Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Sunday 30 September 2012

Jambore Pariwisata NTT 2012 Berakhir, Belu Juara

Sikka Harapan Tiga

Sikka/Kibolibok
Jambore Pariwisata dan Seni Budaya NTT 2012 yang berlangsung di Maumere berakhir sudah. Secara resmi, penutupan jambore yang berlangsung 27 hingga 28 September oleh Sekda Sikka Valens Sili Tupen dihadapan segelintir penonton. Sekda mewakili Gubernur NTT Frans Lebu Raya yang berhalangan hadir. Sekda Sikka asal Flotim ini membacakan sambutan penutupan gubernur usai penyerahan piala kepada pemenang. Maka, sambutan yang dibaca pun rasanya tak bermakna, karena sebagian besar penonton dan terutama para peserta kontingen dari 18 kabupaten se-NTT telah meninggalkan lokasi jambore.
Untungnya, masih ada segelintir yang bertahan termasuk para fotografer, media, dan beberapa pejabat seperti Kadis Pariwisata NTT, Kadis Pariwisata Sikka G. Rehi dan Ketua DPRD Sikka Rafael Raga. Pada festival seni budaya yang berlagsung dua hari tersebut, Kabupate Belu secara mengejutkan tampil sebagai pemenang. Belu menyingkirkan 17 kabupaten lainnya, minus Kabupaten Ende, Nagakeo dan Sumba Tengah yang tak mengirimkan wakilnya.
Sedangkan tuan rumah Kabupaten Sikka mesti puas berada diurutan paling buncit. Sikka meraih posisi Juara Harapan 3.
Pada penyerahan piala kepada pemenang, Kontingen Sikka tak mengirimkan wakilnya untuk menerima tanda mata juara. Sebagau gantinya, pantia mewakili sang juara harapan 3 tersebut.
Ada apa? Mungkinkah ini sebagai protes terhadap Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sikka? Menurut Indah Pareira, pimpinan Sanggar Kibolibok, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sikka mengirimkan dua sanggar dengan SK resmi. Kedua sanggar tersebut adalah Kibolibok dan Bunga Nukak. Kedua sanggar tersebut sempat membingungkan tiga juri yang diisi Sofya, Florida Da Cunha dan Y.Lasar. Pasalnya, saat Bunga Nukak tampil perdana di panggung, dipanggil MC sebagai pengisi acara bukan peserta, namun kemudian diralat sebagai peserta. Tapi saatKibolibok tampil, juri pun sempat menanyakan, apakah tampil sebagai peserta atau hanya eksebisi. Namun tak ada jawaban atau komfirmasi. Kibolibok pun terus berkreasi diatas panggung sesuai durasi waktu.
Dengan berakhirnya Jambore Pariwisata dan Seni Budaya NTT, maka berakhir sudah hingar bingar di sekitar Lapangan Umum Kota Baru Maumere. Dua hari pertunjukan sudah cukup menghibur orang Maumere. Namun begitu, tak banyak orang Maumere yang mengetahui akan adanya iven sebesar ini. Jelang hari pertunujukan, tak ada promosi mencolok. Kota bahkan jauh dari kesan akan ada iven pariwisata. Maumere sepertinya biasa-biasa saja. Jauh sama sekali dari pemberitaan akan adanya jambore tersebut.
Dengan usai jambore, tak akan lagi kita melihat orang Timor yang berlalu lalang dengan pakian khasnya plus bibir merah karena mengunyah sirih pinang. Tak ada lagi logat dan dialek khas orang Manggarai dan Sumba. Hilang sudah wajah manis Rote Ndao dan Sabu, atau orang Lembata dengan senyum manisnya. Oa dan No Nagi bergaya dengan gaya Lamaholotnya.
Sampai jumpa di Manggarai tahun depan, semoga NTT semakin maju dalam pariwisata, dan generasi mudanya semakin cinta akan peninggalan tradisi leluhurnya.
FLOTIM

ALOR

SABU


MANGGARAI/ Tarian Caci

foto: Yolix Riberu
 inimaumere.com
www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Kapal tenggelam di Palue

ilustrasi
Duka kembali hadir diutara perairan Kabupaten Sikka, Flores NTT. Sebuah kapal motor berpenumpang sekitar 50 orang diberitakan tenggelam hari Jumat (28/9/2012), sekitar pukul 17.00 wita. Dua orang dinyatakan tewas. Menurut informasi kapal tersebut berangkat dari Desa Lidi menuju Desa Maluriwu. Dua korbang yang tewas tersebut yakni Nandes asal Desa Ladolaka dan Lamber warga Desa Tuanggeo. Kedua desa tersebut berada di Kecmatan Palue, Pulau Palue, Kabupaten Sikka. Belum diketahui penyebab pasti tenggelamnya kapal yang baru diujicobakan tersebut. Korban yang selamat langsung dievakuasi untuk mendapat perawatan di puskesmas. Menurut informasi kapal tersebut masih baru dan pelayaran tersebut adalah pelayaran perdana. Sedangkan cuaca dalam kondisi baik.

