FRANS Seda (alm), ekonom dan mantan menteri tiga periode, memiliki visi luar biasa tentang industri pariwisata di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Keindahan Taman Laut Teluk Maumere menjadi andalan, selain obyek wisata lain. Ia pun membangun obyek wisata di pesisir itu, yakni Sao Wisata, untuk mempromosikan Teluk Maumere. Namun sayang, keindahan teluk itu sampai hari ini tidak dikelola baik oleh pemkab setempat.
Seda saat masih hidup (1927-2011) tidak hanya berbicara tentang pariwisata Maumere. Putra Sikka ini membuktikan langsung di lapangan dengan mendirikan pusat wisata bahari di pesisir Teluk Maumere, diberi nama Sao Wisata, dalam bahasa Sikka-Lio artinya rumah wisata. Kawasan ini memiliki luas 7,5 hektar, di antaranya 2,5 hektar untuk bangunan dan sisanya menjadi daya dukung lingkungan agar tetap sejuk dan hijau.
Manajer Sao Wisata, Heribertus Ajo, di lokasi Sao Wisata, 9 kilometer dari pusat Kota Maumere, Kamis (30/8/2012), mengatakan, Sao Wisata didirikan Seda tahun 1985 dan beroperasi pada 1987. Kompleks wisata yang dibangun hanya 2,5 hektar untuk kamar penginapan, restoran, aula, mes karyawan, tempat peristirahatan, kolam renang, dan tempat rekreasi.
”Pada awalnya Sao Wisata dibangun tanpa perhitungan profit, terpenting mempromosikan keindahan Teluk Maumere pada khususnya dan Sikka pada umumnya kepada turis mancanegara. Waktu itu Bapak Frans Seda menginvestasi cukup besar di bidang pembangunan listrik dan jaringan telepon sepanjang 9 kilometer dari pusat kota menuju Sao Wisata. Kami tanam tiang-tiang listrik dan telepon dan menyediakan sarana dan prasarana lain dengan biaya sendiri,” kata Ajo.
Tidak hanya itu, Seda mencarter pesawat khusus Merpati tiga kali dalam satu pekan selama dua tahun berturut-turut, membawa sejumlah turis asing ke Teluk Maumere. Manajemen Sao Wisata sejak saat itu terus mempromosikan keindahan Teluk Maumere melalui internet, sejumlah majalah pariwisata, dan flight magazine.
Kerang mutiara
Taman Laut Teluk Maumere mengandung sejumlah keindahan, antara lain terumbu karang, beraneka ragam tumbuhan laut, berbagai jenis kerang seperti kerang mutiara (Pinctada margaritifera), udang jarak (Panulirus polyphagus), kima raksasa/kima raja (Tridacna gigas), tiram batu (Spondylus ducalis), dan berbagai jenis ikan.
Tiga tahun berturut-turut (1994-1997) Seda mengadakan lomba foto bawah laut Teluk Maumere yang diikuti 50 fotografer dan turis asing dari 24 negara. Ia menyediakan hadiah 50.000 dollar AS bagi juara 1 hingga 3. Sao Wisata juga mengundang travel writer dari Japan Airlines, Malaysia Airlines, Garuda Indonesia, dan Merpati Nusantara Airline. Mereka tinggal di Sao Wisata hampir tiga bulan untuk menulis tentang Teluk Maumere.
”Kami ini pioneer operator pariwisata di Sikka. Awalnya kami tidak mengejar keuntungan, yang penting Maumere dan Sikka dikenal di berbagai mancanegara melalui keindahan taman lautnya,” kata Ajo.
Namun, sejumlah promosi Sao Wisata tidak ditopang kebijakan Pemkab Sikka yang tepat. Keindahan Teluk Maumere juga tidak terjual karena tidak didukung promosi dan kerja sama dari pemda setempat. Padahal, Teluk Maumere begitu strategis dan menyimpan keanekaragaman hayati laut yang sangat unik dan khas.
Akibatnya, promosi wisata yang disponsori Sao Wisata tidak membawa dampak besar. Sejumlah turis asing tiba di Bandara Maumere justru langsung melanjutkan perjalanan ke Moni, kemudian menuju Danau Kelimutu, sekitar 85 kilometer arah barat Kota Maumere.
Direktur Yayasan Aksi Cinta Kehidupan Lamber Dore Purek mengatakan, jika taman laut Teluk Maumere ditata lebih baik, turis asing akan lebih lama berada di Sao Wisata. Penataan itu menyangkut pengadaan kapal pesiar, pelestarian terumbu karang, dan perlindungan sejumlah biota laut. Di sini banyak turis asing melakukan kegiatan diving, tetapi promosi masih sangat terbatas.
Jika taman laut ditata, kapal-kapal milik operator pariwisata bisa difungsikan. Para turis pun lebih lama menetap untuk diving.
Destinasi pendukung selain taman laut antara lain Seminari Tinggi Ledalero, tradisi Jumat Agung peninggalan Portugis di Desa Sikka, Museum Bikon Blewut, dan tradisi membuat gerabah tradisional di Wolokoli. (KORNELIS KEWA AMA/travel.kompas)