Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Thursday 26 June 2008

Kerajaan Kangae..

Mo'ang A.BoEr Parera dalam manuskripnya semenjak 1910 dan terakhir berdasarkan keterangan Mo'ang Badar pada tanggal 25 Mei 1940 di rumah Mo'ang Gaing di Kampung Blatat,dilatarkan bahwa keturunan Kerajaan Kangae berasal dari Mo'ang Ma Gate Ama Gahar,Bemu Aja (dan saudaranya Mo'ang Raja Bisa Amat).

Mo'ang Bemu Aja menikahi Du'a Gurung Merang. A. BoEr juga menjelaskan kepada Oscar P. Mandalangi bahwa nama lain dari Du'a Gurung Merang lengkapnya Du'a Gurung Merang Plale Poung. Ibunda ini keturunan dari Mo'ang Ria ( ata bekor) yang mendiami Mekeng Detung Wololaru di Ding Bekor. Dan karena keterampilan mencampur warna kain dengan akar serta daun nila/tarum, penduduk setempat menyapa Du'a Plale Poung Den Kale-Ngaeng Tarung. Pergeseran kata kale-ngaeng ini akhirnya melahirkan Kangae.


Leluhur purba Mo'ang Bemu Aja menurunkan Mo'ang Nai, Mo'ang Tigar Riwung, Mo'ang Tega Sasa, dan Mo'ang Ehak Gesuk, dan dari mereka diturunkan dua tokoh terkemuka yakni Mo'ang Bapa dan Mo'ang Goleng, menempati kampung Wolo'luma Nitung Kangae.
Mo'ang Bapa melahirkan Mo'ang Nago dengan putera-puteranya Mo'ang Keu, Mo'ang Wuli dan Mo'ang Mitang. Dari keturunan ini terkenal pula Mo'ang P.Y. Bapa Mekeng dengan putera-puteranya Blasius Bapa Mekeng dan Paulus Bapa Mekang sekarang ini.

Mo'ang Goleng menurunkan Mo'ang Juje dan beliaulah yang melahirkan Mo'ang Nai dan Mo'ang Roa, yang oleh Belanda dan penduduk Nuhang Ular Tana `Lorang disapa menjadi satu yakni Mo'ang Nai Roa.

Keturunan dinasti ini menguasai sebuah wilayah di bagian timur di samping Raja Sikka yang "mencaplok" seluruh wilayah, namun kebesaran dan kekuasaan turun temurun sesuai Wolon(g)-Wolon(g) tak dapat dibendung,sehingga Kangae selamanya tidak mau mengakui hegemoni Kerajaan Sikka terhadapnya semenjak semula,walaupun Kangae juga diberikan mangun lajar pembawa lambang kekuasaan Bala Mangung dari Raja Sikka.

Tertulis bahwa nenek moyang Du'a Gurung Merang Plale Poung, yang datang dari Iling Bekor Mekeng Detung Wololaru ialah mereka yang disapa dengan leluhur Mo'ang Toda, Lanur, Molik, Balik bersama isterinya Du'a Doda Wai Timu Nusur Wai Plale Poung di atas.Du'a Plale Ploung dengan anak-anaknya Mo'ang Sawu Sia Wuli Bewat, membawa bukti alat kebesaran -regalia- ke kampung Kangae yang dikenal dengan Muti Bala Jawa, Bala Langat dan sebuah periuk purba Unu Podo.

Sejarah menuliskan bahwa Mo'ang Nai adalah Raja I Kerajaan Kangae dalam daftar Kolonial Belanda. Ketika kedatangan Portugis yakni guru agama Augustinho da Gama bersama AlexiusAlessu (Raja I Kerajaan Sikka yang memakai gelar raja), tersebutlah bahwa keduanya membawa pula Regalia kerajaan berupa tongkat kerajaan. Mo'ang Alessu membawa serta dua batang tongkat berkepala perak sedangkan Augustinho da Gama menjadi wakil Raja Don Alessu.

