Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Thursday 30 December 2010

Mingguan Suara Sikka Akhirnya Terbit..

Dari, Oleh dan Untuk Masyarakat Sikka..
Masyarakat diberbagai pelosok Kabupaten Sikka awal tahun 2011 memiliki pilihan lain dalam mengkomsumsi berita berbobot. Bukan apa-apa memang, bila sekarang ini berita-berita dalam berbagai surat kabar terasa kurang menggigit dan bertaji. Untuk menjawab kerinduan tersebut, sebuah tabloid mingguan yang dikelola dan diterbitkan sendiri oleh para pemuda Sikka hadir menjawab semuanya. Koran Suara Sikka, demikian nama tabloid mingguan tersebut tampil dalam edisi pertama yang menawan. Mingguan Suara Sikka ini memiliki ruang lingkup pemberitaan seputar Kabupaten Sikka dengan mengambil berbagai topik hangat yang menjadi buah bibir di tengah masyarakat Sikka. Dalam Edisi Minggu Pertama Januari 2011, Suara Sikka mempertanyakan terbakarnya Kantor Bupati Sikka yang terjadi tanggal 26 Desember 2009 lalu dengan headline, “Satu Tahun Kebakaran Kantor Bupati Sikka, Terbakar atau Dibakar.”

Empat halaman pertama koran mingguan yang dipimpin oleh Vicky da Gomez ini, mengulas habis terbakarnya kantor tersebut dengan berbagai data di dilapangan. Sentilan pertama bisa dibaca dalam kolom Tedang Sikka, ditulis sendiri oleh Vicky da Gomez dengan judul,“Si Jago” yang Benar-Benar Jago”, dilanjutkan dengan Liputan Utama: “Satu Tahun Kebakaran Kantor Bupati Sikka, Terbakar atau Dibakar ”, “Penghapusan Aset Hentikan Polemik?” dan investigasi terakhir yang memuat judul “Bantuan Sosial Rp. 10 Miliar Diduga Fiktif”.

Selain Liputan Utama diatas, Mingguan Suara Sikka diedisi pertama penerbitan juga mengulas liputan lain yang dihimpun dari wartawannya Wento Eliando dan Agustinus Nong. Ulasan seputar “Laporan Keuangan Pemkab Sikka TA 2009 Dinyatakan Disclaimer of Opinion, Noktah Merah di Punggung SODA”, yang memuat laporan Auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang tidak memberikan pendapat atau menyatakan discalimer of opinion terhadap Laporan Keuangan Pemkab Sikka TA 2009. Ini merupakan kasus pertama yang terjadi di Kabupaten Sikka diulas secara terbuka oleh Mingguan Suara Sikka.

Juga ulasan lain seperti,” Tiga Tahun Dikirim ke MA, Berkas Kasasi Tidak Sampai Tujuan; Mafia Hukum atau Kejahatan Transportasi?” dimana ditulis ulasan mengenai bersitegangnya Heryanto Go bersama istri dan kedua anaknya dengan Kepala Kantor Pos dan Giro Maumere terhadap berkas Kasasi yang dikirim ke Mahkama Agung pada 5 Juni 2007 tetapi sampai dengan Oktober 2010 belum sampai ketujuan.

Ulasan-ulasan lain juga cukup menggoda untuk dibaca. “Mengais Rezeki dari Kebiasaan Buruk”, yang menyentil tentang penjualan aset negara di Bandara Frans Seda. Ada lagi, “Narkoba Tembus Jaringan Antar Pulau” mengenai penggagalan peredaran 4,3 gram shabu-shabu di Maumere, “Masyarakat Tanawawo Teriak Transportasi”, “Kursi DPRD Milik Cinde Terancam”. Dan ulasan-ulasan lainnya yang rasanya perlu untuk dibaca.

Pemimpin Redaksi Mingguan Suara Sikka, Vicky da Gomez mengatakan Mingguan Suara Sikka hadir sedikit berbeda dari media-media cetak lain yang beredar di Kabupaten Sikka.

“Kami ingin agar kehadiran Suara Sikka benar-benar dari, oleh dan untuk masyarakat Sikka. Kami akan berupaya memberikan informasi yang seterang-terangnya terhadap semua yang tercecer dan jauh dari perhatian. Aspek apapun yang menjadi kepentingan masyarakat Kabupaten Sikka akan kami sajikan sebagai informasi yang bertanggungjawab demi memberikan kontribusi pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat,” jelas Vicky, yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia.

Vicky juga menjelaskan, dengan terbit sekali seminggu, Mingguan Suara Sikka tentu memiliki waktu yang cukup untuk menyajikan berita dan peliputan yang dalam dan berimbang, sambil mengarahkan solusi terhadap sebuah permasalahan dengan tetap memegang kode etik jurnalistik.

Meski memiliki nama yang mirip dengan nama Radio Suara Sikka (RSPD) milik pemerintah yang kini tak lagi mengudara, Vicky menolak bahwa Mingguan Suara Sikka adalah bentuk lain dari Radio Suara Sikka. “Nama boleh mirip tapi sentilan berbeda,” ungkapnya dengan serius.

Mingguan Suara Sikka merupakan buah karya anak Nian Tana. Dan dengan rasa bangga hadir ditengah masyarakat sebagai suara yang benar-benar suara dari kaum du’a moat ata sikka sendiri, dari mereka yang merasa suaranya selama ini belum terdengar secara terang benderang.

Suara Sikka terbit sekali seminggu dengan 16 halaman berita dijual dengan harga Rp. 5000 dan untuk sementara bisa didapatkan di saudara Vicky da Gomez (081339483571 / vickydagomez@yahoo.co.id).

Untuk kedepannya, inimaumere.com akan mengahadirkan beberapa ulasan Mingguan Suara Sikka secara berkala.

Dan, www.inimaumere.com, mengucapkan selamat dan profisiat atas tebitnya Mingguan Suara Sikka, Sukses..!


www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Saturday 25 December 2010

Misa Malam Natal di Maumere Berlangsung Khusuk

Kembang api, petasan dan meriam bambu warnai malam natal di Kota Maumere. Perayaan tersebut bahkan semakin meriah usai misa malam natal di seluruh gereja di Kota Maumere. Padahal, pemerintah, gereja dan aparat telah menghimbau agar bunyi-bunyian tersebut dihentikan karena menggangu ketentraman masyarakat. Tapi apa bole buat. Pesta kembang api dan meriam bambu terus dinyalakan hingga tengah malam. Dalam pantauan kami, permainan kembang api dan meriam bambu dilakukan dibeberapa sudut kota. Dihalaman rumah, anak-anak hingga orang dewasa bergembira menyambut hari natal. Sebelumnya, pelaksanan misa dan kebaktian malam natal disejumlah gereja berlangsung khusuk dan khidmat. Umat membanjiri gereja-gereja. Bahkan ada beberapa gereja yang tak bisa menampung umat yang membludak. Seperti di Gereja Katedral St. Yoseph Maumere, umat sampai meluber di halaman gereja.


Uskup Kherubim Pareira, yang memimpin misa malam natal di Gereja Katedral St. Yosep Maumere mengajak umat khatolik di wilayah Keuskupan Maumere untuk mengambil sikap solidaritas terhadap sesama terutama terhadap korban bencana di tanah air yang mengalami penderitaan. “Sikap solidaritas kita merupakan cermin dari solidaritas Jesus dalam kasih, yang telah mengajarkan pada kita untuk selalu memberikan cinta pada sesama,” ucap Uskup Kharubim dalam khotbah misa ke-2 malam natal, pukul 20.00 Wita, 24 Desember 2010. Uskup juga berterima kasih kepada segenap dermawan di Keuskupan Maumere yang telah memberikan bantuan bagi korban-korban bencana. Misa di Katedral St. Yosep Maumere diikuti hampir sebagian besar umat di Paroki Katedral St Yosep.

Misa dan kebaktian malam natal 24 Desember juga berlangsung disejumlah gereja di Kota Maumere dan Kabupaten Sikka. Baik gereja Protestan, Pantekosta, Bethel, Katolik dan gereja kristiani lainnya, umat berkumpul untuk merayakan suka cita kelahiran Sang Juru Selamat dengan khusuk dan khidmat. Kota langgeng dari kendaraan. Sepi saat misa dan kebaktian berlangsung. Meski begitu, bunyi meriam bambu, kembang api dan petasan saling bersahutan ditengah misa.

Kepolisian Resort Sikka sendiri menurunkan sejumlah personilnya untuk menjaga malam natal ini berlangsung aman dan damai. Selain digereja, beberapa tempat strategis didirikan pos pemantauan untuk mengawal perayaan Natal dan Tahun Baru.

Malam Natal kali ini dilewati masyarakat Kota Maumere tanpa hujan dan angin yang hari-hari sebelumnya selalu menerpa kota. Menjelang misa malam natal, hujan telah turun lebih awal yakni di siang hari sehingga pada malam natal, umat bisa menjalankan ibadahnya dengan nyaman tanpa terganggu hujan.

Misa Malam Natal di Maumere seperti pula di sejumlah gereja di Flores, NTT dan Indonesia berlangsung aman dan khidmat. Kita bersyukur atas semua ini.

Selamat Natal..

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Wednesday 22 December 2010

Pesilat Sikka Agatha Trisnawati Juara Dunia

Terima Bonus Rp.10 Juta
Sikka bangga. Indonesia berbangga. Seluruh masyarakat Kabupaten Sikka memperoleh kado Natal istimewa. Adalah Agatha Trisnawati, salah satu putri terbaik Maumere berhasil menorehkan prestasi gemilang dengan membawa pulang medali emas pada Kejuaraan Dunia Pencak Silat yang berlangsung di Jakarta, 12-17 Desember 2010. Di Kejuaraan Dunia Pencak Silat yang diikuti 32 negara tersebut Agatha yang tampil dalam Kelas Seni Tunggal Putri menyingkirkan atlet Vietnam yang merebut perak dan atlet Brunai Darulsalam yang meraih perunggu. Dengan demikian, Agatha yang kini tercatat sebagai mahasiswi Universitas Nusa Nipa Maumere menorehkan namanya sejajar dengan atlet-atlet silat nasional lainnya yang pernah meraih emas. Kemenangannya pesilat Perisai Diri Maumere ini di Kejuaraan Dunia tersebut telah membuat bangga warga Kabupaten Sikka, termasuk pula Bupati dan Wakil Bupati Sikka yang menyambut kedatangannya kembali ke Maumere di Bandara Frans Seda, Selasa (21/12/2010).

