Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Tuesday 28 September 2010

Hokor Watu Apar, Berperang dalam Tarian

Kampung Hokor terletak di wilayah selatan Kabupaten Sikka, berjarak 39 Km dari Kota Maumere, ibukota Kabupaten Sikka. Pualu Flores. Kampung Hokor berbatasan dengan Kampung Sikka dan Pomat. Sedikit berbeda dengan topografi kampung lain di Sikka, Hokor adalah kampung berbatu, diapit oleh dua buah bukit, Bukit Ilin Lhorat dan Ilin Pigang. Karena itulah Hokor sering mendapat julukan Kampung Watu Apar, kampung berbatu. Daerah berbukit dan berbatu ini memang semula (dahulu kala) merupakan wilayah ‘pengungsian’ orang-orang Hokor, yang lari dan mencari keamanan dari perang antar kampung, tetapi selanjutnya dipilih sebagai tempat menetap (kampung) dengan nama Hokor.
Nama kampung ini (Hokor), bila dicermati secara harfiah maka tidak akan ditemukan arti dan padanannya dalam bahasa Sikka. Diduga nama ini berasal dari kata bahasa Sikka, yakni “hogor” yang berarti bangun. Dugaan lain menyebutkan nama ini berasal dari nama sejenis burung yang bernama “Hokok”, yang pada awal kedatangan awal orang Hokor ketempat itu, burung itu ditemukan dan ditangkap tepat ditengah-tengah kampung itu.

Nenek moyang orang Hokor sebelumnya mendiami wilayah yang sekarang didiami orang-orang Sikka, Kampung Sikka. Diceritakan bahwa karena ulang Mong Baga Giluk bersama orang-orang sekampungnya (mereka yang mendiami Kampung Sikka sekarang) yang menggulingkan tempayan berisi kotoran manusia, orang-orang Hokor terpaksa melarikan diri dan berdiam didaerah yang sekarang dikenal dengan nama Hokor.

Meskipun sudah berada ditempat (Hokor) yang dianggap aman dari haluan musuh, orang-orang Hokor tak pernah luput dari gangguan luar seperti pencurian hasil panen ataupun serangan musuh. Orang-orang Hokor, karena itu, tidak bisa tinggal diam tetapi harus berperang melawan musuh.

Orang-orang Hokor yakin bahwa perang melawan musuh tidak lepas dari restu dan keterlibatan para leluhur. Oleh karena itu, sebelum berperang ritual adat harus dibuat. Selain sebagai tanda hormat kepada leluhur, ritual adat itu dimaksudkan agar para leluhur dilibatkan dalam peperangan. Menurut informasi, perang yang terjadi dahulu antara Hokor dan kampung-kampung sekitarnya selalu dimenangkan oleh orang-orang Hokor. Dengan perang, keberadaan dan indentitas sebagai satu kampung tetap eksis.

Syair berikut menjadi semboyan dan kahe orang-orang Hokor ketika berperang sekaligus menunjukkan bahwa orang-orang Hokor berkampung batu dan selalu menang dalam perang.

Hokor Watu Apar, guman gogo leron tolor, tubu nane rebu, kota nane korak, ponun puan helang ilin, ga ata maten gateng ata moret “

Hokor kampung berbatu, malam runtuh siang terguling, berpagar besi, bertatakan tempurung, asal mula jin dari gunung, melahap yang mati, menantang yang hidup”

Memang sudah lama Hokor sudah tidak terancam lagi oleh gangguan luar, namun kisah tentang perang dan kemenangan orang-orang Hokor ketika melawan musuh luar tidak pernah terlupakan. Selain dikisahkan turun temurun, perang dan kemenangan pun dibentukkan secara artistik menjadi tarian perang khas orang-orang Hokor yang dikenal dengan nama Tarian Bebing.

Ada banyak tarian yang dimiliki oleh orang-orang Hokor seperti Ro’a Mu’u (tarian potong pisang pada saat pernikahan), Tarian Sandang, Togo Pare (tandak untuk luruh padi). Sedangkan yang mengisahkan tentang perang antara orang Hokor dan kampung lain adalah Tarian Bebing. Tarian Bebing menjadi simbol heroisme orang Hokor.

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Sunday 26 September 2010

Pesta Sambut Baru di Maumere

Pagi hari tinggallah tenda itu berdiri diam. Kursi-kursi ada yang tersusun rapi tapi ada pula yang dibiarkan tak beraturan. Banyak sampah yang berserakan. Musik yang berdentum dari sound sistem belum berhenti dari malam. Bahkan ada saja yang masih tertidur pulas keenakan diatas meja panjang. Pemandangan yang nampak biasa dihari ini seusai hari dan malam panjang yang melelahkan. Anak-anak yang berbahagia masih tertidur pulas dengan sejuta rasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Baru saja mereka menjadi pusat perhatian penuh semua orang. Ciuman dan ucapan selamat, melebihi pengantin pernikahan. Orang tua juga demikian. Meski harus mengeluarkan biaya begitu banyak mereka tak peduli. Tak jarang demi memenuhi kebutuhan gengsi, orang-orang Maumere (Flores) rela hutang sana sini agar dapat mengadakan pesta Sambut Baru. Bukan rahasia lagi kok.

Hari Jumad, 25 September Kota Maumere, terutama di wilayah Paroki Thomas Morus Keuskupan Maumere sejumlah 397 anak-anak berusia kelas 5 SD mendapatkan Komuni Suci Pertama. Bisa dibayangkan. Ada 397 anak. Artinya kalo diasumsikan semua merayakan dengan membuat pesta berarti ada 397 tenda. Lebih dari 397 hewan yang disembelih. Terjadi perputaran duit yang tak sedikit dalam hari-hari tersebut. Tinggal hitung-hitung sendirilah.

Semua orang Maumere di Flores yang Katolik pernah mengalami kebahagiaan ini. Dimana ketika itu, sang anak mendapat anugerah istimewa oleh gereja untuk menerima Tubuh dan Darah Sang Kristus. Ketika itu umur mereka sekitar 10-11 tahun. Seperti sunatan, acara syukuran Sambut Baru bagi orang Flores juga diindentikan dengan pesta.

Untuk saat ini, Sambut Baru di Keuskupan Maumere tak dilakukan serentak se-keuskupan tapi telah dibuat bertahap. Misalnya kali kemarin bulan agustus untuk wilayah Paroki St. Yoseph dan lainnya, kali ini wilayah Paroki Thomas Morus dan lainnya.

Pesta Sambut Baru juga dibuat sedemikian meriah. Tamu undangan akan datang bergilir dari siang hingga malam. Bukan hanya satu dan dua rumah. Bisa saja sampai belasan rumah digilir. Tentu saja disetiap rumah disuguhkan makanan yang enak-enak, musik yang asik punya dan sebotol moke sebagai penghangat tubuh. Kalau kita mengunjungi sebuah tempat pesta dan menegguk moke 4 kali perpesta, bisa dibayangkan berapa kali kita menegguk moke. Tampaknya ini bukan halangan kok. Bagi sebagian besar orang Flores, pesta ya pesta. Tak mempedulikan apapun. Yang penting hepi dan asik. Nah kalau kita mendapatkan 10 undangan pesta, itung kan berapa biaya kado yang dikeluarkan.

Di sisi lain, Gereja tidak diam. Sudah sering gereja mengimbau umatnya agar pesta Sambut Baru dirayakan dengan tak berlebihan. Pihak gereja juga mengimbau kepada para keluarga agar uangnya ditabung untuk biaya sekolah anak, atau masa depan anak mereka.

Pernah terbersit untuk mengundang MURI (Museum Rekor Indonesia) agar mengabadikan acara tahuan ini kedalam rekor MURI. Selain di Flores belum ada tempat manapun yang dalam sebuah Kabupaten ada banyak tenda pesta dengan musik yang tak henti-hentinya berbunyi. Dan itu sampai ratusan tenda pesta.

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Friday 24 September 2010

GEREJA yang Diam?

Oleh: Justin L. Wejak, Dosen Kajian Indonesia di Universitas Melbourne, Viktoria, Australia

“Mengapa KWI (Konperensi Wali Gereja Indonesia) hanya diam menghadapi eksekusi Tibo Cs?” Demikian bunyi pertanyaan seorang imam dan misionaris Katolik dalam salah satu acara ceramah dan diskusi di Kota Melbourne (Australia) belum lama ini. “Paus Benediktus XVI mengeluarkan pernyataan sekaligus meminta pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali keputusan hukuman mati kepada Tibo Cs, tetapi KWI tidak pernah mengeluuarkan pernyataan apapun. Sang Pastor menambahkan, “Saya sebetulnya sangat kecewa dan ingin sekali menulis surat ke KWI untuk menyatakan sikap penyesalan saya atas sikap KWI itu”, cetusnya lagi.

