Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Saturday 27 February 2010

Krisdayanti Kunjungi Keluarga Raul Di Maumere..




Aksi tutup mulut dilakukan sebagian besar keluarga Raul ketika ditanyai tentang keberadaan Raul Lemos bersama Krisdayanti (KD) di Hotel Sylvia Maumere. Keberadaan Raul bersama diva musik nasional tersebut tercium sejumlah media sehingga aksi tutup mulut pun terpaksa dilakukan. Sejak pagi, sejumlah media menongkrongi halaman dan loby Hotel Sylvia. Sumber dari Hotel Sylvia menyebutkan Raul bersama sang diva menginap di suite room hotel tersebut. Kedatangan KD dan Raul terkesan sangat tertutup dan keduanya berusaha menghindari kejaran wartawan. Dimaklumi bahwa akhir-akhir ini keduanya menjadi target buruan infotainment dimana saja berada. Seperti di Maumere, dikala bersama tak akan pernah terlihat KD dan Raul berdiri atau duduk berdekatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari spekulasi diluar yang hadir dalam tayangan video maupun foto. Krisdayanti bersama Raul chek-in dengan mengatasnamakan Aleksander, demikian informasi Hotel Sylvia. Sedangkan menurut sejumlah sumber, Raul dan KD datang besama 2 orang pengawalnya.

Kedatangan kedua pasangan yang menghebohkan panggung hiburan tanah air akibat perselingkuhan tersebut menggunakan pesawat Merpati Air Lines hari Jum’ad sekitar pukul 16.00 Wita. Dari Bandara Wai Oti Maumere tersebut, Raul dan Krisdayanti yang dijemput keluarga Raul langsung menuju Desa Nita dimana keluarga Raul menetap. Desa Nita yang berhawa sejuk, berjarak sekitar 6 Km dari Kota Maumere. Di desa kecil inilah keduanya nampak terlibat makan bersama dengan sejumlah keluarga Raul. KD terlihat sangat akrab dan terlibat berbincang hangat dengan keluarga Raul. KD selalu menebarkan senyum khasnya kepada keponakan dan para sepupu Raul. Raul dimasa mudanya pernah menetap bersama sepupu kandungnya bernama Anyang di Desa Nita demikian keterangan sejumlah warga yang tinggal didekat rumah Anyang.

Dari Nita, anggota dari kelompok vokal 3 Diva yang dicerai oleh Anang karena diketahui berselingkuh dengan Raul tersebut kemudian meluncur ke Kota Maumere untuk menginap di Hotel Sylvia. Dari sinilah kabar tentang kedatangan keduanya kemudian tercium. Mulailah sejak pagi hari Sabtu (27/02/2010) hotel tersebut didatangi para pemburu berita, bahkan sejumlah fansnya mulai terlihat memenuhi lobby hotel.

Gerakan tutup mulut yang dilakukan oleh keluarga Raul menyulitkan para pencari berita. Informasi simpang siur tentang aktifitas KD dan Raul di Maumere begitu membingungkan. Sedangkan KD dan Raul tak berani menunjukan batang hidung mereka. Tutup mulut yang dilakukan oleh keluarga Raul bahkan juga dilakukan oleh beberapa karyawan hotel. Hanya kata ‘tak tahu’ yang keluar dari mulut mereka.

Sekitar pukul 15.00, terdengar kabar, KD dan Raul meluncur ke Pekuburan Iligetang Maumere. Keduanya dikabarkan akan berziarah dimakam salah seorang keluarga Raul. Namun sayang ketika tiba di pemakaman tersebut, keduanya sama sekali tak ada. Yang terlihat hanya sejumlah keluarga Raul yang sedang bersembayang dimakam tersebut. Ketika salah seorang keluarga Raul ditanya tentang keberadaan KD dan Raul, yang terdengar hanya kalimat membingungkan, “Krisdayanti?? Siapa tuh?”.

Aksi main kucing terus berlanjut ketika kemudian terdengar kabar Raul, pengusaha asal Timor Leste tersebut sedang makan bersama KD di Golden Fish Resto. Ketika meluncur, kabar baru masuk, KD dan Raul masih berada di Sylvia. Di Hotel tersebut, para fansnya telah bubar akibat menunggu sang idola yang tak berani menampakkan batang hidungnya tersebut.

Mendekati pukul 16.30, terlihat sebuah mobil Kijang yang membawa KD dan Raul melaju dari halaman belakang hotel, terlihat keduanya duduk berdampingan dibangku tengah mobil tersebut. KD nampak mengenakan kaca mata hitam, informasi yang diterima keduanya menuju Bandara Wai Oti untuk segera meninggalkan Maumere. Kedua pasangan tersebut akhirnya benar-benar meninggalkan Maumere, kurang sehari dari rencana semula. Dari sikap mereka, terlihat KD dan Raul begitu ‘ketakutan ketahuan’ sehingga harus menggunakan pengawalan dari Polres Sikka ketika sejam lagi akan chek-out dari hotel.

Kedatangan RAUL bersama KD ke Maumere diketahui untuk mengunjungi keluarga Raul di Desa Nita sekaligus nyekar di makam saudaranya. Raul adalah pengusaha sukses asal Timor Leste kelahiran Atambua, Timor Barat, NTT. Raul juga adalah suami yang beristri sah bernama Artha, perkawinan keduanya dikaruniai 4 orang anak. Sedangkan KD beranak 2 hasil perkawinan dengan sang musisi Anang. Raul dan KD terlibat perselingkuhan yang mengakibatkan KD dicerai oleh Anang. Kemana saja keduanya berada akan menjadi komsumsi pers infotainment nomor satu. Begitu pula kehadiran mereka di Kota Maumere ini.

