Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Tuesday, 17 April 2012

Lampu Lalu Lintas Mati (Lagi)

Satu lagi lampu lalu lintas di Kota Maumere mati. Disaat ketidaknyamanan berlalu lintas di Maumere dikeluhkan para pengguna jalan. Lampu lalu lintas yang tak berfungsi berminggu-minggu ini terdapat di perempatan jalan Ahmad Yani, sebuah kawasan tampan ditengah jantung kota. Kawasan ini termasuk kawasan sibuk lalu lintas dan kata orang merupakan kawasan elite karena disini bermukim para pejabat kabupaten. Sayangnya, matinya lampu laulintas yang sudah berminggu-minggu ini didiamkan saja dan belum ada upaya untuk memperbaikinya. Para pengguna jalan yang melewati kawasan ini nampak bingung. Kesabaran dipertaruhkan karena jika sedikit ngawur maka akan terjadi hal yang tak diinginkan. Karena banyak yang belum sadar akan mahalnya nyawa seseorang, maka seenaknya melintas tanpa memberi kesempatan kendaraan lain yang sebenarnya lebih memiliki kesempatan.

Cara berlalu lintas di kabupaten ini sungguh membuat jantung berdegup kencang. Sebagian pengendara tak mau kalah jika sedang melaju kencang. Ini bukan cerita baru di kota ini yang kini memiliki satu lampu lalulintas yang masih berfungsi.

Kebingungan pengendara di perempatan jalan Ahmad Yani tersebut tampak terjadi saat jam-jam sibuk seperti pagi dan sore hari. Kesabaran terlihat saat beberapa pengendara mencoba melintasi perempatan tersebut

Namun beberapa kali juga nyaris terjadi kecelakaan seperti yang dipantau inimaumere.com. Karena ketidaksabaran tersebut, beberapa kali para pengendara saling beradu mulut.

Matinya lampu lalu lintas di jantung kota tersebut menambah daftar beberapa lampu lalulintas yang tak berfungsi di tengah kota dan telah memakan waktu berbulan-bulan.

Misalnya lampu lalulintas di perempatan Pasar Bongkar atau Jalan Eltari, perempatan bogor, perempatan kantor pengadilan, pertigaan PLN.
Sayangnya hingga kini, lampu lalulintas tersebut tidak diperbaiki agar berfungsi sebagaimana mestinya.

Dan kini, satu lagi tak berfungsi. Masyarakat masih menunggu apakah ada upaya dan niat baik dari pihak terkait akan pedulinya nyawa seseorang? Kita berharap. Dan semoga tak ada kecelakaan baru akibat matinya lampu lalulintas.

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Desa Doka - Bola, dan Olga Lydia pun Terkesan

Di balik gunung, segumpalan kabut merajalela hingga ke bawah lembahnya, menaungi sebuah desa yang bertekad bertahan meskipun zaman coba menggerusnya dengan berbagai cara. Di sinilah salah satu tenunan tradisional khas Flores dibentuk helai demi helai benang, dicelup dengan warna alami dari alam, dirangkai dengan buah tangan-tangan terampil yang memukau, hampir saja keelokannya sebanding dengan kejutan alam Flores yang megah itu.
"Hallo, bisakah saya berbicara dengan Olga?" Seorang penumpang segera menyerahkan handphone-ya kepada wanita berparas khas Tionghoa agar pembicaraan yang dimaksud pun terlaksana. Olga Lydia tak pernah mengira bahwa ia akan ditelepon salah seorang warga dari Desa Doka yang dikunjunginya 5 hari yang lalu. Padahal kakinya masih menjejak tanah Flores dan ada sisa satu hari perjalanan sebelum pulang kembali ke rumahnya.
Adalah Cletus Lopez seorang juru bicara sekaligus pemandu Desa Wisata Doka di Flores yang menghubungi Olga.