Pada 11 agustus 2006, Paus Benediktus menyurati Presiden RI Susilo bambang Yudhoyono yang meminta pemerintah RI mempertimbangkan kembali keputusan dan pelaksanaan hukuman mati kepada Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva terkait kasus Poso.

Surat Paus itu ditanggapi SBY dengan positip. Eksekusi Tibo Cs yang seharusnya dilaksanakan pada 12 Agustus 2006 di tunda. Namun, tidak ada spesifikasi durasi penundaan dan kalau hukuman mati Tibo Cs dibatalkan.

Namun akhirnya, dini hari 22 Sepetember 2006, Tibo Riwu dan da Silva dieksekusi oleh negara di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka dinyatakan terlibat dalam kekerasan berdarah yang diwacanakan secara dominan sebagai kekerasan antar agama Islam dan Kristen di Poso.

Tibo Cs dinyatakan terlibat sebagai pelaku dilapangan dan (lebih) sebagai otak serangan kelompok nasrani terhadap kaum muslim, khususnya selama Kerusuhan Poso III, Mei- Juli 2000. Mereka adalah transmigran asal Flores beragama Katolik Roma.

Tuduhan keterlibatan Tibo Cs mati-matian disangkal oleh mereka dan tim hukum dengan bukti-bukti, namun tidak di gubris. Pilihan untuk tidak menguji bukti-bukti baru atau novum akhirnya menggiring Tibo Cs dalam ketidakberdayaan untuk ditembak.

Akademisi Dr. Paul Budi Kleden SVD, alumnus Universutas Freiburgh (Jerman) dan dosen STFK Ledalero Flores dalam ceramah dibawah tajuk "Gerakan Perlawanan Eksekusi Tibo Cs dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat Akar Rumput di Flores”, di Universitas Melbourne tertanggal 14 Agustus 2010 menyebutkan bahwa surat Paus ini dianggap sebagai sesuatu yang berhasil. Ditambahkan bahwa surat ini kemudian dijadikan rujukan dalam doa-doa bersama agar pelaksanaan eksekusi Tibo Cs tidak hanya ditunda tapi dibatalkan. Hak hidup adalah hak paling hakiki dari manusia yang harus dihormati dan dilindungi.

Dr Kleden juga menyebutkan Surat Gembala oleh Uskup Maumere, Mgr. Vincent Sensi Pr, kepada para pastor, biarawan/biarawati, umat khatolik dan semua orang yang berkehendak baik di Keuskupan Maumere tertanggal 19 Agustus 2006. Demikian penggalan surat Gembala itu: ‘kita menolak eksekusi mati kepada tiga saudara kita diatas, karena menurut keyakinan kita sebagai umat beriman, anugerah kehidupan merupakan anugerah tertingi yang diberikan Tuhan kepada ciptaan-Nya. Sebab itu kami menolak segala bentuk pengambilan hak hidup atas alasan apapun.

Sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa secara intrinsik menyokong isi iman ini. Pancasila menghormati iman agama bahwa membunuh itu tidak boleh karena tidak baik. Akan tetapi negara dengan Pancasila sebagai filsafat negara ternyata masih membunuh orang dengan pemberlakuan hukuman mati. Maka jelas negara telah melanggar Pancasila itu sendiri yang menghormati isi iman agama yang melihat kehidupan sebagai anugerah tertinggi dari Tuhan kepada ciptaan-Nya.

Dalam terang sila pertama dari Pancasila saja, hukuman mati bertentangan dengan Pancasila dan oleh karena itu haru dihapus kalau Pancasila tetap menjadi filsafat negara. Negara harus memilih Pancasila atau hukuman mati? Tidak bisa dan tidak boleh kedua-duanya sekaligus!

Uskup Atambua Mgr. Anton Painratu SVD, adalah sosok lain yang peka terhadap persoalan kemanusiaan dan keadilan. Beliau ikut turun kejalan untuk menyatakan protes tehadap keputusan pengadilan mengeksekusi Tibo Cs. Beliau mengungkapkan penyesalan yang mendalam setelah Tibo Cs ditembak pada 22 september 2006 di Palu.

Para pastor dan biarawan/biarawati se-NTT, dalam cara dan kapasitasnya masing-masing ikut mendesak agar hukuman mati tersebut dibatalkan. Bahkan pemuka agama-agama lain di NTT ikut memperkuat front penolakan eksekusi Tibo Cs.

Sikap mereka jelas namun mengapa KWI yang berkantor dipusat kekuasaan negara tidak bisa menyatakan sikapnya untuk menolak? Membiarkan para Uskup bergerak dengan inisiatif sendiri di wilayah keuskupannya dapat mempertanyakan keutuhan Gereja Katolik Indonesia dibawah komando KWI.

Gereja-gereja Katolik Roma sangat dihargai oleh karena ajaran-ajaran sosialnya. Namun kegagalan KWI menyatakan penolakan terhadap eksekusi Tibo Cs merupakan sesuatu yang patut disayangkan. Pertanyaannya, mengapa KWI tidak menyatakan penolakan? Sejauh mana kegagalan KWI ini merupakan cermin ketakutan politis terhadap kekuasaan pusat?
Memang KWI yang diam telah lama menjadi semacam pattern atau pola. Pola ini telah lama terbentuk sehingga untuk mengubahnya diperlukan keberanian untuk mulai dan kesabaran.

KWI yang pada tahun 1960-an masih disebut MAWI terkesan diam ketika ratusan ribu orang-orang kecil dibantai oleh negara atas tuduhan memiliki afiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tuduhan komunis ini tetap tanpa bukti hingga saat ini karena tidak ada proses hukum Namun, afilasi dengan PKI tidak pernah boleh dipandang sebagai kejahatan dalam sebuah negara dengan hukum yang melindungi hak berafiliasi. Saat itu PKI merupakan partai resmi.

Pembunuhan massal atau genocide sebagai konsekuensi logis dari G.30.S dibiarkan terjadi olejhMAWI tanpa ada suatu pernyataan tegas yang menolak. Elit Partai Katolik dan elit MAWI (KWI) tidak pernah menyatakan penyesalan apalagi meminta maaf atas tragedi kemanusiaan itu. Gereja sebagai institusi bahkan memiliki hubungan khusus dengan pemerintah Orde Baru (1966-1998), yang justru dibangun atas darah korban kekerasan negara.

Mendiang Gus Dur, atas nama NU, justru telah dengan rendah hati meminta maaf kepada para korban pembantaian 1965-1966 atas keterlibatan anggota NU. Tetapi mengapa elit Partai Katolik tidak? Demikian pertanyaan menyindir yang pernah disampaikan oleh Ahli Indonesia Benedikt Anderson.

Sikap diam KWI terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan seperti yang terjadi dalam kasus Tibo Cs mencerminkan sikap yang bertentangan dengan ajaran sosial gereja. Gereja sebagai institusi yang diharapkan memihak kaum kecil dan tertindas ternyata telah membiarkan kaum ini menjadi korban rekayasa kepentingan kekuasaan. Menyuarakan suara kaum tertindas adalah tugas Gereja sebagai institusi.

Memang diam bisa berarti melawan, namun bisa pula berarti PATUH.

Penulis, meneliti “Peranan Gereja Katolik dalam Peritiwa-Peristiwa Politik 1960-an di Indonesia”, dan Dosen Kajian Indonesia di Universitas Melbourne, Viktoria, Australia.

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Wednesday 22 September 2010

Empat Tahun Perginya 3 Martir dari Flores

Bupati Sikka Alexander Longginus saat itu memutuskan mengirim utusan bersama dengan utusan keluarga ke Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, 23 September 2006, guna mengurus membawa pulang jenazah Dominggus da Silva dimakamkan di kampung halamannya, di Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Bupati mengambil keputusan ini setelah diperoleh kesepakatan dengan keluarga Dominggus da Silva, di kediaman bapak angkat Dominggus, Ansel da Silva, di Jalan Nong Meak, Kampung Kabor, Kecamatan Alok. Sebelum kesepakatan, warga Maumere berunjuk rasa di Kantor Kejaksaan Negeri Kabupaten Sikka. Mereka menuntut jenazah Dominggus yang telah dieksekusi dimakamkan di kampung halamannya.