KD, coba pintu belakang hotel

bercengkerama di hotel





Thanks buat Lily,ety n Wento atas foto-fotonya...
www.inimaumere.com




Selengkapnya...

Thursday 25 February 2010

Soemana Pitu Band, Anti Ketidakadilan


Kumpulan anak muda ini bermarkas di lantai dua pada sebuah rumah kosong. Jika malam tiba cuma lampu petromak dan beberapa batang lilin menjadi penerang. Menuju lantai dua juga harus berhati-hati, ada tangga yang bukan tangga. Ini menjadi jembatan ala kadarnya untuk bertamu. Lantai dua yang remang-remang tersebut adalah Bangsal 13 alias Tingkat Gelap, tempat nongkrong sekaligus rumah menemukan ide-ide segar dalam bermusik.
Bangsal ini beralamat di Jalan Dahlia Perumnas, Kota Maumere. Ketika pertama kali bermain kesana, sempat repot juga melewati ‘ tangga’ tersebut. Diatas sana para musisi beraliran musik yang memekakkan telinga ini sedang asik berkulababong (duduk berbicara). Tak lupa ada sebotol moke dan dentingan gitar melewati malam minggu. Supraise juga ketika inimaumere.com ditawari seteguk moke, mmhh katanya biar lebih asik.

Soemana Pitu Band diisi oleh Gondhez (vokal), Bung’Or (Gitar I), Jupe (Gitar II), Gomez (Bassist), Eman (Drum). Band ini dimanajeri Luis, lelaki flamboyan yang dihormati oleh anak-anak Soemana Pitu. Lahirnya nama Soemana Pitu Band pun cukup unik. Menurut Gomez, nama band ini tercipta karena kecintaan terhadap bahasa lokal.(?)

”Kang Ded alias Dedi Pareira (penyiar Radio Suara Sikka Maumere) yang mengusulkan nama ini, katanya biar lebih kelokal-lokalan,” terang Gomez. Lanjut Gomez, setelah mendengar dari Kang Ded, ia dan teman-temannya akhirnya berpikir untuk mengenakan nama lokal dalam band mereka. Maka terbentuklah Soemana Pitu Band. Label Soemana Pitu pertama kali tercantum saat mengikuti Parade Band Djarum LA Light’s akhir Oktober 2009. Tak tanggung-tangung, tampil dengan nama baru Soemana Pitu Band ternyata menyabet juara kedua di event tersebut.

Dalam bahasa Sikka, Soemana Pitu berarti Pekan Ketujuh wafatnya seseorang.

Soemana Pitu mengklaim aliran musik mereka adalah Indenpendent Music For Life.
Apapun itu, Soemana Pitu Band tetaplah pioner yang menjadi salah satu ujung tombak lahirnya musik underground di tanah Sikka. “Kami ingin menjadikan Sikka sebagai barometer musik rock di Flores bahkan NTT,”kata Gondhez sang vokalis.

Mereka berlima sebenarnya berlatarbelakang musik dari aliran berbeda seperti underground, blues, reggae dan rock namun bersatu dalam sebuah payung bernama Soemana Pitu Band. Kehadiran Soemana Pitu Band yang mengusung musik keras ini sebenarnya bukanlah hal baru. Sebagai musisi, mereka telah lama malang melintang di jagad musik Kota Maumere, menjadi band yang selalu meneriakan  ketidakadilan dinegeri ini.

Tanggal 2-6 maret 2009, Soemana Pitu Band akan turut hadir di Festival Rock se-Flores-Lembata di Kota Ende, sebuah festival rock yang baru pertama kali diadakan di daratan Flores dengan bintang tamu rocker nasional Roy Jeconiah.
“Kami berharap bisa membawa nama Sikka menjadi harum. Sungguh meski kami cumalah anak-anak yang dicap tak terurus dan slengean tapi bagi kami mengharumkan Sikka dengan cara kami adalah sebuah bentuk panggilan,”ungkap Bung’Or. “Kami minta dukungan dari masyarakat Sikka dimana saja berada,”tambah Bung ‘Or.

Band yang sama sekali tak memiliki dana sepeserpun ini mengaku setiap kali akan naik panggung harus bersusah payah mencari donatur.

”Jujur saja, masuk pintu satu, gedor pintu sana sudah menjadi bagian kami menghidupkan band ini. Kami tak malu, untuk apa? Meski terlihat miskin tapi kami anti kejahatan, kami adalah anak-anak Sikka yang ingin didengarkan suara hati kami lewat lagu dan talenta kami,” tambah Bung Or yang garang jika tampil diatas panggung.

Lantas kenapa tak mencoba meminta dukungan dari pemerintah kabupaten? Mereka tertawa..”Bosan..proposal kami sudah ditolak berulang-ulang. ”ujar Gomez sambil ketawa.

Sedangkan Luis, sang manajer yang mendampingi rekan-rekannya cuma berharap agar Soemana Pitu band bisa tampil maksimal dan mampu menjuarai Festival Rock tersebut. “Saya yakin band ini akan bermain baik untuk mengharumkan nama Sikka di festival tersebut.”
Luis melihat band ini memiliki semangat tinggi untuk menjadi band yang disegani di blantika musik Flobamora. "Mereka memiliki segudang bakat yang besar dalam bermusik,"
ujar Luiz

“Untung saja para fans dan simpatisan Soemana Pitu di Kota Maumere masih peduli terhadap kelangsungan Soemana Pitu Band,”tambahnya.

