Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Monday 8 February 2010

Ritus, Magis - Religius di Kabupaten Sikka

Setiap kampung dan suku di Kabupaten Sikka ( dan juga berbagai suku di Pulau Flores-NTT) mempunyai mesbah ( Watu Mahe) atau batu persembahan. Dan mesbah adalah pusat berbagai gelar ritus magis-religius. Di Sikka dikenal dua bagian terbesar ritus tahunan: Upacara Dua Siklus Tahunan; Upacara Tiga Siklus Daur Hidup.
Upacara Dua Siklus Tahunan, yang berhubungan dengan alam, lingkungan dan upaya hidup pertanian dan perkebunan yakni: Pertama, upacara musim penghujan yang disebut Wulang Leleng, Kedua, upacara musim panen yang disebut Wulang Darang.
Upacara wulang leleng seperti doa dan upacara permohonan turunnya hujan berimbang, urang dara ma'a tibang atau agar kemarau itu jangan terlalu panjang.

Berkenaan dengan:

Pertanian/Perkebunan = Opi uma kare tua.
Penanaman bibit = Nona daruk
Penuaian basil = Eta poru
Perlumbungan = Mekot ronang
Perumahan = Laba lepo sorong woga
Peramuan hutan = Ou wua pata ta'a
Perhutanan = Roa tu'ang opiroing
Penolakan bala = Tung goit, eba go'it

Upacara wulang darang seperti Urang Dare Ma'aTibang di atas. Masih ada lagi:

Demu Lero Wulang = Penyilihan dose
Ehe Tahi Ano Lalang = Pelayaran/perdagangan
'Lereng Rabang = Perikanan
Pleur Nge Baler Sawe = Jual beli
Uterlege Ahu Welung = Perburuan

Sedangkan Upacara Tiga Siklus Daur Hidup-Hu'er Horeng Ata Bi’ang, dapat dicatat:

a. Kelahiran - Wua DetA E Doda. lnisiasi/Pengangkatan-HuerHereng Radun Blutuk seperti:

Kela Mitan = Pemberian nama anak
Rawing Ga = Pemberian makan dukun
Lodong Me = Menurunkan anak
Ro’it Alang =Mencukur rambut
Legeng Alang = Menggelung rambut
Eker Niung = Memotong gigi
Dong Pelang = Memberi pakaian kegadisan
Gareng Lameng = Penyunatan.

b.
Peminangan dan perkawinan - Lema Lepo 'Rawit Woga,terdiri:
Wua Ta'a Lema Lepo = Meminang
Tasser/Ling Welin = Penentuan bells
Tung Tatung = Pemberian makan
Tung Lipa Lensu = Penghantaran pakaian bagi si pria
Tung Kila Jarang = penghantaran cincin
Hakeng Kawit = Penentuan perkawinan Wotik Wawi Api, Ara Pranga = Perkawinan adat
Tama Ola Uneng = Masuk kamar pengantin
Hu'i = Mandi empat malam
Ngoro 'Remang = Pembersihan pasta
Dedung Lema Lepo = Menghantar/membawa isteri ke rumah pria

c. Kematian dan Pasca Kematian -Huer Hereng Ata Mateng Potat, terdiri:
Taru 'Luheng Bura = Pembawaan kain, lilin.
Tua Pole Wawi Rekot = Bantuan kematian
Bahar Lige Bala Loni = Belis kematian
Tani Not Tokang Peti = Nyanyian kematian, penutupan peti jenazah
'Lohor Gumang Hutu = Turun tanah kematian.
TaruNopok/Siko Ra'ing =pemberian balasan
Sumana Ha, Sumana Pitu = Minggu pertama dan ketujuh.


Upacara Musim Penghujan -Wulang Leleng, mempunyai rona dan pesona tersendiri di berbagai daerah di Sikka. Terutama karena sebagian besar pencluduk Sikka adalah petani (menggarap daratan dan laut). Khusus di Mbengu-Paga, musim menanam padi biasanya dengan ritus sarat ratap¬tangis hanya karena penghayatan atas padi yang adalah dua bersaudara yang dicincang dan ditanam kemudian tumbuh sebagai padi, yang disebut sebagai Bobi dan Nombi.
Dan juga Ritus Gawi yang unik bermuasalkan mitos Tiwu Sora, senantiasa digelar untuk memohon sesuatu yang menghidupkan sekaligus menolak bala-bencana.