Kehadiran jasad Dominggus da Silva, dari Palu ke tanah leluhurnya Maumere disambut ribuan massa. Sejak dari pagi hingga kedatangan jenazah, ribuan warga tumpah ruah disepanjang jalan protokol yang dilewati hingga rumah kediaman bapak Ansel da Silva di Jalan Nong Meak. Dalam pesan terakhirnya, Dominggus meminta agar jenazahnya dimakamkan di tanah kelahirannya Maumere. Ekseskusi Tibo Cs di Palu 4 tahun lalu masih menyimpan tanda tanya hingga saat ini, benarkah mereka memang bersalah? Padahal dari sejumlah bukti dan saksi, Tibo Cs diketahui tidak bersalah. Dan setelah dieksekusi, Kota Atambua di Timor dan Maumere di Flores rusuh. Sejumlah kantor-kantor pemerintah dibakar massa yang kecewa.

Sidang
Tibo, Dominggus, dan Marinus sejak awal persidangan di Pengadilan Negeri Palu awal tahun 2001 selalu membantah terlibat kerusuhan Poso III. Kedatangan mereka ke Poso pada 22 April 2000 dari kampung mereka di Beteleme, Kabupaten Morowali, sekitar 250 km dari Poso, hanya untuk menolong puluhan anak-anak sekolah St Theresia Poso beserta para guru, suster, dan pastor yang tengah berada dalam kepungan massa. Aksi penyelamatan anak-anak itu mereka lakukan tanpa berkonfrontasi dengan massa.

Seluruh proses peradilan Tibo cs (sebanyak 17 kali) penuh dengan tekanan massa, bahkan Fabianus Tibo pernah dipukul oleh salah seorang saksi dalam proses persidangan di ruang sidang Pengadilan Negeri Palu. Tuduhan jaksa yang mengatakan mereka telah memimpin pembunuhan terhadap warga Kelurahan Moengko Baru, Kelurahan Kayamanya, dan Desa Sintuwulemba, Poso, tidak pernah terbukti di persidangan.

Pada sidang PK kedua di PN Palu, penasihat hukum Tibo cs menghadirkan sembilan saksi baru yang menyatakan Tibo cs tidak terlibat sejumlah penyerangan dan pembunuhan warga Poso pada 23 Mei-1 Juni 2000 sebagaimana dituduhkan jaksa penuntut umum. Sembilan saksi melihat Tibo cs menyelamatkan puluhan anak-anak sekolah St Theresia Poso, suster, pastor, dan sejumlah guru dari kepungan massa.

Permintaan terakhir ditolak
Sebelum di eksekusi, Kejari Palu menolak semua permintaan terakhir Tibo Cs. Empat permintaan terakhir Tibo Cs adalah:

* Pertama, mereka meminta agar saat pelaksanaan eksekusi didampingi Roy, Pastor Jimmy, Direktur Padma Indonesia Pastor Nobert Bethan, dan Ketua Komisi Ombudsman Nasional Antonius Sujata.
* Kedua, mereka meminta agar jenazah mereka disemayamkan di Gereja Katolik Santa Maria Palu, dan mengharapkan Uskup Manado Mgr Yosephus Suwatan bersedia memimpin Misa Requiem (misa mendoakan arwah).
* Ketiga, Tibo dan Marinus minta dikebumikan di Beteleme, Kabupaten Morowali, Sulteng, sedangkan Dominggus minta dikebumikan di Flores, Nusa Tenggara Timur.
* Keempat, Tibo dkk menolak semua fasilitas yang disediakan kejaksaan seusai eksekusi, seperti jas, sepatu, dan peti jenazah, serta transportasi mengantar jenazah ke persemayaman dan pemakaman.

Kejari Palu tidak memberi kesempatan jenazah Tibo dkk disemayamkan di Gereja Santa Maria Palu untuk Misa Requiem. Menurut pihak kejaksaan, setelah dieksekusi, jenazah Tibo dan Marinus langsung diterbangkan ke Morowali, sedangkan jenazah Dominggus dikebumikan di Palu.

Tibo dkk telah meminta semua keperluan setelah eksekusi hingga ke pemakaman itu disiapkan oleh pihak keluarga dan orang-orang yang peduli terhadap mereka. Berdasarkan Pasal 15 Penetapan Presiden RI Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, penguburan diserahkan kepada keluarga atau sahabat terpidana.

Kontroversi

Tuntutan untuk penangguhan, bahkan, pembatalan eksekusi terhadap ketiga terpidana mati itu terutama dipelopori oleh masyarakat Kristiani yang berasal dari Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara. Mereka berdemonstrasi di Jakarta, Makassar, Palu, dan Manado, Kupang, Maumere, Larantuka, Ende dan beberapa daerah lain. Sementara itu, tuntutan agar eksekusi segera dijalankan datang dari ratusan pemuda dan mahasiswa Muslim yang mendatangi Mapolda dan Kejati Sulteng di Palu, hari Rabu, 5 April 2006. Mereka berasal dari PMII, IPNU, IPPNU, DDI, dan Badan Eksekutif Mahasiswa STAIN Datokarama, Palu.

Pihak yang menuntut penundaan atau pembatalan eksekusi Tibo, Riwu, dan da Silva beralasan bahwa ada bukti ketiga terpidana mati itu tidak melakukan serangkaian pembunuhan seperti yang dituduhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Palu. Sembilan saksi baru dalam sidang PK II perkara Tibo, dkk yang berlangsung di PN Palu, 9 Maret lalu, membantah tuduhan jaksa, bahwa trio itu memimpin sekitar 130 orang untuk membunuh penduduk Kelurahan Moengko Baru dan Kayamanya, pada tanggal 23 Mei 2000, pukul 03:30 WITA. Mereka sebaliknya menyaksikan Tibo, dkk berada di kompleks gereja dan sekolah St. Theresia di Poso, antara tanggal 22-23 Mei 2000, untuk melindungi dan mengevakuasi puluhan anak sekolah di malam hari ke Desa Temabaru.

Sebaliknya, pihak yang menuntut supaya eksekusi segera dijalankan, berdalih sebagai wujud ketaatan kepada hukum, maka eksekusi Tibo dan kawan-kawan harus dipercepat, seperti kata M. Subhan, Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sulawesi Tengah, dikutip oleh Koran Tempo, 6 April 2006. Kepada koran yang sama ia mengulangi keterangan polisi tentang “pengakuan-pengakuan” Tibo dan Dominggus, tentang banyaknya orang Muslim Poso yang mereka bunuh.

Ada juga tuntutan penangguhan eksekusi yang datang dari kalangan lintas agama. Lima pemuka agama, yakni KH Abdurrahman Wahid, Julius Kardinal Darmaatmadja, Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, Bhikku Dharmawimala, dan Ws. Budi S. Tanuwibowo memohon kepada Presiden SBY untuk menunda eksekusi terhadap Tibo, Riwu dan da Silva, dengan pertimbangan sebagai berikut.

* Pertama, alasan kemanusiaan, mengingat ketiga terpidana mati itu masih mempunyai hak menunggu untuk mengajukan grasi kembali selama dua tahun, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
* Kedua, untuk menjaga kerukunan di wilayah Poso dan sekitarnya.
* Ketiga, keputusan pemerintah yang terkesan tergesa-gesa akan menimbulkan pertanyaan besar, dan
* Keempat, demi terciptanya suasana adil dan damai di Poso dan Palu, ketiga terpidana mati itu sebaiknya dipindahkan ke tempat lain.

Sikap yang juga tidak diwarnai keberpihakan kepada salah satu komunitas agama, ditunjukkan oleh Poso Center, aliansi 30 ornop di Palu, Poso, dan Tentena, yang lahir dari kampanye bersama untuk menyeret para pelaku korupsi dana bantuan kemanusiaan pengungsi Poso ke meja hijau. Mereka pun menuntut supaya eksekusi mati terhadap Tibo, Riwu dan da Silva ditunda dulu

Saat eksekusi belum dilakukan, Keuskupan Manado dan kalangan Katolik akan terus berusaha agar pelaksanaan eksekusi tidak dilakukan. Hal ini ditegaskan langsung Uskup Manado Mgr Josephus Suwatan MSC. Menurut Suwatan hingga kini mereka tetap belum yakin bahwa Tibo cs memang bersalah dan layak dihukum mati. Karena sejumlah bukti justru meringankan mereka.

Senada dengan Suwatan, Ketua Umum Pucuk Pimpinan KGPM Gembala Tedius Batasina, Ketua SAG Sulutteng Pdt J. Sumakul, Ketua Umum Persekutuan Gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) Pdt Dr. Lefrant Lapian, Ketua Dewan Sangha Budha Sulut dan Indonesia Bhikku Dharma Surya Maha Sthavhira sama-sama berpendapat bahwa penghukuman mati adalah hak Tuhan karena Ia yang menciptakan manusia.