Musibah yang mengguncang sistem transportasi di perairan Kabupaten Sikka ini seakan mengingatkan kembali tragedi tersebsar dalam sejarah tenggelamnya kapal di Kabupaten Sikka. Tragedi tersebut yakni Saat KM Karya Pinang yang mengangkut 66 penumpang tenggelam dihantam badai diperairan Watumanuk. menewaskan 23 orang dan 9 lainnya hilang hingga kini. Peristiwa yang merenggut mayoritas korban dari wilayah Pogon dan Aibura terjadi tahun 2010. Lantas, sampai kapan bencana demi bencana diperairan Sikka berakhir?(dari berbagai sumber)

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Friday 28 September 2012

Jambore Pariwisata dan Seni Budaya NTT, Ajang Hiburan Warga Maumere

Flotim
Jambore Pariwisata dan Seni Budaya NTT menjadi pusat perhatian warga kota. Maklum saja, ditengah sepinya hiburan, ajang ini tersulap menjadi pilihan yang tak mungkin dilewatkan. Lihat saja, ketika pembukaan parade kebudayaan, pinggiran jalan yang dilewati begitu padat. Masyarakat mengelu-ngelukan para peserta yang berasal dari 18 kabupaten di NTT. Dan para peserta memberikan atraksi yang tak kalah menarik. Mereka memperlihatkan kepada warga kota Maumere seni budaya leluhur yang masih tertanam erat pada generasi sekarang. Pawai kebudayaan ini berawal dari Halaman POlres Sikka yang terletak di Jalan Ahmad Yani. Melewati pertokoan Jalan Raja Centis, Don Thomas, Moa Toda, pawai ini akhirnya berakhir di Lapangan Umum Kota Baru, tempat dilaksanakan kegiatan tersebut. Ada tiga kabupaten di NTT yang berhalangan hadir. Ketiga kabupaten tersebut yakni; Ende, Sumba Tengah dan Nagakeo.
Di Lapangan Umum yang berada di Kelurahan Beru, telah berkumpul warga kota yang menunggu dipinggiran lapangan maupun berdekatan dengan panggung festival. Dibawah tenda yang cukup besar, sejumlah pejabat kabupaten dan propinsi dan undangan lainnya terlihat nyaman menanti kedatangan peserta.
Disekitar situ, sebuah panggung besar berdiri. Dan anggota paduan suara berbalut pakaian bercorak khas Flobamora menyanyikan berbagai tembang daerah NTT, mengiringi difile kontingen yang memberikan salam bagi para pejabat dan masyarakat umum.
Pemandangan sore itu sungguh menarik. Disini, sejumlah mata dibuka, dan melihat kekhasan berbagai seni budaya yang sebenarnya begitu beragam. Inilah NTT, kekayaan budaya dari berbagai suku terlihat jelas. Dan anak-anak sekolah mengaku, mereka bangga menjadi bagian dari berbagai pertunjukan tersebut.
Pawai karnaval berakhir dengan tarian kolosal oleh 100 pelajar penari dari sejumlah sekolah di Maumere yakni SMANSA,SMAK St.Gabriel, SMA Yoh.Paulus 23,SMK St. Gabriel n SMP Yapenthom. Mereka menari tarian bercorak etnis Sikka yang sudah di kreasi. Tarian kolosal ini di koreografi oleh tiga pentolan penata tari yang sudah tak asing lagi di Kabupaten Sikka, yakni Thomas Aquino Idong, Indah Pareira dan Meggy Woworuntu. Tarian kolosal ini semakin semarak dengan pertunjukan Tarian Tua Reta Lou dari anak-anak SD Inpres Nangameting.
Masyarakat tak beranjak, bahkan semakin banyak yang menyaksikan hingga saat malam tiba ketika festival yang sebenarnya diadakan.
Jambore Pariwisata hari pertama menampilkan 10 kabupaten di panggung festival yakni; Kabupaten Alor, Sumba Timur, Sabu Rai Jua, Belu, Sumba Barat Daya, Kupang, TTS, Flotim, Manggarai, Manggarai Timur. Kabupaten lainnya akan mengisi pertunjukan pada malam hari ini yang dijadwalkan berlangsung pukul 19.00wita.
Dalam sambutan yang dibacakan Bupati Sosimus Mitang, Gubernur Lebu Raya mengatakan Jambore Pariwisata NTT 2012 harus menjadi jembatan budaya, jendela informasi dan komunikasi antara budaya lokal dan budaya global. Gubernur mengharapkan kegiatan Festival Pariwisata dan Seni Budaya NTT 2012 bisa dijadikan ajang promosi pariwisata NTT sekaligus pariwisata nusantara secara keseluruhan. "Mari kita tampilkan hasil karya para seniman dan budayawan terkemuka kita untuk menarik para wisatawan agar mereka dapat menikmati keragaman budaya dan ekspresi multikultural."
Pembukaan Jambore Pariwisata dan Seni Budaya ini secara resmi dibuka dengan penabuhan waning oleh Bupati Sikka Sosimus Mitang mewakili Gubernur NTT. Sebagai tuan rumah, Bupati Sikka Sosimus Mitang menyambut baik para kontingen dan berharap agar kegiatan seni budaya ini bisa menjadi ajang yang menarik bagi wisatawan dan pariwisata di NTT.

Kabupaten Sikka

Manggarai



www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Tuesday 25 September 2012

27-28 September Festival Budaya NTT di Maumere

latihan tariasn massal di Lap Kota Baru
Akhir bulan ini, Kota Maumere akan sedikit berbeda. Pasalnya, kota yang terletak diantara Kota Larantuka (Flores Timur) dan Ende (Kab. Ende) ini mendapat kehormatan sebagai penyelenggara festival budaya. Ibukota dari Kabupaten Sikka yang dijuluki kota nyiur melambai dalam tiga hari bakal didatangi para peserta dari berbagai kabupaten di NTT. Penyelenggaraan festival budaya tersebut atas kerja sama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sikka bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi NTT. Festival Budaya Daerah NTT 2012 akan mementaskan berbagai kekhasan budaya tiap kabupaten di NTT. Dan Maumere sebagai tuan rumah, berupaya mempersiapkan diri sebaik mungkin agar penyelenggarannya berlangsung sukses. Salah satu persiapan yang dilakukan adalah tarian massal bercorak atnis Sikka.