Mengutip Harian Flores Pos yang menjadikan Headline pemberitaan kemenangan Agatha ini dengan judul Pesilat Sikka Raih Medali Emas Dunia, “Saya mempersembahkan medali emas ini untuk masyarakat Indonesia, khususnya warga Kabupaten Sikka dimana saja berada,” kata mahasiswa Psikologi Semeseter 4 ini. “Saya bertekad untuk mempersembahkan medali emas untuk Indonesia pada Sea Games mendatang, saya minta dukungan warga Sikka agar tekada saya ini tercapai.”

Tekad untuk meraih medali emas pada Sea Games mendatang juga disampaikan Pelatih Yosef Otu dan Ketua Harian IPSI cabang SikkaChristo Ladapase.

Bupati Sikka Sosimus Mitang dan Wakil Bupati Wera Damianus memberi apresiasi atas keberhasilan Agatha Trisnawati. Bupati juga berjanji akan selalu memberikan dukungan pada Agatha untuk tetap sukses dan mempersembahkan medali emas bagi Indonesia di waktu-waktu mendatang.

“Pemerintah dan masyarakat Sikka menyampaikan profisiat atas prestasi ini. Kami juga akan selalu memberikan dukungan moril, doa dan bentuk dukungan lainnya untuk kesuksesan dalam kejuaraan dunia pencak silat lainnya, kata Bupati Sosimus seperti yang dikutip dari Flores Pos.

Sedangkan Harian Pos Kupang menulis Bupati Sikka Sosimus Mitang mengusulkan agar Agatha diangkat menjadi PNS Kabupaten Sikka. Namun, katanya, usulan PNS tersebut akan diakomodir pemerintah ke depannya dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.

Apresiasi besar juga diberikan Bupati dan Wabup Sikka, Drs. Sosimus Mitang dan dr. Wera Damianus, M.M, ketika bertatap muka dengan pesilat Sikka, tersebut di ruang kerjanya dengan memberikan bonus senilai Rp 10 juta.

Piagam yang diterima Agatha ditandatangani Presiden International Pencak Silat Federation, Edu M. Nalapraya dan Presiden Indonesia Pencak Silat Association Prabowo Subyanto. Piagam dan medali emas tersebut diperlihatkan kepada Bupati dan Wakil Bupati Sikka.

Turut mendampingi Agatha antara lain, Ketua Harian IPSI cabang Sikka Christi Ladapase, Sekretaris IPSI Jhon Hendrik, Pelatih/Wasit Silat Nasional Yosef Otu, Priscilla Seli (Ibunda Agatha), Tim Pelatih: Simplisius Ray dan Yohana K.

***
Tim Silat Sikka yang mengikuti Kejurda IPSI se-NTT Korem Cup di Waingapu Sumba Timur, 16-19 Desember 2010, gagal meraih hasil maksimal dengan hanya menempati posisi ke-3. Tim Silat Sumba Timur berhasil tampil sebagai juara sekaligus menyingkirkan dominasi Sikka sebagai raja silat di dua kejuaraan daerah sebelumnya.

Tim Silat Sikka hanya meraih dua (2) emas lewat cabang Seni Senam Tunggal lewat pesilatnya Deril dan Rinil. Tim Silat Sikka ke Waingapu membawa 5 pesilat dan dua pelatih. Sikka bertekad untuk merebut kembali supermasi silat di kejurda silat berikutnya. Maju Sikka..!

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Tuesday 21 December 2010

WTM Bangun Sekolah Siaga di Mapitara dan Doreng

Wahana Tani Mandiri (WTM) melakukan kegiatan Pendidikan Tanggap Darurat bagi para 10 Guru se-kecamatan Mapitara dan Doreng. Kegiatan tersebut difasilitasi oleh Carolus Winfridus Keupung (Direktur WTM), Herry Naif (Walhi NTT), Benny Daga (Tagana Sikka) dan Staf Dinkes Kabupaten Sikka yang berlangsung dari hari Kamis sampai Sabtu (16-18 Desember). Kegiatan ini sebagai tindak lanjut Program Building Resieliance atas kerja sama WTM, YPPS dengan Oxfam. Mengambil lokasi di Pusat Pendidikan dan Pengelolan Lingkungan Hidup Jiro-Jaro Tana Li, Desa Gera, Kecamatan Lekebai, Kabupaten Sikka, kegiatan ini dibuka oleh Direktur WTM. Dalam sambutannya, Winfridus memberikan apreseasi kepada para guru yang hadir dalam kegiatan tersebut. Bahwa setelah setahun dilakukan kegiatan Disaster Manajemen terutama dalam Pengurangan Resiko Bencana yang berbasis sekolah dan Komunitas.


Menyambung pernyataan Win Keupung, Ketua Panitia Kegiatan (Kristoforus Greogorius) mengemukakan bahwa diharapkan dengan pendidikan ini, kemudian di tingkat sekolah memotivasi dirinya menjadi sekolah siaga bencana. Tentunya, indikator akan penilaian Sekolah Siaga Bencana ada banyak hal tetapi yang paling penting adalah bagaiman dengan kegiatan kemudian berdampak pada sekolah berperspektif bencana dalam segala ruang dan kesempatan bila memungkinkan.

Diawali pendidikan ini, Fasilitator Herry (Walhi NTT) bersama peserta mereview pemahaman mereka tentang kebencanaan. Kembali dilihat tentang Apa itu Bencana, Kerentanan, Ancaman dan Kapasitas.
Bahwa dalam penanganan kegiatan kebencanaan perlu diubah paradigma Tanggap Darurat menjadi Pengurangan Resiko Bencana (PRB).

Mereka melihat kembali profil sekolah tentang identifikasi tanaman apa saja yang dihadapi di sekolah dan kampung masing-masing. Pembicaraan ini kemudian merucut pada penemuan Sekolah Siaga Bencana. Indikator Sekolah Siaga Bencana dilihat dari apakah persepsi kebencanaan menjadi meanstreming semua komunitas. Misalnya; Simulasi kebencaan yang dilakukan sekali sebulan, ada Tim Siaga Bencana Sekolah, dan dibuat sistem dan mekanisme penanganan benncana.

Kegiatan itu kemudian difasilitasi oleh Marselinus Gawi (Pimpinan Puskesmas Lekebai), Kabupaten Sikka. Peserta diajarkan mengenai bagaimana menghadapi korban bencana yang luka, patah tulang, pingsan. Pertolongan pertama pada Kebencanaan harus dilihat sebagai langka tanggap darurat yang dimiliki oleh pihak sekolah.

Sedangkan Benny Daga Tim Siga Bencana (Tagana) Kabupaten Sikka mempraktekan caranya bagaimana menghadapi korban dalam keadaan darurat. Sebelum menolong orang lain, perlu menolong (menyelamatkan) diri sendiri. Di sini dibutuhkan sikap kerelawanan, teknik dan mental yang kuat untuk membantu orang lain yang mengalami penderitaan akibat bencana, demikian Benny yang pernah mengikuti pendidikan kebencanaan di Jakarta.

Setelah itu peserta memperdalam pengetahuan ini dilakukan Simulasi Bencana, dimana ada yang mengalami sebagai korban, tim evakuasi dan pelapor kepada pihak berwewenang. Kegiatan ini kemudian dievaluasi oleh para peserta dan tim fasilitator, ditemukan bahwa dalam kegiatan tanggap darurat dibutuhkan data, kecekatan dan sikap siaga bencana yang koordinatif para pihak.

Mengakhiri kegiatan ini, Markus Miskin (Kepala SDK Gere) mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas perlu dilakukan sebagai langka untuk mempersiapkan komunitas sekolah dan warga. Sebagai pimpinan sekolah mengatakan bahwa kegiatan Siaga Bencana Sekolah dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab kami di kawasan bencana. Sedangka peserta lainnya Eusabia mengatakan bahwa kendatipun sebagai staf di sekolah akan berusaha meyakinkan pimpinan sekolah untuk melihat ini sebagai langka-langka konkret untuk mewujudkan kesiapsiagaan sekolah.

Beberapa rekomendasi yang hedak dicapai adalah sekolah-sekolah yang ada di Kecamatan Mapitara dan Doreng harus didorong menjadi Sekolah Siaga Bencana. Dengan ini, budaya siap siaga, kurangi resiko bencana selalu diemban dalam komunitas sekolah di Kecamatan Mapitara dan Doreng yang menjadi kawasan rentang Gunung Api Egon.

Acara penutupan kegiatan ini dipandu oleh Herry Naif, Ibu Hermina dan Pak Markus yang mewakili peserta. Ketiganya memberikan apreseasi kepada WTM yang terus berkorban bersama rakyat dan segala komponen yang ada di Doreng dan Mapitara untuk melihat beberapa ancaman yang ada di sana.

Sedangkan Win, Direktur WTM juga mengharapkan bahwa dalam upaya menciptakan pendidikan berbasis PRB mestinya diutamakan di kawasan yang dinilai memiliki ancaman besar.

"Menjadi seorang pelatih dalam bidang bencana bukan sekedar memberikan pendidikan. Lebih dari itu hendaknya kita tidak bermental project (project oriented) melainkan membudayakan kesiapsiagaan kebencanaan. Prinsipnya kita yang berada di kawasan genting, dituntut kesiapsiagaan," ujar Winfridus.

Kecamatan Egon dan Mapitara dilihat sebagai kawasan yang genting karena harus berhadapan dengan Gunung Api Egon dan ancaman lain.

"Kita mau jadikan sekolah-sekolah di sana sebagai model sekolah bencana," ungkap Winfridus, Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTT. (HF)

WWW.INIMAUMERE.COM

Selengkapnya...

Monday 20 December 2010

Flores, Legend Of The Saint..

Taman Laut Flores
Legend of the Saint. Dari manakah asal “surga bawah laut” yang indah tiada duanya itu, di sebuah pulau beriklim kering dengan musim penghujan yang sangat pendek pula? Sebagian orang Flores masih menyimpan jawabannya. Konon beberapa ratus tahun yang lalu beberapa pemuda berdiri di Teluk Maumere pada suatu pagi, ketika matahari belum terbit. Mereka berdiri dan memandang ke kejauhan. Tiba-tiba tampak di laut lepas sebuah kapal layar yang besar. Sangat jarang kapal sebesar itu berlayar si situ. Para pemuda itu merasa was-was, jangan-jangan kapal perompak. Mereka terus mengamati kapal itu, yang tiba-tiba memutar halauannya, mendekat, dan berhenti di hadapan mereka. Sebuah sekoci kecil diturunkan. Seorang laki-laki putih berjubah dan beberapa orang lainnya turun ke sekoci, berkayuh dan mendarat.

