Sosok Politisi Profesional Yang Ulet dan Jujur
Drs. Ben Mang Reng Say adalah menantu Raja Don Thomas. Sarjana Ilmu Sosial Politik Jurusan Pemerintahan Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini mengemban peran penting pada awal berdirinya Yayasan Pendidikan Thomas (YAPENTHOM). Ketika Gerakan KANILIMA bangkit dan menuntut pembenahan kepengurusan YAPENTHOM, Ben yang terkenal cerdas itu mendapat kepercayaan penuh untuk memberikan pembelaan intelektualnya dengan menyusun rumusan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Yapenthom. Beliau menikah dengan puteri Raja Don Thomas, Dona Maria Yosefa Nana da Silva pada tanggal 26 Juli 1955 di Maumere. Berikut, Sdr. E.P. da Gomez menulis tentang Hidup, Karya dan Pandangannya, sebagai bagian yang utuh dari karya dan kehidupan Don Thomas.
Adalah salah satu kebanggaan Kabupaten Sikka bahwa dari kandungan bumi yang kering kersang ini lahir "trio" politisi yang berkaliber nasional, yaitu Drs. Frans Seda, Drs. Ben Mang Reng Say dan V.B. da Costa, S.H. Selama kurun waktu sekitar lima puluh tahun, tiga tokoh ini berkiprah di pentas politik nasional melalui wadah Partai Katolik (1950-1973), Partai Demokrasi Indonesia (1973-1996) dan PDI Perjuangan (1996-kini). Berangkat dari semangat yang dimotivasi oleh aspirasi dan inspirasi Katolik, tiga serangkai ini tampil dengan kemampuan prima sebagai politisi nasional, sambil membangun hubungan yang harmonis dengan tokoh politik dari kalangan partai-partai Islam dan kaum nasionalis. Mereka piawai, diterima oleh pihak lain karena kejujuran, ketulusan dan keberanian menunjukkan sikap politik yang tegas dalam prinsip, tapi luwes dalam cara.
Ketika Orde Baru menguasai jagad politik Indonesia di bawah komando Soeharto, Militer dan Golkar, mereka tidak bergeming sedikit pun untuk hanyut dibawa arus politik yang menjanjikan peluang jabatan dan kekayaan demi kepentingan pribadinya. Mereka bukanlah tipe politisi oportunistik yang bagai kutu loncat mencari popularitas pribadi untuk mencapai prestasi dan sukses dengan berhamba kepada kursi dan uang. Tetapi Seda - Sentis - Say tetap kokoh bertahan dalam wadah Partai Katolik, kemudian PDI sebagai "kendaraan" politiknya, meskipun dengan keteguhan sikap itu mereka dilecehkan oleh orang¬orang Flores/NTT pada setiap kampanye pemilu orde barn (1971-1997). Mereka bagaikan "nabi" yang tidak dihormati di negeri sendiri. "Kejujuran, kecerdasan, ke¬beranian moral dan keteguhan sikap politik, menyebabkan mereka menjadi garam di pentas politik nasional", tulis rubrik BENTARA, tajuk rencana HU FLORES POS (20/08/03).
Pengalaman akan ketokohan dan keteguhan sikap politik mereka, sungguh membanggakan, dan patut diteladani oleh generasi kini yang terjun ke gelanggang politik praktis. "Sejarah ketokohan mereka belum tertandingi, dan rasanya sukar untuk terulang oleh generasi kini dart yang akan datang", kata J. Blasius Bapa, seorang tokoh masyarakat Sikka di Jakarta yang sangat dekat secara pribadi dan terlibat dengan sepak terjang politik dan "trio" kebanggaan ini.
Justru itu, berita meninggalnya Ben Mang Reng Say tanggal 16 Agustus 2003 di Jakarta, tentu mengejutkan banyak orang, khususnya masyarakat Katolik di Flores/ NIT, jajaran PDI Perjuangan dan siapa saja yang pernah mengenal dan bergaul dengan beliau. Dikalangan keluarga dan teman-teman dekat, kepergian tokoh nasional dan pejuang demokrasi ini sudah dipasrahkan sejak beliau terserang sakit mendadak pada Agustus 1998, apalagi lima bulan terakhir penyakit yang menggerogotinya tak bisa diobati lagi oleh kemampuan teknologi kedokteran dan bantuan medis yang paling canggih pun. Banyak orang merasa kehilangan seorang politisi profesional yang demokrat, moderat, ulet, jujur dan tidak serakah dalam hidup dan karyanya. Ketika dimakamkan di Makam Pahlawan Kalibata Jakarta tanggal 18 Agustus 203, tampak hadir rekan-rekan seperjuangannya seperti Han Tjan Silalahi, M.B. Samosir, Abdul Majid, Sutarjo Surjoguritno, serta banyak kaum kerabat dan handai tolan.
