Sambungan dari bagian pertama..
Ditulis Oleh : ,Tinggal di Jakarta Selatan..
Perempuan Egon: ibu-ibu bumi
“Moret lalang masa tei poin susar megu meruk”. (Jalan hidup di masa sekarang hanyalah susah sedih meremuk). Kata Dua Kesik.
“Ama Pu loar nain ita, ganu me heak belung loar”. (Sepertinya Tuhan meninggalkan kita, seperti anak yang ditinggalkan setelah dilahirkan) Lanjutnya pula.
“Au gata Kitab Suci rakang. Te tutur hoor aun ganu lau tahi witi wuak” (Kau terlalu baca Kitab Suci. Kata-katamu itu bombastis. Lepas ditelan laut) Nong Frans membalas.
“Au ele persaya ko? Uma woer itan benu bait. Loning poi niang tawa tana itan peho matan potat rumu ramang.” (Kenapa kau tidak percaya? Yang tumbuh di kebun kita hanya kepahitan. Karena si empunya tanah membalikkan muka dan menghilang di tengah kegelapan) Lanjut Dua Kesik.
“Tutur dor aun ganu ata plender. Gata kela poin di ele newan. Ma perang beli me aun. Au pano lalan epan. Ge tena naruk dadi mior melur” (Kata-katamu seperti orang pintar saja. Padahal baca tulis saja kau tidak bisa. Sana, masak buat anakmu. Saya jalan dulu. Semoga Sukses. Sehingga kesulitan kita dapat diatasi) Sahut Nong Frans.
***
Kehidupan kaum perempuan di Waigete, di bawah kaki gunung Egon, 23 kilometer dari Kota Maumere, tidak jauh dari alam. Dari sawah dan kebun mereka. Sudah ada pembagian yang jelas antara suami dan isteri. Selain rumah, di seputar dapur dan anak, isteri dan anak perempuan ikut membantu di kebun atau sawah. Mulai dari mempersiapkan lahan, menanam, menyirami, memupuki, sampai memetik hasil. Bahkan pada saat-saat tertentu, perempuan menjadi lebih intens dan dekat dengan alam, tanah, dan tumbuh-tumbuhannya. Ketika pria-pria mereka memindahkan hewan ternak mereka, seperti sapi, kambing, kerbau, mencari tempat makan di padang berikut, mereka ditemukan tiarap dengan tanah. Pada saat pria-pria mereka itu melaut, mereka pulalah yang menggantikan peran menjadi petani, dengan sejumlah beban di rumahnya. Untuk asap dapur pun, perempuan-perempuanlah yang mencari kayu bakar di hutan, mengambil air di sumur-sumur dan pipa-pipa umum, menjinjing bakul ayaman berisi umbi-umbian, sayuran, buah-buahan untuk dimakan. Mereka pulalah yang menumbuk padi, mewarisi sejumlah potensi pangan lokal. Perempuanlah para petani itu!
Pada satu waktu di awal musim hujan, sekelompok perempuan termasuk di antara Dua Kesik akan memikul cangkul ke ladang. Mereka disebut group “Sako Seng”. Seperti arisan bergilir untuk mencangkul kebun. Kalau hari ini giliran Dua Kesik, solidaritas “Sako Seng” itu beramai-ramai selama tiga sampai lima jam mencangkul petak tanah dan membuat bedeng pada kebun Dua Kesik. Begitu pun sebaliknya, tiba giliran teman lain, Dua Kesik pun harus rela membiarkan waktu dan cangkulnya berada di atas ladang milik teman kelompoknya. Termasuk dalam hal panen, mereka memberlakukan gotong royong unik ini.
Jelang masa panen, ketika bulir-bulir padi mulai menguning, perempuan-perempuan itu pula yang menarik boneka (orang-orangan) untuk mengusir burung-burung Tuhan. Sementara laki-laki mereka mencari nafkah lain, untuk mencukupi kebutuhan harian. Sambil menunggu, menarik tali-tali pada boneka-boneka itu, mereka menyulam, mengayam. Mereka bernyanyi. Mengajarkan kebijaksanaan perempuan pada anak-anak perempuan mereka.
Kalau tidak bersekolah, satu-satunya sumber dari kecerdasan yang mereka miliki adalah belajar dari alam. Dari ruang hidup. Dan kebijaksanaan mereka selalu seperti padi. Lebih berisi lebih meruduk. Mereka juga mengajarkan cinta, mewariskan cinta melalui dialog dengan alam.
Apa yang salah dari Egon?
“Raik Egon raning rang, ita gai plari epae?” (Kalau gunung Egon meletus, kita mau lari ke mana) Tanya Dua Kesik.
“Hai ata beta ganu tia? Lopa blau, noran Moan Egon. Siru wisu nimun newan tena Egon bile blatan” (Siapa bilang begitu. Jangan takut, ada penjaga gunung. Dia tahu betul apa yang harus dilakukan supaya Gunung Egon tetap diam) Kata Nong Frans.