Komunitas musisi punk dan underground Sikka berada dalam satu wadah yang telah terbentuk 8 tahun yang lalu. Komunitas itu bernama FORKAM ( Forum Komunitas Kaum Termarjinal Cinta Kebebasan).
FORKAM menghidupkan kaum marjinal kota ini, dan kebanggaan mereka adalah ketika mereka bisa menyuarakan kata hati, kebebasan dan mengkritisi ketidakadilan di negeri ini yang dirasakan tak berpihak pada rakyat kecil. "Kami cinta Indonesia.."ungkap Gondhez..

Soemana Pitu Band juga telah memiliki banyak lagu-lagu ciptaan sendiri. Biasanya bercerita tentang kehidupan pribadi dan juga kritik terhadap penindasan kaum miskin Indonesia..

Anak-anak Soemana Pitu ini cukup ramah. Lihat saja ketika inimaumere.com akan pamit pulang masih sempet juga ditawari ikut sebuah acara. “Bang, jangan pulang dulu, kita main Jelangkung baru pulang eee...” teriak Eman. Terang aja, secepat kilat kotir (kabur) dari tempat keramat tersebut hehehe..

Soemana Pitu Band, suarakan terus suaramu..bahkan dipanggung-panggung manapun..........!!







Ki-ka: Gondhez, Jupe, Gomez, Eman, Bung Or


Bangsal 13


Soemana Pitu Band on Facebook


www.inimaumere.com


Selengkapnya...

Monday 22 February 2010

Saatnya Menuju Pantai Kajuwulu dan Tanjung..




Pantai berpasir putih, bersuasana tenang, lautnya bersih, biru dan bening, disertai pemandangan alam disekitarnya yang indah selalu menjadi tempat yang dicari-cari oleh siapa saja. Begitu pula Oss dan Boim. Tak ada habisnya berkelana dari satu pantai kepantai lainnya dan mengabadikan keindahannya kedalam blog ini. Kali ini Pantai Kajuwulu dan Tanjung yang didatangi. Keduanya memiliki pemandangan indah dan terkenal sejak lama, berada dipesisir pantai utara Kabupaten Sikka, Flores searah barat dari Kota Maumere. Kalau berkendaraan cuma memakan waktu tak sampai sejam dari kota.

Pesisir pantai yang memiliki pasir putih dibeberapa tempat ini berhadapan langsung dengan bukit-bukit tandus yang berdiri garang didepannya (nampak hijau ketika musim hujan tiba). Bukit-bukit natural yang berdiri kokoh ini seakan turut menambah keindahan lukisan alam.

Pantai-pantai disepanjang jalur pantura ini sejak lama telah menjadi tempat bertamasya masyarakat Kota Maumere, khususnya pada hari libur. Tak hanya para keluarga, komunitas, anak-anak remaja pun tak ketinggalan berpiknik ria ke tempat ini sambil memadu kasih, berkencan dengan pasangannya.

Yap, keindahannya yang sangat alamiah memungkinkan kita untuk membuang segala perasaan membosankan ketika sepekan beraktifitas. Tempat ini kami rekomendasikan sebagai titik-titik yang pantas didatangi dihari libur khususnya bagi yang bertempat tinggal di Kota Maumere dan sekitarnya. Selain itu jika dioptimalkan, pantai-pantai indah ini berpeluang mengangkat kehidupan ekonomi masyarakat setempat.

Yokk lihat fotonya..










www.inimaumere.com


Selengkapnya...

Sejarah, Pemujaan dan Rasa Musikal Orang Flores

Oleh Yoseph Yapi Taum

Sejarah Flores
Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis "Cabo de Flores" yang berarti "Tanjung Bunga". Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau Ular). Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores.

Pulau Flores, Alor dan Pantar merupakan lanjutan dari rangkaian Sunda System yang bergunung api. Flores memiliki musim penghujan yang pendek dan musim kemarau yang panjang. Daerah Pulau Flores meliputi sembilan kabupaten, yakni Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Ngadha, Nagakeo, Ende, Sikka, Flores Timur, dan Lembata.

Agama-agama Asli di Flores

Kristianitas, khususnya Katolik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat kota Larantuka. Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik.

Meskipun kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara (lihat Muskens, 1978)-- sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi asli warisan nenek-moyang. Di samping itu, unsur-unsur historis, yakni tradisi-tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai di beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran.

Untuk dapat mengenal secara singkat gambaran agama-agama di Flores, Tabel 1 mendeskripsikan 'wujud tertinggi' orang Flores. Tabel itu menunjukkan bahwa orang Flores memiliki kepercayaan tradisional pada Dewa Matahari-Bulan-Bumi. Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman hidup mereka yang agraris, yang hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman) (Fernandez, 1990). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang Flores sungguh-sungguh berharap pada penyelenggaraan Dewa Langit dan Dewi Bumi.

Wujud Tertinggi Orang Flores

Flores Timur, Wujud Tertinggi Lera Wulan Tanah Ekan (Matahari-Bulan-Bumi)

Lembata = Lera Wulan Tanah Ekan (Matahari-Bulan-Bumi)

Sikka = Ina Niang Tana Wawa// Ama Lero Wulang Reta (Bumi-Matahari-Bulan)

Ende/Lio = Wula Leja Tana Watu (Bulan-Matahari-Bumi)

Ngadha = Deva zeta-Nitu zale (Langit-Bumi)

Manggarai = Mori Kraeng, bergelar: Tana wa awang eta//Ine wa ema eta (Tanah di bawah, langit di atas)



Selain itu, hampir semua etnis masyarakat Flores memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu, lengkap dengan altar pemujaannya yang melambangkan hubungan antara alam manusia dengan alam ilahi. Tabel 2 menunjukkan altar tempat upacara ritual orang Flores.