Ia mengucapkan rasa terima kasihnya atas kunjungan Olga Lydia bersama tim yang dipimpin Ratna Suranti dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dipandu Flores Exotic Tour melalui Leonardus Nyoman dan Bapak Ardhie.

Desa Doka menjadi tujuan wisata pertama yang disinggahi tim ini sekaligus membenamkan kesan mendalam bagi Olga Lydia. Tangan-tangan terampil wanita Desa Doka begitu lihai dan nyatanya saat Olga mencobanya tidaklah semudah yang dikira.

Profesor sekalipun belum tentu dapat menghasilkan karya secantik lembaran tenunan khas Flores. Setidaknya ada lebih dari 20 tahapan selama hampir sebulan agar sebuah kain tenunan Flores dapat memanjakan mata dan diapresiasi peminatnya dengan transaksi jual beli.

Kemampuan menenun di Desa Doka telah dibina dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mereka belajar di sekolah adat kuno sebagai sebuah tradisi turun-temurun. Sebuah kearifan lokal yang tidak disembunyikan tetapi dipertontonkan sebagai sebuah atraksi yang menarik.

Mereka melakukan semua aktivitas merangkai sehelai kain tenunan secara tradisional. Benar-benar tradisional, mulai dari memetik kapas, memintalnya menjadi benang, hingga proses pewarnaan menggunakan daun nila, akar mengkudu, dan kulit batang nangka sebagai pewarna alami. Tidak sedikit pun cairan kimia ikut andil di sini alih-alih menimbulkan pencemaran lingkungan. Mereka bersahabat dengan alam dan tak ingin mengotori bumi.

Wanita muda hingga dewasa apalagi yang tua, mereka handal memisahkan kapas dari
bijinya dengan menggunakan alat bernama keho. Setelah kapas terpisah, kemudian benang di pintal untuk menghasilkan serat benang. Benang-benang yang telah jadi berikutnya digulung menggunakan seler. Hasil gulungan benang tersebut menjadi bahan dasar tenun untuk menghasilkan motif ikat.

Berikutnya benang halus diberi warna dari olahan bahan-bahan alami. Untuk memperoleh warna hijau dari tanaman nila, kuning dari hepang, coklat dari kayu-kayu kering, dan merah dari akar mengkudu. Bahan-bahan tersebut ditumbuk halus kemudian dicampurkan air. Benang pun direndam sekitar 1 jam agar warna terkesan luntur alami. Benang yang beraneka warna akan direntangkan pada kayu yang disebut hani.

Setidaknya ada 11 warna tercipta dari bahan alami yang ramah lingkungan. Warna dari bahan alami dan benang dari kapas membuat warnanya memang tidak secerah benang modern tetapi justru lebih tahan lama dan menguak warna yang makin lama makin indah.

Berikutnya proses penunan menggunakan alat tenun tradisional dengan satu jalur benang. Di Flores, ada banyak jenis mesin untuk menciptakan motif yang lebih rumit. Itulah mengapa harga sehelai tenunan Flores tidaklah murah.

Kain tenun biasa dipakai wanita Flores sebagai pelengkap busana, selain sebagai selendang atau sarung. Anak perempuan Flores yang beranjak remaja tidak boleh telanjang lagi. Wanita Flores yang beranjak dewasa ditandai dengan datang bulan dan mereka diwajibkan mengenakan kain serta memanjangkan rambutnya agar dapat dikonde.

Adat Flores mengarahkan para ibu dan anak wanitanya ikut melestarikan kain tenunan Flores. Meski mereka tidak hanya membuat untuk dijual tetapi tradisi Flores mengajarkan tiap keluarga harus memiliki kain tenun yang digunakan baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun acara adat. Para wanita yang menenun di Desa Doka bukan sekadar memproduksi sehelai kain yang dapat dijual tetapi secara tradisional mereka melestarikan budaya bangsa dan kearifan lokalnya. Bertahan dari gerusan zaman yang kadang tanpa ampun.(http://www.indonesia.travel/id/news/detail/621/olga-lydia-pun-terkesan-tenunan-flores-di-desa-doka)
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Liputan langsung Indonesia.travel di Flores pada 11-16 Januari 2012
Selengkapnya...