Tarian massal akan diperagaakan oleh seratus (100) penari. Mereka diambil dari berbagai para pelajar SLTP dan SLTA di Kota Maumere, yakni SMANSA, SMAK St.Gabriel, SMAK Yoh.Paulus 23, SMK St. Gabriel dan SMP Yapenthom.
Tarian massal tersebut diciptakan Thomas A. Idong (sanggar Blutuk Lunung Ha), Indah Pareira (Sanggar Kibolibok) dan ibu Meggy Woworuntu. Saat inimaumere.com melihat pertama kali, peragaan tarian ini cukup memikat.
Dengan iringan musik tradisional gong waning mereka berlatih dalam arahan Thomas Aquino, meski debu dan panas terik menyengat. Para pemusik tradisional yang mengiringi mereka berasal dari dr Sanggar Blutuk Lunung Ha,Sanggar Lunung Kunung SDI dan Sanggar Baka Likat SDI Nangameting. Ketiga sanggar tersebut berdomisili di Kota Maumere.
Pemantapan tarian ini dilakukan pagi dan sore hari, menjelang penyelenggaraan festival yang akan berlangsung 27-28 September 2012.
Semoga saja, penyelenggaran ini berlangsung sebagaimana mestinya, sesuai harapan. Dan tentu saja, kelangsungan pelestarian budaya tidak cukup dengan hanya menyelenggarakan berbagai festival.

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Laut di Lela Tiap Hari Jadi Sasaran Bom Ikan

ilustrasi
Perairan laut Lela di Kabupaten Sikka menjadi sasaran bom ikan setiap hari. Masyarakat diwilayah itu hanya menonton saja, tidak dapat berbuat apa-apa. Salah seorang warga di pesisir pantai Lela, Ferdinandus kepada Pos Kupang, mengatakan, bom ikan diwilayah perairan laut Lela cukup marak. Menurut Ferdinandus, masyarakat di pesisir tersebut hanya melihat dari pinggir pantai saja. Masyarakat tidak dapat berbuat banyak karena tidak memiliki sarana pendukung. Hal ini juga dialami aparat Polsek di sana. Semuanya tidak dapat melakukan pengejaran dan penangkapan, sebab tidak ada sarana untuk penertiban tersebut. "Untung saja kejadian ini dilaut. Kalau di darat orang-orang itu mati," tandas Ferdinandus penuh emosi.
Ferdinandus mengatakan, maraknya bom ikan ini mengakibatkan biota laut diwilayah tersebut rusak. Ferdinandus kuatir terumbu karang di laut tersebut mengalami kerusakan, gilirannya hasil ikan diwilayah laut itu menurun.
Ferdinandus menandaskan, diwilayah tersebut seharusnya ada speedboat agar aparat dan masyarakat diwilayah itu dapat melakukan pengejaran orang-orang yang tidak bertanggungjawab tersebut.
Ferdinandus mengatakan, di kabupaten ini memiliki banyak sarana seperti speedboat untuk penertiban masalah ini. Tetapi semuanya hanya berada di kota. Kegiatan operasi di laut juga, kata Ferdinandus, jarang di lihatnya.
"Beberapa tahun lalu kita masyarakat dapat bantuan dari coremap termasuk radio pantai (HT) untuk memantau masalah seperti ini. Tetapi tidak ada speed boat jadi aparat maupun masyarakat kesulitan untuk menangkap mereka,"ungkap Ferdinandus.
Ia menambahkan, orang-orang yang melakukan bom ikan ini adalah nelayan yang berasal dari luar kabupaten Sikka.(POS KUPANG)
Selengkapnya...

Tuesday 11 September 2012

OMK St. Thomas Morus untuk Kapela Pemana

Pantai Ngolo, Pemana
Orang Muda Katolik (OMK) St. Thomas Morus, Paroki St. Thomas Morus Keuskupan Maumere baru-baru ini mengunjungi Pulau Pemana, salah satu pulau dari rangkaian 17 buah pulau di perairan utara Laut Flores. Ada apa gerangan sehingga kaum muda Katolik ini mengadakan perjalanan ke pulau yang dihuni mayoritas penduduk beragama islam? Oh, Rupanya ada agenda penting terhadap kaum minoritas katolik disana. Menurut penuturan Ristmon, salah satu anggota OMK, lawatan mereka ke Pemana berkaitan dengan rencana penggalangan dana bagi renovasi bangunan kapela. Kapela yang berada ditengah kaum muslim Pemana ini berada dalam kondisi memprihatinkan. Bertolak dari kondisi ril tersebut, kaum muda tergerak hati dan ingin berinisiatif dalam kegiatan renovasi.

