Entah sejak kapan akses menuju gua alam ini tak terbekas. Maka sejak itu, lokasi gua ini bagai hilang. Akses jalan mulai ditutupi semak dan dedaunan kering. Tak terdengar lagi cerita destinasi wisata yang terkenal dengan berbagai kelelawar dan eloknya matahari terbenam. Ia bagai lenyap seperti redup Pantai Wairterang. Keberadaanya tak jauh dari jalan raya. Ia tersembunyi ditengah rimbunan pepohonan. Kondisinya benar-benar memprihatinkan. Seperempat dari tinggi gua kini bahkan tertimbun tanah tebal. Sehingga terlihat tak layak dimasuki. Sayang sekali, destinasi wisata alam ini kurang mendapat perhatian.
Seperti destinasi lainnya, Kecamatan Waigete maupun Talibura, dimana diperbatasan keduanya lokasi gua ini berada, banyak keelokan wisata lain yang tak kalah menarik. Sebut saja wisata bahari Teluk Maumere, penyelaman kapal karam milik serdadu Jepang diperairan Wairterang, Pasir Putih Tanjung Darat, Air Terjun Waiblama, Air Panas Blidit, Hutan Lindung, bahkan Puncak Gunung Berapi Egon. Namun keleokannya tak diurus dengan maksimal.
Warisan budaya setempat yang bernilai tinggi hanya dinikmati segelintir orang. Pesona yang terlupakan kah?Padahal tubuh ini menggiurkan. Jika pengelolahan ini dilakukan serius akan banyak hal postip yang diperoleh. Baik bagi masyarakat setempat juga pendapatan daerah.
|
Pintu gua hampir tertutup tanah |
Untuk mencapai lokasi Gua Alam Patiahu, Anda mesti berjalan kaki sejauh kurang lebih 150 meter. Dari jalan raya Patiahu jalur Maumere-Larantuka treking ini dimulai.
Patiahu berada diwilayah bagian timur Kabupaten Sikka. Dari Kota Maumere menuju Patiahu menempuh waktu sekitar 40 menit perjalanan dengan kendaraan.
Tanggal 28 Oktober 2012, inimaumere.com melakukan perjalanan ke Gua Patiahu. Sekitar pukul 16.00, kami memasuki hutan kering ini. Semak dan kotoran sapi memenuhi lintasan treking. Banyak batu karang yang berserakan di tanah. Sunyi dan sangat sepi. Hanya sesekali terdengar kicauan burung-burung hutan.
Pir yang menjadi penuntun saya, menceritakan kalau Gua Alam Patiahu kini sudah sepi dari kunjungan wisatawan. Ia membandingkan dengan beberapa tahun yang lalu ketika destinasi alam ini masih dicari-cari pelancong.
Karena telah lama sepi dan ia tak mengantar wisatawan, Lamber sedikit bingung mencari jalan. Ia mengaku hanya menandai satu pohon rimba disekitar gua. Katanya, pohon rimba tersebut menjadi tanda keberadaan gua tersebut.
Sekitar setengah jam akhirnya kami tiba dibawah gundukan. Sedikit keatas. Lamber menunjukan keberadaan gua. Kami merangkak pelan keatas. Nampak Pohon rimba berdiri tegar disamping gua. Ia seakan menceritakan kesetiaannya menjaga Gua Patiahu dalam sekian waktu.
Lamber lantas mengeluarkan moke (minuman tradisional Sikka) yang tersimpan dalam botol plastik. Ia sengaja menyiapkannya. Diatas batu kecil yang dijadikan mahe, Lamber lantas menyiraminya. Ia juga mengeluarkan dua batang rokok. Dibakarnya dan diletakan sedemikian rupa diatas bekas cairan moke. Lantas sedikit dia terdiam. Lalu berdiri dan mengajak saya mendekati gua.
Saya mempercayai apa yang dilakukan Lamber. Sapaan secara adat ini mengandung arti penting dalam kehidupan masyarakat Flores khususnya di Kabupaten Sikka.
Ada benang merah hubungan antar manusia dan roh yang dipercayai menjaga suatu tempat. Dengan melakukan ritual tersebut, artinya kita memberitahu kepada Alam agar dibukakan jalan. Harapan agar aktivitas kita dapat berjalan mulus hingga selesai. Ritual seperti nini sudah biasa dilakukan diwilayah Kabupaten Sikka, Flores.