Tiga pemimpin agama di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah juga menyampaikan seruan kemanusiaan, minta pihak berwenang dan khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempertimbangkan kembali rencana pelaksanaan eksekusi mati terhadap Tibo, Marinus dan Dominggus. Alasannya karena novum (bukti baru) yang ditemukan melalui sidang Pengadilan Negeri Palu tertanggal 9 Maret 2006 lalu sampai hari ini belum dipakai oleh penegak hukum guna mencari kebenaran materiil atas kasus tersebut. Dalam surat seruan kemanusiaan tertanggal 10 Agustus 2006, ketiga tokoh agama Sulawesi Utara, masing-masing Uskup Manado yang sekaligus membawahi wilayah pelayanan Sulawesi Utara dan Tengah Mgr Joseph Suwatan, Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Utara KH Arifin Asegaf dan President of Asia Fellowship of Mission 21 Partner Churches Dr Nico Gara menyampaikan seruan yang menyatakan menolak pelaksanaan hukuman mati Tibo cs yang diyakini belum berkeadilan dan belum didapati kebenaran materiil. Menurut mereka, pelaksanaan hukuman mati kepada ketiga Tibo cs belum berkeadilan karena belum didapati kebenaran materiil, antara lain tidak dipertimbangkannya novum dalam sidang Peninjauan Kembali yang dilaksanakan oleh Tim Lima Hakim Agung pada tanggal 9 Mei 2006, dan lebih sungguh tidak masuk akal menuduh Tibo cs menyerang kompleks Moengko, yang notabene adalah kompleks peribadatannya sendiri. Demikian juga tempat sekolah dan asrama anak-anak mereka sendiri. Dengan demikian sekurang-kurangnya materi tuduhan tentang peristiwa di kompleks Moengko pada tanggal 23 Mei 2000, pasti tidak benar. [3]

Menurut Undang-undang Grasi Nomor 22 Tahun 2002, Tibo dkk masih mempunyai hak untuk mengajukan grasi kedua. Dan, pada pasal 3 UU itu disebutkan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.

Eksekusi mati
22 September 2006, dini hari, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu menjalani eksekusi mati di Poso, Provinsi Sulawesi Tengah di hadapan regu tembak dari kesatuan Brimob Polda setempat. Mereka menjalani eksekusi mati secara serentak selama kurang dari lima menit mulai pukul 01:10 WITA di sebuah tempat yang masih dirahasiakan di pinggiran selatan Kota Palu. Berselang beberapa menit kemudian, jazad ketiga terpidana yang benar-benar telah dinyatakan meninggal dunia segera dimandikan oleh puluhan petugas yang sudah bersiaga di tempat kejadian perkara (TKP). Lalu, masing-masing mereka dipakaikan setelan jas yang sudah dipersiapkan. Selanjutnya, jenazah para terpidana dimasukkan ke dalam tiga peti mati yang tiga bulan lalu sudah dipersiapkan pihak Kejaksaan Negeri Palu selaku pelaksana eksekutor.

Sementara itu, kawasan Bandara Mutiara di pinggiran Selatan Kota Palu yang sejak Kamis malam hingga Jumat dini hari telah disterilkan serta mendapatkan pengamanan ekstra ketat oleh ratusan aparat keamanan bersenjata lengkap, hingga pukul 05:30 WITA belum dibuka untuk umum. Kuat dugaan sebuah bangunan di salah satu bagian bandara terbesar di provinsi Sulteng ini dijadikan tempat menyemayamkan jenazah Tibo dkk, sebelum dibawa ke tempat penguburannya.

Jenazah Tibo dan Marinus akan diterbangkan ke Soroako, Sulsel, menggunakan pesawat udara. Selanjutnya dari Soroako diseberangkan ke Danau Towuti, untuk kemudian dibawa melalui perjalanan darat ke desa Beteleme, ibukota Kecamatan Lembo di Kabupaten Morowali, guna dikebumikan di tempat domisili keluarganya. Sementara jenazah Dominggus langsung diangkut ke pekuburan Kristen Poboya, Palu Timur. [2] [3] [4]

Kejaksaan Agung menggelar jumpa pers, disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, I Wayan Pasek Suartha menjelaskan pelaksanaan eksekusi dipimpin pelaksana harian Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, Mahmud Manan, dengan pelaksana Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. Ketiga terpidana dijemput dari LP Kelas II Petebo. 01.00 Wita, ketiga terpidana tiba di tempat pelaksanaan eksekusi. Selang 15 menit kemudian terpidana mendapat bimbingan doa dari rohaniwan Katolik, Yosep Katilitaba.

Eksekusi dilaksanakan di Desa Poboya, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Jumat 22 September, pukul 01.45 WITA atau pukul 00.45 WIB. Eksekusi dilaksanakan secara serentak di hadapan regu tembak dari Brimob Polda Sulteng yang terdiri dari tiga regu, masing-masing regu 12 personel. Pukul 02.00 WITA, tim dokter yang terdiri dari 6 orang yang dipimpin dokter Haris menyatakan ketiga terpidana benar-benar telah meninggal.

Pukul 04.00 WITA jenazah dikenakan pakaian jas lengkap dan dimasukkan ke dalam peti jenazah. Prosesi pemakaman Dominggus da Silva dilaksanakan atau diselenggarakan negara di pemakaman Poboya, Palu Selatan, Palu, pukul 04.15 WITA. Sementara, jenazah Fabianus Tibo dan Marinus Riwu pada pukul 06.00 diberangkatkan ke Morowali, menggunakan pesawat helikopter milik Polda Sulawesi Tengah. Permintaan Dominggus da Silva untuk dimakamkan di Maumere tidak dipenuhi atas penentuan Kajati setempat, dan pemakaman Dominggus diselenggarakan negara.


Dimakamkan Sepihak
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sulawesi mengecam keras sikap kepolisian yang langsung memakamkan jasad Dominggus da Silva, setelah eksekusi mati, di daerah Poboya, Palu, dekat Markas Brimob, tanpa memberi tahu pihak keluarga. Tidak lama setelah melakukan eksekusi terhadap ketiga terpidana mati kasus Poso, pihak kepolisian selaku eksekutor langsung memakamkan jasad Dominggus da Silva tanpa memberi tahu pihak keluarga yang sudah menanti di Gereja Santa Maria, Palu. Dengan penguburan sepihak itu, keluarga tidak sempat melihat jasad Dominggus. Dalam amanat terakhirnya Dominggus meminta pihak keluarga memakamkan jazadnya di tempat asalnya di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Polisi pun ingkar janji untuk membawa jazad Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu ke Gereja Santa Maria, rencananya pihak keluarga akan melakukan misa requem.

Akhirnya, misa yang dipimpin oleh Pastor Gereja Santa Maria, Melky Toreh, berlangsung selama 45 menit. Foto tiga terpidana mati dipajang di dalam gereja dengan tiga peti mati kosong. Dini harinya pihak kepolisian yang diwakili oleh Victor Batara sepakat memenuhi permintaan keluarga para terpidana agar menghadirkan jasad mereka pada misa pukul 09.00 WITA.

Namun ternyata polisi langsung menerbangkan jazad Fabianus Tibo dan Marinus Riwu ke Beteleme dengan pesawat kepolisian pada pukul 06.00 WITA. Tidak ada alasan yang jelas dari pihak kepolisian kepada keluarga atas pengingkaran janji itu.

Pesan-pesan terakhir para terdakwa mati seperti yang dilansir harian Suara Pembaruan:

Fabianus Tibo
"Kami tidak takut dengan eksekusi ini. Kami siap dieksekusi meski kami menolak eksekusi ini. Kami tidak bersalah. Dengan keluarga, kami merasa sangat berat. Kami telah menelantarkan mereka selama ini. Kami hanya mampu berdoa untuk mereka agar memaafkan kami. Terima kasih untuk semua pihak yang bantu keluarga selama ini. Terima kasih pula untuk semua orang yang mengusahakan supaya kebenaran dan keadilan diungkap dan ditegakkan. Kami merasa bahwa Tuhan memberikan yang terbaik selama ini."

Marinus Riwu
"Untuk eksekusi ini saya tidak takut. Saya tidak bersalah, tapi saya siap menghadapi kematian ini. Saya yakin di surga akan berjumpa suatu saat dengan istri dan anak.
Saya sungguh merasa kuat. Sudah enam tahun lebih saya berdoa di sini. Saya selalu bertanya apa yang sebenarnya yang dituduhkan kepada kami? Ini hanya upaya melindungi 16 nama. Tangan saya bersih dari darah."