Dua tongkat ini, sebuah diserahkan kepada Raja Maujong (Mau Lobo-Jong) dari Nita, dan sebatang lagi kepada Mo'ang Korung da Cunha di Alok Wolokoli sebagai Commendanti Pelabuhan Alok Wolokoli.
Setelah kematian Augustinho da Gama, puteranya Thomas da Gama yang lebih dikenal dengan Thomas Dede Amang (Jarang Paing Nora Lado) tidak bersepakat dan bersahabat dangan Raja Sikka. Beliau berpindah ke Wuring-Bebeng mendiami daerah itu. Ketika berjumpa Mo'ang Goleng di Waipare dalam perjalanan ke Kangae, tongkat emas berlambang domba dan burung merpati itu diserahkan kepada Mo'ang Goleng untuk dijadikan tongkat kerajaan.

Kerajaan Kangae sendiri tak pernah aman. Untuk menenteramkan wilayah kolonial,Belanda kembali memecah belah Kerajaan Sikka untuk kedua kalinya dengan mendirikan Kerajaan Kangae. Mo'ang Nai dilantik menjadi Raja I Kerajaan Kangae dalam daftar kolonial Belanda dengan menyerahkan sebuah Korteverklaring oleh Residentie Timor en Onderhorrigh di Waipare, 9 Desember 1902. Beliau menguasai Napung Pitu Wolong Walu dengan batas dari Wairotang ke Bao Pa'at di sebelah Utara menuju selatan hingga Wolo'luma, Kangae, Nitung, Habi, Wetak, ke utara hingga Bang Arat.

Pada tanggal 30 Juni 1904 pukul 7.30, posthouder mengirim resident dan controleurke Waipare untuk mengganti tongkat perak Kerajaan Kangae dengan tongkat emas, serta penghargaan kepada Raja Mo'ang Nai karena dapat "mengamankan" serangan Nuhu Teka. Pada saat yang sama diangkat pula Daeng Pawindu sebagai Kepala Orang Bugis, Husen Pua Salem sebagai Kepala Kampung Geliting-Wairotang dan Bolong Uwa sebagai Kepala Kampung Waioti.

D. D. Kondi menulis bahwa Raja Mo'ang Nai sebelumnya pada tahun 1903 telah mengikuti perubahan sistem sentralisasi ke desentralisasi oleh Raja Yoseph Nong Meak da Silva dengan pemencaran kekuasaan berdasarkan wilayah/distrik -kapitan- dimana Kangae terdiri atas enam wilayah distrik: Kapitan Wetakara, Kringa, Werang, Wai Gete, dan Hewokloang. Sedangkan Nita terdiri dari 2 wilayah distrik: Kapitan Nita dan Tilang. Kerajaan Sikka meliputi 10 distrik: Sikka, Maumere, Nualolo, Nele, Mbengu, Bu, Megoh, Kolo, Wolokoli, dan Palu'e.

Ketika Raja Sikka Don Yosephus Nong Meak da Silva dipensiunkan Belanda karena tua, diangkat-dilantik Raja Don Thomas Ximenes da Silva oleh Controleur Oranye pada tanggal 21 November 1923 dengan sebuah Besluit Guvernur General Belanda di Betawi No.50/1 Mei/1923.

Pada saat yang sama secara sepihak pada tahun 1923, Kolonial Belanda memberikan pensiun kepada Raja Mo'ang Nai seperti diperbuatnya terhadap Raja Sikka dan Raja Nita sebelumnya. Dan tanpa kompromi seluruh wilayah Kerajaan Kangae diserahkan kepada kesatuan Kerajaan Sikka dibawah Raja Don Thomas Ximenes da Silva. Hal ini berdasar pangumuman Assisten Resident Flores pada tanggal 14 November 1925. H. Mennes, Controleur Maumere kemudian menyatakan wilayah Kerajaan Nita dibubarkan.

Dicuplik dari buku 'Pelangi Sikka'-Michael Beding dan Indah Lestari Beding
www.inimaumere.com

Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Thursday, June 26 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---