Lantas kami menuju gua tersebut. Pir terdiam. Begitu pula saya. Ia memandang sekeliling. Matanya seakan bercerita kemasa lalu dimana tempat tersebut biasa dikunjungi.
Disekeliling dari gua tersebut banyak pohon. Nampak pula pohon rimba disisi sebelah kanan dari gua.
Yang memilukan adalah ketika kami yang telah lelah berjalan akhirnya hanya bisa bertenger di depan gua. Timbunan tanah memenuhi hampir seperempat pintu masuk. Dan niat kami memasuki gua tersebut akhirnya terhadang.
Didalam gua, timbunan tanah sekali lagi telah menyentuh langit gua. Alhasil kami pun hanya bisa menatapnya sambil menikmati angin senja dan samudera laut diutaranya.
Menurut cerita, gua alam ini memiliki tiga pintu didalamnya. Akses Pintu pertama kita akan dibawa menuju Egon, pintu kedua menuju selatan dan pintu ketiga menuju utara, yakni pantai utara yang tak jauh dari lokasi gua alam tersebut. Cerita ini telah mengalir diatara masyarakat yang mendiami wilayah ini. Mereka mmpercayainya. Dan kita perlu membuktikannya.
Ada lagi yang menyebutkan gua ini pernah menjadi tempat berlindung para serdadu Jepang ketika pasukan Nipon terlibat bentrok melamawan pasukan Sekutu dijaman kemerdekaan.
|
Didalam gua, timbunan tanah menyentuh langit gua |
Om Rofinus, Pendidik pada salah satu sekolah di Waigete, kepada inimaumere.com yang menemuinya di Waigete usai menjelajah gua alam menceritakan tentang keadaan didalam gua. Ia pernah masuk kedalam gua hingga beberapa ratus meter. Katanya didalam gua tersebut banyak dijumpai sarang walet dan tentu saja ribuan kelelawar. Ia juga menceritakan pernah bertemu ular besar didalam gua. Ular tersebut hanya terdiam tanpa melakukan gerakan apapun katanya.
Beberapa pengunjung lain juga pernah menceritakan suasana didalamnya. Mereka mengungkapkan kekagumannya. Tentang ribuan kelelawar yang berterbangan keluar gua. Juga pemandangan luar biasa ketika sunset senja turun dibatas samudera. Kita bisa menyaksikan bola mentari yang sangat indah dengan leluasa.
Keberadaan gua alam ini nyatanya belum dikelolah, dirawat, dan dijual untuk kepentingan industri wisata Waigete. Entah kenapa. Sejauh ini, Waigete atau Talibura hanya dikenal sebagai daerah pertanian dan perkebunan. Sebagai wilayah eksotik dengan bentangan pariwisatanya, Waigete menunggu campur tangan berbagai pihak baik pemerintah dan swasta sebagai investor.
Dari perairan lautnya hingga puncak Egon, jika dikelolah dengan baik, dibangun infrastruktur pendukung, Waigete plus Talibura akan menjadi salah satu aset pendapatan PAD sektor pariwisata. Peluang yang manggiurkan ini patut dibuka. Masyarakat setempat diajari bagaimana merawat dan belajar mengolah alam indah ini menjadi nilai yang menguntungkan.
Penyelaman Kapal Karam Nipon Maru, pemandangan sunset tepi pantai, air panas, Gua ALam Pati ahu, Hutan Lindung, dan treking ke puncak Egon, Pogon, dan masih banyak lagi bisa menjadi paket wisata menarik. Selain itu tentu saja, kekayaan ritual budaya setempat dan berbagai tenun ikat khas daerah yang dipelihara ditengah kearifan lokal.
Lantas bagaimana dengan keberadaan gua alam ini yang kini tertimbun tanah? Apa perlu dibiarkan merana ditengah kicauan burung-burung?
Prihatin, jika dibiarkan saja tanpa urus, mungkin tidak lama lagi keberadaannya tinggal cerita kenangan. Ia akan hilang ditutup gundukan tanah akibat proses alam karena tidak adanya perhatian.
Akankah kita membiarkannya? Jika demikian adanya, sungguh memperihatinkan. Hal ini menambah catatan panjang tentang lemahnya pengelolahan destinasi wisata di Kabupaten Sikka.