Dominggus da Silva
"Saya cuma numpang lewat di Jamur Jaya (Kabupaten Morowali), tapi akhirnya saya harus ada di sini. Hidup dan mati, Tuhan yang menentukan, maka saya tidak takut menghadapi masalah ini. Keadilan tidak berpihak kepada kami, masyarakat kecil. Kurang lebih tujuh tahun kami ungkapkan kebenaran, tapi selalu dibungkam aparat penegak hukum. Walaupun saya sudah mati, saya tetap tidak terima eksekusi mati itu." (dari berbagai sumber)

Tibo, Marianus, Dominngus bersama Uskup Manado Mgr Yoseph Suwatan MSC saat beliau memberikan salib dari Paus


Selamat Jalan Martir dari Bumi Nusa Nipa..

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Tuesday 21 September 2010

Musik Gong Waning di Tengah Duka Kematian

Saat mendengar bahwa salah satu anggota keluarga ada yang wafat, seketika itu suasana berubah jadi duka cita. Tapi ditengah suasana duka, ditengah jerit tangis nan pilu, beberapa keluarga lain menghadirkan para penabuh gong waning. Sambil menunggu kedatangan jenazah, gong waning terus ditabuh. Pukulan mistik musik etnik Sikka tersebut mendominasi suasana. Tak cuma itu. Satu dua penari dadakan mulai bergerak luwes dipanggung berlantai tanah. Saat jenazah tiba, gong waning tersebut terus mendengarkan bunyinya..
Usai misa pemakaman, anak, ponakan dan sodara dikenakan untuk membawa peti jenazah. Didepan pemanggul peti jenazah para penari perempuan berjumlah 6 orang memimpin sambil menari-nari adat diiringi pukulan musik gong waning. Para penari ini mengenakan pakaian adat seragam tapi tak beralas kaki. Iring-iringan ini bergerak melewati lobang makam dan terus menjauhi.

Setelah agak jauh mereka berbalik arah dan menuju lobang makam tadi. Saat sampai disitu, tari-tarian terus bergerak. Musik terus dimainkan. Dan para tetuah adat menerima peti jenazah dengan sapaan adat. Setelah itu barulah, upacara kegamaan terakhir untuk penguburan dilanjutkan.

Tak banyak informasi yang didapat. Tapi yang diketahui bahwa upacara dengan musik gong waning dan tari-tarian adat ini dipersembahkan khusus bagi orang-orang dalam sebuah suku yang memiliki pengaruh atau masih keturunan keluarga berpengaruh disuku bersangkutan. Bisa juga yang meninggal adalah orang yang sudah sangat berumur meski bukanlah seorang yang berpengaruh dalam strata sosial di suku tesebut. Musik yang dimainkan dengan tetarian dimaksud sebagai pengantar atau pengiring kepergian arwah tesebut menuju ke alam keabadian.

Upacara kematian juga tak lepas dari dkorbankannya seekor kuda. Penyembelihan kuda memiliki makna penting. Kalau Ata Mate (orang meninggal) itu adalah orang yang memiliki harta benda maka saat mati keluarga membunuh kuda. Meskipun hal ini jarang terjadi dimasyarakat, namun ada arti dibalik kuda yang dibunuh. Pada jaman dulu kuda mempunyai nilai yang tinggi karena kuda dianggap memiliki kekuatan seperti manusia. Karena itu kuda ditukarkan dengan manusia untuk memperoleh hamba (maha).

Sebagai binatang korban, kuda itu dipersembahkan kepada orang mati dengan membunuhnya didepan rumah searah pintu besar (pintu depan/utama). Tapi kalau yang meninggal adalah orang biasa maka binatang yang biasa dibunuh adalah babi.

Kabupaten Sikka memang unik dan khas. Budaya dan adat istiadat masih dipegang oleh generasi sekarang dan menambah keragaman nuansa dalam budaya Flores, NTT dan Indonesia.



www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Friday 17 September 2010

Antara Kelimutu dan Nilo..


Turun dari Danau Kelimutu sekitar pukul 8 pagi, mobil berlari kencang melewati puluhan kelokan kanan kiri keluar dari wilayah Kabupaten Ende. Dan akhirnya menyentuh Desa Wolowiro, Paga, Kabupaten Sikka. Diwilayah ini terdapat Pantai Koka yang legendaris. “Emang apa keindahan Pantai Koka? Jadi penasaran nih..” ujar Grace yang paling semangat kalo diajak ke pantai. Pantai Koka masih jauh dari bayangan mereka. Mereka cuma tau Kelimutu. Jadi apa salahnya pulang dari Danau Kelimutu lalu bermain-main di Koka? Sekalian biar mereka tahu keindahan pantai ini. Bisa cerita-cerita keluar. "Kayak pantai-pantai di Bali ya? banyak kafe di pinggiran pantai gitu kan?" tanya Tisye dengan yakin.

Wah, ternyata Pak Sopir Wempy tak berani ambil resiko. Terpaksa jalan buruk sepanjang 2, 5 km menuju Pantai Koka kami lewati dengan berjalan kaki. "Kok jadi gini jalannya? Tapi janji pantai Koka indah kan?" rungut keduanya.

Cewek-cewek ini rupanya kuat pula hehehe...diantara nyanyian burung hutan mereka masih bercanda satu sama lain. Tak tahu kalau jalanan buruk ini masih panjang. Sedikit gambaran, akses menuju Pantai Koka ini memiliki jalan tanah berbatu antara batu besar dan kecil yang berserakan tak rapi ditengah jalan. Terang saja, Wempy yang nyetir mobil tak mau ambil resiko. Takut saja kalau mobilnya ada apa-apa.

Setelah berjalan cukup lama, akhirnya terdengarlah bunyi deburan ombak yang cukup kencang. Tapi laut Koka belum terlihat karena tertutup rimbunan pepohonan. Dan akhirnya perlahan-lahan mulai terkuak tuh pantai. Dan Tisye bersama Grace langsung berdecak kagum. Secara spontan, tas-tas dan sandal di buang begitu saja. Mereka berlari mendekati pantai. Berteriak kegirangan. Suara mereka terdengar memuja muji keindahan Koka. Dan gelombang ombak Koka begitu tinggi saling berlomba volume dengan suara para manusia ini.

Lebih seru lagi, ketika mereka menelpon teman-temannya di Jakarta dan berteriak memberitahu kalau mereka sedang berada sendirian disebuah tempat yang sangat indah. “Rugi kalian, ntar aja baru liat di poto-poto kami ya,” teriak mereka lewat ponsel.

Di Koka saat itu, kami hanya sendirian. Tak ada manusia lain. Baik penduduk setempat, nelayan atau siapa saja. Jadi bisa dibayangkan. Di sebuah pantai yang indah hanya ada 3 manusia. Buset dah. Artinya bahwa meski dengan susah payah berjalan kaki, mereka berdua mendapat sebuah hadiah istimewa. Menjadi pemilik sah Koka sepenuhnya meski hanya berberapa jam.

Aneh ya, kok ga ada orang? Kok ga ada penjual apa kek, atau orang-orang yang spontan berjualan jika ada tamu kesini? Kok ga ada yang berdayakan pantai indah ini ya..? begitulah pertanyaan bertubi-tubi dari mereka yang harus dijawab.

Sekitar tiga jam lamanya kami berada di Koka. Mereka sebenarnya tak mau pulang, Maunya hingga sore hari baru beranjak. Tapi apa daya, perut sudah lapar, lidah haus berkepanjangan dan masih ada jadwal perjalanan lainnya. Yakni ke Pantai Paga, Nuabari (akhirnya dibatalkan karena waktu terbatas), Kampung Sikka dan berakhir di Nilo.

Setelah bermanja dengan keindahan Pantai Koka, kami beranjak pulang. Grace dan Tisye kelimpungan gara-gara jalan buruk dan menanjak. Apa bole buat. Jarak 2,5 km tetap harus dilalui. “Kenapa pemerintah daerah sini tak memberdayakan pantai ini? Salah satunya kan bisa memperbaiki akses jalan, biar pengunjung kesini tak usah buang-buang tenaga,” rungut Grace.

“Coba kalau ada yang jualan minum-minuman ringan yang dingin, cindera mata, kain pantai, kepang rambut kan asik tuh..ini kok di pantai seluas ini cuma bertiga doang..mangnya ga ada dinas pariwisatanya ya? Kok dibiarkan sepi kayak gini?” sungut Tisye yang sempoyongan berjalan dibelakang.

“Mungkin dengan naturalnya yang tanpa apa-apa inilah yang menarik dan membuat unik Pantai Koka,” jawab saya sekenanya.

“Bangun Pak sopir...” teriak Grace dan Tisye ketika sampai di tempat parkirnya mobil. Napasnya terdengar besar kecil gara-gara berjalan jauh. Setelah menghabiskan banyak air kami meneruskan perjalanan ke Pantai Paga. Disini kami berencana ‘isi kampung tengah’ alias makan siang.......