Saya merasa beruntung, karena sejak berusia 10 tahun sudah mengenal dari dekat pemuda Ben Mang Reng Say yang ganteng dan cakap itu. Ketika masuk usia belasan tahun di Bola, tahun limapuluhan, kami anak kampung Bola-Rota sering melantunkan lagu dengan lirik yang mengagumi pemuda kelahiran 15 Juni 1928 di kampung Umauta, Kabupaten Sikka ini. "Mo'ang Reng gahar gete sadu radung, du bisa ngasiang lema dang ta'ur walu" (= Mang Reng yang tinggi semampai dengan kewibawaan seorang pemimpin yang mengayomi, karena memiliki kecakapan yang terpuji). Ketika itu Oom Ben - demikian saya biasa menyapanya dengan hormat dan akrab - baru berusia dua¬puluhan tahun.
KIPRAH POLITIK DI PENTAS NASIONAL
Teryata dalam perjalanan sejarah politik Indo¬nesia, pemuda yang berasal dari kampung yang tidak dikenal itu, naik daun menjadi seorang tokoh yang bernama besar dalam taraf dan tingkat perjuangan nasional kenegaraan dan golongan katolik. Suami dari Dona Maria Yosefa Nana Da Silva, pitru raja Don Thomas ini ( menikah di Maumere, 26-6-1955), pernah menduduki jabatan-jabatan strategis dalam penyelengaraan/pemerintahan, antara lain tahun 1956-1959 anggota konstituante dari unsur Partai Katolik, 1964-1973 anggota DPRGR RI,kemudian 1966-1971 wakil ketua DPRGR RI dari Partai Katolik, 1971-1973 ketua umum Partai Katolik, dan dalam jabatan ini pada tanggal 10 Januari 1973 tampil serbagai salah satu dari 10 orang deklarator berdirinya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari PNI,PARKINDO,Partai Katolik,IPKI dan MURBA, 1973-1975 anggota DPA RI, 1973-1976 ketua DPP PDI, 1975-1976 Duta Besar Luar Biasa RI dan berkuasa penuh untuk pemerintah Republik Portugal, 1976-1980 Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh untuk Republik Mexico, 1983-1993 Presiden Direktur PT Petrusea Indonesia, Tbk (bergerak dibidang pertambangan khususnya minyak bumi,1986-1996 anggota Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDI, 1988-1993 wakil ketua DPA RI,1991-1992 anggota Komisi Penyelidik Nasional (KPN) dalam peristiwa 12 November 1991 Santa Cruz di Dili Timor-Timur dan 1996-2003 anggota Deperpu PDI Perjuangan.
Adik kandung mantan bupati L.Say ini, pernah menerima anugerah tanda kehormatan bintang Mahaputra Adipradana II 19 Mei 1973 dari presiden RI dan tanda kehormatan “Aguila Azteca Primera Banda” di mexico city 5 September 1980 dari pemerintah republic Mexico. Ayah 2 putra dan 3 putri ini (Stany,Tommy,Deti,Babby,Esto) pernah mendapat kehormatan menjadi utusan khusus Presiden RI dalam rangka hari kemerdekaan Republik Peru 25 juli 1980 dan hari kemerdekaan Republik Kenya 8 Desember 1988 dengan membawa surat Presiden RI kepada Presiden dari kedua Negara itu.
Mengikuti perjalanan hidup, karya dan perjuangannya itu Frans Seda mantan ketua umum DPP Partai Katolik 1961-1971 mengatakan “Figur pak Ben adalah contoh sebuah pengabdian total untuk bangsa Indonesia dan gereja Katolik.Ben menunjukan bahwa semua jabatan yang diperolehnya adalah karena kualitas pribadinya dan kualitas perjuangannya. Dengan kualitas yang dimilikinya itu, ia sebenarnya mampu untuk duduk dalam posisi yang lebih baik.Saya pernah menyampaiakan kepadanya tapi ia menolaknya”, kata politisi kondang asal Lekebai itu tanpa bias menahan air mata ketika berbicara mengantar kepergian saudara seperjuangan itu (Flores Pos, 21/08/05).