Di sadur dari buku Pelangi Sikka
www.inimaumere.com


Selengkapnya...

Flores Dalam Kisah Pertama Seorang Gadis..

Pulau Flores dikenal sebagai salah satu pulau miskin dan tertinggal, begitulah. Tapi dibalik ketertinggalannya, Flores ternyata menyimpan sejuta pesona yang belum banyak diketahui orang. Hal ini nampak dari cerita perjalanan Mbak Yeni yang ditulis secara gamblang diblog pribadinya. Kisah perjalanan yang dipaparkan mbak yeni ini meski tak banyak dan sedetail tapi semoga bisa menjadi sedikit panduan untuk mengintip perjalanan ke Flores. Bagi yang ingin berpetualang ke pulau yang sering disebut juga sebagai pulau ular, pulau bunga, pulau bergagang keris, pulau tsunami dan lain-lain kisah mbak yeni ini bisa menjadi salah satu pegangan sebelum menjejakkan kaki di Flores...

===========================================================================
Dulu tak terpikirkan bisa menjejakkan kaki di tanah Flores karena bayanganku tentang pulau itu adalah daerah yang kering dan tidak menarik. Paling-paling yang kukenal dari Flores adalah danau-tiga-warna alias Danau Kelimutu yang tersohor itu. Dan kenalnya dengan Kelimutu juga karena jaman dulu foto danau tsb dipasang di uang seribu perak (hayoo… masih ingat gak?).

Ternyata bayanganku dulu itu sama sekali tidak benar sodara-sodara.

Keinginan untuk jalan-jalan ke Flores bermula dari melihat foto-foto pantai dan pemandangan alam Maumere yang dikirim oleh Oyan, seorang teman yang berasal dari Flores. Dari situ mataku mulai terbuka bahwa Flores menyimpan banyak pesona, tidak hanya Danau Kelimutu saja.

Bersama Enda, sohibku, rencana travelling bareng ke Flores pun mulai digagas. Sibuk deh mengumpulkan informasi, tanya sana-sini, termasuk pinjem buku Lonely Planet Indonesia dari perpus Tembagapura.

Setelah mematangkan rencana, dan beberapa kali nyaris batal, akhirnya yang ikut adalah aku sendiri, Adrian (suamiku), Enda, dan Nonie (kakaknya Enda). Sayangnya Mas Anum (suami Enda) tidak bisa ikut karena gak bisa ambil cuti. Kami sepakat untuk pergi dari tanggal 15 – 20 Mei 2009 untuk aku dan suami, sedangkan Enda & Nonie tambah extra 2 hari karena mau sekalian ke Pulau Komodo & Rinca.

Aku mau berbagi cerita tentang perjalanan kami ke Flores. Tapi, berhubung kapasitas wordpress agak terbatas, aku tulis kisahnya per bagian aja ya…

Hari Pertama: Maumere

Tanggal 15 Mei kami terbang dari Denpasar ke Maumere dengan pesawat Merpati (yang of course, pake acara di-delay 2 jam di Ngurah Rai). Sebelum berangkat, Nonie sudah berinisiatif booking hotel di Maumere sekaligus memesan penjemputan dari bandara.

Sampai di airport Maumere ada seorang pria (halah!) yang memegang kertas bertuliskan ‘Miss Nonie’. Yup, dialah orang yang menjemput kami. Namanya Dino Lopez. Dia bilang kalau namanya tercantum di buku Lonely Planet Indonesia sebagai experienced English speaking guide untuk area Flores. Dan ternyata di Lonely Planet bener ada nama dia lho…

Pertama, kami diajak ke ‘kantor’ yang sepertinya merangkap tempat tinggal Dino. Di situ kami diberi penjelasan tentang gambaran wisata Flores, sekaligus ditawari ‘paket’ wisata a la Dino Lopez. Untuk aku dan Adrian yang dari Maumere rutenya ke Moni – Bajawa – Labuhan Bajo (5 hari 4 malam) paket yang ditawarkan adalah Rp 1.750.000,- per orang, sementara Nonie & Enda yang lanjut ke Pulau Komodo & Rinca diberi harga Rp 2.750.000,- per orang (7 hari 6 malam). Harga itu sudah termasuk mobil, bensin, supir merangkap guide, dan akomodasi standar di masing-masing lokasi tujuan. Setelah sedikit nego, Dino memberi discount 250rb perorang. Sungguh harga yang cukup bersahabat.