Rencana penggalangan dana ini merupakan salah satu bentuk kepedulian OMK St Thomas Morus terhadap kegiatan ibadah saudara-saudara seiman yang kebetulan berada ditengah pemukiman kaum mayoritas. Untuk itu, agenda pertama yang dilakukann adalah mengunjungi kapela Pemana dan bersilahturahmi dengan  umat katolik Pemana. Tambah Ristmon, umat katolik di Pemana saat ini berjumlah 4 KK dan hidup rukun berdampingan dengan saudara-saudara muslim.
Keterbatasan jarak yang cukup jauh dari pusat Keuskupan Maumere, mengakibatkan kegiatan ibadah dipimpin oleh umat. Belum ada pastor pembantu yang ditempatkan disana.
Kapela Pemana, didirikan awal tahun 90an dalam solidaritas umat katolik dan muslim Pemana. Pendirian kapela merupakan inisiatif dari permintaan umat yang merindukan ibadah mingguan pada sebuah ruangan gereja. Romo Lorens Woi merupakan pastor pertama yang ikut andil dalam kegiatan ibadah diawal pembangunan kapela.
Salah satu rencana agenda penggalangan dana kaum muda OMK St. Thomas Morus adalah mengadakan konser musik amal. Semua dana yang dikumpulkan dari berbagai rencana penggalangan dana akan disumbangkan bagi renovasi kapela. Anda berinisiatif menyumbang? Segeralah menghubungi OMK St. Thomas Morus.
Pemana merupakan sebuah pulau mungil yang dihuni mayoritas penduduk beragama muslim. Mayoritas warga Pemana berprofesi sebagai nelayan dan merupakan warga etnis Tidung Bajo (keturunan Sulawesi) yang telah beratus tahun hidup berdampingan dengan warga asli kabupaten Sikka. Etnis Tidung Bajao merupakan salah satu etnis besar dari 6 etnis yang ada di Kabupaten Sikka.
Mengunjungi Pemana bisa dirangkaikan dengan trekking ke pantai cantik disisi utaranya. Kelebihannya adalah keindahan bawah laut dan kecantikan pemandangan alam yang dibaluti pasir putih halus menawan. Cerita kecantikan pasir putih dan pantainya telah sekian lama terdengar. Meski belum ada inisiativ dari dinas terkait bagi promo destinasi wisatanya. Selain Pemana, tak jauh darinya terdapat pulau mungil bernama Pemana Kecil atau juga disebut Pulau Kambing. Pulau ini menawarkan kecantikan alamiah pasir putih dan laut nan bening.
Semoga saja, rencana penggalangan dana kaum muda katolik St Thomas Morus ini bisa berjalan sesuai dengan rencana.
                                                                www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Catatan Perjalanan Maumere