Tempat Pemujaan Orang Flores

Flores Timur - Nuba Nara (Menhir dan Dolmen)

Lembata - Nuba Nara (Menhir dan Dolmen)

Sikka - Watu Mahe (Menhir dan Dolmen)

Ende/Lio - Watu Boo (Dolmen)

Ngadha - Vatu Leva - Vatu Meze (Menhir dan Dolmen)

Manggarai - Compang – Lodok (Menhir)


Altar yang disebutkan dalam di atas merupakan tempat dilaksanakannya persembahan hewan korban dalam upacara ritual formal, misalnya: upacara panen, pembabatan hutan, pendirian rumah, perkawinan adat, dan sebagainya. Upacara ritual itu sendiri menduduki posisi penting sebagai sarana pembentukan kohesi sosial dan legitimasi status sosial. Ritus persembahan di altar tradisional itu mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial di Flores.

Catatan tentang Rasa Musikal Orang Flores

Sekalipun di Flores tidak banyak ditemukan alat-alat instrumen musik, rasa musikal orang Flores tergolong cukup istimewa. Hal ini dapat dilihat dalam pandangan Max Weber, yang dikutip dari J. Kunst (1942) berikut ini.

“Of musical instruments I did not see much, although, as a matter of fact, the population of Flores seemed to me to be more musically talented than the kindred Indonesian tribes whose acquaintance I made in Sumatra, Java and Celebes, where I never heard any tolerable voices sing agreeable melodies. It was different in Flores. Many a sonorous male voice, rendering simple songs at the river bank, still sounds in my ears; melodies which might well please the European ear, too. And where is the Florinese who could paddle without singing his pantuns, complete with soli and refrain sung in chorus? Among these soloists there were some voices that might, with better training, have been turned out as good tenor, soprano and bass voices. But this hardly seems to me to apply to the treble voices of the genuine Malay people, including the Buginese and Macassarians. It would seem that we have here to do with a morphological distinction in the vocal means of expression, which may well amount to a support of my view concerning the kinship of the Florinese with tribes living further east” (p. 32).

Berikut ini terjemahan selengkapnya kutipan di atas.

“Tentang musik instrumen saya tidak banyak menemukan, tetapi adalah sebuah fakta bahwa penduduk Flores memiliki bakat musikal yang lebih dibandingkan suku-suku bangsa Indonesia lainnya yang saya jumpai di Sumatra, Jawa dan Sulawesi. Saya tidak pernah mendengar suara nyanyian yang kompak dan serasi dengan melodinya. Ini berbeda di Flores. Banyak terdengar suara pria yang dalam, gema nyanyian di sepanjang sungai, tetap terngiang-ngiang di telingaku, melodinya menyenangkan telinga Eropa juga. Dan di manakah orang Flores yang berjalan tanpa menyanyikan pantunnya, lengkap dengan solo dan refrainnya dalam koor? Di antara penyanyi-penyanyi solo ini, terdapat beberapa suara yang, dengan latihan yang lebih baik, akan menjadi penyanyi tenor, sopran dan bass yang baik. Tetapi hal ini jelas hampir tidak terlihat pada suara penduduk Melayu asli, termasuk Bugis dan Makasar. Barangkali inilah pembedaan morfologis dalam ekspresi vokal, yang mendukung gagasanku tentang kekeluargaan di Flores dengan suku-suku yang hidup di timur jauh" (h. 32).

Orang Flores, seperti terungkap dalam kutipan di atas, memiliki bakat musikal yang sangat tinggi, khususnya dalam nyanyian koor. Sebagian (kecil) lagu-lagu Flores sudah diakomodasikan dalam liturgi dan sudah termuat dalam buku Madah Bhakti. Tetapi buku ini kurang disenangi di Flores karena kurang variatif dan terasa seperti menekan kreativitas.
Masih ada satu hal yang penting menjadi catatan. Jika orang Flores, menurut Max Weber, mempunyai bakat musikal yang sangat tinggi, pertanyaannya adalah, mengapa tidak ada orang Flores yang kemudian menonjol sebagai penyanyi nasional? Adakah kendala budaya yang menghambat pencapaian ini?

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Friday 19 February 2010

RPM Konten Multimedia, Benarkah sebuah Ancaman?

Selain menafikan UUD dan UU, yang notabene secara tata urutan perundangan berada di atas Peraturan Menteri, RPM ini jelas mengintervensi terlalu jauh aspek kehidupan personal warga, termasuk pengambilan keputusan personal. Pasal 5, misalnya, melarang Penyelenggara mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Konten yang mengandung muatan mengenai tindakan yang merendahkan keadaan dan kemampuan fisik, intelektual, pelayanan, kecakapan, dan aspek fisik maupun non fisik lain dari suatu pihak. Pendek kata, Pasal 3 sampai Pasal 7 yang isinya mengenai Konten yang dilarang, sebenarnya tumpang-tindih dengan regulasi yang sudah diatur oleh UU lain, baik itu KUHP, UU Anti Pornografi maupun UU lainnya.
Padahal maraknya internet tak lepas dari kian meningkatnya hasrat warga masyarakat menyampaikan aspirasinya. Mayoritas isi dari internet atau multimedia adalah aspirasi warga, dan merefleksikan kondisi riel di masyarakat.

Kalau ada yang salah dari posting mereka, misalnya buruknya pelayanan publik sebagaimana kasus yang menimpa Prita Mulyasari, maka yang perlu diperbaiki adalah pelayanan publiknya. Bukan menyensor apalagi melarang informasi itu disampaikan via medium multimedia..
simak telaahan Uni Z Lubis, wartawan dan Anggota Dewan Pers 2010-2013 di halaman ini mengenai ancaman RPM Konten.