Acara berikutnya di Maumere adalah berburu sunset. Setelah puas foto-foto sunset baru kemudian check in di hotel kecil pinggir pantai yang dinamai Gading Beach Resort. Harganya? Sembilan-puluh-ribu-rupiah permalam! Beneran. Fasilitasnya standarlah…shower air dingin, queen size bed, serta sebuah TV yang hanya mampu menangkap siaran dari 2 channel. Oia, sarapan udah termasuk di harga kamar lho…

Malam hari sesudah makan malam, kami pergi ke acara pesta pernikahan. Loh, kok bisa?

Iya, berkat kepiawaian Enda & Nonie beramah-tamah di pesawat, seorang bapak mengundang kita untuk hadir di acara pesta pernikahan ponakannya. Karena gak enak udah diundang dan penasaran gimana pesta pernikahan di Flores, kami datang juga ke pesta tsb. Yang pasti pestanya rame dan full menyanyi & dansa. Bahkan kami juga didaulat untuk menyanyi dan menari bersama.

Konon tradisi menyanyi dan berdansa itu diwariskan oleh bangsa Portugal dan Belanda pada jaman penjajahan dulu. Di pesta itu tua-muda-lelaki-perempuan lincah bergoyang.

Kalau tidak memikirkan esok harus berangkat pagi-pagi ke Moni, ingin rasanya kami tinggal lebih lama, ikut berpesta sampai pagi.

Hari ke-2: Maumere – Sikka – Pantai Paga – Moni

Hari kedua di Flores diawali dengan menikmati sunrise persis di pantai Gading Beach Resort. Semburat warna-warni yang mempesona mengiringi datangnya pagi bagaikan lukisan mahakarya seorang seniman. Entah mengapa, sunrise dan sunset dimanapun kita berada selalu punya daya tarik yang luar biasa.

Habis itu, kami mandi dan sarapan. Saat sarapan kami kenalan dengan seorang cewek. Namanya Jenna Thompson. Ni cewek cool gitu deh… asal dari Amrik, kerja jadi language trainer di Thailand, trus jalan2 ke Flores sendirian. Pagi itu kita tahu kalau jeung Jenna bakal tour barengan kita. Kesan pertama tentang Jenna? Pendiam. Beda banget sama rombongan kita yang rame. (Belakangan setelah travelling bareng baru ketauan kalau Jenna juga ternyata bisa rame dan ngocol. We miss you J…)

Dengan dua buah mobil kami memulai petualangan kami. Jenna & Dino di mobil depan, sementara kami berempat di mobil terpisah dengan supir namanya Pak Fransesco. Kami meninggalkan Gading Beach Resort sekitar pkl. 07.30 pagi.

Singgah di perkampungan nelayan yang rumah-rumahnya dibangun di atas air laut, kami disambut oleh anak-anak kecil yang luar biasa banci kamera… Lucunya kami semua dipanggil ‘miss’ oleh mereka. Selama kami di perkampungan itu ramai terdengar celoteh mereka “Miss, foto miss…” sambil langsung bergaya dengan mengacungkan dua jari membentuk symbol victory.

Dari perkampungan nelayan, perjalanan berlanjut ke Desa Sikka, salah satu desa yang masih memelihara tradisi membuat tenun ikat. Sesudah melihat-lihat satu gereja tua peninggalan Portugal, kami beruntung bisa menyaksikan tahap-tahap proses pembuatan tenun ikat oleh sekelompok ibu di desa itu. Dari mulai mengolah kapas menjadi benang, membuat pola tenun dg ikat, proses pewarnaan, sampai menenun benang menjadi sehelai kain. Yang menarik, untuk warna-warna kalem seperti indigo atau merah tua, warna tsb biasanya terbuat dari bahan alami. Sedangkan kalau warnanya cerah seperti biru terang atau pink, sudah pasti menggunakan pewarna buatan.