Salah seorang, lelaki putih berjubah itu, turun ke pantai. Dengan mata penuh kasih disapanya para pemuda yang tampak waspada itu. Dia menanyakan sebuah tempat yang asing di telinga mereka. Dia pun menceritakan bahwa dia datang dari jauh, jauh sekali datangnya, melalui lautan dan samudra raya. Akan tetapi kapal besar itu harus segera berangkat. Tergesa-gesa naiklah ia ke dalam sekoci yang membawanya ke dalam kapal besar itu.

Kapal itupun menarik jangkaran menurunkan sauhnya. Para pemuda itu melambaikan tangan, dan orang berjubah itu pun membalasnya dengan lambaian penuh kasih. Tiba-tiba orang berjubah itu berjalan ke arah haluan kapal, berdiri diam seperti memanjatkan doa kepada yang ilahi. Dibuatnya tanda salib di udara dengan sebuah tongkat.

Tongkat itu kemudian dibuangnya ke laut lepas di Pulau Flores itu. Maka perairan di pulau itu berubah menjadi sebuah taman laut yang sangat indah tiada duanya, penuh dengan koloni fauna dan flora laut. Orang berjubah itu lalu menjadi buah bibir di kawasan itu. Ketika itu sedang tersiar berita tentang seorang yang tersohor dari Timur, bernama Fransiskus Xaverius.

Sejak itu mereka percaya, orang yang melemparkan tongkat ke perairan Flores itu adalah Santo Fransiskus Xaverius. Santo yang kudus itulah yang telah memberikan sebuah souvenir bagi Pulau Flores: sebuah taman laut terindah di dunia.

************

Wilayah perairan di beberapa kawasan di Pulau Flores terkenal kaya akan objek wisata laut kelas dunia. Kawasan yang sangat ideal dan menyenangkan untuk kegiatan wisata selam (diving), baik untuk scuba diving maupun snorkeling itu terutama terdapat di Kabupaten Sikka, Nagakeo, dan Manggarai. Di Kabupaten Sikka terdapat cluster teluk Maumere dan Pulau Palue dengan perkampungan nelayan tradisional dan gunung berapinya.

Di Kabupaten Nagakeo, pesona alam kepulauan Riung dengan 13 pulau yang menarik dengan keunikan masing-masing. Jop Ave, mantan Menparpostel Kabinet Pembangunan VI menyebut pesona Riung sebagai “Mutiara dari Timur”.

Di Kabupaten Manggarai terdapat Taman Nasional Komodo yang sangat unik, yang oleh Marzuki Usman, mantan Menparpostel Kabinet Pembangunan V, diberi julukan “Negeri Seribu Naga”.

Keindahan panorama perairan Flores itu bahkan disebut Jop Ave sebagai “surga bawah laut yang belum tersentuh”. Dengan nuansa perairan teluk yang membiru,

bertaburkan gugusan karang dengan aneka koloni terumbu karang serta kawasan ikan hias, memberikan nuansa sekaligus warna khas taman laut Flores yang menawarkan pesona alam tiada duanya dipandang dari permukaan air yang bening. Di beberapa kawasan tertentu, seperti di bagian barat Teluk Riung, dapat dijumpai pemandangan kebun koral yang eksotis pada kedalaman air laut sepuluh meter.

Flores tidak sedikit. Sebagian keindahannya telah bercerita pada dunia dan sebagian masih terjaga dalam surga yang indah. Elok seperti perawan cantik, indah seperti lukisan.(cintabahari)

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Tuesday 14 December 2010

Go Sikka Go...!

Sikka Siap Pertahankan Gelar Juara
Tim Pencak Silat Kabupaten Sikka yang merupakan Juara Cabang IPSI NTT di Korem Cup I dan II menargetkan 5 emas pada Korem Cup III yang akan berlangsung di Waingapu, Sumba Timur 16 – 19 Desember 2010. Informasi dari pengurus Perisai Diri, Iwan, mengatakan lima atlet yang dibawa menuju Waingapu adalah Randy, Thomas Aquino, dan Emanuel Nong Frit yang akan bertanding di Kelas A, B dan C. Pada Kelas Seni Tunggal Putra akan bertarung Deril Djata (Juara Nasional) dan pada Putri diwakili Rinil (Juara II Nasional). Ke-5 atlet ini akan didampingi pelatih mereka Gidion Geradus dan Nelson Leqy.
Menurut Iwan, persiapan Tim Pencak Silat Sikka sudah maksimal dan para atlet tersebut sudah digembleng khusus untuk mempertahkan gelar tersebut. "Beberapa diantaranya merupakan punggawa Sikka yang meraup 18 Emas pada Pordafta 2009 lalu," jelasnya.


Seperti kita ketahui, selain menyabet 18 emas di Pordafta 2009, dua tahun berturut-turut Tim Pencak Silat (Perisai Diri) Kabupaten Sikka berhasil menjadi yang terbaik dari terbaik di daratan Flobamora dalam Kejuaraan Daerah IPSI NTT KOREM CUP 2008 dan 2009.

Tahun 2008 di Korem Cup I, Sikka yang bertindak sebagai tuan rumah tampil sebagai kampiun dengan menyabet 6 emas dan diteruskan dengan mempertahankan gelar tersebut di Korem Cup 2009 yang berlangsung saat itu di Rote Ndao dengan membawa pulang 5 emas. Jika di Waingapu Sikka kampiun, maka 3 kali berturut-turut Sikka menjadi yang terbaik untuk Kejuaraan Daerah Cabang IPSI se-NTT, Korem Cup.

Prestasi Sikka di cabang Pencak Silat lewat Perguruan Silat Perisai Diri memang tak perlu diragukan lagi. Selain prestasi diatas, Sikka pun turut menyumbangkan atlet-atletnya mewakili Propinsi NTT diberbagai ajang IPSI. Prestasi ini tak lepas dari Perguruan Silat Perisai Diri Sikka. Perisai Diri berdiri tahun 1987 dan hingga saat ini memiliki anggota mendekati 800 atlit silat. Memiliki 3 orang pelatih berstandart nasional dan 1 orang wasit bersetifikat nasional.

Untuk saat ini Perguruan Silat Perisai Diri menyumbangkan atlitnya Agatha Trisnawati di Kejuaraan Dunia yang sedang berlangsung saat ini di Jakarta. Agatha Trisnawati merupakan atlit andalan NTT denagn seabrek prestasi seperti Juara Sikka, Juara NTT dan Juara Mahasiswa Nasional untuk cabang Silat Seni Senam Tunggal.

Silat Sikka pun telah menorehkan nama mereka sebagai yang terbaik ke-3 (Juara III) pada Kejuaraan Dunia dan telah mencetak banyak juara nasional dan membuat nama Sikka disegani di arena Silat NTT maupun Nasional.

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Ritual Langka Suku Goban

Poron yang serupa parang dengan panjang 75 - 100 cm mulai beraksi. Senjata tajam yang, konon, juga diisi doa-doa itu mampu memenggal kepala hewan kurban sekali tebas. Itulah inti kegiatan upacara wihi lii unur di Tana Ai, Flores. Bukan sekadar memotong hewan, makan besar, joget, atau begadang, upacara itu justru suatu bentuk bakti sebuah generasi pada generasi sebelumnya.

Masyarakat Tana Ai, Flores, Nusa Tenggara Timur, memiliki tradisi unik. Mereka percaya, roh orang meninggal tetap berada di antara keluarga. Ia tetap makan, menjalankan kegiatan seperti ketika hidup, bahkan juga bekerja di kebun untuk mencukupi kebutuhannya. Namun, tentu saja, dengan cara berbeda.

Bentuk penghormatan paling nyata tampak ketika hendak bersantap. Usai berdoa, setiap orang akan membuat piong, sebungkal kecil makanan dan lauk dari piring masing-masing yang ditaruh di pinggir piring. Piong ditujukan bagi keluarga dekat yang telah meninggal sebagai ungkapan memberi makan.

Ikatan itu tetap erat, sampai diadakan upacara ritual wihi lii unur - mengantar leluhur menuju kedamaian abadi di surga. Karena bentuk bakti anak-cucu pada leluhur, meskipun menelan dana berjutaan rupiah, upacara itu tetap berlangsung.

Pantang mengeluh capek
Keluarga besar Goban misalnya, sepanjang upacara itu memotong tak kurang dari 100 babi dan kambing. Memang banyak, karena setiap leluhur "diantar" dengan dua kambing atau babi, sementara kali itu ada 42 leluhur yang akan diupacarai. "Kami tak boleh sebut berapa dana habis, pire (tabu). Gambarannya seperti kalau untuk membuat rumah ukuran 8 x 12 m," kata Pak Blasius.

"Pemerintah pernah larang juga upacara ini, alasannya pemborosan. Tapi demi ketenangan arwah orang tua, kami harus tetap lakukan," tambahnya. Memang, sejak tahun 1969, pemerintah kecamatan mengharuskan warga menyerahkan kambing jantan bertaduk panjang sebagai denda kalau menyelenggarakan upacara ini. Namun, larangan itu tak menyurutkan niat untuk menyelenggarakannya. Meski risikonya, kabarnya, ada ang-gota masyarakat suku lain yang terpaksa menginap di hotel prodeo seusai pesta, ka-rena dianggap melanggar peraturan.

Yang pasti, penyelenggaraan upacara itu perlu persiapan, baik dana, fisik, dan mental. Persiapan fisik amat penting, karena penyelenggara pesta pantang mengeluh capek. Padahal, selama lebih dari sepekan si penyelenggara harus begadang, sementara di siang hari masih harus mempersiapkan keperluan pesta yang amat menuntut kekuatan otot. Bayangkan!

Akhirnya, ketika emosi dan kepenatan menyatu mencapai puncak, banyak di antara mereka yang memilih minum moke, tuak dari penyulingan nila lontar, sampai mabuk. Sesaat penat akan lenyap.

Terjepit tebing dan jurang
Sungguh beruntung saya berkesempatan mengikuti ritual yang bagi Suku Goban menjadi upacara pertama setelah absen selama lebih dari 30 tahun! Bagi mereka, penundaan itu merupakan kesempatan untuk menabung dan menunggu hari yang tepat. Wihi lii unur kali itu berlangsung tepat saat bulan purnama.

Upacara bertempat di tanah kebun dan rumah pesta. Tanah kebun terletak di daerah miring di Tanah Hikong, Desa Runut, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, Flores, sedangkan rumah pestanya terpencil, di tengah ladang penduduk, di cerukan gunung. Di keempat penjuru angin, gunung rapat memagari, meski di utara ada sedikit celah yang menampilkan Laut Flores di kejauhan. Permukiman terdekat ada di barat daya, sekitar 45 menit berjalan cepat.