BERTEKAD UNTUK MENCAPAI LEBIH
Reputasi dan prestasi Ben Mang Reng Say dalam perjuanagan dibidang politik dan kemasyarakatan yang dicapai selama hidupnya tidak terjadi serta merta bagai orang main sulap atau simsalabim saja.
Setelah menamatkan SR 3 tahun di Bola (1934-1937) BAPAK SULUNGNYA Mo’an Petrus Pitang yang menjabat Kpaitan (kepala Haminte Doreng) mengirim Mang Reng masuk pendidikan Shackel School lima tahun di Ndao-Ende (1937-1942),tamat dari sekolah bergengsi dif lore pada zaman itu,ia bekerja sebagai Polisi di Maumere )1943-1946),bajawa(1946-1948) dan Makasar 1948-1950.Rupanya ini tidak cocok baginya sehingga ia minta berhenti karena lebih berminat melanjutkan studinya, mungkin demi menggapai ambisi politik yang sudah mulai tumbuh dari kesadaran akan kemampuan dan bakat yang dimilikinya.
Beliau masuk pendidikan MULO A (1949-1951) di Makasar, kemudian di kota yang sama masuk Sekolah Menengah Pegawai Pemerintahan Tingkat Atas (1951). Ia bernasib mujur, bisa melanjutkan studi ke Yogyakarta pada Universitas Gajah Mada (UGM) Ju¬rusan Hukum, Sosial dan Politik sebagai Mahasiswa Ikatan Dinas dari Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Di UGM itulah, pada tanggal 7 Oktober 1954 beliau lulus Sarjana Muda Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Pemerintahan, dan pada tanggal 23 November 1956 berhasil menyandang gelar Drs (Sarjana) dalam Ilmu Sosial Politik Jurusan Pemerintahan. Mungkin saja Ben Mang Reng Say adalah putra Flores pertama yang mencapai gelar kesarjanaannya dari universitas yang tertua di Indonesia itu.
Ketika aktif bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tahun 1954-1964 di Departemen Dalam Negeri (Depdagri), beliau mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat pada American University dan George Washington University di Washington DC (September 1960 s/d September 1961) dengan memperoleh Certificate Local Government Administration.
PEGAWAI NEGERI DAN POLITISI PROFESIONAL
Ben Mang Reng Say yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris itu memulai kariernya sebagai PNS pada Kantor Gubernur Nusa Tenggara di Singaraja (1954-1955) dan kemudian sebagai PNS dengan tugas belajar di Yogyakarta (1955-1956) dalam kapasitas kepangkatan Ahli Praja pada Kantor Penyelenggara Pendidikan Mahasiswa Kementerian Dalam Negeri. Ketika terpilih dan bekerja sebagai Anggota Konsti¬tuante (1956-1959), ia tetap merangkap tugas aktif sebagai PNS pada Depdagri di Jakarta dengan memikul beban tugas penting menyangkut berbagai urusan penyelenggaraan Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah ( PUOD).
Setelah dilantik menjadi Anggota DPR-GR RI (31 Desember 1964), maka terhitung Pebruari 1965 ia dinonaktifkan dari jabatan Pegawai Tinggi Depdagri. Beliau mengakhiri karya bhaktinya sebagai PNS dengan hormat pada tanggal 25 Mei 1981 dengan pangkat Pembina Tingkat I (Golongan IV-b) dengan hak pensiun. Di sini jelas, bahwa ketika ia berkiprah sebagai politisi yang militan melalui wadah partai politik (Partai Katolik dan PDI) pada masa kekuasaan rezim Orde Baru, hak-hak kepegawaiannya tidak pernah diganggu gugat oleh pola golkarisasi PNS seperti yang dipraktekkan di NTT, yang merenggut hak-hak politik warganegara dengan perilaku politik yang tidak demokratis.