Tim Produksi Dokumenter Survivor Perempuan Flores
Hari itu panas, ketika pesawat kami mendarat di Maumere, pusat kota Kabupaten Sikka, Flores, di Nusa Tenggara Timur. Saya tiba bersama Kiki Febriyanti (sutradara) dan Sesarina Puspita (kameraperson). Sementara manajer produksi kami Nina Masjhur sudah di Maumere dua hari sebelumnya. Dalam pesawat kami lebih dari setengah penumpang adalah orang luar negeri yang berlibur di NTT. 
Maumere, kota tepi pantai, masih sama seperti ketika saya pertama mendarat di sana 10 tahun lalu untuk sebuah penelitian sosial. Ketika itu, saya merasakan penelitian lebih dari 1 tahun yang cukup intensif untuk mengetahui analisis dampak bantuan di Flores dan riset bagaimana masyarakat melakukan penyelesaian masalah.
Sekarang Maumere, bagian dari Kabupaten Sikka terlihat lebih ramai, dengan berbagai gedung baru bermunculan, seperti toko swalayan besar (belum sebesar Matahari di Jakarta), sebuah pasar baru, Pasar Alok, sebagai perluasan dari pasar tingkat di pusat kota yang sudah kurang layak. Di luar itu, hotel baru juga bermunculan dengan meningkatnya pariwisata. Penerbangan juga semakin banyak pilihan, walaupun belum sebanyak Kupang, ibukota propinsi NTT (di pulau Timor)
Tim PWAG Indonesia, melakukan shooting dokumenter perempuan survivor/penyintas bekerjasama dengan sebuah lembaga Tim Relawan Kemanusiaan Flores (TRUK-F) Divisi Perempuan, yang dikoordinatori oleh Sr.Eustochia, SsPS. TRUK-F sendiri adalah satu-satunya lembaga yang mendampingi korban kekerasan, baik itu survivor KDRT, kekerasan seksual maupun kekerasan lainnya. Didirikan pada 1995, TRUK-F memang diinisiatif berbagai tokoh, terutama tokoh agama, didukung oleh gereja Katolik di Flores.
Dalam produksi terbaru ini, kami meminta bantuan TRUK-F memilih dua survivor perempuan yang kasusnya sudah terjadi 3 tahun lalu, yang kemudian kami dokumentasikan kegiatan kesehariannya. Tujuan pembuatan dokumenter survivor perempuan ini adalah melihat bagaimana dampak kasus kekerasan terhadap survivor, keluarganya dan kegiatan seharinya. PWAG Indonesia juga tertarik untuk melihat cara penyelesaian kasus kekerasan, apakah ditangani secara hukum atau tidak, lalu bagaimana dampaknya bagi korban.
Kedua subyek yang akhirnya kami pilih adalah survivor kasus kekerasan seksual atau kasus perkosaan. Ada kontras dari kedua survivor yang kami pilih, masing-masing berbeda agama, berbeda penyelesaian kasus dan berbeda dalam menghadapi hidupnya. Kedua perbedaannya itu diharapkan menjadi inspirasi dan menggugah penonton untuk melihat dampak kekerasan terhadap perempuan dan kemudian apa saja kegiatan survivor paska-proses pemulihan.
Menurut TRUK-F, sampai saat ini mereka sudah mendampingi lebih dari 1000 kasus kekerasan terhadap perempuan, baik yang tercatat ataupun tidak. Menurut TRUK-F pada berbagai kasus kekerasan, banyak yang diselesaikan secara adat atau musyawarah. Banyak juga tidak terselesaikan sampai sekarang.
Pada saat tim PWAG Indonesia berkunjung kesana, kami disambut oleh tim dari TRUK-F, selain Suster Eustochia, ada staff TRUK-F, Henny Hungan, Osa atau lengkapnya Jozefina Dafroza Keytimu, Frater Eko Sylvester Manek-frater yang sedang magang dari Seminari Ledalero dan Pak Sesko atau Fransesko Bero sebagai pengacara yang mendampingi kasus-kasus kekerasan. Kami mendapatkan banyak penjelasan dari Henny dan Osa sebagai staf yang paling lama bekerja di TRUK-F untuk berbagai kasus, termasuk 2 subyek survivor dalam dokumenter yang kami buat.
Pada hari pertama shooting, kami melakukan perkenalan dengan kedua subyek dan meminta ijin pengambilan gambar di rumah atau sekitar tempat kegiatan dari subyek. Satu subyek kami mengajar di TK atau PAUD. Dan satu subyek kami bekerja di kios pamannya dan mengamen di warung-warung. Sangat menarik mengetahui bahwa kedua subyek kami yang masih sangat muda, memiliki impian dan cita-cita untuk masa depannya. Pada awalnya masih agak ragu-ragu dan malu, tetapi sesudah hari kedua dan ketiga, kedua subyek lebih relax dalam menghadapi tim kami, sebagai orang baru yang masuk dalam kehidupan mereka.
Sampai hari shooting terakhir, semua shooting kegiatan dua subyek dari pagi sampai malam, berjalan lancar. Hanya ada hambatan kecil seperti masalah kesehatan yang kadang mengganggu, imsonia, sambal yang lumayan dasyat, jadwal subyek yang harus disesuaikan atau mengikuti mood dan gerak kehidupan Maumere yang sangat pelan. Di Maumere, pada jam 14.00 – 16.00 WITA, seluruh kota biasanya tidur siang, yang biasa disebut siesta dalam kebudayaan orang Portugis. Kebanyakan toko atau kantor tutup pada jam ini atau orang pulang ke rumah untuk istirahat. Seluruh tim PWAG Indonesia juga harus mengikuti jadwal ini, agar narasumber/subyek yang diikuti juga bisa beristirahat. Sangat jarang kami mengambil gambar diantara jam ini,untuk menghormati jadwal siesta ini.
Kenapa ada jadwal siesta? Flores yang pernah dijajah oleh Portugis, memang menyisakan kultur atau kebiasaan Portugis baik dalam ritual keseharian, nama-nama, maupun Bahasa yang sudah bercampur dengan Melayu Kupang atau Melayu Flores. Di Kabupaten Sikka, bahasa asli mereka adalah bahasa Sikka atau Krowe, yang juga memiliki banyak pengaruh dari berbagai bahasa, bahkan Bahasa Jawa, yang mungkin datang dari pedagang Jawa yang berlayar ke Flores. Karena portugis juga, maka nama-nama jalan atau tempat di Flores juga bernuansa Portugis, seperti Don Thomas dan lainnya. Beberapa raja di Sikka bernamakan nama POrtugis seperti Raja Don Andreas Jati Ximenes Da Silva (tahun 1871an) atau Raja Don Thomas (tahun 1940-an).
Kembali kepada soal kekerasan terhadap perempuan, di shelter TRUK-F, sebuah bangunan untuk para survivor berlindung, ada sekitar 5 orang survivor disana. 4 di antaranya adalah remaja berusia antara 13 -15 tahun. Mereka adalah survivor kasus perkosaan oleh ayah kandung dan memiliki bayi. Satu diantaranya masih dalam keadaan hamil. Tim PWAG Indonesia sempat berbicara dengan koordinator shelter Agnes, yang menjadi koordinator/disebut mama shelter, disana dan membantu mengkoordinasi shelter.
Kondisi para remaja ini cukup baik, walaupun agak sulit membimbing mereka, selain counseling, juga bagaimana merawat bayi di usia sangat muda. Tentu saja memandang mereka, terutama satu anak perempuan, berumur 13 tahun, saya jadi terbayang anak saya Amartya Kejora yang berusia 12 tahun, cuma beda satu tahun dengannya. Bagaimana nasib dan masa depan mereka? Kerja keras TRUK-F memang sangat diperlukan terus menerus, tapi dengan derasnya kasus dan minimnya infrastruktur, seberapa banyak kah lembaga seperti TRUK-F bisa terus mensupport pendampingan bahkan menampung survivor dengan biaya yang tidak sedikit.
Tim PWAG Indonesia, terutama Nina Masjhur, mengajak anak-anak di shelter untuk belajar membuat origami, atau aktifitas melipat kertas yang bisa dijadikan hiasan dinding atau hiasan jendela. Kemudian juga kegiatan merangkai manik-manik sebagai modal awal pemberdayaan remaja perempuan di shelter TRUK-F, sekaligus menstimulasi survivior untuk beraktifitas positif , seni dan disain, dalam penantian kasus mereka, pendampingan, pemulihan dan penyelesaian masalahnya.
Di luar itu semua, kami sangat menghargai semua bantuan dan dukungan penuh dari crew TRUK-F yang selalu membantu kami, Henny, Osa, Fr Eko, Fr Ence, Agnes di shelter, para anak-anak remaja di shelter yang begitu hangat menyambut kami. Semua kerja keras kami tidak sebanding dengan kerja keras teman-teman di TRUK-F dan shelter yang lebih dari 15 tahun mendampingi korban dengan konsisten dalam segala keterbatasannya. Salut dari kami terus menerus. Kami belajar dari perjalanan kami disana yang mungkin singkat saja, tapi membekas sampai sekarang kemanapun kami akan pergi.
Film dokumenter produksi PWAG Indonesia ini akan memasuki tahap editing dan post-production lengkap pada September –Oktober 2012. Diharapkan akhir tahun bisa selesai. Kami juga berharap bisa launching ke Maumere atau Kupang bersama para pajabat publik untuk meningkatkan dukungan pemerintah bagi support terhadap institusi seperti TRUK-F maupun awareness raising bagi kampanye penghapusan kekerasan terhadap permepuan.
Bagi yang berminat memberikan bantuan apapun untuk kegiatan pendampingan konseling dan pemulihan survivor perempuan di Maumere, Flores, bisa bergabung di Facebook Group Tim Relawan Kemanusiaan Flores, atau kontak kepada kami tim PWAGIndonesia, untuk berkoordinasi. Bantuan apapun tentunya akan berguna dan bermanfaat buat teman-teman di TRUK-F.(http://pwagindonesia.tumblr.com)

