Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Sunday 13 December 2009

Di Tengah Kota Maumere Berdiri Kristus Raja..

Setitik Cerita Tentang Pelindung Keuskupan Maumere, Kristus Raja

Oleh : E.P da Gomez

I Remember Flores”, sebuah buku dalam bahasa Inggris yang ditulis dan diterbitkan oleh Mark Tennien dari Maryknoll. Diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Thom Wignyata, wartawan SKM Dian dan Flores Pos, dengan judul “ Aku Terkenang Flores” (Penerbit Nusa Indah Ende, Cetakan I 1976 dan Cetakan II 2005).
Dalam buku mini setebal 224 halaman itu, Tasuku Sato, Kapten Angkatan Laut Jepang yang menjadi Komandan Angkatan Laut Kerajaan Jepang di Ende – Flores (1943 – 1945), antara lain menulis sebagai berikut :

Penjaga Kota Maumere adalah sebuah patung Kristus yang berarna putih, sangat bagus dan hidup. Di pagi hari ketika sinar lembut menimpalinya, patung itu tampak keramat, persis seperti patung Katedral Ende yang diterangi cahaya lilin. Akan tetapi, situasi keramat sekelilingku sekarang mendapat amukan perang. Kegiatan perang yang memanikkan telah menyelinap masuk kewilayah keramat dan tenteram sekitar penjaga Kota Maumere.”

Patung Kristus yang dikagumi Kapten Tasuku Sato itu adalah salah satu tonggak sejarah dari karya kerasulan Don Yosephus Ximenes da Silva (1895 – 1954), Raja Sikka ke – 15 (1920 – 1954).
Pada tahun 1926 sang raja yang genius dan brilian itu menyediakan sebidang kecil tanah lapang di Kota Maumere ( kini menjadi Taman Kristus Raja, Jl Mgr Soegijopranata, SJ, atau pernah dikenal sebagai Lapangan Tugu), untuk diletakkan Patung Kristus Raja. Patung itu dibeli dengan dana yang dihimpun secara bergotong royong oleh seluruh umat Khatolik Kerajaan Sikka. Patung yang indah ini, kata orang yang didalam zamannya pernah melihatnya, diletakkan dibagian selatan lapangan, disisi timur diberkati Mgr Arnoldus Vestraellen, SVD, Vicaris Apostolic Soenda Ketjil, dalam perayaan misa pada tahun yang sama (1926).

Mendahului kehadiran patung Kristus Raja tersebut, pada tahun 1925 terbit “Kristus Raja Itang (KRI), majalah bulanan berbahasa Sikka yang dipimpin dan dikelolah Pater Grootmann, SVD, Pastor Paroki Nele. Ukurannya 21x14,8 cm. Isinya antara lain soal agama, hal-hal praktis pastoral, sosial ekonomi, pendidikan, kebudayaan, berita-berita daerah, paroki dan masalah nasional/internasional. KRI lenyap dari peredaran pada desember 1938 (Agus Sape, Perjalanan Pers di NTT, dalam buku 15 tahun Pos Kupang, Penerbit Timor Media Grafika, Kupang, 2007).

Namun sayang, patung yang menjadi lambang kekatolikan penduduk Kota Maumere dan sekaligus pelindung kota ini hancur lebur dihantam bom Sekutu pada akhir Perang Dunia II (1944). Kehadiran penguasa Jepang di Pulau Flores telah mengundang incaran Sekutu. Kota Maumere yang enjadi basis pertahanan Angatan Perang Kerajaan Jepang, diarahkan sebagai mangsa dan sasaran pemboman.
Menutut catatan Mo’ang D.D Kondi Pareira, seorang pejabat Kerajaan Sikka dalam manuskripnya “Hikayat Kerajaan Sikka” , ‘Bahwa pada tanggal 23 Januari 1944 Sekutu menjatuhkan bom pertama kali, merusakan Toko Batu, Kolo Liong dan Toko Makasar (ketika itu ketiga toko ini terletak dalam jejeran rumah tinggal Don P.C.X. da Silva ke utara, sebelah timur Taman Kristus Raja sekarang). Tercatat dua orang meninggal dan banyak yang terkena cedera ringan.

Banyak orang sangat yakin bahwa patung Kristus Raja juga hancur terkena bom. Pada tahun limapuluhan sampai awal sembilanpuluhan masih tampak sepenggal lantai semen sedikit ketinggian dimana patung itu diletakkan. Disitu saya pernah berdiri menyanyikan lagu “ovos’ pada perarakan Jumad Agung (ketika saya di bangku SMPK Yapenthom Maumere, 1953-1956), kini penggalan lantai semen itu telah dibongkar, hilang tak berbekas.

