Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Saturday, 13 September 2008

Gading, Primadona Sikka...

Sikka dalam soal budaya begitu identik dengan gading. Dan gading itu sendiri tak dapat dipisahkan dengan masalah harkat dan martabat kaum wanita. Gading untuk Sikka ternyata mempunyai dua versi kisah sebagai "yang datang dari seberang" dan sebagai "yang muncul dari perut buana".
Hal yang unik tentang gading ialah bahwa kisah tentang gading telah begitu memitos di Sikka khususnya di Nita jauh sebelum Mo'ang Alessu membawa 70 batang gading dari Tana Bara, Malaka. Menurut "pengaman" Regalia Nita, Don Hubertus Emanuel Nong Baba da Silva dan Peter Piet Petu SVD dari Museum Blikon Bwewut dalam suatu wawancara khusus, gading bagi Nita adalah kisah warisan lebuhurnya sebagai yang asli dan bukan yang datang dari luar/dari seberang.

Sejarah Nita mencatatkan, gading adalah bagian kekayaan dari Moang Sisa dan Moang Hilla. Dicatatkan, Mo'ang Sisa dan Mo'ang Hilla adalah dua putera Desa Gaur -yang biasa disebut secara terpadu sebagai Sisa-Hilla- yang ternama karena kaya gading dan kaya harta karun lain sebab rajin menggarap bahan, menyadap nira, menyuling tuak.
Tentang penimbunan gading Sisa-Hila sekian besar, demikian juga harta karun lain yang sekian hebat, mereka cenderung menganggapnya barang sepele seperti penggambaran tentang tindak-tanduk mereka sebagai berikut:

Gading dijadikan kayu pagar pekarangan -niha bala; Gading dijadikan tempat makanan babi -denak bala; Gading dijadikan tempat menampung nira -tereng tua/prekong bala; Gelang tangan pun dan gading -mone bala; Malah rantai emas dijadikan tali gantungan prekong bala penutupnya menggunakan kain tola heet yaitu kain sutera kuning yang halus dan berharga mahal menggantikan ijuk atau dedaunan.
Di antara gading-gading pusaka mesti ada yang digunakan sebagai kayu penahan tanah di anglo yaitu perapian atau dapur kebesaran yang disebut Bala langat. Pasangan bala langat ialah puang toa atau moko perunggu. Dua benda antik ini dibaitkan sebagai Li'at Toa Langat Bala yaitu dapur kebesaran.
Di tempat ini ibu rumah memenuhi tugas kewajiban dalam urusan rumah tangga yaitu mempersiapkan makanan pada waktunya. Jadi periuk masak harus tetap terjerang di batu tungku atau puang toa. Di sana periuk masak harus tetap terjerang karena keamanan hidup rumah tangga, kedamaian ataupun yang sebaliknya bergantung dari ketelitian mengurus atau mengabaikan hat toa bala langat itu.

Dilukiskan, puang toa atau toa saja di zaman Sisa-Hilla dijadikan tempat ayam bertelur dan mengeram - toa Lena bera man u. Gading utama yang paling besar, paling panjang, berat dan mahal disebut Bala Ngeng, yang di Nita di¬sebut Bala Bara, masih tetap ada di Lepo Ratu sebagai warisan yang mem¬banggakan anak cucu. Tetapi dewasa ini, demikian Don Hubertus Ema¬nuel Nong Baba da Silva, gading yang dahulu berkelimpahan itu sekarang tinggal hanya beberapa batang. Bala Ngeng sendiri hanya lima batang:

1. Bala Ngeng ke-1
Diameter lubang mulut 11 Cm.
Panjang 233 Cm, berat 33 Kg.

2. Bala Ngeng ke-2
Diameter lubang mulut 11 Cm.
Panjang 197 Cm, berat 29 Kg.

3. Bala Ngeng ke-3
Diameter lubang mulut 13,5 Cm.
Penjang 194 Cm, berat 28,5 Kg.

4. Bela Ngeng ke-4
Diameter lubang mulut 11,5 Cm.
Panjang 193 Cm, berat 28,5 Kg.

5. Bala Ngang ke-5
Diameter lubang mulut 14 Cm.
Panjang 172 Cm, berat 31,5 Kg.

Don Hubertus Emanuel Nong Baba da Silva dan Pater Piet Petu SVD menegaskan, betapa gading-gading itu, sejak dahulu, adalah warisan leluhurnya dan bukan dibawa dari seberang. Bahwa gading-gading dan harta karun semuanya sudah dinubuatkan sejak leluhur Moang Desa dan Moang Raga sekitar abad 12, sebagai kekayaan yang dihasilkan buminya dan bukan yang datang dari luar.

Gading dalam sejarahnya di Sikka selain di Nita juga dikenal di Sikka di zaman Raja Don Alessu Ximenes da Silva ketika balik dari Tana Bara, Malaka, yang membawa 70 batang gading yang dibagikan kepada para tua adat dengan gelar Mo'ang Mangung Lajar.

Gading kemudian jadi begitu penting sebagai simbol harkat dan martabat wanita yang dijadikan sebagai belis di zaman pemerintahan Ratu Dona Inez da Silva dan Ratu Dona Maria da Silva. Kiranya di zaman inilah gading jadi begitu penting di setiap urusan kawin-mawin .

Referensi Buku : Pelangi Sikka; B.Michael Beding - Indah Lestari Beding
www.inimaumere.com
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Saturday, September 13 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---