Olin Monteiro
Produser Film Dokumenter Survivor Perempuan Flores
Koordinator Nasional PWAG Indonesia
Selengkapnya...

Monday 10 September 2012

Dititip di 'Rumah Tinggi' (2)

75 Tahun Seminari Tinggi Ledalero

PADA tahun 1932, angkatan pertama seminari telah menyelesaikan pendidikan menengahnya. Bagaimana selanjutnya? Gedung khusus belum ada. Maka mereka pun dititipkan di rumah yang baru selesai dibangun untuk para misionaris SVD di Mataloko, sebuah rumah bertingkat yang karena itu disebut "Rumah Tinggi" Namun, pertanyaan paling mendasar adalah: apakah para lulusan itu menjadi calon imam praja/diosesan atau SVD? P. Cornelissen mengajukan gagasan: sebaiknya orang-orang pertama dari Nusa Tenggara ini diterima sebagai calon imam SVD. Alasannya, waktu itu semua imam yang bekerja di wilayah ini adalah anggota SVD. Agar lebih tampak persamaan antara imam-imam pribumi dan SVD, maka orang-orang pertama ini diterima sebagai calon imam SVD. Perbedaan pribumi dan Barat tidak diperbesar lagi dengan perbedaan imam praja dan religius. Maka, setelah setahun menanti, tujuh orang angkatan pertama novis SVD diterima secara resmi dan memulai masa novisiatnya pada tanggal 16 Oktober 1933.


Enam orang dari angkatan ini kemudian mengikrarkan kaul pertama pada tanggal 17 Januari 1936. Saat itu mereka sudah cukup maju dalam studi, yang telah dimulainya pada tahun 1932. P. Cornelissen, yang mendampingi para calon ini sejak seminari menengah, mempunyai rasa bahagia dan bangga tersendiri.
Karena para frater hanya dititipkan di "Rumah Tinggi" di Mataloko, maka sejak tahun 1935 mulai dicari tempat baru untuk sebagai seminari tinggi. PJ Bouma yang saat itu menjadi pemimpin tertinggi SVD di wilayah ini, dibantu oleh PH Hermens dan PA Visser mempertimbangkan beberapa kemungkinan. Lembah Hokeng menjadi salah satu alternatif yang cukup kuat. Namun, kecemasan akan malaria menjadi alasan utama untuk mundur dari kemungkinan itu.

Akhirnya, dengan persetujuan Raja Don Thomas Ximenes da Silva, ditetapkanlah Ledalero sebagai tempat bagi seminari tinggi SVD. Ledalero, tempat sandar matahari ini memang tempat ideal untuk sebuah  seminari tinggi, karna letaknya tidak jauh dari beberapa paroki besar seperti Nita dan Koting, lagi pula cukup dekat dengan kota pelabuhan Maumere. Maka, pada tahun 1936 pembangunan beberapa gedung penting pun dimulai. 

Setelah mengeluarkan keputusan pendirian Seminari Tinggi Ledalero pada tanggal 20 Mei 1937, pada tanggal 3 Juni, pemimpin tertinggi SVD memindahkan novisiat dari Todabelu-Mataloko ke Ledalero, setelah mendapat persetujuan dari Vatikan dua hari sebelumnya. Dengan ini, seminari tinggi Ledalero sudah dapat dihuni secara resmi.
Rombongan pertama yang tiba di Ledalero adalah dua novis, yakni Lukas Lusi dan Niko Meak, didampingi pemimpin novisiat P. Jac. Koemeester. Lukas Lusi kemudian menarik diri dari SVD dan menjadi imam praja Keuskupan Agung Ende. Niko Meak kemudian meninggal dunia pada tanggal 30 November 1938 sebagai frater.
Tidak lama berselang, rombongan para frater yang telah studi pun tiba. Di antaranya Gabriel Manek dan Karolus Kale Bale, yang kemudian ditahbiskan sebagai dua imam pribumi pertama SVD Indonesia pada tanggal  28 Januari 1941.
Saat rombongan para novis dan frater tiba untuk pertama kalinya di Ledalero, mereka disambut umat Nita dengan ucapan dalam bahasa Sikka: "He miu ata novisen mole ata frater, mai baa deri ei Ledalero" yang artinya: hai para novis dan frater, datanglah dan tinggallah di Ledalero. Pada saat awal itu, jumlah calon imam sebanyak 16 orang: 5 orang frater mahasiswa teologi, 5 orang frater mahasiswa filsafat, dan 6 orang novis. 
Ungkapan orang Nita di atas menunjukkan bahwa pendidikan calon imam dan biarawan didukung sepenuhnya oleh umat. Umat menerima mereka dengan tangan terbuka untuk mengambil bagian dalam hidup mereka, mengalami jatuh bangun perjuangan hidup dan kegembiraan serta kebahagiaan. 