Mo’ang Kondi mencatat rentetan peristiwa tragis yang menimpa Kota Maumere setelah pemboman pertama, sebagai berikut ;

1. 14 Juli 1944, diperkirakan dua pulhan pesawat udara terbang melintasi langit Kota Maumere dan menjatuhkan bom. Banyak rumah penduduk dan kantor pemerintah rusak total. Jumlah orang yang meninggal tidak tercata.

2. 17 Juli 1944, Sbuah kapal Jepang yang sedang berlabuh dekat Pulau Besar, terbakar.


3. 27 Juli 1944, ISTANA Raja Sikka (kini Kantor PT Floresa Wisata dan rumah kediaman keluarga Drs Frans Seda) dibumi hanguskan oleh bom sekutu (sehari sebelumnya, 26 Juli 1944, putra sulung Don Thomas, yaitu J.D.X. da Silva menerima berkat nikah dengan Rosalia Kaunang di Hakakewa, Lembata).

4. 22 Juli 1944 giliran Bandara Waim Oti terkena bom laknat tersebut.


5. 31 Juli 1944, bagian lain dari Kota M,aumere hancur lebur dihantam bom Sekutu. Banyak penduduk mengungsi ke pedalaman.


Karena adanya rentetan pemboman itu masyarakat semakin yakin bahwa patung Kristus Raja juga hancur karena bom. Namun, ada kesaksian lain dari L. Teka da Lopez, seorang sopir mobil Jepang, ketika itu berusia 21 tahun. Keyakinannya sebagai diceritakanya kepada Drs. Kanis Lewar berikut ini ;

Patung yang menampilkan keagungan Kristus sebagai Raja dengan mahkota dan tongkat, tetap tegak berdiri utuh. Lantaran itu memancing amarah tentara Jepang. Malam harinya para serdadu yang tengah dirasuk perang dan mabuk alkohol, merobohkan kemegahan patung itu dengan sepotong besi hingga patah dan jatuh. Saya menyaksikan tragedi yang melukai imanku dengan rasa takut. Patung Kristus Raja sesungguhnya tidak hancur oleh bom, melainkan dengan kekerasan tangan besi para serdadu Jepang. Namun banyak orang yang tidak percaya dan masih ragu dengan kesaksian saya. Pada hal peristiwa penghancuran patung itu diketahui juga Felix Moa Hekopung. Kesaksian kami berdua tidak digubris Panitia Perayaan Nasional Tahun Maria 1988,” demikian L. Teka da Lopez (“Don Thomas Peletak Dasar Sikka Membangun”, E.P da Gomez dan Oscar P. Mandalangi, Yapenthom Maumere, 2003/2005/226).

Mana yang benar dari kedua versi itu, perlu ada ketelitian yang lebih cermat oleh lembaga yang berkompeten, seperti Pusli Candraditya misalnya.

Namun yang benar adalah, umat Katolik disini merasa suatu kehilangan besar karena patung Kristus Raja yang memah dan agung itu hancur lebur oleh perang. Sebab itu muncuk tekad dari kalangan tokoh umat untuk menegakkan kembali patung yang sama ditempat yang sama.

Adalah Drs. Daniel Woda Pale, Bupati Sikka yang ketiga (1977 – 1988) dalam sambutannya didepan Pimpinan Gereja dan Umat Katolik di Indonesia Kabupaten Sikka pada saat perayaan 450 Tahun Gereja Katolik di Indonesia yang berlangsung di Lapangan Umum Kota Baru Maumere, 12 Juli 1984, memberikan harapan bahwa pemerintah akan berusaha untuk mewujudkan aspirasi dan kehendak umat tersebut. Akan tetapi, sampai dengan kahir masa jabatannya (1988), tekad itu tidak terwujud oleh berbagai kendala dan hambatan.
Tekad itu baru terwujud dalam masa kepemimpinan Drs. A.M Konterius, Bupati Sikka yang ke empat (1988-1993).

Dalam rangka kunjungan pastoral Sri Paus Yohanes Paulus II di Maumere tanggal 11-12 Oktober 1989. Bupati Konterius mengambil prakarsa untuk bekerja sama dengan masyarakat Sikka di Jakarta, mengerjakan sebuah patung Kristus Raja. Dibawah koordinasi Drs Frans Seda, Drs Ben Mang Reng Say, Blasius Bapa dan Eduard Karmoy Nirang, patung itu dikerjakan oleh Magnus B. Solapung, seorang putra Sikka. Biaya diperkirakan Rp 25 juta, yang dihimpun dari para donatur kalangan Katolik dan non Katolik di Jakarta.(Harian Flores Pos)

www.inimaumere.com


Selengkapnya...

Lebih Dekat Dengan Tenun Ikat Sikka..

