Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Monday 6 June 2011

Keindahan Tenun Ikat Nusa Bunga

Flores, sepotong pulau dalam gugusan pulau-pulau indah di Nusa Tenggara Timur, satu dari rangkaian nama Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor, Rote, Lembata). Flores terdiri dari delapan kabupaten yang masing-masing memiliki kebudayaan yang khas dan berbeda. Flores berasal dari bahasa Portugis yang berarti 'bunga'.
Flores dihuni berbagai kelompok etnis dimana masing-masing menempati wilayah tertentu lengkap dengan aturan-aturan adat, kemasyarakatan dan budaya yang berbeda dan mengikat utuh masyarakatnya. Salah satu kelompok etnis yang mendiami Flores adalah Sikka.
Sikka di Flores selain sebagai nama etnis juga nama kabupaten dengan Maumere sebagai ibukota. Salah satu yang terkenal dari kekayaan budaya pembuatan tenun ikat yang dipakai dalam setiap upacara adat maupun kehidupan sehari-hari.


Salah satu komunitas yang aktif terus melestarikan dan mengembangkan tenun ikat sekaligus budaya dan kesenian adat Sikka adalah Sanggar Bliran Sina bertempat di desa Watublapi 20 kilometer dari Maumere.

Berdiri 1998 di oleh alm. Romanus Rewo, ayahnda dari Daniel David yang kini meneruskan perjuangan sang ayah. Komunitas ini terus menggali dan memberikan kesadaran melestarikan adapt dan budaya Sikka. Untuk pengembangan tenun ikat selalu konsisten dan terus menerus menggali penggunaan motif-motif tradisional, selain kreasi baru dan penggunaan bahan pewarna alami untuk seluruh proses pewarnaan. Untuk lebih memberdayakan anggotanya yang 56 orang itu, salah satu upaya komunitas ini adalah membentuk koperasi (2006) dan memperkenalkan ke berbagai forum nasional maupun internasional. Baik upaya mandiri maupun undangan dari berbagai pihak. Selain itu mereka mendapat bantuan manajemen dari Swisscontact Wisata.

Para perempuan penenun di Watublapi perlahan-lahan beralih dan memilih mengerjakan tenun ikat dengan warna organik yang bahan-bahannya berasal dari tumbuhan local sama seperti yang dilakukan oleh leluhur mereka.

Komitmen tersebut dijalankan bersama dimotivasi oleh beberapa hal, yakni pelestarian warisan budaya bangsa (tenun ikat tradisional dapat dijumpai dari Sabang sampai Merauke), berwawasan lingkungan (mengurangi limbah dari bahan pewarna kimia dan melakukan penanaman kembali tanaman pewarna organic), kesehatan ibu dan anak (pewarna organic aman untuk kesehatan), kesetaraan gender (membantu kaum ibu memiliki penghasilan sendiri) dan mengangkat ekonomi kerakyatan (menambah pendapatan perkapita keluarga).

"Mata pencaharian masyarakat setempat adalah bertani, selama pengamatan selama 3 tahun terjadi peningkatan income setelah mereka juga membuat tenun ikat dalam kelompok kami,"jelas Danial David.

Dalam pameran ini kali mengusung rombongan 18 anggota dari Sikka dan 300 lebar tenun ikat dan sekaligus perangkatnya, seperti alat pintal kapas menjadi benang dan alat tenun. (Amelia)

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Dana Bantuan Sosial

DARI namanya dana ini dipergunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Namun kenyataannya peruntukan dana ini lebih sering dibelokkan untuk kepentingan lain.
Konon, begitu kepala daerah (bupati/walikota/gubernur) berkunjung ke suatu wilayah, ada pejabat tertentu yang siap selalu dengan uang tunai sekian (ratus) juta. Begitu di lokasi kunjungan sang kepala daerah menyatakan membantu warga/badan dengan sejumlah uang, maka petugas yang memegang uang itu pun langsung menghitung dan memberikan uang kepada yang dibantu sesuai jumlah yang disebut kepala daerah.
Sumber dana yang dipakai? Kalau dana bansos masih mencukupi, diambillah dari dana itu. Jika tidak, uang diambil dari dana sisa tender proyek-proyek.
Seyogianya, dana bansos dialokasikan dalam APBD untuk mengakomodir permintaan bantuan dana dari masyarakat yang dinilai penting untuk dibantu.