Para biarawan calon imam tidak melayang di atas angin, tetapi mesti berakar dalam kehidupan umat. Seminari, tempat persemaian panggilan untuk menjadi imam dan biarawan bukan pertama-tama rumah yang dibangun megah dengan aturan yang ketat, tetapi kehidupan umat di gubuk-gubuk sederhana yang mengenal matahari sebagai satu-satunya jaminan ketetapan ritme hidup. Jika rumah yang megah menumpulkan kepekaan para biarawan dan calon imam untuk menangkap kegelisahan umat, dan ketatnya aturan mengeraskan hati mereka untuk menanggapi persoalan masyarakat, maka seminari sebenarnya gagal menjalankan perannya. 
Berkat keramahan dan keterbukaan umat untuk selalu membumikan panggilan para biarawan dan calon imam, maka Ledalero, kendati harus menghadapi banyak tantangan dan masalah, tetap menjadi rahim yang menghasilkan imam, misionaris biarawan SVD yang diutus ke berbagai bangsa dan barisan panjang para awam yang berkiprah pada beragam bidang kehidupan. Pada tahun 1939 Ledalero mencatat 19 calon imam SVD.
Menurut catatan Karel Steenbrink dalam bukunya Orang-Orang Katolik di Indonesia, Jilid II, 1903-1942, dari 176 siswa di seminari menengah yang memulai pendidikannya antara tahun 1926-1936, hanya 29 orang atau 16% menjadi yang ditahbiskan imam. Kini, pada saat merayakan pesta 75 tahun, seminari ini telah menghitung lebih dari 893 imam SVD sebagai alumninya, di antaranya 10 orang uskup. Sebagian yang lainnya ditahbiskan sebagai imam dalam beberapa tarekat religius lain atau imam praja dari sejumlah keuskupan. Lebih dari separuh alumni adalah awam.

Tiga Periode Penting Seminari ini telah melewati tiga periode penting dalam sejarahnya. Periode pertama dapat disebut sebagai periode Seminari Belanda, yakni dari awal berdiri sampai akhir tahun 1950-an.
Kenapa disebut demikian? Karena kebanyakan staf dosennya adalah misionaris berkebangsaan Belanda dan bahasa pengantar di komunitas adalah bahasa Belanda. Dalam perkuliahan digunakan bahasa Latin.  Para frater harus mengenakan jubah pada hampir setiap saat.

Disiplin dan kerja keras menjadi kata kunci. Tetapi juga kedekatan dengan umat sangat diperhatikan baik oleh para dosen pun para frater. Generasi yang dihasilkan dari periode dapat dilukiskan dengan kata-kata yang digunakan P. Anton Pernia dalam suratnya mengenang alm. Mgr. Donatus Djagom, SVD.  "Gerenasi pertama SVD dari Indonesia dan Asia yang cerdas, tangguh, sedikit individualis, memiliki karakter kepemimpinan yang kuat. Cerdas, serta memiliki komitmen religius yang kuat. (Paul Budi Kleden/bersambung)(http://kupang.tribunnews.com/2012/09/07/dititip-di-rumah-tinggi-2)
Selengkapnya...

Ledalero Mulanya Bukit Angker (1)

Tanggal 20 Mei tahun ini Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, seminari tinggi terbesar SVD sejagad dan salah satu seminari tinggi terbesar dalam Gereja Katolik di dunia, merayakan ulang tahunnya yang ke-75. Perayaan syukur untuk peristiwa penting ini dilaksanakan bulan September ini. Inilah nukilan sejarahnya.
LEDALERO, mulanya adalah sebuah bukit yang dianggap angker oleh penduduk, dijauhi karena dipandang menjadi hunian roh-roh yang mudah tersinggung. Kini, bukit ini memiliki daya tarik yang mengundang perhatian banyak pihak, pemerintah dan masyarakat Indonesia, dan para anggota SVD dan sahabat-sahabat mereka di berbagai negara. 
Karena ribuan alumninya yang tersebar di berbagai tempat sebagai imam misionaris dan awam yang berkiprah di berbagai bidang, karena gagasan-gagasan yang disumbangkan dari bukit ini untuk Gereja dan bangsa Indonesia, Ledalero bukan lagi sebuah tempat terpencil dan tertutup. Semuanya ini bermula 75 tahun yang lalu. Apa yang terjadi waktu itu?


Pada tanggal 20 Mei 1937 Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero secara resmi/kanonis didirikan. Pada hari itu, P. Wilhem Gier, pemimpin tertinggi Serikat Sabda Allah (SVD) saat itu, mengeluarkan keputusan untuk mendirikan sebuah rumah pendidikan para calon imam, biarawan misionaris SVD di Ledalero. 

Keputusan itu dibuat berdasarkan izin yang diberikan oleh Vatikan pada tanggal 5 Mei 1937. Keputusan mendirikan seminari tinggi Ledalero dimotivasi terutama oleh ensiklik Maximum Illud dari Paus Benedictus XV pada tahun 1919. Ensiklik ini diterbitkan setahun setelah berakhirnya Perang Dunia I. 