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
AKHIR-AKHIR INI pelaku dunia multimedia dikejutkan dengan Rancangan Peraturan Menteri atau RPM tentang konten multimedia. Ada yang mengatakan pemerintah tak perlu mengatur mengenai konten internet. Yang lebih tepat dilakukan adalah melakukan “self control”, baik pada para pengguna maupun penyelenggara. Masyarakat sudah cerdas, sudah bisa membedakan mana yang harus dikonsumsi dan mana yang tidak.
Namun pemerintah meyakinkan RPM itu tidak akan represif karena ibarat sungai fungsinya hanya seperti cek dam. Kepala Humas Depkominfo Gatot Dewa Broto membantah Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Konten Multimedia akan represif seperti didengungkan banyak pihak. Ia mengatakan RPM itu justru untuk meminimalisir dampak negatif dari layanan multimedia internet dan menjadi pedoman bagi penyelenggara jasa multimedia.

"Multimedia yang dimaksud adalah internet. Tidak ada hubungan dengan kebebasan pers. Multimedia merupakan salah satu bentuk layanan sistem elektronik yang digunakan untuk penyiaran dan teknologi informatika," jelas Gatot.

Sedangkan Dewan Pers menyatakan, rancangan peraturan menteri atau RPM tentang konten multimedia yang akan dibahas oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bertentangan dengan UUD 1945, UU Pers, dan UU Penyiaran.
“Dewan Pers menganggap RPM konten bertentangan dengan UU Pers, UU Penyiaran, dan UUD 1945 Pasal 28 yang menyatakan kemerdekaan berpendapat,” kata salah satu anggota Dewan Pers, Zulfiani Lubis.
“UU Pers dalam pasal 4 ayat 2 menyatakan pers tidak dikenakan, baik pembredelan, penyensoran, maupun pelarangan penyiaran. Oleh karena itu, baik pemerintah maupun Kominfo tidak boleh membredel pers,” katanya.

Namun pemerintah membantah, pemerintah menegaskan rancangan peraturan menteri (RPM) tentang konten multimedia tidak akan memberangus pers. Konten multimedia yang dimaksud adalah isi dari internet.

Ada sejumlah konten yang dilarang dalam RPM ini, begitu juga kewajiban mengikat bagi penyelenggara jasa multimedia untuk mengontrol kontennya. Padahal pakar IT DR. Onno. S. Purbo mengatakan, secara teknis hal ini sulit dilakukan, mengingat di dunia multimedia, konten berarti aliran ribuan bahkan jutaan informasi yang sulit dimoderasi.

***

Yoook kita baca tulisan Uni Z Lubis, wartawan dan Anggota Dewan Pers 2010-2013 mengenai ancaman RPM Konten Bagi Kemerdekaan Pers.

Sebagian dari konten dari RPM Konten yang terdiri dari 32 pasal ini, pada bagian konsideran, RPM ini memajang enam Undang-undang, dua Peraturan Pemerintah dan dua Keputusan Menteri. UU No 40/1999 Tentang Pers dan UU No 32/2002 Tentang Penyiaran termasuk dalam konsideran.

RPM ini mendefinisikan “Konten” sebagai substansi atau muatan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang mencakup seluruh suara, tulisan, gambar baik diam maupun bergerak atau bentuk audio visual lainnya, sajian-sajian dalam bentuk program, atau gabungan sebagiannya dan/atau keseluruhannya.

Sementara “Multimedia” adalah Sistem Elektronik yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsi Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi. RPM mendefinisikan “Konten Multimedia” sebagai Konten yang dimuat, didistribusikan, ditransmisikan, dibuat dapat diakses dan/atau disimpan melalui atau dalam Perangkat Multimedia.
Dari konsideran, maupun definisi, jelas bahwa produk media cetak dan media penyiaran akan terkena pengaturan dalam RPM ini. Sebagian dari surat kabar dan majalah saat ini sudah memiliki versi online, atau e-paper, begitu juga media online yang sudah memasukkan konten visual, bahkan bekerjasama dengan televisi sebagai pemasok konten (seperti yang dilakukan Grup VIVA, melalui kerjasama antara www.vivanews.com dengan tvONE dan antv).

Pembuat naskah RPM Konten ini menafikan hadirnya Konvergensi Media yang baru saja dibahas dan diamini oleh Menteri Tifatul Sembiring pada Konvensi Media Nasional yang diselenggarakan dalam rangka Hari Pers Nasional di Palembang, tanggal 8 Februari lalu. Dalam diskusi itu pembicara dari radio bahkan mengungkapkan betapa dengan alat sederhana dan klik internet, kita bisa menikmati 5.000-an siaran radio di Amerika Serikat!

Apakah Depkominfo berhak meregulasi (baca: menyensor) konten media cetak dan media penyiaran, sebagaimana nuansa dari RPM ini? Jawabnya jelas: TIDAK. UU Pers menjamin kemerdekaan pers sebagai hak dasar dari masyarakat. Pasal 4 ayat (2) dari UU Pers menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak boleh ada sensorsip, pembredelan maupun larangan penyiaran. Penjelasannya pun jelas, dengan tambahan bahwa bagi transmisi informasi di luar produk jurnalistik akan diatur dengan peraturan tersendiri.

Produk jurnalistik yang dipublikasi baik melalui media cetak maupun media elektronik tunduk kepada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik Indonesia, dimana menurut Pasal 15 UU Pers, tugas ini dijalankan oleh Dewan Pers yang independen. Dari sisi penyiaran, UU Penyiaran memberikan kewenangan pengaturan Isi Siaran kepada Komisi Penyiaran Indonesia, sebuah komisi independen yang menurut Pasal 8 UU Penyiaran berhak menetapkan standar program siaran, menyusun peraturan dan menerapkan pedoman perilaku penyiaran, mengawasi pelaksanaan peraturan yang dibuatnya serta memberikan sanksi atas pelanggaran standar program siaran dan pedoman perilaku penyiaran.