Saya bergabung dengan rombongan yang terdiri atas anggota keluarga Suku Goban yang tinggal di Likong Gete. Dalam rombongan ikut serta seekor kambing untuk oleh-oleh bagi tuan rumah, sekarung beras, dan beberapa botol moke kelas satu. Kami berjalan kaki sejauh 16 km dari Desa Nanghale, desa di pinggir jalan yang menghubungkan Maumere dan Larantuka.

Tampak hamparan kebun-kebun penduduk, dan aliran Wair Hek (wair adalah bahasa lokal untuk sungai). Selanjutnya, ini yang berat, mendaki jalan setapak dengan kemiringan lebih dari 70 derajat. Yang lebih menyiksa, jalan setapak itu benar-benar selebar telapak kaki. Untungnya, di kanan ada tebing dengan sedikit rumput dan perdu yang bisa untuk pegangan, tetapi di sebelah kiri menganga jurang terjal yang di bawahnya mengalir sungai berbatu.

Kondisi berat itu menguras tenaga. Di awal keberangkatan saya masih bisa memanggul sendiri beban, berupa seperangkat baju dan dua kamera. Namun, menjelang separo perjalanan, saya benar-benar kewalahan. Pemandangan cantik di sepanjang perjalanan tak mengusik saya untuk mengabadikannya. Grogi dan kelelahan membuat seluruh sendi rasanya mau copot.

Sekitar 6,5 jam kemudian kami pun tiba di Tanah Hikong. Sebenarnya pesta masih dua hari lagi, tetapi rumah pesta sudah sesak tamu. Mereka menempati pondok-pondok tamu sederhana yang sengaja dibangun untuk penginapan. Para tamu biasanya sanak saudara Suku Goban yang tinggal berpencar di beberapa tempat yang juga berjauhan. Sebagai kerabat dekat, mereka membawa wai raa sebagai bentuk dukungan. Wai raa berupa babi, kambing, beras, serta moke.

Para tamu disambut dengan moke. Biasanya moke dalam seremonial adat adalah hasil sulingan pertama hingga yang ketiga. Tak heran bila kadar alkoholnya tinggi dengan rasa semriwing yang cepat bereaksi. Wadah minumnya pun unik, batok kelapa yang diukir halus. Semua tamu bergiliran menghirup dari wadah yang sama sampai tuntas beberapa botol yang disediakan sang tuan rumah. Cara menyuguhkannya pun sangat santun. Bak bartender profesional, tuan rumah menggilir dan mengisi wadah sampai para tamu minta berhenti.

Adegan saling pukul
Puncak upacara ditandai dengan menyembelih babi, kambing, dan ayam di ladang baru yang akan ditanami. Tapi sebelum itu ada rangkaian upacara yang panjang dan rumit, yang bisa berakibat kekeliruan. Andai demikian, si penyelenggara harus membayar denda berupa babi. Memang, sepanjang ritual ada saja denda yang mesti dibayar.

Sebelum puncak upacara, ada beberapa upacara persiapan. Misalnya, wai umara (memercikkan air ke ladang tempat upacara), lii watu tanah (membersihkan beras untuk menjamu tamu), wai ae Loen (menentukan hari H dan nama nenek moyang yang akan diantar), wuu pelan woen (membuat pelang atau emping beras yang dibagikan dengan daging untuk tamu), dan pati pleba - memotong hewan untuk nenek moyang yang tak pernah diambil welutnya (potongan kuku dan rambut dari jasad).

Sehari sebelum hari H, pukul 14.30, aroma magis ritual adat mulai terasa. Diawali dengan perarakan kopor, semacam keranda yang di dalamnya diikatkan seekor babi dalam posisi tidur. Kopor ditutup dengan sehelai kain batik baru, lalu dihiasi daun kelapa muda. Babi itu simbol orang yang sudah meninggal. Masing-masing diberi nama sesuai dengan nama orang yang akan diantar rohnya.

Diiringi nyanyian adat yang mirip ratapan, kopor diarak menuju rumah pesta. Sesampai di halaman rumah, tiba-tiba terjadi saling pukul dengan menggunakan kayu dan tinju. Bunyi berdebam memantul dari setiap punggung yang terhantam. Untunglah, saling pukul hanya berlangsung sepuluh menit. "Namanya leben grengan. Untuk menunjukkan keakraban antar-saudara," tutur Pak Joseph.

Konon, aslinya leben grengan menggunakan senjata tajam, misalnya parang. Anehnya, luka yang timbul cukup ditutup dengan sembarang daun, dijamin seketika sembuh. Asalkan, tidak ada perempuan. Lalu mengapa saat itu hanya menggunakan kayu dan tinju tangan? Ternyata, karena ada saya yang akan memotret.

Leben grengan usai. Tiba-tiba terdengar ratap tangis laki-laki dan perempuan memenuhi udara Tanah Hikong. Seorang perempuan muda memanggil-manggil nama almarhumah nenek dan ibunya. Bahkan bapak-bapak pun tampak meraung memanggil orang tuanya. Mereka tidak sembarangan memanggil nama, karena untuk setiap nama yang dipanggil, anak-cucunya harus menyiapkan dua hewan sembelihan.

Bayangkan, jika yang menangis itu lebih dari 50 orang. Gaung suara mereka yang dipantulkan dinding tebing sebelah-menyebelah, benar-benar membangkitkan pilu, menegakkan bulu roma. Apalagi dikumandangkan syair yang membuat suasana makin terasa memilukan. Mereka percaya, inilah perpisahan yang sebenarnya.

Entah disengaja atau tidak, hewan sembelihan di seputar rumah pun berpartisipasi. Berawal dari lenguhan sedih babi dalam kopor, kemudian diikuti oleh yang lain saling bersahutan. Kambing mengembik pilu di belakang rumah, anjing melolong-lolong bak melihat hantu, sedangkan babi mengeluarkan suara beratnya. Tangisan hewan itu makin melengkapi kesedihan keluarga besar Goban. Percaya atau tidak, ada tetesan air mengalir di pelupuk hewan-hewan itu.

Joget diiringi lagu Minang
Biang luka, itu julukan perempuan yang dituakan dalam suku. Perannya amat dominan, karena di setiap bagian upacara ia yang mengawali. Misalnya soal konsumsi, biang luka akan melakukan upacara khusus, likon daha. Upacara itu semacam permohonan pada arwah leluhur untuk memberkati bahan makanan agar semua tamu dapat dijamu dengan baik.

Tugas berikutnya, memberkati 42 welut arwah yang akan diantar besok pagi. Beberapa hari sebelum upacara welut yang disimpan oleh masing-masing keluarga, dikumpulkan dalam sobe, keranjang bertutup dari anyaman daun lontar, oleh moat, sesepuh dari Suku Goban. Kedatangan sobe, yang dipercaya juga beserta arwah, ke rumah adat disambut dengan nyanyian puja-puji berisi kisah heroik leluhur. Berbeda dengan penyambutan kopor, sambut arwah yang disebut blupur itu bernuansa gembira.

Moke telah beredar menutup jamuan malam. Belum tuntas acara bersantap, ketika seorang bapak tua mulai berjoget. Dengan gerak dinamis dan lincah dia seakan menghipnotis semua orang untuk turut terjun ke arena. Herannya, lagu yang mengiringi justru lagu Minang. Semalam suntuk mereka menyanyikan lagu itu.

Prosesi inti ritus diawali esok subuh. Mulai dengan menyuguhkan sarapan untuk babi dalam kopor. Menunya, bubur nasi dan telur rebus dihidangkan dalam pote, piring adat dari labu yang dikeringkan. Selanjutnya, semua hewan diarak menuju ladang tempat upacara.

Menurut Pak Joseph, baku hantam akan berlangsung lagi ketika penyembelihan hewan, jika algojo tak mampu memutus kepala hewan dalam sekali tebas.

Benar! Usai biang luka menanam welut dan tuntas membaca mantra dan doa, baku hantam siap dimulai.

Secara berurutan dipanggil nama para leluhur yang diupacarai, diikuti dengan datangnya gotongan dua hewan kurban. Sekali tebas, seiring dengan putusnya leher kurban terputus pula ikatan antara leluhur dengan anak-cucu di dunia. Aliran darah korban menandakan sang leluhur melayang menuju tempat kedamaian abadi.

Dua orang anggota hansip yang mengawal upacara sempat kewalahan. Bahkan mereka ikut kena gebuk saat melerai baku hantam. Kejadiannya dimulai saat kepala babi putih kurban baru bisa dipenggal dengan tiga kali tebas. Kabarnya, algojo yang kurang sukses ini, selain kena gebuk juga punya beban mental pada leluhurnya. Selain itu, dipercaya, algojo yang "gagal" punya sesuatu yang kurang baik dengan leluhurnya semasa hidup.
Benar-benar hari yang melelahkan.

Pukul 24.00 semua daging hewan korban selesai dibagi. Masing-masing tamu mendapat bagian. Khusus untuk pepi aru - bagian pipi babi - Suku Goban pantang memakannya. Konon, jika ngotot memakan, sama saja dengan memakan daging orang tua sendiri. Oleh karena itu, pepi aru dijatah untuk tamu di luar suku.

Banyak yang memilih pulang malam itu juga. Diterangi suluh daun kelapa, beberapa rombongan besar beriringan meninggalkan Tanah Hikong. Dalam dinginnya embun dini hari mereka berjalan kaki berkilo-kilometer sambil membawa beban berupa beras dan daging di punggung dan pundak. Kelelahan berbaur dengan kesukaan telah berjumpa dengan sanak keluarga. Tak mengapa, bukankah belum tentu peristiwa itu terjadi sepuluh tahun lagi?(AP).

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Saturday 11 December 2010

Banana Boat, Wisata Air di Pantai Wailiti

"Kurang Asyik dan Seru kalau Tak Kecebur..."
Mhhh..asik, seru dan menggoda. Seperti itulah yang terlihat di Pantai Wailiti, Hotel Wailiti & Resto yang berjarak 4 Km dari Kota Maumere. Dipantai tersebut, anak-anak dan remaja menikmati dengan penuh antusias permainan yang cukup memacu adrenalin. Gelombang ombak yang sengaja dibentuk dari kecepatan putaran speedboat menciptakan sensasi luarbiasa. Lantas jika gelombang besar tercipta, Banana Boat terhantam dan tubuh-tubuh mereka tercebur kedalam laut. Meski begitu, mereka tetap senang, tak masalah. Banana Boat membawa mereka kembali, berputar-putar riang diantara ikan-ikan yang berenang ketakutan. Lalu tak berapa lama, digantikan dengan kelompok yang lain. Dan terdengar lagi suara-suara riang diantara bunyi mesin speedboat yang berlari kencang menarik Banana Boat. Sepertinya, semua terhanyut dalam suasana racing beach di sepanjang Pantai Wailiti.