Menurut P. Frans Cornelissen yang sangat berjasa dalam pendidikan para calon imam di Nusa Tenggara, aktor intelektual di balik ensiklik ini adalah pemimpin Kongregasi Propaganda Fide saat itu, Kardinal Willem van Rossum CSSR. 

Gereja Katolik yang waktu itu semata-mata mengandalkan para misionarisnya dari Barat, harus mengalami kenyataan bahwa perubahan situasi politik tiba-tiba dapat mempersulit pengiriman para misionaris ke berbagai tempat di dunia. 

Sebab itu, Paus mendorong secara serius perekrutan tenaga imam dan biarawan dari wilayah-wilayah misi. Di Indonesia, terobosan yang lebih berani ke arah pendidikan para calon imam pribumi dilakukan para Yesuit di Jawa. 

Dua orang dari angkatan pertama sekolah pendidikan guru di Muntilan, Jawa Tengah, menamatkan pendidikan gurunya pada tahun 1911 dan melamar untuk menjadi imam. Hanya seorang yang kemudian meneruskan pendidikannya mulai tahun 1914 di Belanda dan ditahbiskan imam tahun 1926. Pada tanggal 16 Juli 1915 Petrus Darmaseputra dan Fransiscus Satiman diterima menjadi novis Yesuit di Belanda. 

Pada tahun 1923 para Suster Fransiskanes dari Heythuisen membuka novisiat mereka. Itu berarti empat abad setelah terjadinya penyebaran agama Katolik secara sistematis dan berkesinambungan, barulah putera-puteri Indonesia dianggap pantas menjadi imam dan biarawan/ti. 

Dibutuhkan waktu sekian lama, bukan karena tidak ada orang Indonesia berniat menggabungkan diri, tetapi karena orang masih menganut pandangan bahwa orang Indonesia asli tidak memiliki bakat untuk menjalani kehidupan seperti ini. 

Tanggapan atas Maximum Illud di Nusa Tenggara diberikan oleh Mgr. Arnold Verstraelen yang menugaskan P. Frans Cornelissen untuk memulai sebuah seminari menengah. Menurut Mgr. Verstraelen, Vikariat Sunda Kecil yang pada waktu itu telah memiliki lebih dari 100.000 orang Katolik, sudah perlu mempunyai sebuah seminari. 

 Menurut pengakuan P. Cornelissen, Mgr. Verstraelen memberikan penugasan kepadanya untuk mendirikan seminari seminggu setelah dia tiba bersama tiga rekan dan tiga bruder SVD di Ende. Mulanya dia hanya disuruh ke Sikka atau Lela. 

Kemudian Uskup katakan, "Sudah ada begitu banyak orang Katolik di sini. Dan ada juga ensiklik Bapa Suci yang mengajak para uskup misi untuk membuka seminari. Sudah ada juga beberapa orang muda yang telah menyampaikan maksudnya akan menjadi imam. Maka kami berpendapat: Pater bisa mulai dengan seminari itu". 

Frans Cornelissen memang memiliki ijazah sebagai guru, dan sebelum berangkat ke Indonesia sudah diingatkan oleh Pater J. Bouma yang menjadi rektor rumah misi Uden, bahwa sangat mungkin dia akan ditugaskan untuk menjadi penilik sekolah. Namun, dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya yang baru saja tiba di Flores langsung diberi kepercayaan untuk memulai satu tugas yang belum pernah dilaksanakan sebelumnya. 

Uskup Verstraelen memang mempunyai visi tentang Gereja Nusa Tenggara yang turut dipimpin oleh tenaga imam pribumi. Namun, dia tidak mempunyai gambaran yang sangat jelas mengenai bagaimana program pembinaan para calon pribumi itu harus dilaksanakan. 

 Kepada P. Cornelissen dia katakan, "Sudah pasti harus diberikan Latin, bahasa Belanda dan Agama. Di samping itu bileh putuskan sendiri apa saja yang perlu dan berguna. Engkau seorang guru, maka lebih tahu dari saya mana yang perlu." 

 Berbekalkan kepercataan itu, Frans Cornelissen memulai seminari pertama di Nusa Tenggara. Ide besar dengan dampak sejarah yang panjang ternyata tidak dimulai dengan membangun fasilitas serba lengkap. Orang tidak mulai dengan bangunan dan fasilitas lain. Orang mulai dengan manusia. 

 Sejarah seminari di Nusa Tenggara bermula pada tanggal 2 Februari tahun 1926 dengan menggunakan pendopo pastoran Lela sebagai ruang kelas. P. Cornelissen mendampingi 6 siswa pertama wilayah di Flores dan Timor. Tiga setengah tahun kemudian, pada tanggal 15 September 1929, seminari ini dipindahkan untuk menempati rumah yang dirancang dan dibangun khusus untuk tujuan itu, yakni di Todabelu-Mataloko. 

 Frans Cornelissen adalah tokoh pendidikan, yang mempunyai prestasi besar bagi perkembangan pendidikan pada umumnya di Flores, secara khusus pendidikan para calon imam. Dia harus menghadapi banyak tantangan. Misalnya, pandangan sejumlah misionaris tentang ketaklayakan orang-orang pribumi untuk menjadi imam, dan dengan demikian menjadi pemimpin dalam Gereja Katolik; persoalan pembiayaan untuk lembaga pendidikan; bahasa Melayu yang masih kurang dipahami oleh P. Cornelissen sendiri sebagai syarat untuk dapat mendampingi secara efektif para seminaris. 

Kendati terdapat sejumlah tantangan, pendidikam seminari tetap dijalankan. (Paul Budi Kleden/bersambung)(pos-kupang.com)
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: 09.12 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---