantiasa ramai. Pertigaan ini merupakan akses masuk menuju Dusun Waerhubing, Wetakara serta Bukit Bungat. Lokasi yang disebutkan merupakan wilayah administrasi Desa Watuliwung, Kecamatan Kangae. Dari pertigaan posyandu hingga Bukit Bungat kita akan melancong ke masa silam. Kemasa di mana Kerajaan Kangae, Kompeni Belanda dan Dai Nipon meninggalkan jejak sejarah.

Kami berangkat dari Kota Maumere ketika matahari mulai turun. Tujuan kami menuju arah timur tepatnya ke Desa Watuliwung, Kecamatan Kangae. Untuk mencapai wilayah ini cukup menghabiskan waktu kurang lebih 15 menit. Waktu tersebut cukup untuk sampai di pertigaan Dusun Wairhubing, tepatnya di lokasi Posyandu. Di dalam kintal posyandu yang sementara masih bertumpuk materil bangunan kita akan melihat jejak peninggalan Kerajaan Kangae berupa sumur tua.

Sumur tersebut berada di sisi sebelah barat, tepatnya di pojok pembatas halaman. Dari jalan utama trans Maumere-Larantuka posisi sumur ini sangat dekat. Terpisah pagar tembok setinggi 1,5 meter.

Kepala Desa Watuliwung menjelaskan, sumur tua tersebut merupakan peninggalan dari Kerajaan Kangae. Kerajaan Kanagae merupakan salah satu dari 3 kerajaan yang pernah ada di wilayah Kabupaten Sikka sebelum embrio Kabupaten Sikka terbentuk. Untuk mengetahui keberadaan Kerajaan Kangae, Anda bisa membacanya disini.

Oke, kembali ke sumur. Sumur yang menyimpan nilai historis tersebut nampak masih terbentuk. Tembok sumur masih ada. Air sumur pun masih ada. Kedalaman sumur ini diperkirakan mencapai 8-10 meter. Menurut Kades, sumur ini merupakan peninggalan masyarakat Wairhubing di masa Kerajaan Kangae. Dulunya sumur ini digunakan untuk segala macam keperluan masyarakat.

Pak Kades menunjuk lobang sumur dari masyarakat Kerajaan Kanage
Namun kini, meski masih ada air, sumur tersebut nampak tak terawat. Kata Pak Kades, sumur ini tidak lagi digunakan masyarakat. Memang, meski ada air nampak sampah plastik tergenang diatas airnya yang keruh.

Kata Pak Kades, ia dan masyarakat desa berencana akan mengembalikan sumur ini seperti fungsinya semula. Sekaligus katanya, akan menjaga dan merawat sumur ini agar dapat diwariskan ke generasi berikutnya sebagai warisan sejarah Kangae.


Bak Belanda
Bapak Kades yang ramah ini kemudian mengajak kami meeihat peninggalan bersejarah lainnya yang ada di wilayahnya. Kali ini beliau mengajak kami melihat sebuah bak penampungan air dan sekolah peninggalan kompeni Belanda.

Saya dan Baim, teman fotografer kemudian mengekornya dari belakang. Kami bergerak dengan masing-masing sepeda motor melaju dari dusun Waerhubing menuju Wetakara. Kira-kira butuh waktu 10 menit kami telah tiba di lokasi SDK Wetakara. Nah, di lokasi sekolah yang berada di pinggir jalan ini tedapat sebuah bak penampungan air peninggalan Belanda. Bak air ini sudah tidak difungsikan sejak lama.

Bak tersebut menyatu dengan sekolah SDK Wetakara tepatnya ruang perpus disisi utara. SDK Wetakara merupakan sekolah peningalan dari jaman Belanda berdiri sejak tahun 1916.

Bak Penampung Air dan ruang Perpus peninggalan Belanda
Nah, karena tidak berfungsi lagi, maka sisi selatan dari Bak Penampungan ini kemudian didirikan panggung hiburan oleh sekolah. Panggung hiburan ini menggunakan tembok bak sebagai latar panggung.

Oleh Kades kami djelaskan bahwa bak air ini dulu merupakan bak penampungan air hujan. Air tersebut kemudian dialirkan melalui dua ledeng yang sekarang tidak berfungsi lagi.

Hal menarik lainnya adalah motif sudut bangunan bak ini. Jika dilihat sepintas arsitekturnya menggunakan motif dari Jawa. Saya memperkirakan pengaruh kolonial di tanah Jawa yang coba diperkenalkan di Watuliwung.

Gua Nipon
 Kami bergerak lagi. Kali ini Kades hanya menemani kami hingga Kantor Desa Watuliwung. Maka kami mengajak Ruli, anak muda setempat untuk bersama menikmati sejarah Nipon. Dari halaman belakang Kantor Desa kami memulai treking dengan jarak sejauh kira-kira 300 meter. Melewati kebun, pohon tuak dan ilalang.

Setelah beberapa menit, akhirnya kami tiba juga di tempat ini. Sangat terkejut, karena gua Nipon ini sudah tidak terawat lagi. Saya terkenang perjalanan ke tempat yang sama empat tahun lalu. Ketika itu gua tersebut masih tersentuh tangan manusia. Pak Yance Moa bersama sahabat lainnya di Watuliwung saat itu bergerak menghidupkan wisata Bukit Bungat dengan tujuan Gua Nipon dan alam Watuliwung. Sayang sekali gua trsebut kini dibiarkan merana.

Perjalanan kami empat tahun lalu ke Gua Nipon ini bisa dibaca disini

Dalam sejarahnya, kata Pak Yance Moa saat itu, Gua tersebut digunakan sebagai tempat persembunyian tentara Nipon. Didalam gua ini ada empat kamar.

Gua Nipon Empat Tahun Lalu bisa baca disini. Dan, disekitar gua yang digali dan diperkenalkan saat itu, masih ada sekitar 11 gua lainnya. Ada penampungan senjata dan lainnya. Kini, melihat kenyataanya, tidak tertutup kemungkinan gua tersebut akan hilang dari sejarah.

Gua Nipon yang pernah kami telusuri empat tahun lalu kini tidak terawat, banyak sampah dan terkesan seram. Empat tahun lalu kami bisa melancong kedalam dan duduk-duduk dikamarnya. Karena saat itu gua tersebut sudah dibersihkan dan diberdayakan oleh Komunitas Peduli Lingkungan Watuliwung. Bahkan saat itu Uskup dan pejabat lainnya ikut turun bersama ke lokasi gua Nipon dan menanam pohon untuk penghijauan.
Pintu Masuk Gua Nipon Bukit Bungat



www.inimaumere.com
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Friday, November 28 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---