Yoss Rebong, pemuda asal Lembata yang telah lama bekerja di Hotel Wailiti menjadi guide dari wisata lautnya. Selain Banana Boat, ada pula Diving, Snorkeling, Jet ski, Speed Boat dan lain-lain. Wisata air Banana Boat, ditawarkan dengan harga Rp. 150.000 untuk 20 menit. Agar lebih murah Anda bisa berurunan dengan teman-teman yang lain.

Banana Boat menjadi wisata air yang paling disukai pengunjung Pantai Wailiti. Menggunakan perahu karet tunggal, Anda akan ditarik oleh speed boat berkeliling pantai dalam waktu 20 menit. Kapasitas muatan banana boat ini adalah maximal 5 orang. Anda bisa minta diceburin ke air selama boat berjalan, atau kalau tidak mau basah, ya minta yg normal-normal saja. Kurang asyik dan seru kalau tidak diceburin hehehe..Begitulah kesan-kesan dari hampir semua yang sudah pernah mencoba permainan air yang satu ini.

Wisata air Banana Boat yang berada di Pantai Wailiti, Hotel Wailiti & Resto Maumere ini biasa disewakan dari pagi hari sampai sore hari, tergantung situasi pasang surut air laut. Aktivitas ini adalah wisata yang akan memacu keberanian anda dalam menaiki boat yang besar ini. Tapi tak usah kuatir, olahraga ini aman karena menggunakan pengaman berupa jaket pelampung.

Mau coba?

Yoss dan anak-anak muda yang menikmati sensasi Banana boat

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Maumere dan Perdagangan Perempuan

"Kami setiap hari mendengar pengaduan rakyat soal kekerasan yang terjadi. Dari waktu ke waktu, Maumere berubah roman, baik dari sarana maupun pra-sarana. Maumere menjadi tempat asal, transit dan tujuan trafficking," demikian Sr. Estokia dari TRUK F yang menyampaikan persepsinya tentang perdagangan manusia dalam seminar sehari dengan tema “Sisi Kelam para Migran dan Perantau dalam Bingkai Perlawanan dan cita-cita”.
Seminar tersebut diselenggarakan baru-baru ini oleh Tim Relawanan Kemanusian (Truk F) di Hotel Permatasari Maumere. Seminar yang dibuka oleh Blasius Pedor (Asisten I Setda Sikka) ini menghadirkan empat narasumber yakni; Sr. Eustochia SspS (Koordinator Truk F Divisi Perempuan), Sri Nurherawati, SH ( Komnas Perempuan), dr. Yovita Mitak (Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Setda Provinsi NTT) dan Dr. John Prior, SVD (Teolog). Kegiatan ini juga dimoderatori oeh P. Dr. Otto Gusti, SVD.

Narasumber lain, Yovita Mitak, menggambarkan bahwa secara nasional, NTT termasuk sebagai daerah penyuplai TKI selain DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Menurutnya jumlah TKI/TKW dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pemerintah Provinsi sedang berjuang meningkatkan kapasitas para TKI agar memiliki pengetahuan dan skill sehingga memiliki bargaining position di negara tujuan kerja.

Sedangkan Sri Nurherawati menegaskan bahwa penanganan korban perdagangan manusia dibutuhkan pelayanan terpadu dan sistem peradilan pidana terpadu yang mana terjadi koordinasi antar aparat penegak hukum. Lebih dari itu, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Dalam produk hukum ini, kesepakatan korban diabaikan. Artinya bahwa apabila terindikasi adanya kesepakatan korban dan pelaku human trafficking dalam permasalahan itu diabaikan, tidak dilihat sebagai sesuatu yang meringankan hukuman. Dalam produk ini, juga adanya kepastian hukum.

John Prior, yang pernah menjadi dosen STFK Ledalero dan beberapa universitas di Australia dan Canada memberikan sebuah refleksi Teologis atas human trafficking. Mengawali presentasi itu, John menuturkan bahwa “Dimanakah Allah dalam semua ini? Bahwa kehidupan manusia bagai dalam perantauan dan pengembaraan. Dalam perantauan umat Ibrani terjadi pembentukan iman umat, dimana mereka berharap pada apa yagn ditunjukkan Allah dan bersandar pada Allah. Dalam konteks sekarang, umat mengalami migrasi. Disana terjadi pertemuan antar umat yang berbeda-beda? Apakah kondisi itu bisa terjadi saling menerima sebagai saudara?"

Ia menambahkan, dalam misi kerasulan hendaknya migrasi dilihat salah satu wacana yang mesti diwartakan gereja. Misi migrasi harus menjadi prioritasi di tengah memburuknya sistem kapitalis yang menjebak manusia dalam pertarungan kelompok dan lemah. Gereja harus mampu melihat dan berbenah diri untuk memperkuat posisi kaum marginal. Migrasi melepas orang dari sekat suku, agama, ras dan gender.

John mengajak peserta forum untuk melihat bahwa apakah benar negara ini tengah membawa suah kehidupan yang membahagiakan. Lucunya, di negara yang kaya raya sumber daya alam, diberi kepada pihak asing sedangkan rakyatnya dibiarkan miskin, melarat dan rakyatnya pergi mencari kerja di negara lain. Potensi alamnya dibiarkan diisap oleh asing. Tak heran bila maraknya investasi di sini, ujarnya.

Kegiatan ini berujung pada permintaan pengakuan gugus tugas yang hingga hari ini belum mendapat respons serius dari pemkab Sikka. Sehingga diharapkan pemkab melihat human trafficking sebagai permasalahan yang perlu mendapat keseriusan pemerintah apalagi Sikka ini menjadi tempat asal, transit dan daerah tujuan TKI. Dan ini perlu juga dipertegas dalam sebuah produk hukum (perda).(HN).

WWW.INIMAUMERE.COM
Selengkapnya...

Tuesday 7 December 2010

Lesehan Santai, Lesehan di Eltari..

Buka dari Malam hingga Subuh
Familiar dan penuh keakraban. Itulah gambaran kecil “Lesehan Kopie Arema” yang berdiri seadanya di Jalan Eltari Maumere. Konko model Maumere atau istilahnya Kulababong yang santai dan rileks menjadi gaya menarik. Warung Lesehan ini dimiliki bersama oleh 5 sekawan yakni Ule, Rull, Passe, Nolie dan Dodie. Kelimanya alumni perguruan tinggi di Kota Malang yang beberapa diantaranya masih mencari kerja. Sehingga nama Arema terselip, sebagai indentitas dari mana asal mereka menimba ilmu. Yang menarik, lesehan gaya ‘kulabaong’ ini saat dibuka hingga sekarang semakin ramai dikunjungi. Hal ini membuat mereka semakin berpikir inovatif, seperti menggelar music akustic pingir jalan dan segudang terobosan-terobosan lain.


Lesehan Kopie Arema, menurut mereka bukan sekedar menawarkan sajian kopie saja tapi juga sajian lain seperti jagung bakar, aneka mi dan berbagai jajanan khas Maumere. Kopi yang dijual disini pun beragam, dari kopi sasetan, itam sampai kopi racikan sendiri. Ada juga teh, dari dingin hingga panas, misalnya es lemon tea, milo panas, josua, soda gembira dan lain-lain. Sajian lain berupa minuman dan makanan lain dari yang hangat, panas sampai dingin dengan berbagai rasa sedang dipersiapkan.

Tak salah kalau anak-anak muda Maumere yang senang berselancar di malam hari, beberapa hari belakangan ini memilih lesehan ini sebagai tempat berbagi rasa. Belum lagi jika sudah ditambah dengan sajian musik akustik.

Lesehan ini berada di Jalan Eltari yang notabene menjadi kawasan favorit akhir-akhir ini. Om Frando da Lopez, salah seorang warga Eltari dimana didepan rumahnya lesehan ini berdiri, mendukung usaha anak-anak muda ini dengan memberikan halaman rumahnya sebagai bagian dari lesehan tersebut. Hal ini sangat menggembirakan Lima Sekawan. Mereka sangat berterima kasih bagi kebaikan Frando da Lopez.

Disisi lain, Jalan Eltari dengan lampu jalan yang memancarkan sinar terang dengan deretan bunga-bungan taman nan asri ternyata menjadi daya pikat. Gambaran Jalan Eltari yang sesepi tahun-tahun sebelumnya kini seperti mulai pudar. Beberapa bulan ini, Jalan Eltari yang nyaman dengan taman-taman bunganya kadang digunakan menjadi medan trek liar sepeda motor oleh sebagian remaja. Kebisingan mesin motor tersebut nyatanya mengganggu warga dikawasan tersebut dan tentu saja lalulintas kendaraan. Lesehan hadir di Eltari menawarkan kepada para remaja tersebut untuk meninggalkan kebiasaan negatip dan memilih untuk nongkrong bersama jajanan dan pilihan minuman ringan, kata Ulle.

Lesehan Kopie Arema, menurut Lima Sekawan tersebut, dibuka dari jam 7 malam hingga dinihari atau sampai tamu tak ada. Sehingga yang senang begadang menggunakannya sebagai tempat spesial saat konko bersama rekan dan sahabat mereka. Bagi yang lain, memilih tempat ini hanya untuk menghilangkan waktu. Seperti yang diceritakan oleh Bayu dan Andrie, dua sahabat yang asik berinternet di lesehan tersebut.

“Akhirnya bisa menikmati kopie dengan sesantai mungkin bersama teman-teman. Ini baru pertamanya di Maumere dan bisa memuaskan kami,” ujar Andrie.

Bayu menambahkan, “Biasanya kalo malam hari sumpek, hanya bisa pelototin layar kaca atau internetan, kalau sekarang sudah bisa ngopie diluar sampai dinihari sambil internetan, udaranya juga sejuk” ujarnya. Bayu menggunakan laptop dengan modem wairless.

Nyala-nyala lampu dari botol-botol kecil berderet disisi lesehan. Gelas dan sasetan kopie dan lainnya siap menunggu pesanan. Nolie yang biasa bertindak sebagai juru masak cekatan bekerja. Yang lain asik bercengkerama.

“Tiap hari te begini sudah abang, pesanan dan pelanggan makin meningkat jadi sibuk terus,” ujar Nolie, alumni Institut Teknologi Nasional Malang kepada inimaumere.com.