BEBERAPA CATATAN LEPAS
KONSTITUANTE
Pemilu 1956 mengantarkan 10 orang dari Partai Katolik menjadi Anggota Konstituante, antara IJ Kasimo, Ben Mang Reng Say, VB da Costa, PS da Cunha, A. Andelo Raya Rangga, dlsb. Ben Mang Reng Say ditunjuk sebagai Sekretaris Fraksi Partai Katolik mendampingi I.J. Kasimo sebagai Ketua. Peran Ben Mang Reng Say dan VB da Costa dalam lembaga pembuat Undang-Undang Dasar itu sangat besar dan luar biasa, sebagaimana ditulis oleh Adnan Buyung Nasution dalam bukunya "Aspirasi Pemerintahan Konstitusional, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959" (PT Pustaka Utama Grafiti, 1995). Dapat dibaca di buku setebal 620 halaman itu, bagaimana dua tokoh politik yang berusia masih muda, Ben Mang Reng Say dan VB. Da Costa, berbicara tentang Dasar Negara, Demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) dari sudut pandang teori-teori dan praktek kenegaraan, paham nasionalisme, sekularisme, dengan bernafaskan aspirasi dan inspirasi Katolik.
Sebagai pelaku sejarah Konstituante, Ben Mang Reng Say bersama rekannya JCT Simorangkir (PAR¬KINDO) menulis buku "Konstitusi dan Konstituante Indonesia, jilid I & II" (1958 dan 1975) yang memuat keputusan-keputusan Konstituante dan hasil studi Maarif mengenai perdebatan tentang falsafah negara dalam persidangan Konstituante yang berlangsung sekitar dua tahun lebih di Bandung. Menurut Adnan Buyung Nasution, itulah satu-satunya dokumen monografi autentik mengenai sejarah Konstituante dengan segala substansi permasalahannya.
DPR-GR dan MPRS 1968
Setelah Frans Seda dibebas tugaskan dari ke¬anggotaan DPR-GR karena diangkat menjadi Menteri Perkebunan, maka pada tanggal 31 Desember 1964, Ben Mang Reng Say ditunjuk sebagai penggantinya. Dampak dan peristiwa G-30-S/PKI menuntut perubahan komposisi dan personalia Pimpinan DPR-GR, dan kondisi itu membuka peluang bagi Ben Mang Reng Say mendapat kepercayaan DPP Partai Katolik untuk menempati posisi Wakil Ketua DPR-GR RI (1966-1971). Peran penting yang dibawakannya dalam jabatan itu adalah ketika menjadi Ketua Komisi B Sidang Umum MPRS 1968 yang mengantarkan Pejabat Presiden Soeharto menjadi Presiden RI menggantikan Soekarno. Proses suksesi yang sarat dengan benturan dan kontroversi kepentingan ini menaikkan pamor dan kepiawaian Ben Mang Reng Say sebagai seorang kampiun politik yang membawa nama besar Partai Katolik.
3-S
Pada awal 1970, suhu politik menjelang Pemilu 1971 mulai memanas dan bergejolak. Dalam kalangan Partai Katolik di tingkat pusat terjadi benturan kepentingan yang menajam antar faksi/kubu. Pengaruh Frans Seda, VB da Costa dan Ben Mang Reng Say begitu kuat dan dominan dalam pengambilan kebijakan dan keputusan politik. Iklim politik itulah memunculkan sekelompok orang memicu semangat Ganyang Tiga S (G-3-S), ganyang Seda-Sentis-Say, trio putra Sikka/Flores yang menjadi dedengkot Partai Katolik. Tapi, kenyataan membuktikan, dari kepiawaian 3-S itu mengelola semangat perjuangan politik (Katolik), mereka ditetapkan menjadi calon utama Partai Katolik Pemilu 1971 untuk daerah pemilihan NTT, masing¬masing : Frans Seda (Timor Tengah Utara), Ben Mang Reng Say (Ende) dan VB da Costa (Sikka). Posisi 3-S yang menonjol itu membuat ketidak senangan yang memuncak dad sementara politisi non Sikka. Sembari menjalarnya upaya golkarisasi di NTT, dihidupkan semangat anti partai politik untuk menghancurkan Partai Katolik, dan dampaknya dapat menyingkirkan tokoh 3-S itu dad gelanggang percaturan politik nasional.
Ketika Partai Katolik di Indonesia, khususnya NTT, berhasil dikalahkan dalam Pemilu 1971 yang sarat dengan kecurangan, adalah seorang tokoh Golkar asal Flores dengan bangga mengatakan: "3-S sudah hancur". Namun, kenyataan politik selama lebih dari 30 tahun terakhir membuktikan bahwa pernyataan itu hanyut lenyap dibawa arus sejarah, waktu dan hati nurani. Tokoh 3-S ternyata tetap eksis, teguh, kokoh, kuat, bertahan di tengah hujan angin dan panas dinginnya perpolitikan Indonesia.