Kunjungan ke Sikka berbuntut memborong selendang atau syal tenunan yang berwarna-warni yang harganya terbilang murah bila dibandingkan dengan proses pengerjaan yang rumit dan memakan waktu. Satu syal rata-rata dilego dengan harga Rp 50.000,-

Puas memborong syal, kami melanjutkan perjalanan ke Moni. Untuk istirahat makan siang, Dino membawa kami ke Pantai Paga, sebuah pantai yang masih alami dengan sebuah (dan satu-satunya) warung makan yang dikelola oleh sepasang suami-istri separuh baya. Kabarnya dulu pernah akan dibangun hotel resort di pantai tsb, tapi sejak bom Bali yg mengakibatkan jumlah wisatawan ke Flores menurun, yang bertahan tinggal sepasang suami istri pengelola warung itu saja. Di dekat pantai ada beberapa bangunan sederhana yang bisa disewa untuk penginapan.

Sambil menunggu pesanan, Jenna, Enda, Nonie dan Adrian memutuskan untuk mandi di pantai. Aku tidak ikut mandi…cukup duduk-duduk di pantai dan sesekali memotret saja.

Sekitar 45 menit kemudian, makanan pesanan kami dihidangkan…ada ikan tongkol bakar, tumis sayuran segar, nasi putih… dan setiap orang diberi sepiring kecil sambal cabe yang pedasnya benar-benar nendang! Mungkin karena bapak pemilik warung merasa tertantang ketika kami memesan makanan kami bilang, “Sambelnya yang pedes ya Pak…”

Walaupun menu makan siang kami tidak begitu luar biasa tapi rasanya cukup mak nyuss dan sambelnya yang pasti sukses membuat mulut & lidah berdesis kepedasan.

Dari Pantai Paga kami meluncur ke Moni. Perjalanan yang cukup panjang serta duduk di mobil memang cukup melelahkan. Tapi kelelahan kami terbayar dengan melihat keindahan alam di sepanjang jalan yang kami lalui. Panorama laut berpadu dengan gunung yang menghijau serta sawah yang membentang benar-benar memanjakan mata.

Hari sudah sore ketika kami tiba di Moni yang termasuk daerah dataran tinggi. Dino membawa kami ke Losmen Hiddayah, sebuah penginapan dengan sawah dan kebun sayuran di sekelilingnya. Salah satu karyawan losmen dengan rambut a la Bob Marley menghidangkan minuman panas (teh manis & kopi). Cocok diminum untuk udara Moni yang dingin.

Sekitar pkl. 18.30 kami menikmati makan malam di teras losmen. Sambil makan Dino berkisah. Sebagian tentang legenda-legenda dan mistik di Flores yang kami simak dengan penuh perhatian.

Selesai makan Dino menawarkan apakah kami berlima (Enda, Nonie, Jenna, Adrian dan aku sendiri) berminat untuk berendam di sumber air panas alami alias hotspring yang letaknya hanya beberapa kilometer dari penginapan kami. Semua setuju. Siapa yang menolak kenikmatan mandi air panas di daerah dingin seperti Moni? Apalagi air yang tersedia di penginapan hanyalah air dingin yang berasal dari sungai.

Berangkatlah kami ke sumber air panas diantar oleh Dino, berdempet-dempetan di satu mobil. Sambil lalu Dino bilang kalau sumber airpanas-nya di tengah sawah.

Sekitar 20 menit kemudian, Dino memarkir mobil di pinggir areal persawahan yang gelap. Boro-boro lampu penerang jalan, senter saja ternyata cuman ada satu di mobil. Terbengong-bengong kami digiring berjalan melewati pematang sawah yang sempit dan licin. Akhirnya, walaupun dengan terpeleset berkali-kali, sampai juga kami di hotspring yang fenomenal itu. Dari cahaya senter, samar-samar bisa dilihat hotspring tsb menyerupai kolam kecil dengan air jernih setinggi lutut yang bisa menampung sampai 10 orang berendam bersama. Uap hangat terlihat membungkus permukaan kolam, menggoda kami untuk segera menceburkan diri.

Membenamkan tubuh yang penat di hangatnya air kolam, di bawah naungan kerlap-kerlip bintang di langit, membuat kami lupa akan susah-payahnya perjalanan menuju kolam itu. Air kolam yang tidak terlalu panas memberikan sensasi kesegaran yang menyenangkan.

Satu rekomendasi bagi siapa saja yang berminat untuk mencoba spa alam a la Moni itu, berangkatlah kala matahari belum tenggelam… Atau, kalaupun mau pergi malam-malam, jangan lupa berbekal penerangan yang cukup. Membawa satu senter saja untuk 6 orang sungguh tidak disarankan :)

Hari ke-3 : Danau Kelimutu

Pagi-pagi sekitar jam 4, Dino mengetuk kamar-kamar kami dengan penuh semangat. Ya..ya… agenda pertama kami di hari ke-3 adalah melihat Danau Kelimutu yang terkenal itu.