CANTIK NGERI!

Oleh: Dion DB Putra
MAUMERE kota nyiur melambai, kota di mana terik mentari membakar dada hingga ubun-ubun. Kota di Flores yang tersohor hingga ke sudut bumi ketika gempa disusul tsunami menghardik pada Sabtu kelabu 12 Desember 1992. Lebih dari 2.000 nyawa hilang dalam sekejap.
Soeharto, penguasa rezim Orde Baru meninggalkan kenyamanan Istana Merdeka Jakarta. Dia terbang ke Maumere bersama Ibu Tien yang keibuan itu. Pasangan Soeharto-Tien mengunjungi barak dan tenda. Menguatkan mereka yang terluka. Meneguhkan yang kehilangan orang-orang terkasih.
Beta tiba di kota ini 7 Juli 2011. Tiba disambut terik Bandara Frans Seda untuk memulai tugas baru entah sampai kapan. Inilah pertama kali beta bertugas sebagai wartawan di kota tsunami. Puji Tuhan akhirnya Maumere kugauli juga. Kuakrabi dalam waktu yang lama, tidak sekadar nginap semalam, sehari dua bahkan cuma transit beberapa jam.

Sepekan menjadi penghuni MOF (nama udara untuk Kota Maumere) beta menangkap kesan yang mengesankan tentang Maumere, tentang anak-anak nian Sikka zaman ini. Di depan Gelora Samador da Cunha, tempat “suci” yang pernah ditapaki Beato Johanes Paulus II tahun 1989, celetukan dua remaja berseragam putih abu sekilas memberi gambaran tentang Maumere Manise.

“Itu cewek mayoret esema frater cantik ngeri! Saya dengar dia belum ada pacar,” kata remaja A pemilik muka oval, kulit hitam manis, rambut sarimi (keriting) dan kepala agak lonjong seperti kebanyakan ana Lio, tanah darahku tumpah pertama dari rahim ibundaku dulu. “Ai, tidak mungkin ka dia belum ada pacar,” timpal rekannya. Profil fisik yang ini Sikka banget. Kuduga garis darahnya dari pantai selatan Flores yang ganas menghardik karang, seputar kawasan Bola atau Lela timur.

Cantik ngeri! Apa maksudnya? Kudapat jawaban seiring hari berganti dan waktu bergulir di MOF yang terik mendidih dan susah air bersih. Air harus “pake beli” kata orang di sana untuk melukiskan dana ekstra rumah tangga buat kebutuhan vital ini. Sebulan bisa habiskan “uang air” sebesar Rp 200 ribu lebih guna memenuhi satu rumah tangga dengan anggota lima orang.

Ngeri adalah diksi untuk menggambarkan betapa cantiknya cewek mayoret drumband SMAK Frateran Maumere yang digosipi kedua pemuda tanggung itu. Ngeri telah bergeser maknanya bagi orang Maumere. Ngeri tidak mesti berarti ngeri! Di Pasar Alok, pasar modern dan terbaik dari sisi penataannya di NTT beta menguping dialog penjual dan pembeli ayam begini. “Mo’at Hiro, berapa harga ayam ini?” “Lima puluh ribu nong,” jawab si penjual. “Mahal ngeri e...”

Jadi bukan hanya cantik ngeri. Harga ayam pun mahal ngeri. Kalau tuan dan puan ke kota ini, maklumilah bila amat kerap mendengar diksi ngeri. Ngeri terdengar di hotel, restoran, pinggir jalan, kantor polisi atau bank. Ngeri pun riuh di pasar, pertokoan, toko buku, kantor pemerintah bahkan gereja yang lebih banyak kaum hawa dibanding adam setiap kali misa. Entah misa harian pagi, misa hari raya atau Minggu biasa.

