Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Saturday 13 November 2010

Bunga-Bunga Mimpi Warga Aibura

Kadang untuk mendapatkan hak sebagai warga negara yang menikmati pembangunan terasa susah. Seperti masyarakat di Desa Aibura, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka yang bertahun-tahun hidup ditengah kondisi ruas jalan yang rusak parah. Ruas badan jalan disini secara keseluruhan seperti yang kami lihat memang tak layak untuk dilintasi. Lubang jalan dan batu-batu berserakan menghiasi badan jalan. Kondisi ini makin parah saat musim hujan. Tak ada usaha untuk perbaikan jalan dari pemerintah. Karena itu masyarakat Aibura hanya bisa pasrah. Menurut mereka jalan mulus hanyalah mimpi penduduk Aibura. Aneh memang. Pemerataan pembangunan jalan sama sekali tak menyentuh desa penghasil komoditi perkebunan ini. “Sudah berkali-kali kami meminta lewat dewan yang setiap tahun berkunjung kesini, tapi tak ada realisisasinya hingga sekarang untuk perbaikan,” ujar Hendrikus, warga Biket, Aibura.

Seingat Hendrikus, pembangunan jalan aspal di Desa Aibura ini dimulai sejak tahun 1999. Namun setelah itu tak ada peningkatan seperti perbaikan badan jalan yang mulai rusak. Dari tahun ke tahun kondisi semakin buruk. Dan akhirnya rusak parah seperti terlihat sekarang.

Kondisi topografi Desa Aibura seperti pula desa tetangganya Kloangrotat berbukit dengan pemandangan indah ke laut lepas. Kedua daerah berhawa dingin ini terkenal sebagai daerah penghasil komoditi terdepan perkebunan seperti cengkeh, kemiri, cokelat, vanilli, kelapa, dan lain-lain. Tapi masyarakat Kloangrotat lebih beruntung karena akses menuju ketempatnya lebih baik. Aspal jalan di lintasannya mulus. Sedang warga Aibura tak menikmati itu. Jalan yang rusak dan tak layak dilintasi sejauh kira-kira 7 Km dari pertigaan Lakakokat menuju Kubit, Mudung hingga Pouhura, dibiarkan begitu saja.

“Setiap ada pembanguan jalan, daerah Pogon, Kloangrotat saja yang kebagian kuenya dan kami hanya jadi penonton,” ujra Hendrik.

Masyarakat Aibura, jelas Hendrik, sangat berharap, bahwa Pemda Sikka juga memperhatikan daerah mereka. “Tak banyak, kami hanya meminta agar ruas jalan ini segera diperbaiki, dipermulus. Transportasi disini adalah jantung bagi kami. Daerah disini penghasil komoditi perkebunan jadi aneh kalau jantung transportasi seperti jalan sama sekali tak diperhatikan oleh pemerintah,”

Desa Aibura terletak dalam wilayah kecamatan Waigete. Lebih dari 2000 penduduk mendiami desa ini. Desa Aibura bertetangga dengan Kloangrotat dimana 15 warga kedua desa ini menjadi korban dalam petaka tenggelamnya KM Tersanjung sebulan lalu.

Masyarakat Kloangrotat dan Pogon jelas lebih beruntung. Warga di desa ini sudah menikmati jalan mulus. Listrik pun sudah menjamah kehidupan mereka, berbeda dengan Aibura yang masih gelap gulita tanpa listrik.

Jalan mulus menuju Kloangrotat akan melintasi rumah keluarga Bupati Sikka Sosimus Mitan yang berada di Desa Kebot. Jalan mulus menuju Kloangrotat akan berakhir di Pouhura. Setelah itu memasuki wilayah Desa Aibura dengan kondisi jalan yang tak layak untuk dilintasi.

