Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Tuesday 8 March 2011

Maumere, Mutiara Yang Terabaikan…

Oleh: Wawan Nike

Keindahan pasir putih alam asli Pantai Tanjung dan Pantai Doreng tak digarap maksimal
Globalisasi yang saat ini menjadi icon atau pun motto, serta jargon dari pemerintah baik di pusat maupun di daerah justru amburadul, dengan adanya polarisasi otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 yang ada, tidak membawa dampak serta pengaruh positif bagi pembangunan di Indonesia. Globalisasi merusak tatanan kearifan lokal bangsa ini semakin jelas terlihat, Indonesia yang membagi zona wilayahnya antara barat dan timur semakin menunjukkan arogansi, sehingga adanya perbedaan justru memperlebar jurang perpecahan.
Kabupaten Sikka yang terletak di Bagian Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur, adalah gambaran dari tidak becusnya pemangku kebijakan dalam mengimplementasikan ide-idenya, dimana rakyat dikebiri atas hak hidupnya, jaminan sebagai warga Negara yang dinaungi dan dijamin kemerdekaanya dalam undang undang dasar 1945 jelas tidak terbukti.

Sementara itu, keberadan Pemerintah Daerah Kabupaten sebagai pemegang kedaulatan secara otonom tidak menunjukan konsep jelas tentang pembangunan kota ini, dengan pelbagai potensi yang ada, sementara sejak kali pertama saya datang Potensi Kabupaten Sikka yang saya kunjungi adalah empat desa yang berada di wilayah kecamatan Mapitara, satunya adalah Desa Hebing, masyarakatnya yang masih natural justru memiliki daya tarik tersendiri di tunjang dengan alamnya yang masih elok, serta tidak tercemar polusi, ini justru daya pikat tersendiri apabila Dinas Pariwisata setempat mampu membaca potensi untuk dikembangkan demi pembangunan Sikka.

Sesuai catatan Maumere merupakan kota pelabuhan utama di Kabupaten Sikka yang berada di antara wilayah Flores Tengah dengan Kabupaten Larantuka yang berada di Timur. Nama Sikka berasal dari nama sebuah desa yang berada di pantai Selatan Flores yang dulu pernah dikuasai penguasa Portugis dan keturunan pada abad ke-17 dan abad ke-20. Maumere telah menjadi pusat kegiatan kaum misionaris asal Portugis dalam menyebarkan agama Kristen sejak mereka tiba di wilayah ini sekitar 400 tahun yang lalu. Pada bulan Desember 1992, Maumere diguncang gempa hebat yang menghancurkan sebagian kota ini disusul gelombang pasang setinggi 20 meter yang menewaskan ribuan orang.

Maumere secara geografis terletak hanya 30 km dari pusat gempa dan saat ini Maumere sudah dibangun kembali dari kehancuran total akibat gempa bumi. Bagi wisatawan yang berminat dengan kain tenun ikat maka Maumere merupakan salah satu pusat produksi tenun ikat. Wisatawan yang datang ke Maumere umumnya hanya untuk transit dan beristirahat sejenak sebelum melalui melanjutkan perjalanan menuju ke beberapa tempat yang menarik yang terdapat di sekitar Maumere.

Sementara itu Maumere yang memiliki potensi sedemikan besar mulai dari gunung, esotika alam lautnya, serta village heritage semestinya dapat perhatian khusus dari Pemerintah Kabupaten Sikka, bila saja pemerintah Kabupaten Sikka tidak bingung dalam menggarap potensi penyerapan PAD tentunya mereka akan mengembangkan potensi wisata, kedatangan turis manca yang sempat berbincang dengan saya tentang Sikka, ternyata tak hanya tertarik pada potensi alamnya namun mereka juga tertarik dengan angkutan tradisional yang melayani rute dari Maumere – Palue.

Pada jarak 13 km di Timur Maumere terdapat Waiara yang merupakan titik pangkal untuk menuju ke taman laut Maumere yang dulu pernah menjadi salah satu lokasi penyelaman yang paling indah di Indonesia sebelum hancur akibat gempa bumi tahun 1992, namun sesuai dengan pernyataan Simon Subandi, saat berbincang dengan Suara Flores, ini masih menjadi kontradiksi dalam pembahasan RAPBD pada 2011.

Namun demikian lokasi terumbu karang di sekitar Pulau Pemana di Pulau Besar di dekat Waiara masih dalam kondisi yang rusak akibat banyaknya pengeboman sehingga tak lagi menarik minat penyelam.

Di Barat Laut Waiterang terdapat Gunung Egon (1.703 m) yang merupakan gunung vulkanis yang mengeluarkan asap. Gunung ini dapat didaki dari Blidit dalam waktu kurang dari tiga jam. Blidit terletak 6 km dari Waiterang dengan menumpang angkutan umum. Namun hanya satu Pos pemantau aktifitas gunung ini masih menggunakan listrik milik warga, selain beberapa battery yang memang digunakan sebagai pembangkit alat pendeteksi gempa, padahal bahaya sudah di depan mata.

Sekitar 19 km dari Maumere, di jalan raya yang menuju ke Ende, terdapat museum yang memiliki koleksi benda-benda bersejarah asal Flores dan juga koleksi kain tenunan ikat langka, sayangnya dari pernyataan Viktor Nekur, warga setempat menyatakan bahwa “ banyaknya gading museum yang saat ini hilang, atau berganti dengan replika, seperti kejadian di Museum Solo,”katanya.

Sekitar 45 menit perjalanan dengan menumpang angkutan umum dari Maumere (27 km) terdapat sentra produksi tenun ikat lainnya yaitu di Sikka. Kota ini dulunya, pada abad ke-17, merupakan pusat pemukiman orang Portugis di Flores. Sebuah gereja tua yang dibangun pada tahun 1899 terdapat di Sikka.

Sekitar 4 km dari Sikka terdapat Lela yang merupakan tempat di mana banyak ditemui bangunan tua peninggalan kolonial dan juga sentra kerajinan tenun ikat. Lela memiliki kawasan pantai dengan pasirnya berwarna hitam.

Pada jarak 10 km di Timur Maumere wisatawan akan tiba di Geliting yang mana pada setiap hari Jum’at digelar pasar tradisional yang dikunjungi ribuan orang yang datang dari berbagai desa di wilayah ini. Di pasar ini banyak dijual aneka kain tenun ikat.

Sekitar 10 km di Timur Laut Wodong terdapat Nangahale yang merupakan desa yang cukup menarik karena masyarakat di sini pembuat kapal tradisional. Jalan yang menuju ke Nangahale akan melalui Patiahu, 33 km dari Maumere, yang merupakan kawasan pantai yang indah dengan pasirnya yang putih. Sayangnya dari pemerintah sendiri tidak memiliki banyak anggaran untuk memoles kecantikan Maumere yang berada di pulau Flores ini.

Bila saja konsep marhaenisme dijalankan pemerintah sebagai soko guru kemandirian, untuk menunjang perekonomian dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tentunya tidak justru menunggu banyak masyarakat yang sakit untuk menunjang pembangunan, payah.

Bila saja semua komponen pemangku jabatan yang ada mau untuk terbuka dan mengakui kekurangannya atas sumber daya manusia yang dimiliki, mungkin saja saran dan kritik juga masukan demi kemajuan Sikka bisa tergarap dengan apik (Wawan Nike/ Suara Flores).

*Pemerhati Sosial, tinggal di Maumere

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Tuesday, March 08 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---