Nolie memang semangat bekerja karena setelah dibuka 5 hari lalu, keadaan semakin ramai dan diluar perkiraan mereka.

Om Frando da Lopez, disela aktifitas lesehan, mengatakan mendukung usaha anak-anak muda ini. Menurutnya ini merupakan terobosan usaha yang bagus. "Saya telah memberitahu kepada para tetangga, Ibu Lurah Kota Uneng, Polsek Alok tentang lesehan ini agar mereka pun tahu kalau keramian disini karena ada aktifitas lesehan," ujranya.

Om Frando dan anak-anak muda yang asik nyante di lesehan eltari

Menurutnya, dengan adanya lesehan ini, trek-terkan liar semakin berkurang dan anak-anak muda punya pilihan untuk nongkrong di lesehan tersebut daripada minum moke. "Ini adalah usaha yang sifatnya insidentil atau hanya sekedar meramaikan suasana malam Kota Maumere, bentuk usaha ini juga bukanlah usaha permanen," jelas Om Frando yang dihalaman rumahnya juga menjual makanan -makanan khas Maumere, mie dan jajanan lain.

Ulle juga membenarkan hal tersebut. Menurutnya, mereka berlima akan terus berkonsultasi dengan Om Frando tentang langkah-langkah yang perlu dicapai untuk menjaga agar lesehan ini tak mengganggu kenyamanan masyarakat. "Kami juga berencana untuk memberitahu kelurahan karena telah memanfaatkan badan trotoar untuk usaha," jelas alumni Institut Teknologi Nasional (ITN Malang) ini.

“ Semoga terlaksana dan bermanfaat,” ujar Ulle.

Mengenai tempat ini bisa digunakan sebagai sarana mabuk-mabukan oleh sebagian oknum, Ulle mengatakan bahwa niatan dan tujuan mereka mendirikan lesehan kopie ini salah satunya adalah menghindarkan para remaja dan anak muda dari alkohol.
“Sudah saatnya beralih keminuman tanpa alkohol, dan kami menyediakannya sampai dinihari, mau duduk cerita sambil ngopi sampai berjam-jam kami tak melarang, silakan,” jelasnya. "Kami akan menegur keras jika ada yang menggunakan tempat ini untuk mabuk-mabukan," jelasnya lagi.

Menurutnya, anak-anak muda Maumere sangat menyukai dan mendukung pengembangan lesehan tersebut. Karena menurut mereka, sarana untuk konko di kota ini hampir tak ada. Nongkrong tanpa moke, itu alasan mereka.

Melihat Jalan Eltari yang nampak sepi di kala malam namun selaksa anggun dan penuh wibawa, rasanya tak ada salahnya anak-anak muda nian tanah yang mencari hidup diberi kesempatan. Mereka berdiri sendiri dengan modal seadanya juga invovasi usaha yang diterima masyarakat. Kesempatan usaha ini memang baru pertama kali ada di kota ini. Bersaing dengan warung-warung ‘luar’ yang menjamur di Kota Maumere. Dengan ide-ide segar mereka siap mewarnai Maumere.



www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Saturday 4 December 2010

Gren Mahe, Keunikan Sebuah Budaya

WARGA Kampung Boganatar, Desa Kringa, Kecamatan Talibura, memiliki budaya unik yang biasa digelar dalam sebuah pesta budaya. Budaya tersebut bernama Gren Mahe.
Gren Mahe, merupakan pesta adat menyambut kemenangan terhadap berbagai tantangan. Ritual adat ini sebenarnya sudah ditinggalkan sejak 22 tahun silam, tanpa satu alasan yang pasti. Dan, selama jangka waktu terlupakannya ritual tersebut, masyarakat di wilayah ini tertimpa berbagai tantangan dalam interaksi sosialnya. Antara lain terserangnya berbagai sumber penyakit, kekeringan, menurunnya produktivitas pertanian dan lainnya.
Seharusnya ritus adat ini dilakukan setiap lima tahun sekali. Dan, dirayakan dalam sepekan sejak pembangunan Woga dan pembersihan Namang sebagai lokasi upacara.
Pada dua hari perayaan ini, selain dihadiri seluruh warga Kampung Boganatar juga warga dari desa tentangga di ufuk Timur Kabupaten Sikka yakni Desa Hikong dan Timutawa.

Bapak Yosef Moses, salah seorang tokoh dan pemangku adat setempat menuturkan bahwa terakhir pesta budaya ini dilaksanakan pada tahun 1985 atau 22 tahun silam. Ia sendiri tidak merinci apa alasannya.

Moat Moses mengatakan, makna pelaksanaan ritus ini adalah untuk meminta berkat dari Ibu Bumi atau Ina Nian Tana dan Bapa Langit atau Ama Lero Wulan Reta agar bumi, Kampung Boganatar dan masyarakat di wilayah ini senantiasa diberi kedamaian, sukses dalam berbagai bidang pembangunan dan kehidupan berbudaya, dikaruniai persaudaraan dan jauh dari konflik.

"Ancaman wabah penyakit dan gagal panen juga merupakan ujud pesta budaya ini. Warga, melalui para kepala suku dan Ata Moan Weta Naruk (= pembawa doa dan syair adat) Moan Dego, akan menyampaikan doa-doa tersebut kepada leluhur dan wujud tertinggi atau Amapu," katanya.

Selain itu, ritus budaya ini juga dimaksudkan untuk meminta hujan dan siklus musim yang teratur, memohon kesuburan tanah, serta keselamatan serta membangun tekad warga untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Puncak acara Gren Mahe hari pertama tanggal 12 November adalah ritus Tudi-Laba. Pada prinsipnya melui ritus ini para kepala suku yakni suku Wulo, Ketang Kaliraga dan Lewar Lau Wolo memohon restu para leluhur dan sang Pencipta agar seluruh acara gren mahe berlangsung sukses.

Mereka juga memanjatkan doa kepada leluhur dan Tuhan agar para petugasnya diberi kebijakan dalam setiap kesempatan rembuk dan dialog serta pemanjatan doa kepada leluhur dan Yang Maha Tinggi dalam tiga termin doa, yakni pujian, syukur dan permohonan. Acara Tudi-Laba berlangsung di rumah kepala suku di Kampung Boganatar yang berjarak lebih kurang dua kilometer dari lokasi gren mahe di bukit Natar Nuhu.

Rangkaian acara berikutnya adalah perarakan hewan korban dari Kampung Boganatar menuju bukit Natar Nuhu, lokasi gren mahe. Hewan korban utama yakni Widin Tanah bersama hewan korban lainnya diarak kaum pria dalam tari-tarian dan pekik kemenangan. Dengan dandanan lesu rajan dan sarung/sa'en mereka didoakan untuk selalu tampil perkasa baik dalam mengarak hewan korban, maupun selama ritus berlangsung dan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Di tengah pawai dan arak-arakan itu sesekali terdengar seruan kemenangan Ha' Iaaa.. Seruan tersebut mencerminkan ciri maskulinitas dari perayaan ini sebagai perayaan kemenangan. Nuansa kemenangan itu dimaknai sebagai kemenangan atas berbagai hal yang dapat mencederai kehidupan masyarakat.

Tiba di lokasi gren mahe, para pengiring disambut hentakan musik gong-waning. Rangkaian acara berikutnya adalah pemindahan Keris Tawa Tana ke dalam Woga di lokasi gren mahe. Rangkaian acara hari pertama berakhir dengan acara malam jaga yang diisi dengan tari-tarian hingga pagi.

Pada hari kedua, rangkaian pesta budaya ini diawali dengan acara Witi Watu Wara Mahang. Watu Wara Mahang jenis batu ceper atau batu piring yang diambil dan diarak dari arah matahari terbit oleh tiga kepala suku dilanjutkan dengan penanaman Watu Marang pada Mahe oleh seorang tokoh adat yang diangkat oleh para kepala suku dan diberi jabatan "Moan Marang" atau panglima adat.

Jeda acara selama lebih kurang satu jam dari pukul 12.00 - 13.00 wita diisi dengan tari-tarian oleh seluruh hadirin.

Pesta rakyat dan ritus Gren Mahe dilanjutkan dengan pemotongan 15 ekor hewan korban, di antaranya Widin Tanah yang didandani tipa, sejenis selendang yang telah berusia puluhan tahun.

Acara ini menjadi moment paling menegangkan. Rakyat bersorak-sorai memberi semangat kepada hadirin yang mendapat mandat dari para kepala suku untuk melakukan pemotongan hewan korban. Putra Tana Ai yang mendapat mandat untuk memotong satu ekor hewan korban melakukan ritual. Masyarakat bertempik sorak memberi dukungan kepada anak tana, memotongan seekor kambing dengan sempurna disambut tarian dan kahe (sorak-sorai) para hadirin.

Daging hewan korban selanjutnya dibagikan kepada para hadirin disertai emping yang disebut Pelang atau Pare Pelang menandai perjamuan persaudaraan sekaligus mengakhiri pesta budaya ini. (SE)
*

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Thursday 2 December 2010

Alfonsa Horeng, Konsisten Kenalkan Tenun Ikat Sikka dan Flores ke Dunia

Ingin Bangun Sekolah Tekstil dan Museum
Di saat wanita seusianya sibuk terbawa arus modernisasi, Alfonsa Ragha ­Horeng, gadis asal Nita, Kabupaten Sikka, justru memilih jalur berbeda. Dengan kegigihannya, wanita kelahiran 1 Agustus 1974 ini konsisten melestarikan kain tenun ikat asal Flores, kampung halamannya. Ratusan wanita perajin tenun ikat, sukses di bawah binaannya. Hasil jerih payahnya pun kini sudah tersiar hingga ke mancanegara. Berikut petikan wawancara Yetta Anggelina dari Tabloid Nova dengan Alfonsa Horeng.

Sejak kapan Anda mulai aktif mendalami kain tenun ikat?

Di kampung saya, menenun sudah menjadi kegiatan sehari-hari dan dilakukan turun-temurun. Ibu, tante, nenek, tetangga, bahkan semua wanita di Flores dan NTT sudah terbiasa menenun sejak kecil.

Saya mulai bisa menenun sejak SMP. Tapi, itupun hanya mengerjakan per bagian saja. Soalnya, untuk anak dan remaja, memang hanya diperbolehkan mengerjakan bagian-bagian tertentu saja.

Mengerjakan tenun ikat tidak sekaligus seperti kain lainnya. Mengerjakannya harus bagian per bagian. Tapi, saya baru benar-benar terjun aktif melestarikan tenun ikat sejak Oktober 2003.

Bagaimana ceritanya?