Tentu saja harapan warga Aibura untuk mendapat dan menikmati pembangunan khususnya hak untuk menikmati enaknya berkendaraan diatas badan jalan nan mulus bisa terlaksana. Sehingga bukan lagi sekedar bunga-bunga mimpi penghias tidur semata. Rakyat di Aibura sama seperti warga Indonesia lainnya berhak untuk diperhatikan oleh pemerintah daerahnya. Bukankah desa ini adalah daerah penghasil komoditi perkebunan? Lagian slogan “Membangun Mulai Dari Desa” masih terngiang-ngiang di telinga warga Aibura. (Oss)

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Orang Flores Bernyanyi Tanpa Berharap Pamrih dan Pujian

Bakat Musik dalam Jiwa Orang Flores
Orang Flores umumnya mewarisi bakat musik yang sangat kental. Dimana-mana orang menyanyi, menari dan bergembira. Dalam keadaan sulitpun mereka tetap bersenandung. Meski masyarakat diwilayah ini akrab dengan kekurangan pangan, kelaparan (melarat), memang ada benarnya. Tapi jika Anda datang ke Flores Anda akan dengan mudah menemukan suasana yang segar. Nyanyian orang-orang Flores sudah indentik dengan keseharian warga setempat.
Bukankah Flores itu pulau miskin? Tempatnya orang susah? Mungkin ini benar adanya. Tapi sejak dulu warga setempat tidak merasa miskin. Meski kemisikinan itu meliliti hidup warga sehari-hari, tapi warga tidak merasa miskin. Malah dalam kondisi demikian, mereka juga tetap bersenandung merdu.

Musik, menyanyi dan menari bersama selalu seiring sejalan. Tiga aspek itu seolah membebaskan rakyat dari belenggu tekanan hidup nan berat. Nyanyian itu ibarat pelipur lara.

Yang menyanyi tak hanya anak-anak atau remaja dan anak-anak sekolah. Kakek-kakek 60-an tahun yang duduk ditangkai pohon lontar untuk mengambil nira (dijadikan tuak) juga selalu bersenandung, menyanyi dengan mudah.

Para nelayan menyanyi. Anak-anak menyanyi, ibu-ibu bersenandung sambil memutar alat pembuat benang atau menggarap tenun ikat. Itu semau dilakukan secara alamiah, spontan, tak mengharap pamrih atau pujian dari siapapun.

Karena itu tak salah kalau sejumlah penulis bahkan peneliti menuliskan kesan-kesannya bahwa Pulau Flores dari ujung barat hingga ujung timur, tak hanya pulau bunga tapi juga ‘pulau musik’.
Musikalitas orang Flores itu terasa sekali di Gereja Katolik di seluruh Flores bahkan Indonesia. Begitu banyak lagu-lagu liturgi inkulturasi dibawakan umat Katolik Indonesia adalah buah dari musik Flores.

Pelatih-pelatih koor, solis, penggubah lagu-lagu gereja sebagian besar berasal dari Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Bahkan Pusat Musik Liturgi (PML) Jogja pun paling banyak menggelar lokakarya komposisi musik liturgi di Flores.

Adak Jap Kunst (1942), peneliti musik yang paling banyak melakukan riset tentang musik di Indonesia sebelum kemerdekaan.
Dia menulis:

“Sebenarnya menurut saya penduduk Flores lebih berbakat musik daripada suku-suku di Indonesia terkenal lainnya seperti Sumatera, Jawa dan Celebes. Saya pernah mendengar suara-suara yang cukup bagus menyanyikan nyanyian yang pas. Itu berbeda dengan yang ada di Flores. Banyak laki-laki bersuara sangat merdu, sambil menyanyikan lagu-lagu sederhana di tepi sungai, masih terngiang ditelinga saya, melodi yang juga sangat menyenangkan orang Eropa.”

“........ dan dimana orang Flores yang mendayung dengan tanpa menyanyikan pantunnya, lengkap dengan solis dan bagian pengulangan yang dinyanyikan dalam paduan suara? Diantara para solis tedapat suara-suara yang dengan latihan yang lebih baik dapat menjadi suara tenor, sopran dan bass yang baik.” (kunst, 1942, hlm 11). (*/kro/dari berbagai sumber/ Flores Star)

Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Saturday, November 13 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---