Di Paga Beach yang berdekatan dengan Pantai Koka, gelombang air cukup besar. Pantainya juga indah. Pasirnya juga putih meski tak seputih di Pantai Koka. Kalau disini, jarak jalan utama (jalan raya) menuju pantainya sangat berdekatan. Ada pula beberapa bungalow yang disediakan bagi tamu yang ingin beristirahat. Ada pula beberapa resto kecil atau warung makan. Jadi di Paga Beach sudah lebih moderen dibandingkan dengan Koka yang tersembunyi dari keadaan luar.

Setelah berisitirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju Kampung Sikka atau Natar Sikka. Disini para gadis ini ingin melihat Gereja Sikka, Lepo Gete dan membeli kain tenun ikat khas Sikka.

Lantas persinggahan berikutnya yang paling terakhir adalah berziarah ke Bukit Nilo. Di tempat ini, berdiri Patung Bunda Maria yang sangat besar dan menatap Kota Maumere dibawahnya . Mirip seperti Patung Jesus di Rio Dejenario Brazil. Sedikit berlama-lama di Nilo, saat malam kami beranjak pulang. Kembali ke Kota Maumere. Kembali ke rutinitas biasanya. Dan para gadis ini kembali ke Jakarta dengan sebungkus cerita tentang dahsyatnya alam Maumere. “Kami akan datang lagi bersama teman-teman lain dan ingin menjelajahi Flores dari Komodo sampai Lembata,” janji Grace n Tisye.

Perjalanan sehari penuh sudah usai. Berangkat dari Maumere sekitar pukul 04.00 Wita menuju Kelimutu dan kembali ke Maumere sekitar pukul 19.00 Wita. Dan cerita lengkap dua gadis yang tenggelam di keindahan Kabupaten Sikka dan Kelimutu akan ditulis oleh mereka sendiri sebagai oleh-oleh perjalanan pertama mereka di Kabupaten Sikka..Tunggu saja..


Di rumah Raja Sikka, Lepo Gete
www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Maumere

Maumere merupakan kota pelabuhan utama di Kabupaten Sikka yang berada di antara wilayah Flores Tengah dengan Kota Larantuka yang berada di Flores Timur dan Kabupaten Ende disebelah barat Kabupaten Sikka.
Nama Sikka berasal dari nama sebuah desa yang berada di pantai Selatan Flores yang dulu pernah dikuasai penguasa Portugis dan keturunan pada abad ke-17 dan abad ke-20. Sikka telah menjadi pusat kegiatan kaum misionaris asal Portugis dalam menyebarkan agama Kristen (Khatolik) sejak Raja Sikka (Don Alessu) di baptis menjadi Katolik di Malaka.
Pada bulan Desember 1992, Maumere diguncang gempa hebat yang menghancurkan sebagian kota ini disusul gelombang pasang setinggi 20 meter yang menewaskan ribuan orang. Maumere terletak hanya 30 km dari pusat gempa dan saat ini Maumere sudah dibangun kembali dari kehancuran total akibat gempa bumi.

Bagi wisatawan yang berminat dengan kain tenun ikat maka Maumere merupakan salah satu pusat produksi tenun ikat. Wisatawan yang datang ke Maumere umumnya hanya untuk transit dan beristirahat sejenak sebelum melalui melanjutkan perjalanan menuju ke beberapa tempat yang menarik yang terdapat di sekitar Maumere dan Flores umumnya.

Pada jarak 13 km di Timur Maumere terdapat Waiara yang merupakan titik pangkal untuk menuju ke taman laut Maumere yang dulu pernah menjadi salah satu lokasi penyelaman yang paling indah di Indonesia sebelum hancur akibar gempa bumi tahun 1992.

Namun demikian lokasi terumbu karang di sekitar Pulau Pemana di Pulau Besar di dekat Waira masih dalam kondisi yang cukup baik dan cukup menarik minat penyelam.

Sekitar 28 km di Timur Maumere, di dekat desa Wodong terdapat pantai Waiterang yang cukup menarik serta cukup menyenangkan untuk bersantai beberapa saat di tempat ini.

Atraksi pantai di tempat ini antara lain beberapa lokasi penyelaman khususnya di dekat Pulau Besar serta lokasi penyelaman dan snorkeling di pulau Pangabatang. Di kawasan di sekitar Wodong dan Waiterang tersedia fasilitas akomodasi yang cukup lengkap.

Di Barat Laut Waiterang terdapat Gunung Egon (1.703 m) yang merupakan gunung vulkanis yang mengeluarkan asap. Gunung ini dapat didaki dari Blidit dalam waktu kurang dari tiga jam. Blidit terletak 6 km dari Waiterang dengan menumpang angkutan umum.

Sekitar 6 km dari Maumere, di jalan raya yang menuju ke Ende, terdapat museum yang memiliki koleksi benda-benda bersejarah asal Flores dan juga koleksi kain tenunan ikat langka. Museum ini bernama Blikon Blewut.

Museum ini terletak di Ledalero. Di Ladalero, terdapat sebuah sekolah calom imam katolik (seminari) yang murid-muridnya berasal dari daerah ini (Flores dan Nusatenggara). Koleksi tenun ikat di museum ini memiliki desain atau motif yang sudah jarang ditemukan lagi saat ini begitu pula dengan bahan pencelup warnanya.

Sekitar 45 menit perjalanan dengan menumpang angkutan umum dari Maumere (27 km) terdapat sentra produksi tenun ikat lainnya yaitu di Sikka. Kota ini dulunya, pada abad ke-17, merupakan pusat pemukiman orang Portugis di Flores. Sebuah gereja tua yang dibangun pada tahun 1899 terdapat di Sikka. Di tempat ini pula terdapat Lepo Gete atau Rumah Raja yang berdiri sejak tahun 1600-an. Di Sikka juga terdapat sebuah tradisi Katolik peninggalan Portugis setiap menjelang Paskah, Logu Senhor. Ada juga tradisi penangkapan cacing laut yang dalam bahasa setempat disebut Ule Nale.

Sekitar 4 km dari Sikka terdapat Lela yang merupakan tempat di mana banyak ditemui bangunan tua peninggalan kolonial dan juga sentra kerajinan tenun ikat. Ada juga sebuah tempat ziarah katolik bernama Wisung Fatima Lela. Lela memiliki kawasan pantai dengan pasirnya berwarna hitam.

Dari Lela menuju Paga (42 Km dari Maumere) terdapat Paga Beach. Dekatnya ada Pantai Koka yang eksotik. Ada pula Desa Nuabari dimana di desa ini terdapat tradisi pemakaman jenazah didalam batu.

Pada jarak 8 km di Timur Maumere wisatawan akan tiba di Geliting yang mana pada setiap hari ]um'at digelar pasar tradisional yang dikunjungi ribuan orang yang datang dari berbagai desa di wilayah ini. Di pasar ini banyak dijual aneka kain tenun ikat.

Sekitar 10 km di Timur Laut Wodong terdapar Nangahale yang merupakan desa yang cukup menarik karena masyarakat disini pembuat kapal tradisional. Jalan yang menuju ke Nangahale akan melalui Patiahu, 33 km dari Maumete, yang merupakan kawasan pantai yang indah dengan pasirnya yang putih.

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Saturday 4 September 2010

Sensasi Petualangan ke Watu Wa..



Sayang sekali, kami akhirnya membatalkan adventure menuju Air Terjun Kembar (twin waterfalls).  Hanya karena waktu tak mencukupi. Tapi beberapa warga Dusun Watu Wa memberikan solusi. Kami diminta  merubah peta perjalanan. Mereka menawarkan sebuah tempat langkah dan menantang yang katanya tak pernah didatangi manusia lain selain warga Watu Wa. Mhhh..menarik juga ya. Tawaran kami terima. Dua mobil yang di kendarai Lucky dan Refly dari MOFF (Maumere Offroad), langsung bergerak turun ke sungai. Matahari hilang ditutupi rimbunan pepohonan. Suara burung dipadu desiran angin pegunungan seakan orkestra alam. Penduduk dusun semakin banyak berkumpul. “Sudah dekat Mo’at...” kata Hanis.  Dia adalah anak muda yang selalu cekatan menerobos hutan semak. Lantas kedua oto bergerak kedepan mengiringi mentari yang turun perlahan. Akhirnya, hutan sungai Watu Wa membiarkan kami menikmati penat diatas batu-batu raksasa.   Pancuran air segar nan bening lembut menyentuh kulit. Betapa nikmatnya ...

Lanjuttt...