Jelas UU Pers maupun UU Penyiaran tak memberikan kewenangan secuilpun bagi Pemerintah c.q Depkominfo mengatur konten media, baik itu media cetak maupun media elektronika, dan pada gilirannya media internet manakala konten cetak dan elektronika itu disajikan di sana sebagai bagian dari pelaksanaan konvergensi. Khusus mengenai produk jurnalistik bahkan sudah ada kesepakatan antara KPI dan Dewan Pers, bahwa Dewan Pers lah yang berwenang mengawasi konten media, serta memberikan sanksi bagi pelanggaran UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

RPM ini menyerahkan wewenang menentukan Konten itu dilarang atau tidak kepada sebuah Tim Konten Multimedia beranggotakan 30 orang, separuh diantaranya dari unsur pemerintah dan separuh dari unsur masyarakat yang berkualifikasi ahli atau profesional, dan dipimpin oleh Direktur Jendral terkait di Depkominfo. Nuansa “jadul” alias jaman dulu kental di sini.

RPM ini sarat larangan, dan memberikan beban berat bagi “Penyelenggara” jasa layanan multimedia, dalam hal ini termasuk penyelenggara jasa Telekomunikasi yang menawarkan layanan berbasis Teknologi Informasi meliputi jasa akses internet dan penyelenggara jasa multimedia lainnya.

Pasal 7 dari RPM Konten misalnya mengatur hal yang bertentangan dengan hak dasar rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen yang berbunyi: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Padahal Pasal 7 RPM Konten melarang Penyelenggara mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Konten yang mengandung: “muatan privasi, antara lain Konten mengenai isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang, riwayat dan kondisi anggota keluarga; riwayat dan kondisi anggota keluarga; riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan, kesehatan fisik dan psikis seseorang, kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang, hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas dan rekomendasi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan non formal”.

Bagaimana dengan pemberitaan media termasuk media internet soal riwayat kesehatan dan pengobatan mantan Presiden Soeharto dan mantan Presiden Gus Dur? Melangggar? Apakah media tak boleh memuat kekayaan pejabat publik? Padahal UU Pemberantasan Korupsi yang menjadi dasar bekerjanya Komisi Pemberantasan Korupsi mewajibkan pejabat publik melaporkan kekayaannya kepada publik? Bukankah rakyat berhak tahu kapabilitas dan intelektualitas calon pemimpinnya? Dan apa salahnya jika seseorang ingin mengumumkan lewat multimedia mengenai kemauan terakhir ataupun wasiatnya?

Selain menafikan UUD dan UU, yang notabene secara tata urutan perundangan berada di atas Peraturan Menteri, RPM ini jelas mengintervensi terlalu jauh aspek kehidupan personal warga, termasuk pengambilan keputusan personal. Pasal 5, misalnya, melarang Penyelenggara mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Konten yang mengandung muatan mengenai tindakan yang merendahkan keadaan dan kemampuan fisik, intelektual, pelayanan, kecakapan, dan aspek fisik maupun non fisik lain dari suatu pihak. Pendek kata, Pasal 3 sampai Pasal 7 yang isinya mengenai Konten yang dilarang, sebenarnya tumpang-tindih dengan regulasi yang sudah diatur oleh UU lain, baik itu KUHP, UU Anti Pornografi maupun UU lainnya.

Sanksi bagi Penyelenggara yang mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Konten yang dilarang diatas adalah sebagai mana diatur dalam Pasal 30 RPM Konten, yakni Saksi Administratif berupa teguran tertulis, denda administratif, pembatasan kegiatan usaha dan /atau pencabutan ijin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dan lebih parah lagi, pengenaan sanksi di atas tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana, sesuatu hal yang ditolak keras oleh kalangan pers.

Tersiar kabar bahwa naskah RPM ini dibuat tahun 2006, ketika Menteri Tifatul belum menjabat Menkominfo, dan jabatan itu dipegang Prof. Muhammad Nuh. Fakta ini, kalaupun benar, tidak menghilangkan kritik atas kepemimpinan dan visi dari Menteri Tifatul yang menggunakan naskah “jadul” dan tidak visioner sebagai bahan uji publik.

Dengan asumsi bahwa pembuat RPM ini adalah birokrasi Depkominfo, dan orang-orang yang sama saat ini, jelas pola pikir birokrasi Depkominfo belum banyak beranjak dari paradigma jaman otoritarian Orde Baru yang cenderung tak rela dengan kemerdekaan pers.

Padahal kemerdekaan pers itu sendiri sudah dibatasi pula oleh UUD Pasal 28J ayat (1) berbunyi: "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara", serta ayat (2): "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Hasrat mengatur konten multimedia, meregulasi konten internet, bukan hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara, terutama negara komunis atau negara yang dikelola secara tidak demokratis keinginan itu muncul terutama dari kalangan konservatif yang terganggu oleh informasi yang bergentayangan di internet.

Padahal maraknya internet tak lepas dari kian meningkatnya hasrat warga masyarakat menyampaikan aspirasinya. Mayoritas isi dari internet atau multimedia adalah aspirasi warga, dan merefleksikan kondisi riel di masyarakat.