PEMILU 1971
Pada Pemilu 1971, Ben Mang Reng Say turun memimpin kampanye Partai Katolik di Flores, sedangkan VB da Costa dan Bung Kanis masuk ke kantong-kantong Golkar di Timor dan Sumba. Flores, dimana bendera kontas Partai Katolik berkibar dengan jaya sejak tahun limapuluhan, kini diancam keberadaannya dan kelangsungan hidupnya oleh gerakan golkarisasi yang sangat sistematis karena rekayasa dan intervensi rezim Orde Baru yang dilaksanakan dengan ketaatan dan kesetiaan buta tuli oleh aparatur birokrasi dan minter. Ben Mang Reng Say dan para pendukung Partai Katolik menghadapi kondisi "konyol" itu dengan tabah dan penuh semangat demokrasi.
Kecuali Kabupaten Sikka, di empat kabupaten lain di Flores (Manggarai, Ngada, Ende dan Flores Timur), Ben dihadang dengan keras dan kasar, bahkan dicemooh dan dilecehkan oleh rekan-rekan seperjuangan yang sebelumnya adalah fungsionaris Partai Katolik di NTT. Bahkan di salah satu kampung di Adonara, beliau nyaris terkena lemparan batu. Akibat kekerasan yang terjadi di seantero republik ini, maka partai-partai khususnya Partai Katolik, dikalahkan, bukan oleh kemauan rakyat, tapi oleh campur tangan penguasa yang dengan sengaja, tahu dan mau melanggar norma-norma demokrasi, demi langgengnya kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto.
Apa mau dikata, Ben Mang Reng Say terdepak keluar dan keagungan Gedung Senayan Jakarta, dan dengan kerendahan hati menyadari dan menerima kenyataan yang terjadi, kembali menjadi rakyat biasa. Itulah resiko dan pengorbanan dari perjuangan yang bermoral oleh setiap pelaku politik yang punya integritas pribadi yang kokoh. Tapi, kualitas pribadi dan kemampuannya, tetap menarik perhatian pemerintah untuk memanfaatkannya bagi kepentingan bangsa dan negara.
PARTAI KATOLIK DAN YAYASAN KASIMO
Saat yang paling menyedihkan dalam karier politik Ben Mang Reng Say adalah pernyataan pembubaran Partai Katolik dari bumi Indonesia, setelah deklarasi berdirinya PDI pada 10 Januari 1973, di mana Partai Katolik berfusi ke dalamnya. Beliau adalah Ketua Umum Partai Katolik terakhir (1971-1973) setelah 50 tahun partai ini hadir dan berperan di republik ini. Diceriterakan, pada Pebruari 1973, dengan air mata kesedihan, ia dan kawan-kawannya dalam jajaran pimpinan pusat Partai Katolik, merangkul bendera kontas Partai Katolik, dan dengan suara tersendat-sendat sambil menangis, pria tinggi tegap ini menyatakan bahwa Partai Katolik dilebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tamatlah sudah riwayat Partai Katolik, dan agaknya tidak bisa bangkit mengulangi kembali sejarah dengan segala sukses dan kegagalannya.
Setelah Partai Katolik berfusi ke PDI, maka pada Juli 1973 didirikanlah Yayasan Kasimo sebagai lembaga/wadah penerus inspirasi dan aspirasi Katolik di bidang politik. Pengelolaan lembaga ini diserahkan pada awalnya kepada Ben Mang Reng Say dan F.S. Wiguyosoemarsono.
PDI dan PDI PERJUANGAN
Berbeda dengan fusi Partai Persatuan Pemba¬ngunan (PPP) yang berlangsung mulus tanpa gejolak yang berarti, fusi PDI mengalami proses yang sulit berbelit-belit dan bertele-tele. Perbedaan latar belakang, sejarah dan ideologi partai, nyaris menjadi batu sandungan, bahkan saling baku hantam antar elit politik yang menganut paham demokrasi ini. PNI misalnya, dikenal sebagai partai rakyat yang berideologi marhaen yang didominasi kaum "abangan" dan pendukung Bung Karno yang fanatik. Sedangkan Partai Katolik dan PARKINDO adalah partai berdasarkan ideologi agama (Kristen) dan nasionalis.