Setelah tamat kuliah dari Universitas Widya Mandala Surabaya pada 1998, saya sempat bekerja di Surabaya. Tapi, saya merasa terikat dan jadi tergantung sekali kepada kantor orang.

Saya seperti bekerja untuk membesarkan kantor orang, sementara di kampung, saya punya tanah sendiri, dengan sumber daya alam dan manusia yang luar biasa.

Saya ingin sekali bekerja di lahan sendiri. Dengan begitu, saya bisa menyediakan waktu dan diri saya untuk membantu orang lain. Disamping itu, saya juga senang.

Kalau di perusahaan, saya yang “kecil”. Tapi di sini, saya jadi orang “besar” di tengah orang-orang “kecil”. Akhirnya saya putuskan untuk kembali ke kampung.

Lantas, apa yang kemudian Anda lakukan?

Saya berinisiatif mengumpulkan ibu-ibu di kampung saya untuk mulai menenun. Kebetulan ada tanah dan lahan kosong. Saya minta ibu-ibu memanfaatkan bambu, alang-alang dan kelapa untuk membuat rumah tenun. Daripada hanya mencari kutu dan menganggur, saya memotivasi mereka.

Jujur, awalnya ini hanya proyek iseng. Tapi, mereka ternyata serius bekerja. Padahal, mengerjakan tenun itu, kan, berat. Prosesnya panjang, rumit, dan butuh ketelitian tinggi. Melihat keseriusan mereka, saya tergerak untuk ikut serius. Akhrinya saya giat mencari informasi ke pemerintah dan dinas-dinas terkait, sampai akhirnya mereka memberi bantuan sehingga saya jadi lebih fokus.

(Alfonsa memrakarsai berdirinya Sentra Industri Lokal Lepo Lorun (STILL) sejak Oktober 2003).

Siapa saja yang menjadi anggota binaan Anda?

Sekarang, kelompok binaan saya sudah tersebar di 12 desa di seluruh Pulau Flores dan Pulau Palue. Setiap kelompok rata-rata beranggotakan 21 orang. Jadi total sekitar 252 orang anggota. Sampai tahun 2009 lalu, kami sudah berhasil memproduksi sekitar 900 helai kain tenun ikat Flores. Tidak cukup banyak, karena memang prosesnya rumit sekali.

Prosesnya saja harus melalui 18 tahapan. Mulai dari kapas dipintal jadi benang, lalu jadi kain, sebelum jadi kain diikat dulu, diberi warna, diurai satu per satu, di-frame, sampai beberapa macam frame tenun.

Rata-rata untuk satu lembar kain, yang asli dari bahan pintal dan pewarna alam kurang lebih dikerjakan selama 9 bulan. Itu yang standar. Harganya pun jauh lebih tinggi. Minimal Rp2,5 juta sampai tidak terbatas. Yang harganya Rp 25 juta pun ada.

Anda, kan, lulusan Teknologi Pertanian. Lalu, bagaimana cara mengembangkan kemampuan anggota binaan Anda?

Saya hobi sekali mencampur-campurkan warna. Saya juga sempat memperdalam pengetahuan dengan mengikuti pelatihan tekstil di Yogyakarta. Saya belajar memadukan warna dengan menggunakan pewarna praktis.

Nah, ilmu itulah yang saya bagikan ke ibu-ibu kelompok. Setelah dibuat dan diramu, ternyata hasilnya, milik kami lebih unggul.

Bagaimana dengan motif?

Saya ingin mengarahkan mereka untuk kembali ke alam, dari bahan dasar sampai pewarnaan. Selama ini, kan, tahunya beli bahan dan benang di toko. Membuatnya juga tidak benar-benar menggunakan formula yang tepat untuk kain tenun.

Bukannya memodifikasi dengan model baru, tapi kami menggali ke dalam tanah. Ibaratnya, semakin digali, kan, umbi semakin berisi. Saya putuskan untuk kembali ke motif zaman kuno. Cari informasi ke museum, ke orang-orang tua zaman dulu, ke nenek untuk mencari motif kuno dan asli sebagai master produk.

Untuk apa menciptakan modifikasi, kalau yang tua tidak kalah banyak dan tak kalah cantiknya. Di Flores, ciri khas tiap desa memang bisa dilihat dari kainnya. Beda desa, beda pula motif kainnya. Orang dari kampung seberang, mungkin bisa tidak kenal, tapi dari kainnya, kami bisa tahu dia dari desa mana. Itulah indahnya.

Tidak takut, motif “kuno” tidak bisa bersaing dengan motif yang lebih modern?

Kami harus melawan dan berperang menghadapi arus modernisasi. Saat ini kami sedang dalam tahap merintis kembali dan hasilnya belum maksimal. Kami harus terus menggali lebih dalam, agar tidak terpengaruh modernisasi. Itu lebih sulit daripada sekadar ikut arus.

Modernisasi, tanpa harus diikuti sudah otomatis memengaruhi. Tapi, ketika harus menggali ke nilai-nilai terdahulu, butuh waktu lama. Semoga kami bisa. Semua butuh kesabaran tinggi. Kami hanya ingin budaya tetap terjaga.

Bagaimana, kok , Anda dan tenun Flores sampai bisa berjaya di mancanegara?

Sejak awal, kami sudah mencari jalan untuk menembus pasar luar negeri. Semuanya berawal dari pameran. Pameran pertama kami di tahun 2004, di kawasan Kemayoran, Jakarta. Dari sana, mulai banyak yang melirik. Saya pun aktif mencari informasi dari internet.

Suatu kali di tahun 2008, saya dikunjungi Ibu Mutia Hatta, lalu ditawari beasiswa AuSAID dari pemerintah Australia dalam program Australian Leadership Award, bidang studi Gender, Good Governance and Leadership di Adelaide. Saya terima dan berangkat ke sana. Di sana, kesempatan untuk memperkenalkan produk kain Flores makin luas.

Saya harus jeli mencari pasar. Saya pun rajin mengadakan presentasi di sekolah-sekolah dan kampus, mengajar di National Gallery, di Heritage Culture Group, di Art School, sampai di kumpulan ibu-ibu. Semua untuk memperkenalkan tenun ikat Flores ke dunia. Sejak itu pula saya rutin mengikuti pameran di Swiss, Belanda, Jerman, dan banyak negara lain.
Pernah menemui kendala?

Saya suka kewalahan mengurus kelompok-kelompok yang makin bertumbuh. Tapi, apa daya, saya belum mampu menggaji orang untuk membantu saya. Kami juga belum memiliki Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), yang seharusnya berfungsi mempercepat proses pengerjaan.

Soal hak paten juga jadi masalah. Makanya, sekarang saya dan teman-teman lain sedang memperjuangkan hak paten secara folklore , untuk tenun NTT, di bawah perlindungan pemerintah. Semoga tahun depan sudah bisa, agar tak kalah dari batik.

Hasil karya kelompok Anda bisa diperoleh di mana?

Di Jakarta, produk kami sudah ada di rancangan banyak desainer ternama seperti Stephanus Hamy, Oscar Lawalata, Ghea, dan Samuel Wattimena. Kini, kami malah kewalahan meladeni antusiasme ibu-ibu di Flores untuk bergabung dengan STILL.

Syukur, kini kami sudah mulai menambah inventaris seperti mesin jahit yang tadinya hanya ada 8, kini sudah ada 33. Semua dari hasil penjualan kain tenun.

Saat ini kami malah sudah mulai memperluas usaha ke bidang souvenir . Jadi, tak hanya terpaku pada kain saja.

Anda sibuk mengurusi kelompok, ikut berbagai pameran dan presentasi di luar negeri. Bagaimana dengan rencana pribadi? Menikah, misalnya?

Menikah, sih , belum terpikir. Kalau dapat jodoh yang baik, ya oke. Tapi, kalau dapat jodoh yang bisa mengacaukan aktivitas, susah juga, ya? Ha ha ha. Jodoh, kan, persoalan yang tak bisa dibeli. Itu urusan hati. Biar jadi urusan Tuhan saja, biar Dia yang menentukan.

Apa rencana besar Anda selanjutnya?

Tetap berusaha memperkenalkan kain tenun ikat Flores ke seluruh dunia. Suatu saat saya juga ingin bikin buku, membangun sekolah tekstil, hingga museum. Semua masih dalam proses. Semoga nanti cepat tercapai.(Yetta Angelina)


Alfonsa Horeng di saat berkeliling Eropa dan foto bersama Ibu-Ibu STILL, Nita


Selengkapnya tentang Alfonsa Horeng dan STILL (Sentra Industri Lokal Lepo Lorun) bisa baca di www.alfonsadeflores.com atau Klik disini

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Tuesday 30 November 2010

Mengenal Kain Patola

Di Tana Ai, Sikka, digunakan dalam Upacara Ritual
Kain Patola adalah jenis tenunan ikat ganda terbaik dari Gujarat di India Utara. Kain Patola adalah tenunan ikat terbaik lungsin dan pakan ( lodon dan geran) sudah diikat /dobel ikat.
Kain Patola adalah kain kebesaran, kain upacara, kain pentas tari adat (tarian mohon hujan di Tanah Ai (sebuah desa di wilayah Kabupaten Sikka, Pulau Flores, NTT) = neni uran dara na’a tibang tana wulan tion liwan belan,tena nuruk guru : tanam padi nang roja panen padi).
Di Maluku kain Patola dipakai dalam upacara sebelum berperang, karena diyakini kain tersebut memiliki kekuatan sakti yang dapat memberikan kemenangan dalam peperangan. Menurut sejarah, tenunan ikat Patola dimulai tahun 700 M. Berita mengenai Patola diketahui sejak 1200 M tetapi belum jelas kain Patola itu jenis tenunan sutra/non sutra.

Suatu berita tahun 1500 M oleh Duarte Barbarosa menjelaskan bahwa kain Patola yang dijual di Asia Tenggara dan di Indonesia dinilai tinggi oleh orang Indonesia.

Ada berita lain,kain Patola adalah salah satu bahan ekspor dan dagang utama di Asia tenggara abad 16 dan 17.
Diberitakan pula bahwa paderi-paderi Portugis menyebarkan kain Patola di kepulauan Solor (Flores Timur), Banda, Kepulauan Maluku, dan Makasar mendahului pedagang Belanda.

Karena nilai spiritual yang suci itu maka kain Patola dijadikan pakaian kaum Brahmana dan Jaina,byaituh kaum paderi yang meimpin upacara ritual. Nilai spiritual tersimpul juga dari penenun juga yang berasal dari kasta Hindu.

Patola juga dianggap mengandung pertanda. Karena motip-motip yang tertenun dalam kain Patola dianggap membawa kebahagiaan/keberuntungan dan dapat mencegah malapetaka.