Kalau ada yang salah dari posting mereka, misalnya buruknya pelayanan publik sebagaimana kasus yang menimpa Prita Mulyasari, maka yang perlu diperbaiki adalah pelayanan publiknya. Bukan menyensor apalagi melarang informasi itu disampaikan via medium multimedia.(dari berbagai sumber)

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

Tuesday 16 February 2010

Administrasi Kepemerintahan Kabupaten Sikka Dalam Sejarah

Kabupaten Sikka mempunyai sejarah yang khas dengan sarat pergolakan. Seperti daerah lainnya, bumi air Sikka juga diruangi makhluk yang lahir dari perut buana, yang datang dari seberang lautan atau jelmaan dari jenis-jenis tumbuhan atau binatang tertentu. Dalam zaman sejarah, Sikka juga tak lepas dari bangsa-bangsa dari seberang. Namun yang khas ialah saat Portugis meningkalkan jejak dalam pengelolaan kekuasaan dan kebudayaan. Kenyataan mana kemudian jadi fondasi Kabupaten Sikka yang dikenal sekarang, lahir dan berkembang melalui pergolakan demi pergolakan.

Sebelum Portugis, Belanda, dan Jepang, Sikka sudah mempunyai sistem pemerintahan lokal. Pada masa kekuasaan Mbengu-Paga (dua nama pemimpin awal) sudah dikenal sistem pemerintahan yang disebut Ria Bewa Resi Langga dengan baitannya: Ria sai ae meti, Bewa sai watu dusu.
Secara bebas dapat diartikan sebagai "Yang besar dan berkuasa sejak tanah dan batu ada di perut bumi".
Mbengu di Mbengu bertugas menangani urusan dalam. Sedangkan adiknya, Paga, turun di Puu Boro (yang kemudian diubah jadi Paga) untuk urusan-urusan ke luar menghadapi para pendatang. Kehadiran orang Portugis yakni de Hornay dan da Costa semakin memberi arah kehidupan masyarakat Paga-Mbengu (Mbengu-Paga) dalam hal keagamaan dan pemerintahan. De Hornay kemudian ke Larantuka (tak jelas apakah setelah sampai di Paga, atau di Sikka baru ke Larantuka atau memang langsung dari Lifao (Oekusi, sebuah enklaf di Timor Barat sekarang, dulunya wilayah Portugis dan kini menjadi bagian Timor Leste) ke Larantuka. Sementara da Costa terus ke Sikka dan Paga.

De Hornay (de Ornay) kemudian dikenal sebagai sebuah klan di Larantuka hingga sekarang, sementara da Costa terus berketurunan di Paga, seperti D. Juang da Costa.

Da Costa tercatat penyebar agama (Katolik) juga adalah penguasa utusan Portugis. Karena mampu memberantas para penjahat yang sebelumnya sangat menakutkan masyarakat Paga-Mbengu, maka da Costa digelari "Raja Muda dari Paga".
Di Paga, da Costa dikenal juga dengan sebutan Ratu Raja. Beliau bertugas sebagai penguasa pelabuhan (selain sebagai guru agama) sepanjang Paga dan Kaliwajo. Dan turunan inilah kemudian dikenal Kolombeke serta Lakorai da Costa serta keluarganya yang masih berkembang sampai kini.

Sistem pemerintahan semakin menajam ketika tahun 1860, Raja Sikka, Thomas Mbo da Silva melantik Kolombeke da Costa sebagai Commandanti di Paga untuk seluruh wilayah perbatasan di sebelah Barat.

Di Sikka, menurut tradisi lisan/oral history berbentuk sastera lisan, Naruk Kleteng Latar-Naruk Du'a Mo'an(g) dan Blake Hara, bahwa Sikka purba dibangun Ata Teri Niang Era Tana -yang artinya "Bapak Pengasal Tanah" yang disebut juga Ata Bekor atau Ata Tawa Tana- bernama Mo'ang Ria, Mo'ang Ragha, dan Mo'ang Guneng (Guniang). Selain Ata Bekor terdapat juga Mo'ang RaE Raja dan isterinya Du'a Rubang Sina dari Buang Gala Wawa (Benggala/Bangladesh).

Keturunan dan pasangan purba inilah yang kemudian jadi peletak dasar Kerajaan Sikka. Tiga tokoh utama yang dikenal sebagai peletak dasar kerajaan itu ialah Bata Mo'ang Jatti Jawa, Mo'ang La'i Igor, dan Mo'ang Bagha Ngang. Namun tiga tokoh ini belum memakai gelar raja, tapi dengan sapaan kebesaran Mo'ang Ina Gete Ama Gahar.

Raja Sikka yang memakai gelar raja secara resmi ialah Mo'ang Alessu dengan gelar Raja Mo'ang Ratu Don Alexius Alessu Ximenes da Silva. Gelar ini diperolehnya setelah mengadakan perjalanan kontroversial "mencari dunia tanpa kematian" atau niang loguk ganu ular, Lana kokah ganu ko'at ke Tana Bara, Malaka, di tahun 1607 (sesuai dengan angka yang tertera di mahkota kerajaan).

Namun jauh sebelumnya, Sikka sudah mempunyai sistem pemerintahan lokal di masa Mo'ang Baga Ngang dengan lembaga yang dikenal sebagai Mo'ang puluh (10 kelompok). Ini adalah upaya mengembangkan kekuasaan yang telah ditanamkan Mo'ang Bata Jawa yang dikenal dengan sebutan kebesaran Ina Gete Ama Gahar. Kekuasaan mana yang dibaitkan secara sakral sebagai: Ratu egong natakoli, Mole kelii samba, Ulu kowe Jawa, Eko leka Lambo.
Ulu ata mae gete, eko ata mae sete. Kekuatan serta kekuasaan yang semakin ditata Mo'ang Alessu sekembali dari Malaka dengan gelar Raja Mo'ang Ratu Don Alexius Alessu Ximenes da Silva..

Catatan krusial mengenai Raja Mo'ang Ratu Don Alexius Ximenes da Silva ialah bahwa tokoh inilah yang meletakkan dasar pemerintahan secara permanen sekaligus sebagai yang pertama membangun bumi Sikka sebagai "Bumi Katolik" seperti dikenal sampai sekarang. "Agama Raja adalah agama rakyat" yang dilakukan Portugis -berdasar hak patronus dari Paus- ke seluruh dunia, dilakukan dengan sangat berhasil oleh Raja Alessu di Sikka.