Adalah Abdoel Madjid, bekas Sekretaris Jenderal PNI yang terlibat dalam proses fusi bersama Ben Mang Reng Say, menuturkan bahwa sempat terjadi tarik ulur kepentingan antarpartai akibat "kawin paksa" yang dikehendaki oleh rezim Orde Baru itu. Komposisi DPP PDI misalnya, menjadi salah satu masalah besar. PNI yang merupakan partai terbesar dalam fusi ini menuntut, agar penyusunan DPP PDI dilakukan secara proporsional. Maksudnya, personal DPP PDI diharapkan paling banyak datang dari unsur PNI. Tapi, Ben Mang Reng Say, politisi kawakan dari kampung Umauta itu, menolak dengan keras dan berani. "Ben termasuk orang yang kokoh ngadalin PNI", tutur Abdoel Madjid mengenang.
Ben Mang Reng Say adalah pelaku dan saksi sejarah berdirinya PDI. Dengan hati yang getir, is hams merasakan dan menyaksikan gonjang ganjing partai ini selama 25 tahun (1973-1998) akibat reka¬yasa pemerintah Orde Baru yang menerapkan konsep politik deideologisasi, depolitisasi dan deparpolisasi. Ia harus menahan emosi ketika melihat kekalahan telak PDI dart pemilu ke pemilu, karena intimidasi, teror mental dan fisik yang berkepanjangan, demi apa yang dinamakan Demokrasi Pancasila dan kesinambungan pembangunan.
Ben Mang Reng Say menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana perkelahian pada Kongres IV PDI di Medan (Juli 1993) dan Kongres Luar Biasa (KLB) Surabaya, Desember 1993, antar faksi/kubu dalam PDI, akibat campur tangan yang berlebihan dari penguasa orde baru. Ia bergembira karena MUNAS PDI pada akhir Desember 1993 mengukuhkan Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Umum DPP PDI. Tapi, kegembiraan itu tidak dapat berlangsung lama, karena rezim Soeharto merekayasa lagi berlangsungnya Konggres Medan Juni 1996. Kongres yang kontroversial itu mendepak Megawati dan memilih Surjadi memimpin partai banteng ini atas petunjuk Soeharto. Ben setia berdiri di belakang putri Bung Karno itu dan menanda tangani surat kepada Presiden Soeharto membela kepemimpinan Megawati, dan mendesak pemerintah agar menghormati aturan partai dengan tidak mengintervensi proses pemilihan Ketua Umum DPP PDI.
Peristiwa 27 Juli 1996 merupakan tonggak sejarah barn dalam perpolitikan Indonesia. Setelah tumbangnya kepemimpinan Soeharto (21 Mei 1998), Kongres V PDI di Denpasar (Oktober 1998) membangun kembali kekuatan dan pamor partai banteng ini ke depan. Menjelang akhir hidupnya, Ben Mang Reng Say bisa menyaksikan kemenangan PDI Perjuangan pada Pemilu 1999, dan bagaimana Megawati, orang yang dulu dibelanya menjadi Wakil Presiden (1999-2001), kemudian Presiden RI (2001- kini). Tuhan juga memberi kesempatan kepada Ben melihat PDI Perjuangan yang penuh kisruh dan kemelut sebelum ia menarik nafas yang terakhir pada sore hari 16 Agustus 2003 dalam usia 75 tahun. Ben Mang Reng Say adalah sejarah PDI dan PDI Perjuangan itu sendiri. Ia tutup usia di tengah konflik internal PDI Perjuangan belum juga mau reda. Malah semakin menjadi-jadi menjelang Pemilu 2004 ini. Namun Ben Mang Reng Say pergi pada usia pendek dengan sederet catatan gemilang dan nama yang bersih - sebuah rapor yang menjadi dambaan setiap politisi.
PEMILU 1977
Ketika berlangsung Pemilu 1977, Ben Mang Reng Say berada di Mexico sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI. Dalam jabatannya itu, ia juga bertanggung jawab atas suksesnya Pemilu 1977 bagi kemenangan Golkar dan para pemilih berkewarga¬negaraan Indonesia di republik topi sombrero itu. Memang aneh, tapi nyata. Seorang pendiri PDI yang fanatik, harus memenangkan Golkar. Kepada saya di¬ceriterakannya, bahwa ia datang ke Jakarta membawa laporan hasil pemilu itu kepada PPI dan LPU. Di depan Presiden Soeharto beliau mengatakan antara lain: "Saya telah menyukseskan Pemilu di Mexico dengan kemenangan Golkar. Apabila dalam penghitungan suara terdapat dukungan untuk PDI, maka itulah suara dari saya dan keluarga", katanya sambil tertawa terkekehkekeh. Memang lucu.