Maumere memang serba ngeri. Kecelakaan lalulintas ngeri. Perkosaan ngeri, selingkuh ngeri, KDRT ngeri, bunuh diri ngeri, mabuk moke ngeri, berdoa ngeri, belis ngeri, pesta ngeri, rabies ngeri, nyamuk malaria ngeri, politik ngeri, korupsi juga ngeriiiii sekali!

Sepeda motor masuk got, angkot seruduk pohon, ojek bakusenggol di lorong-lorong terlihat biasa saban hari. Naik motor tanpa helm adalah pemandangan jamak di jalan-jalan MOF. Bahkan mereka melintas tanpa beban di depan Kantor Polres Sikka yang halamannya diteduhi pepopohan rindang.

Dua bulan pertama di Maumere hampir tiap hari beta edit berita tentang KDRT. Laki pukul bini, bini hajar laki. Bapak aniaya anak, anak tikam ayah dengan belati. Juga perselingkuhan. Bukan lagi selingkih tipis-tipis sekadar memandang mengagumi, meremas jari atau tos pipi. Mereka selingkuh benaran sambil tega meninggalkan istri, menanggalkan suami untuk hidup bersama meski sama-sama sudah beranak seorang dua hingga setengah lusin. Maumere begitu jauh berubah dibanding memori masa bocahku dulu di Watuneso, kawasan tapal batas – sekitar 50 km barat Maumere.

Tatkala gong waning berdentang di jalan-jalan kota, digebuk sekelompok pria di atas mobil pick up, tahulah awak bahwa akan ada pesta. Lazimnya pesta kawin. Akan ada pengantin baru malam ini. Tapi pesta di Maumere bukan cuma sehari saja. Bisa dua hari sebelum dan dua hari sesudah hari H. Kesibukan keluarga luar biasa. Mulai dari buat panggung atau tenda sampai bubar panitia. Babi, ayam, kambing, anjing dan sapi tidur tak nyenyak. Sekian ekor disembelih. Sekian jerigen moke bakal dilahap sampai habis. Musik berbunyi hingga telingamu teler. Pung pang hingga malam larut. Saat hari H malah sampai fajar menyingsing. Demi pesta nikah atau sambut baru jalan umum ditutup. Kelakuan MOF mirip warga Kupang, ibukota propinsi Nusa Tenggara Timur.

Dugaan korupsi dana Bansos Rp 10 miliar di Sikka lebih telah menghiasi lembaran media massa cetak sejak berbulan-bulan, menghuni audio pendengar radio dan ditatap jutaan pasang mata di kotak kaca televisi. Juga informasi hilir-mudik di jalur online. Proses hukum berbelit ngeri. Berputar-putar ngeri. Entah berujung sampai di mana. Penasihat hukum ngeri bersilat lidah. Penegak hukum ngeri nian memainkan sandiwara. Tersangka pelaku berkelit ngeri (dengan segala cara), seolah tanpa dosa, ngeri betul mencari tumbal korban, mencari kambing hitam.

Maumere memang serba ngeri. Namun kengerian ini membuat beta mulai jatuh cinta pada kota ini. Jatuh hati pada ikan segarnya yang murah namun berkualitas wahid, sesuatu yang sulit ditemukan di Kupang dan kota lain NTT. Jatuh cinta pada dinamika sosial masyarakat yang makin sadar dan bertanggungjawab terhadap hak politik dan demokrasinya. Kuterpikat pada senyum manis kaum ibu yang masih memakai konde di rambutnya dan berbusana Sikka. Saat ke gereja, ke pesta nikah atau hajatan lainnya. Oh Maumere manise. Enak ngeri pernah menghunimu. Epangawang. Terima kasih.*
----------------------------------------------------------------------------------
Beru, akhir September 2011 (untuk pembaca "berandaku yang telah mati." Beta belum berhenti menulis)
*Dion DB Putra http://dion-bata.blogspot.com
**foto: Timotius Vianey
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Tuesday, April 17 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---