Kain Patola disimpan sebagai pusaka yang sakti/keramat,dipakai dalam upacara ritual pernikahan atau upacara kematian sebagai pembungkus jenasah.

Di India Patola dipakai wanita hamil 7 bulan dalam suatu upacara ritual,dengan maksud bayi yang dikandung kelak mendapatkan kebahagiaan waktu dilahirkan ibunya.

Kaum ningrat mengenakan Patola sebagai pakain bukan karena nilai real melainkan karena nilai spiritual yakni nilai(religius-magic) yang dianggap memberikan perlindungan dan kesejahteraan.

Nilai spiritual kain Patola tersimpul dari upacara adat di Bali dengan pengaruh agama Hindu dimana berpadu unsur adat dan budaya.

Carikan dan benang kain Patola juga dianggap angker sehingga dibakar menjadi abu dan dicampur dalam obat-obatn karena dianggap menginduksi kekuatan sakti yang menyembuhkan penyakit gila atau lumpuh.

Orang NTT(Nusa Tenggara Timur) yang mendiami pulau Alor, Adonara, Solor, Lembata, Flores Timur dan Tana Ai menggunakan kain Patola sebagai imbalan mas kain dan penutup jenazah.

Kain Patola di Tana Ai, Kabupaten Sikka disebut juga Kotipa, Tipa, Tola, Tipa Tola.

Hingga sat ini kain Patola masih dipakai di Tana Ai dalam upacara ritual semisal Gareng Lameng (inisiasi), Goen Mahe; upacara ritual memohoni kehadiran Tuhan dan leluhur di tugu leluhur atau mahe, Goen Lema yakni upacara syukuran panen diladang dan nona wini, Nean upacara menanamkan padi diladang.

Lengkap tentang Tenun Ikta Sikka dan Flores bisa baca di www.alfonsadeflores.com atau Klik disini

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Thursday 25 November 2010

Pelamar CPNSD Terus Padati BKD Sikka

Belasan pohon jati nan rimbun di sisi sebelah kanan kantor Bupati Sikka menjadi pelepas lelah dan penat para pendaftar CPNSD (Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah) untuk Pelamar Umum Tahun Anggaran 2010. Matahari siang itu memang panas. Terik menyentuh kulit. Beberapa petugas dari Pol PP Sikka nampak sibuk mengatur lalulintas kendaraan dalam lingkup Kantor Bupati Sikka tersebut. Papan pengumuman pendaftaran CPNSD dijubeli pelamar. Didepan loket Tenaga Kesehatan, Guru dan Teknis yang telah dibagi menjadi tiga bagian dipenuhi calon pendaftar. Para petugas dari BKD (Badan Kepegawaian Daerah) Sikka tak kalah sibuk melayani para pelamar. Hal ini telah menjadi pemandangan biasa sejak dibukanya pendaftaran CPNSD Selasa, 23 November 2010 lalu.

Keringat dan terik matahari di Jalan Eltari 2 Maumere serasa gosong membakar kulit tapi nampaknya bukanlah aral rintangan berarti.

Itu pula yang dirasakan Lely dan Natalia, dua sahabat karib yang datang dari luar Kota Maumere. Untuk Lely ini adalah kali kedua mengikuti tes CPNSD. Sedangkan sahabatnya Natalia baru pertama kali mendaftar. Sejuknya angin yang berhembus dari dedaunan jati mengajak keduanya sejenak berisitirahat setelah capek kesana kemari mengurus ini dan itu berkaitan dengan lamaran mereka. Lely mengambil lamaran pada jabatan Penata Laporan Keuangan untuk Kualifikasi Pendidikan S.1 Akuntansi dan Natalia melamar pada jabatan pada Pranata Humas pada kualifikasi pendidikan S.1 Ilmu Komunikasi. Ketika ditemui di halaman kantor BKD keduanya mengaku sangat berharap untuk lulus, meski diakui para pelamar yang ikut serta begitu banyak.

23 hingga 29 November 2010 menjadi penentu para palamar CPNSD. Selain di Kabupaten Sikka, kabupaten tetangga lainnya seperti Nagakeo, Lembata, Kupang, Ende juga membuka lamaran untuk calon pengadi masyarakat ini.

Khusus untuk Kabupaten Sikka, Pemerintah Kabupaten Sikka mengalokasikan formasi sebanyak 220 orang yang terdiri dari Tenaga Guru sebanyak 99 orang, Tenaga Kesehatan sebanyak 66 orang dan Tenaga Teknis sebanyak 55 orang. Seperti tahun kemarin, tenaga kesehatan dan guru masih menjadi prioritas pemerintah kabupaten. Untuk tahun 2010 ini, pelaksanaan ujian CPNSD akan dilaksanakan tanggal 13 Desember 2010 dan kelulusan peserta akan diumumkan tanggal 23 Desember 2010.

Hingga saat ini, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih menjadi tumpuan utama sebagian orang di Indonesia. Bahkan untuk menjadi PNS semua cara dilakukan, dari sogok menyogok hingga suap menyuap. Tak ayal korban penipuan akibat perbuatan para oknum “mak comblang” PNS selalu menjadi penghias berita disetiap ajang CPNSD.

Hingga kini dan sampai kapanpun PNS masih menjadi incaran. Ini bukan berita.

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Busana Tradisional Sikka

Oleh : Biranul Anas
Masyarakat Sikka atau suku Sikka, mendiami daerah kabupaten Sikka di Pulau Flores dengan kota terbesar sekaligus ibukota yaitu Maumere. Seperti halnya dengan daerah-daerah lain di wilayah Nusa Tenggara Timur, bahkan di, Indonesia, kebudayaan masyarakat Sikka mencerminkan adanya pengaruh-pengaruh asing seperti Bugis, Cina, Portugis, Belanda, Arab dan India. Dibidang agama tampak benar pengaruh Portugis dan Belanda yang membawa agama Katolik dan Protestan serta tatabusana barat yang dewasa ini sudah menjadi pakaian sehari-hari masyarakat. Sedangkan pengaruh India amat nyata pula hasil tenunan, yakni pada pembagian bidang-bidang dan corak yang diilhami oleh kain patola. Walaupun demikian masyarakat Sikka tetap mampu mempertahankan ungkapan budaya tradisionalnya lewat busana serta tatariasnya.

Dimasa lalu orang Sikka mengenal tingkatan sosial yakni bangsawan dan masyarakat umum. Namun dewasa ini hal tersebut sudah ditinggalkan. Pada tatacara berbusana tampak jelas bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok antara keturunan ningrat dan rakyat, kecuali mungkin pada halus tidaknya tenunan, jahitan dan ukiranukiran perangkat perhiasannya.

Busana Adat Pria

Perangkat busana adat pria secara umum terdiri atas kain penutup badan dan penutup kepala. Kain atau baju penutup badan terdiri atas labu bertangan panjang, biasanya berwarna putih mirip kemeja gaya barat. Selembar lensu sembar diselendangkan pada dada, bercorak flora atau fauna dalam teknik ikat lungsi. Pada bagian pinggang dikenakan utan atau utan werung yaitu sejenis sarung berwarna gelap, bergaris biru melintang. Tatawarna kain Sikka umumnya tampil dalam nada-nada gelap seperti hitam atau biru tua dengan ragi yang lebih cerah berwarna putih, kuning atau merah. Istilah untuk sarung selain utan adalah lipa. Dimasa lalu bangsawan memakai lipa dengan ragi yang masih baru, ragi werung.

Destar, tutup kepala pria terbuat dari kain batik soga dan dikenakan dengan pola ikatan tertentu sehingga ujungujungnya turun menempel pada kedua sisi wajah dekat telinga.

Perhiasan yang penting tetapi jarang dikenakan adalah keris yang disisipkan pada pinggang sebagai pertanda keperkasaan dan kesaktian.

Busana Adat Wanita

Seperti halnya pada kaum pria, busana adat wanita Sikka tidak (lagi) mengenal perbedaan strata sosial yang mencolok. Bagian-bagian busana wanita Sikka terdiri atas penutup badan berupa labu liman berun, berbentuk mirip kemeja berlengan panjang terbuat dari sutera atau kain yang bagus mutunya. Labu (baju) wanita ini terbuka sedikit pada pangkal leher guna memudahkan pemakaian sebab polanya tidak menyerupai kemeja atau blus yang lazim berkancing pada bagian depannya. Diatas labu dikenakan dong, sejenis selendang yang diselempangkan melintang dada.

Kain sarung wanita, utan lewak, dihiasi dengan ragam-ragam flora, fauna dalam lajur-lajur bergaris. Utan lewak, arti harfiahnya adalah kain tiga lembar, berwarna dasar gelap dengan paduan-paduan antara warna-warna merah, coklat, putih, biru dan kuning secara melintang. Warna-warna kain wanita melambangkan berbagai suasana hati atau kekuatan-kekuatan magis.

Hitam misalnya biasanya dipakai untuk melayat orang meninggal. Merah dan coklat melambangkan keagungan dan status sosial yang tinggi. Paduan warna juga menunjuk pada usia. Warna-warna yang gelap biasanya dipakai oleh orang tua, sedangkan warna-warna cerah digemari oleh kaum muda. Demikian pula hal dengan warna dong, apabila gelap mencerminkan duka, sebaliknya warna-warna muda adalah untuk suasana suka ria, pesta dan sebagainya.

Cara mengenakan utan selain sebagaimana tersebut di atas juga dengan menyampirkan sebagian pinggir kain di atas bahu dengan melintangkan tangan kanan (atau kiri sesuai pembawaan masing-masing) di bawah dada seperti hendak menjepit kain. Perlambang warna dan cara-cara menyandang utan berlaku pula pada kaum pria Sikka.

Hiasan kepala tersemat pada sanggul atau konde dalam bentuk tusuk konde biasanya terbuat dari ukiran keemasan. Perhiasan pada rambut dewasa ini sudah amat bervariasi karena pengaruh-pengaruh dari suku-suku lainnya di Nusa Tenggara Timur.

Pada pergelangan tangan dipakai kalar yang terbuat dari gading dan perak. Penggunaanya disesuaikan dengan suasana peristiwa seperti upacara-upacara atau pesta-pesta adat. Jumlah kalar gading dan perak (atau emas) biasanya genap. Yakni dua atau empat gading dengan dua perak pada setiap tangan. Kaum berada atau ningrat biasanya mengenakan lebih banyak namun tetap dalam bilangan genap seperti enam, delapan dan seterusnya. Perhiasan lainnya adalah kilo yang tergantung pada telinga.

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: 2010 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---