Sebagai seorang pemimpin, Don Alessu berusaha menata pemerintahannya. Setelah bermusyawarah dengan para Mo'ang puluh, Don Alessu membentuk Dewan Kapitan sebagai Menteri Kerajaan. Para Kapitan sebagai dewan pendamping raja, mendukung sang raja dalam beberapa hal prinsipil. Sedang para Mo'ang puluh tetap sebagai dewan pleno dan penguasa hoak-hewernya. Selain itu masih ada posisi para tua adat yang bergelar mangung lajar sebagai pendukung wilayahnya.

Sedangkan di Paga, kedatangan de Hornay dan da Costa sekitar abad ke-17 dari Lifao, Oekusi (Timor Timur) juga mendapatkan masyarakat Mbengu-Paga yang sudah mempunyai sistem pemerintahan lokal. Secara khusus, menurut Edmundus Pareira yang mengutip D.D. Kondi, Paga juga mengenal sistem wisu one (seperti wisung wangang di Sikka). Wisu one adalah Wisu Penditi, Wisu Pewaga, Wisu Soko, Wisu Boe, Wisu One, dan Wisu Kendaru.
Menurut para tokoh adat dan tokoh masyarakat di Paga, wisu one itulah yang sangat berperan dalam hidup dan kehidupan.Terutama dalam gelar berbagai ritus khususnya yang dicatat sebagai warisan Portugis.

Sistem pemerintahan lokal itu berjalan sampai masuknya Pemerintahan Belanda di awal Abad XVII. Dalam perkembangannya, Portugis dan Belanda begitu menyejarah dan mengotak-kotakkan Hindia Timur umumnya dan khususnya di Flores. Puncaknya pada tahun 1859, hak serta kekuasaan Portugis atas Hindia Timur dialihkan seluruhnya ke tangan Belanda. Namun baru pada 10 Juni 1893, diadakan Perjanjian Lisabon dengan ketetapan bahwa Portugis hanya dapat bertahan di wilayah Timor Dili, selebihnya jatuh ke tangan Belanda, termasuk Sikka.

Dengan demikian dapat dicatat, Sikka sejak dahulu kala sudah memiliki sistem pemerintahan lokal yang karakteristik. Sistem pemerintahan yang begitu membumi yang pada sisi tersendiri bahkan mengilhami Sikka di abad XX menuju abad XXI sekarang. Sistem pemerintahan mana sangat diwarnai percaturan politik antara Portugis dan Belanda. Bahkan Pemerintahan Belanda yang dengan sistem devide et impera-nya memecah-belah Sikka jadi tiga kerajaan.

Pada tanggal 8 Desember 1902 Pemerintah Kolonial Belanda, Residen Timor di Kupang bersama Controleur Timur dan Gezaghebber Larantuka datang ke Maumere dan terus ke Waipare melantik raja baru yang pertama untuk Kerajaan Kangae yaitu Raja Mo'ang Nai Juje. Peristiwa serupa juga dilakukan Pemerintah Belanda sebelumnya ialah pengangkatan Fransiscus Mo'ang Digung da Silva sebagai raja pertama Kerajaan Nita pada tanggal 12 September 1885.

Demikian dinamika Sikka dengan kerajaan-kerajaan utama:

Sikka(1507-1945); Nita (12 September 1885-14 November 1925); dan Kerajaan Kangae yang dibentuk paling belakang (9 Desember 1902-14 November 1925).

Daerah-daerah bekas kerajaan itu, oleh UU No.69/1958, kemudian berkembang jadi Daerah Swatantra Tingkat II Sikka (Daswati II Sikka) yang kemudian berkembang jadi Kabupaten Sikka. Proses juridis secara global.

Dalam tahun 1950 Negara Indonesia Timur (NIT) dibubarkan dan dilebur dalam Negara Kesatuan RI, sehingga Flores bergabung dengan/dalam Propinsi Sunda Kecil yang sejak 1954 menjadi Propinsi Nusa Tenggara.

Pada 1958 Propinsi Nusa Tenggara dimekarkan menjadi tiga propinsi, dan Pulau Flores termasuk dalam Pemerintahan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemudian pada tahun 1960 sistem pemerintahan Swapraja berubah menjadi daerah otonom Kabupaten Daerah Tingkat II, maka wilayah ini menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Sikka.

Sumber ; Buku Pelangi Sikka

www.inimaumere.com


Selengkapnya...

Beautiful Beach




Kabupaten Sikka yang berdiri sejak tahun 1958 selain memiliki kekayaan budaya juga memiliki kekayaan pariwisata yang masih belum digali secara optimal. Kekayaan ini bisa menjadi peluang investasi yang dapat diandalkan. Pantai-pantai yang indah adalah salah satu aset wisata yang perlu diperhatikan sebetulnya. Kabupaten dengan ibukota bernama MAUMERE ini merupakan salah satu kota terbesar dipulau Flores, Nusa Tenggara Timur selain sebagai pintu gerbang untuk masuk ke Flores daratan.
Selain beragamnya foto-foto yang telah kami tampilkan di blog ini, lagi kali ini beberapa foto alamiah dari berbagai pantai di Kabupaten Sikka dapat diintip lewat hasil jepretan teman-teman.


Pelabuhan Sadang Bui Maumere

Sunrise di pesisir Pantai Maumere


Pantai Paga

Pantai Bola

Turap di pesisir pantai maumere

Pantai Doreng

Menuju Palue





www.inimaumere.com


Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: 02.10 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---