“Gita sai Egon reta ia. Rusa tama natar. Ular-ular bekor nain. Wero-wero plari sawe. Raik tia, masa nimun gai raning rang” (Coba perhatikan, rusa masuk kampung, ular-ular pada bermunculan, kera-kera lari meninggalkan habitatnya. Itu pertanda, Egon akan mengamuk) Jelas Dua Kesik.
“Egon gahu gahar, tahi marak matar, hala apa walong ita ei? (Gunung Egon lagi memanas, laut seperti ikut bergolak, salah apa kita? Seolah-olah retoris, Nong Frans berkata.
***
Konon, Gunung Egon itu ada penunggunya. Juru kuncinya. Ia dilukiskan sebagai orang tua yang berambut dan berjenggot panjang. Kalau berjalan, kakinya tidak menyentuh tanah. Alias melayang di udara. Itu menandakan “ilmu” pertapaannya sangat tinggi. Setiap hari, hidupnya hanya diabdikan untuk Egon. Berada tidak jauh-jauh dari Egon.
Kalau ia keluar dari pertapaannya, itu berarti ada sesuatu yang penting, sangat penting dan mendesak, berkaitan dengan siklus musiman Egon. Dipercaya, pada masa tertentu, sosok penunggu gunung itu harus memberikan sesajian dan tumbal untuk menjinakkan murka Egon. Keluarnya sang pertapa penunggu gunung itu berkaitan erat dengan tumbal. Saat itu, keadaan kampung akan menjadi lebih hening. Anak-anak tidak boleh keliaran sembarangan. Apalagi anak perempuan yang masih perawan.
Pengetahuan kuno masyarakat mengajarkan bahwa, ketika binatang-binatang hutan pada berkeluaran secara serempak, seperti rusa masuk kampung, kera-kera bermigrasi, dan ular-ular bermunculan dari sarang sembunyiannya, saat itu bumi lagi bergolak. Panas. Membuat tidak betah binatang-binatang itu. Saat itu pula, sinyal meletusnya gunung Egon dibaca dan diterima oleh penduduk setempat. Rata-rata mereka sudah tahu sebelum sinyal kerak bumi itu diterima mesin seismograf.
Peringatan dini itu akan berjalan, jika dan hanya jika, keseimbangan alam itu terjaga dengan baik. Artinya, indera penciuman manusia sangat bergantung pada insting di dunia binatang. Pada hewan-hewan di hutan. Mengandaikan hutan masih merupakan tempat huni yang nyaman buat hewan-hewan bebas itu. Mengandaikan hutan dibiarkan pada bentuk aslinya, tidak terlalu banyak campur tangan manusia, rekayasa ekosistem dan hutan, eksploitasi dan pengerukkan massal.
Dengan dibiarkan seperti itu, bingkai cerita kuno pada sebentuk tokoh tua si penunggu gunung punya kebenarannya sendiri. Mendedikasikan hidup seluruhnya pada gunung, ia menjadi orang yang paling cerdas, dengan pengetahuan jelimek tentang keadaan gunung. Denyut gunung dan alam sekitar adalah denyut jantungnya pula. Ketidakseimbangan pada ekosistem dan disharmonisasi hutan adalah gangguan pada kesehatannya pula. Dengan begitu ia pun tahu cara untuk menyembuhkannya. Karena, ketika keadaan kritis itu terjadi, ia mampu berdialog dengan hutan, gunung, dan alam tentang hal yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana harus mengatasinya.
Seorang Dua Kesik, perempuan di kaki gunung Egon itu pun merasakan hal sama. Ia memiliki kecerdasan alam. Karena senantiasa dekat dengan bumi. Bersentuhan mesrah dengan bumi. Ia mampu merasakan derita alam, tumbuhan, buah-buahan, dan tanam-tanaman. Ketika kebun ladang mereka hanya menyisakan hasil yang kerdil. Ia pun mulai menjadi resah, merasa bumi mulai menolak keberadaan umat manusia. Kepekaannya melebihi kecerdasan kaum cerdik pandai. Melebihi bilangan patriarkat yang menjadi dominan untuk kelas intelektual masyarakat kampung.
Tetapi pertanyaan Nong Frans menjadi penting. Pada sesuatu yang sebenarnya tidak mau diungkapkan secara terang oleh Dua Kesik. Ia tahu diri. Kultur tidak pernah memberi tempat yang luas untuk refleksi seorang perempuan. Karena itu, Dua Kesik sepertinya sedang menggiring Nong Frans untuk mengungkapkan inti dari permenungan kosmologisnya. Yaitu: apa yang salah dari alam dan diri kita?........................bersambung
-----------------------------------------------------------------------------------------------
alexanderyopisusanto
Dilahirkan di Flores, 23 Oktober 1981. Pendidikan dasar diselesaikan di SDK 051 Waigete. Pendidikan menengah pertama dan atas dihabiskan di Seminari Sint. John. Berkhmans Todabelu Mataloko, Ngada, Flores. Bidang spesialisasi: TI, Writing n Publishing, Advokasi Tanah, Advokasi dan Pemantau Hak Anak. Sekarang tinggal di Jakarta Selatan.