Kata si Dino dan juga rekomendasi beberapa teman, kalau mau pergi ke Kelimutu mendingan pagi-pagi. Selain bisa melihat matahari terbit dari pegunungan dimana ketiga danau multiwarna itu berada, juga untuk menghindari kabut yang suka datang mulai jam 9an pagi.

Dari penginapan kami naik mobil terlebih dahulu dan berhenti di satu area yang cukup luas yang digunakan untuk tempat parkir mobil. Perjalanan menuju danau dilanjutkan dengan berjalan kaki. Ada beberapa rombongan pergi ke Kelimutu pagi itu. Seorang bapak yg merupakan penduduk setempat turut berjalan bersama rombongan. Berjaket biru dan mengenakan sarung tenun warna indigo, sang bapak membawa tas yang didalamnya ada termos berisi kopi panas yang nanti akan dijual ke pengunjung Kelimutu. Dia juga membawa beberapa selendang tenunan khas Flores yang juga dijual sebagai souvenir.

Bau belerang menyergap indra penciuman ketika kami sudah mendekati ketiga danau Kelimutu. Setelah mendaki ratusan anak tangga, kami sampai di tempat yang berbentuk seperti panggung (cenderung mirip monumen sih…), yang khusus dibuat untuk duduk menikmati matahari terbit. Di kedua sisi panggung yang menghadap ke dua danau dibuat masing-masing sekitar 11 undakan tangga untuk duduk-duduk. Untuk pengaman, dipasang pagar pembatas supaya pengunjung tidak berjalan terlalu dekat ke pinggiran danau.

Masing-masing dari kami kemudian siap dengan kamera di tangan, menanti saat-saat matahari muncul di ufuk timur. Samar-samar terlihat warna biru turquoise salah satu danau di depan kami.

Si bapak berjaket biru juga lincah menawarkan kopi. Kubeli segelas kecil. Harganya kalau tidak salah 10 ribu rupiah.

Menyeruput kopi-hitam-kental-manis sambil menikmati pesona mentari yang perlahan bergerak naik dari balik gunung, di antara 3 danau warna-warni, sungguh merupakan pengalaman tak terlupakan. Sambil sesekali menjepretkan kamera, mataku berusaha menangkap sebanyak mungkin pesona alam yang tersaji.

Sesudah matahari naik, kami memuaskan ke-narsis-an kami, berfoto dengan latar belakang salah satu danau kelimutu yang berwarna biru turquoise. Danau berikutnya yang letaknya berdampingan dengan si danau turquoise berwarna hijau gelap, sepintas mirip warna coca-cola. Sayangnya danau ketiga yang kabarnya saat itu berwarna putih tertutup kabut tebal.

Nama ketiga danau tsb adalah Tiwu Ata Polo (danau hijau gelap), Tiwu Nua Muri Koo Fai (danau biru turquoise), dan Tiwu Ata Mbupu (danau yang tertutup kabut).

Berdasarkan kepercayaan setempat, ketiga danau Kelimutu itu adalah tempat tujuan roh orang ketika meninggal. Danau mana yang dituju tergantung dari umur dan tingkah laku orang tersebut ketika hidup di dunia.

Keunikan lain dari Danau Kelimutu adalah warnanya yang bisa berubah sewaktu-waktu tanpa tanda-tanda alam sebelumnya. Beberapa tahun lalu warna ketiga danau tsb. adalah biru, coklat kemerahan dan hijau tua kehitaman. Menurut info belum ada ilmuwan yang bisa menjelaskan secara pasti apa yang menyebabkan perubahan warna danau. Yang pasti kandungan asam ketiga danau tsb sangat tinggi sehingga jangan coba-coba iseng mencoba berenang di salah satu danau itu.

Sesudah dari Danau Kelimutu kami sarapan banana pancakes di penginapan, kemudian mandi di sungai yang ada air terjunnya. Rasanya dingin menyegarkan walaupun warna airnya tidak bisa dibilang jernih. Well…kami hanya punya dua pilihan, mandi dengan air sungai tsb. atau tidak mandi seharian sampai tiba di Bajawa.(http://yeniunique.wordpress.com.)

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Monday, February 08 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---