Kebiasaan masyarakat Sikka dalam kesehariannya dan tiap ceremony adat atau agama, selalu memakai kain tenun atau sarung adat. Sebutan U’tang Sikka untuk sarung perempuan dan lipa Sikka atau ragi Sikka untuk sarung laki-laki.

Jenis motif dan warna serta desain unsur tertentu masih harus dibagi lagi untuk peruntukan si pemakai dari strata apa, usia, jenis kelamin, untuk kegiatan apa, dan kapan waktu dipakai.

Jenis tenunan tsb terdiri dari: Kain tenun ikat, Kain tenun prenggi, Kain tenun liin, Kain tenun neleng, Kain tenun itor. Jenis kain adat artinya full motif yang “rich” terdiri dari hurang kelang ( jalur-jalur ikat dan non ikat) dan bermutu tinggi karena mempunyai nilai filosofi / pesan khusus dan prosesnya dengan upacara khusus dalam hampir tiap tahapan prosesnya.
Lapisan-lapisan bagian motif yang disebut sebagai satu-kesatuan hurang kelang yang terdapat dalam suatu unsur kain tenun atau sarung berbeda tergantung pada jenis motifnya. Motif teridentifikasi pada bagian ina gete (main motif) yang merupakan nama dari motif kain tsb.

Proses pembuatannya juga sangat rumit dan butuh ketelitian tinggi dalam menuangkan imajinasi karena desain suatu motif tanpa digambarkan terlebih dahulu dalam suatu pola tetapi secara langsung dituangkan secara imajinatif yang akan terbentuk suatu pola motif yang dituju.

Pewarna yang digunakan pun tergantung dari dominansi tumbuhan yang tumbuh sebagai habitat di daerah tersebut. Proses pewarnaan merupakan unsur seni dalam memadukan kombinasi warna yang sudah secara lasim dihasilkan. Ada yang warna tunggal dan warna kombinasi bersusun. Paduan warna ada yang double color, yang tentu saja pengerjaannya pun makin rumit dan proses yang lama juga ada upacara khusus dan ada pantangan-pantangan tertentu agar hasilnya sempurna.

Ada kain tenun yang proses penembakan pakannya menggunakan benang pakan yang sudah terbentuk motifnya, maka harus tepat penempatan motifnya secara langsung saat ditenun. Karena pakan jenis ini sudah melalui proses ikat pada pakan bukan diikat pada benang lungsi.

Jenis ini hanya seniwati penenun yang daya imajinasinya tinggi.

Juga ada kain tenun yang pembentukan motifnya tanpa ikat tapi langsung dengan permainan unsur pakan selama menenun. Pembentukan motifnya secara langsung saat menenun. Jenis ini juga hanya penenun dengan ketrampilan tinggi.

Ada juga kombinasi permainana warna spiral pada benang pakan yang menggunakan alat pintal, sehingga mutu kain yang dihasilkan bisa terbentuk modifikasi warna/i dan tekstur yang menarik.

Pekerjaan budaya tenun ini dilakukan perempuan Sikka hampir di tiap rumah tangga yang masih memegang unsur budaya adat yang diteruskan secara turun-temurun dari nenek ke ibu, dan dari ibu ke anak, dan dari anak ke cucu, dst. Semasa sebelum menjelang millennium, biasanya ibu yang mengajarkan putrinya (biasanya yang tinggal di desa) menggunakan cara pemaksaan untuk menenun agar juga bisa sebagai parameter untuk bisa menikah, karena secara adat perempuanlah yang memberikan tenunan-tenunan yang bermutu bagi calon suaminya. Mutu dari kain tenun yang diberikan akan digantikan juga dengan emas Sikka yang disebut tibu, suatu bentuk khas emas Sikka yang bentuknya seperti vagina yang melambangkan kesuburan dan kehormatan yang ditatakan dengan unsur binatang dan tumbuhan atau manusia sebagai lambing three of life (tiga unsur kehidupan). Gelang gading sebanyak 1 set (terdiri dari 8 keping gelang gading dan 4 keping gelang perak) pun dibekali dari ibunda kepada putrinya sebagai lambang keperawanannya.

Motif yang terdesain adalah merupakan transfer /gambaran dari symbol lambang-lambang kehidupan sekitarnya dan merupakan simbol ungkapan karena nenek moyang dulu belum mengenal huruf dan angka. Ada ratusan motif pada U’tang Sikka.

Syair-syair dan bahasa adat yang biasa digunakan seniwati penenun dan masyarakat budaya dalam menunjang mutu kain tenun ikat ada arti harafiahnya / pesan khusus tergantung jenis dan motif kain tsb.

Secara Lengkap Untuk Mengetahui Tentang Tenun Ikat Sikka dan Flores Umumnya Silakan membacanya di www.alfonsadeflores.com


www.inimaumere.com

Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Sunday, December 13 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---