Contohnya, ada mahasiswa dari keluarga kurang mampu meminta bantuan dana untuk menyelesaikan studi (menyusun skripsi, melakukan penelitian dan lain-lain). Atau ada lembaga keagamaan yang meminta bantuan dana untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti membangun rumah ibadah atau kegiatan lainnya.

Namun kenyataan sering berbeda. Dana bansos dihabiskan tidak sesuai peruntukannya.
Kasus dana bansos yang mencuat di Kabupaten Sikka, cukup jelas menceriterakan kepada publik tentang penyimpangan penggunaan dana bansos. Mulai dari proses pencairan, pertanggungjawaban sampai peruntukannya, nyaris bermasalah semua. Terungkap juga bahwa ada rekayasa kelompok masyarakat penerima bantuan yang bersumber dari dana bansos. Nyatanya tidak ada, alias kelompok fiktif.

Persoalan ini mencuat setelah “diobrak-abrik” oleh Inspektorat Daerah dan BPKP NTT. Negara mengalami kerugian Rp 10 miliar lebih akibat penyimpangan ini.
Kini, DPRD setempat kembali “mengobok-obok” persoalan itu, “mengulitinya” satu persatu dan publik dibuat tercengang melihat betapa aparat pemerintah “bermain-main” dengan uang rakyat.

Dari sisi transparansi, langkah DPRD Sikka patut dijempoli. Kasus itu dibuat “telanjang” agar ada efek jera, ada efek pembelajaran. Setidaknya pejabat lain yang tidak terlibat, daerah lain yang mengelola dana bansos, bisa lebih bertanggung jawab menggunakan dana itu sesuai peruntukannya.

Spektrum yang menyembul dari rangkaian sidang panitia khusus (pansus) DPRD Sikka yang menyelidiki dana bansos tersebut --tak bisa dihindari-- tidak sebatas penegakan aturan. Warna politiknya begitu terang dan dominan. Terjadi “tembak-menembak” secara politis di tengah pengusutan kasus ini sehingga dikhawatirkan pansus akan sanggup membawa kasus ini tetap di jalurnya. Pansus tentu bukan sidang pengadilan. Juga bukan ruang interogasi penyidik. Siapa pun yang dipanggil untuk dimintai penjelasannya dalam sidang pansus harus tetap berjalan dengan kepala tegak, bukan menunduk lantaran malu karena dipermalukan dalam ruang sidang.


Di sinilah tantangan bagi pansus untuk menjaga agar rangkaian sidang pansus tetap menjadi forum bermartabat dan terhormat.
Lebih dari itu, panitia khusus harus mampu membuktikan ‘kekhususannya’ melalui hasil dari rangkaian panjang sidang-sidang, yang tidak hanya memakan waktu, tetapi juga menyita perhatian, menguras energi dan juga dana. Karena itu harus ada yang spesial yang dihadiahkan kepada masyarakat dari rangkaian kerja keras pansus menyelidiki kasus ini.

Sudah banyak kali terjadi, mulai dari pusat sampai ke daerah, pansus dewan berlangsung begitu semarak. Prosesnya begitu “gegap gempita”. Menyita perhatian publik laksana sinetron di televisi. Tapi apa ending-nya? Lebih banyak berupa kemasan bahasa-bahasa politis yang non-excecutable.

Kalau toh pada akhirnya kasus penyimpangan seperti yang sedang diselidiki oleh Pansus DPRD Sikka itu akan direkomendasikan untuk diproses hukum, dan tentu saja masih berproses begitu lama dengan ending yang juga belum tentu memuaskan rasa keadilan masyarakat, mengapa harus membuang waktu, energi dan dana untuk berlama-lama? Apalagi hanya demi memuaskan hasrat saling memojokkan, menyudutkan satu sama lain?

Kita berharap Pansus segera menyelesaikan tugasnya. Jika benar ada masalah maka harus ada yang bertanggung jawab. * (Pos kupang)
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Monday, June 06 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---