Baru menjelang pukul 13.30 wita hari Minggu (28/08/2010) kami bergerak keluar Kota Maumere. Rileks saya menikmati perjalanan disamping Lucky. Pemuda gimbal ini sungguh lincah mengendalikan hartop FJ40-nya. Didepan kami, Ferly bersama seorang rekannya bergerak liar dengan Taft Kebo. Lucky dan Ferly adalah bagian dari Maumere Off Road (MOFF).  Komunitas pecinta mobil off road di Maumere hampir medekati 30 orang. Setiap minggu memiliki jadwal rutin mencari titik-titik ekstrem. Disini berbagai gaya diperagakan dalam arena offroad alami.

Kali ini bersama saya akan mencoba arena offroad alami sekaligus berburu air terjun.  Tapi hunting air terjun akhirnya batal karena waktu tak memungkinkan. Kecewa. Begitulah perasaan kami saat itu.

Dan sebagai gantinya kami merubah jalur. Ada sensasi lain yang tak kalah menarik! Yakni menapaki batu-batu raksasa.  Dan salah satu lokasinya mengeluarkan pancuran air alamiah nan bening. Wow, segar sekali.

Seperti yang ditulis tadi, selain penduduk setempat, kami adalah orang pertama yang memasuki gua batu tersebut. Bangga. Ini diakui penduduk setempat. Dan klimaksnya ada!
Itu terjadi saat kami menikmati detik-detik bersatunya jiwa kami dengan alam Nian Sikka. Sekali lagi kami merasa beruntung hehee..



***
Watu Wa adalah sebuah dusun kecil yang terletak di Desa Done dan berada diwilayah Kecamatan Magepanda. Penduduk dusun ini berjumlah hampir 200 orang. Dan mereka sebagian besar beretnis Lio sehingga bahasa yang digunakan adalah Bahasa Lio. Lio adalah salah satu etnis dari enam etnis besar yang ada di Kabupaten Sikka, Flores.

Menurut penduduk setempat, dalam hidup mereka baru pertama kali inilah oto (sebutan lain untuk mobil bagi orang NTT) melintasi dusunnya, maklum jalan lebar khusus mobil tak ada. Mereka sangat gembira. Dan kegembiraan itu diwujudkan dengan membantu kami secara spontan. Hampir semua penduduk dusun mengikuti kemana saja mobil bergerak.

Dan yang lebih sensasional lagi, FJ40 dan Taft Kebo akhirnya memerawani daerah alamiah ini. Bukan hanya melintasi dusun tapi malah bergerak dan terus bergerak menembus hutan semak, menapaki bebatuan dan melewati perbukitan. Apa saja yang mereka punya, mereka kerahkan agar mobil yang sedang berjalan pelan bisa mulus mendekati lokasi “air terjun”.

"Baru pertama kali ini ada oto sampai masuk kedalam sini sampai menuju kali Watu Wa," ujar Hanis.



***
Lucky dan Refly kebut-kebutan, saling kejar diatas jalanan mulus berkelok. Pemandangan pantai disisi kanan kami adalah bonus spesial ditengah ganasnya sinar matahari.
Lagu lawas dari Tesla, Stryper dan Stone Temple Pilot bergantian menemani jalur Pantura. Sesekali ekor mata ini mengintip orang-orang yang rebah dipasir putih Kajuwulu, sebuah pantai tujuan piknik warga Maumere.
Tiba-tiba sebuah mobil pick up nyelonong dan menyalib kami dengan kecepatan tinggi. Hampir seluruh bak pick up penuh manusia. Anak-anak kecil berdesak-desakan dengan orang-orang dewasa. Kelihatan mereka sedang bergegas menuju tempat piknik. Maklum hari minggu adalah hari spesial buat sebagian warga Maumere. Tiba-tiba kenangan masa kecil melintas dibenak ini..cieee.

Ketika mobil bergerak, perbukitan tandus cokelat kekuningan seakan-akan mendampingi kami. Pemandangan yang sama bisa dilihat di daerah-daerah pantai utara yang hampir semua pepohonan seolah terbakar. Sangat kontras jika dibandingkan saat musim hujan.



***
Setelah seru kebut-kebutan, akhirnya wilayah Magepanda menyambut kedatangan kami. Kami langsung berbelok arah kekiri dengan tujuan lokasi air terjun. Arah ini sama atau searah menuju waduk (bendungan) Magepanda yang terkenal itu.

Dari arah pertigaan tadi, sekitar 3 km kami dihadiahi jalan beraspal mulus sebelum akhirnya kembali memasuki jalan buruk. Ferly dan Lucky kembali beradu kecepatan. Debu-debu berterbangan dibelakang. Jalanan buruk tak beraspal yang cukup panjang akhirnya terputus di sungai Watu Wa. Sungai dengan batu-batu besarnya membentang menghalangi jalan. Dan dengan jeli, pengendara mobil Refly dan Lucky akhirnya menancapkan nama mereka sebagai orang pertama yanng memasuki wilayah Dusun Watu bersama mobil off road-nya.

Mobil terus bergerak. Dusun Watu Wa menyambut kami. Saya harus menahan napas, ketika mobil yang dikendarai Lucky mulai riang menerobos medan nan buruk. Batu-batu yang menghalangi niat kami di lewati. Kadang saya berharap ada batu besar yang mengangkang sehingga mobil berhenti (dan saya bisa bernapas lega) hehehe ... Namun harapan saya hanyalah harapan semu hehehe.. mobil terus melaju. Tapi bukan melewati jalan lebar. Bukan. Tapi melewati jalan setapak. Melintasi parit tanah, membuka semak-semak dan mulai merambah hutan semak. Para penduduk desa mengiringii mobil baik dari depan, samping dan belakang. Ada yang hanya menikmati tapi banyak pula yang berjaga-jaga kalo tiba-tiba kami meminta bantuan. Gila, benar-benar keren.

Batang-batang dan ranting besar pepohonan yang seolah menghadang laju mobil dengan cepat ditebas oleh penduduk. Beberapa anak muda penuh semangat berlari cepat kedepan, membuka semak dengan parang ditangan dan berteriak, “lewat sini...awas disitu ada batu besar... ambil kanan...”. Antusias sekali.

Matahari terus turun dan bergerak perlahan kebawah. Sudah sangat sore ketika dua mobil itu berdiri dibawah tanjakan tebing. Sebenarnya bisa melintas tapi sebuah batu yang sangat besar menghadang kami. Diantara letih, kami bisa menyaksikan anak-anak desa yang cekatan menyingkirkan batu sekuat tenaga.


Oss n Lucky vs Refly n Lucky, menyaksikan kegigihan anak-anak Watu Wa memberi bantuan

Karena hari sudah semakin sore. Saya dan Lucky memutuskan berjalan kaki, sedangkan Refly masih menunggu anak-anak muda menyingkirkan batu. “Tempatnya dekat, tidak jauh,” jelas Hanis. Melewati jalan setapak yang cukup jauh dengan napas dan keringat bercucuran adalah sebuah kisah yang paling unik sekaligus meletihkan. Lucky dan beberapa orang kampung sudah melesat cepat kedepan.

Diantara bunyi suara napas ini yang tersengal-sengal, teriakan ayam hutan dan koor burung-burung rimba simpatik menyambut kami. Batu-batu hitam bertebaran didalam sungai. Sungai Watu Wa mulai kami tapak. Hanis melangkah mendampingi saya. Kaki-kaki kami menari-nari dari satu batu ke batu yang lain. Kami terus bergerak keatas melewati jalur sungai. Terkadang batu-batu sebesar rumah menghadang. Terpaksa kami harus memanjatnya. Benar-benar keren sekaligus melelahkan. Jika dikreatif sedikit Pemda bisa menjadikan Watu Wa sebagai sebuah tempat eksotik bagi para petualang backpaker yang suka tantangan.

Huhhh..dengan napas ngos-ngosan kayak kuda pacuan hehehe...akhirnya kami memijakkan tapak kaki kami disebuah tempat yang asli keren abis. Body yang penat, mata yang redup, keringat yang menetes disulap menjadi segar menyegarkan. Lunas sudah semuanya. Tak sia-sia kami sampai disini. Suasana yang alamiah, eksotik dan natural menjadi sesuatu yang mahal untuk didapat. Dan kami selaksa orang yang beruntung, setiap kali menjelajahi tubuk molek Nian Sikka.

Dari sebuah ‘atap batu’ meluncurlah sekumpulan air bening yang rasanya segar dan dingin. Seperti air pancuran, seperti air terjun mini. Tempat itu dikelilingi batu-batu cadas raksasa sebesar rumah tingkat yang mengelilingi kami. Dan kami berada dibawahnya.

Menurut Hanis, sebenarnya kalau kami mau kami bisa terus naik keatas karena diatas sana ada segumpalan air yang meluncur deras dan lebih banyak dibandingkan ditempat kami berdiri. Sayang karena capek, kami tak bisa menyetujui tantangan Hanis.