DPA
Ben Mang Reng Say mendapat kesempatan dua kali menduduki kursi keanggotaan Dewan Pertim¬bangan Agung (DPA), yaitu tahun 1973-1976 sebagai Anggota dan 1988-1993 sebagai Wakil Ketua yang membawahi bidang politik. Di lembaga penasehat Pre¬siden ini, nama Ben nyaris talc terdengar. Pernah ia bersama beberapa Anggota DPA lainnya mengusulkan kepada pemerintah, membentuk undang-undang anti¬monopoli. Tapi usul itu tidak berdengung. "Keluarga Cendana menolak mentah-mentah", kata Sabam Sirait, kolega Ben di DPA dan PDI. Selanjutnya nama Ben tenggelam bersama senyapnya politik rezim Soeharto yang represif dan otoriter.
TIMOR TIMUR
Dalam catatan sejarah, Ben Mang Reng Say bersama Frans Seda juga berperan dalam Pertemuan Roma di bawah pimpinan Menlu Adam Malik dan Jenderal Ali Moertopo (1974) untuk meretas langkahlangkah perjuangan integrasi Timor Timur ke wilayah negara kesatuan RI secara damai. Kenyataan yang terjadi, timbul pergolakan dengan perang dan pertumpahan darah, hal mana di luar skenario Pertemuan Roma itu.
Ketika terjadi tragedi Santa Cruz di Timor Timur pada 12 November 1991, nama Ben Mang Reng Say kembali terangkat, saat ia menduduki posisi Wakil Ketua DPA.
Enam bulan mereka bekerja, dan berhasil membuat laporan yang lumayan "berani" kepada PBB. Mereka mengakui bahwa sekitar 200 orang tewas diterjang peluru tentara saat berdemonstrasi menuntut kemerdekaan wilayah bekas koloni Portugis itu. Kasus yang mencoreng wajah militer Indonesia ini berakhir dengan diadilinya sejumlah perwira militer dan sipil.
UNIKA ATMA JAYA dan TAHUN MARIA
Pada awal berdirinya Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, beliau tercatat sebagai Dosen Ilmu Politik dan pernah menjabat Rektor Universitas itu dalam kurun waktu yang singkat saja (1962) menanti dibenumnya figur yang punya kapasitas. Dalam iklim dan kondisi waktu itu, rupanya berlaku peribahasa "tak ada rotan, akar pun berguna".
Beliau juga punya peran besar dalam menyukseskan Perayaan Tahun Maria Juli 1988 di Maumere. Sebagai Ketua Panitia di Jakarta, beliau mengkoordinasi kegiatan dan partisipasi umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta untuk menyukseskan peristiwa iman yang akbar dan bersejarah dalam kehidupan umat Katolik di Flores, khususnya Kabupaten Sikka.
PENUTUP
Demikian itulah lintasan hidup, karya dan per¬juangan tokoh politik Ben Mang Reng Say yang saya kenang dari pengalaman pribadi, biodata yang ditulis oleh beliau sendiri, ceritera lisan para nara sumber lain dan berbagai naskah/tulisan artikel dan buku. Ben
Mang Reng Say adalah sosok politisi (Katolik) yang memiliki visi ke depan yang jelas. Suatu personifikasi dari adagium Katolik untuk menjadi ragi dan garam di tengah hiruk pikuk politik di Tanah Air.
"...kita merindukan kembali tokoh politik sekaliber Ben Mang Reng Say. Lintas zaman, lintas suku dan lintas budaya, untuk mewujudkan visi politik yang mengutamakan kepentingan umum", tulis HU FLORES POS dalam tajuknya (20/08/03), di saat integritas, ketokohan, kejujuran dan keberanian moral dalam memperjuangkan kepentingan umum semakin memudar di dada para politisi (Katolik) dewasa ini.
REQUIESCAT IN PACE! Selamat jalan Oom Ben, sampai jumpa lagi kelak....
Dicuplik dari dari buku karangan Bapak E.P. da Gomez-Oscar P.Mandalangi yang berjudul 'DON THOMAS PELETAK DASAR SIKKA MEMBANGUN'