Suasana ditempat ini sangat sejuk dan nyaman. Karena dikelilingin batu-batu raksasa dan pepohonan rimbun disekitarnya. Tentram banget.
“Andai tadi datang lebih awal pasti kita bisa bakar ayam hutan disini, pisang juga banyak, tinggal bakar saja..” ujar Hanis disela-sela bunyi air yang mengalir. Mmhh..selain ayam hutan dan burung hutan yang banyak berseliweran, monyet-monyet yang berakrobat dipepohonan juga menjadi atraksi lain pengiring perjalanan. ;-) Keren ya..

Detik demi detik kami terus menikmati bersatunya jiwa kami dengan alam Watu Wa. Air nan segar kami biarkan mengoles penat dan mengelupas rasa capek. Sudah semakin sore. Matahari sudah pulang. Angin dingin pegunungan sudah memberi isyarat. Tapi air terus meluncur menerjang tubuh kami yang sedang bercumbu dengan alam sekeliling. Ah, hati ini tak mau pulang sebenarnya. Tapi apa bole buat.

“Yuuuk pulangggggg.......” teriak Ferly dari atas batu cadas raksasa.

Dan kami bergegas. Beberapa orang kampung turut bersama kami. Mereka siap memberi petunjuk jalan pulang. Lantas kaki-kaki ini melangkah turun dengan darah segar dan tenaga baru. Dusun Watu Wa menyambut kepulangan kami. Roda-roda mobil bergerak. Puluhan warga Dusun Watu memberi senyum dan sapaan akrab selamat tinggal. Anak-anak kecil mengejar mobil dari belakang. Orang-orang dewasa melambai-lambaikan tangan. “Jangan lupa kembali lagi yaaa.....” teriak mereka.

Sensasi di Watu Wa





Video Watu Wa.......


****
(By: Oss).
www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Kabupaten Sikka

Maumere adalah ibukota Kabupaten Sikka. Maumere terletak di pesisir utara Flores yang langsung menghadap ke Laut Flores. Kabupaten Sikka adalah salah satu kabupaten dari 9 kabupaten yang ada di Flores. Flores termasuk dalam wilayah propinsi NTT. Saat ini Kabupaten Sikka dipimpin oleh Bupati Sosimus Mitang dan Wakil Bupati Wera Damianus (2008-2013). Maumere pernah dihajar gempa tsunami tahun 1992 dalam petaka Gempa Tsunami Flores 92. Hampir 2000 orang tewas. Kota Maumere bisa didatangi baik lewat udara (Bandara Frans Seda) maupun lewat laut (Pelabuhan L.Say). Bisa juga melalui darat, dengan melakukan perjalanan dari Jawa terus ke Bali lanjut ke Lombok terus ke Bima dan sampai di Flores.

Kabupaten Sikka memiliki potensi wisata yang banyak dan dapat diandalkan. Dari wisata alam sampai dengan wisata budaya dan rohani. Banyak pantai-pantai yang menarik di Kabupaten Sikka seperti Pantai Doreng, Pantai Koka, Pantai Kajuwulu dan Tanjung, Pantai Paga, Pantai Wairterang dan beberapa lagi lainnya. Juga wisata alam yang sebenarnya elok dan mengundang kita untuk menikmatinya. Kalau dimaksimalkan, dengan beberapa wilayah lain di Flores, kabupaten ini bisa menjadi pilihan alternatif selain Bali dan Lombok. Tapi, keberadaan tempat-tempat elok ini tak didukung secara maksimal oleh dinas terkait. Buktinya Maumere sampai dengan saat ini tetap dijadikan kota transit oleh wisatawan. Fasilitas pendukung sangat minim sekali. Banyak lokasi objek wisata yang harus ditempuh dengan jalan rusak dan medan yang berat.

Beberapa potensi wisata yang ada di daerah ini antara lain Koka Beach, Paga Beach, Doreng Beach, Wisata ke Gunung Egon, Air Terjun Kembar, Watu Cruz, Pantai Pemana, Danau Semparong, Nuabari , Museum Blikon Blewut, Patung Kristus Raja, Logu Senhor, Gua Maria Fatima Lela, Waiara, Patung Maria di Nilo dan masih sangat banyak lagi. Belum lagi kain tenun ikat yang menawan dan sejumlah tarian daerah.

Pantai Maumere terkenal bersih dan jernih. Pantai-pantai didalam kota saja bisa dijadikan sarana untuk menikmati waktu. Bahkan jika ada niat, bisa melakukan aktifitas mancing di pesisir pantainya. Banyak pemancing yang setiap sore hingga malam memancing disekitar pantai kota. Mereka hanyalah nelayan paruh waktu hehehe bukanlah nelayan sesungguhnya.

Di Maumere terdapat sejumlah hotel dan penginapan yang memadai. Ada yang ditepi pantai seperti Hotel Wailiti, ada juga di tengah kota. Ada pula pub dan bar yang bertebaran di tengah dan pinggiran kota. Juga warung-warung makan dari kelas warteg hingga restoran dengan pilihan menu beragam.

Di Wisata Alam Laut Gugus Teluk Maumere disediakan snorkling dan diving. Keindahan bawah laut Maumere pernah menjadi pembicaraan dunia saat Sao Wisata menggelar Lomba Menyelam Tingkat Dunia di Gugus Teluk Maumere. Sayang, tsunami memporakporandakan semua habitat dan keindahan terumbu karangnya. Padahal taman laut disini tak kalah jauh dengan keindahan taman laut di Bunaken dan daerah lain.

Maumere memang hanya kota kecil. Jika Anda kesini jangan berharap lebih seperti di kota besar lainnya. Seperti pusat-pusat perbelanjaan yang serba mewah. Di Maumere hanya ada satu mall bernama Barata, Toko Buku Gramedia dan ikan bakar gurih nan nikmat plus se-sloki moke yang siap dipesan karena dijajakan setiap malam dipinggiran jalan.:-)

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Thursday 2 September 2010

Gempa Guncang Maumere dan Ende

Saat berita ini ditulis, gempa baru saja mengguncang Maumere. Gempa yang membuat panik penduduk ini terjadi Kamis (02/09/2010) dengan guncangan yang lumayan besar. Informasi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kabupaten Sikka menyatakan gempa berkekuatan 5.0 Skala Richter terjadi pukul 11.38 Wita, berada pada titik pusat 8.43 lintang selatan (LS) - 121.83 bujur timur (BT) dengan kedalaman 10 kilometer. Posisi gempa berada 51 km arah timur laut Kabuten Ende, NTT. Gempa dengan guncangan yang cukup keras terasa hingga Kabupaten Sikka. Akibatnya aktifitas masyarakat Maumere sedikit terhenti. Ada yang mengatakan mereka merasakan gempa terjadi hingga dua kali. Gempa tersebut terasa beberapa detik dan mengakibatkan masyarakat berhamburan keluar rumah.

Kota Maumere yang berada ditepi bagian utara Pulau Flores dan Ende di bagian selatan pernah dihajar gempa berkekuatan 6,9 SR di tahun 1992 yang disusul dengan tsunami hebat di bagian utara. Gempa tsunami saat itu memakan korban tewas lebih dari 2000 orang.

Akibat trauma yang masih menghantui warga Maumere dan Flores umumnya tersebut, saat terjadinya gempa tadi, masyarakat spontan berhamburan dan lari keluar rumah. Hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga dari kemungkinan gempa susulan yang lebih besar ataupun tsunami. Di Beru, ada warga yang sampai memukul tiang listrik tanda terjadinya gempa. Juga ada teriakan dari ibu-ibu yang ketakutan. Maklum diwilayah ini, tsunami 1992 pernah memporak-porandakan Beru.

Beberapa sekolah seperti SMPK Yapenthom I, SMPN Tampil I dan beberapa sekolah lain terpaksa memulangkan murid-muridnya sebelum waktu pelajaran berakhir. Nona, seorang siswa SMPK Yapenthom dengan antusias menceritakan bagaimana pelajaran kelas harus berhenti karena semua siswa berhamburan keluar.

“Sampai dengan sekarang disekolah kami tak pernah ada pelatihan simulasi gempa tsunami, jadi kami saling tabrak sana sini karena panik dan takut,”ujarnya.

BMKG memastikan gempa tersebut tidak berpotensi tsunami. Tapi belum diperoleh informasi resmi soal adanya korban jiwa maupun kerusakan fisik akibat gempa.

Gempa ini adalah yang terbesar setelah gempa tsunami 1992 yang meluluhlantakan hampir seluruh Pulau Flores dan melumpuhkan semua aktifitas masyarakat dalam beberapa bulan. Jika ingin mengetahui kejadian gempa 1992, bisa klik disini...

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: 09.10 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---