Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Friday 13 July 2012

Umpan Terobos Gemu Fa Mi Re untuk Pesta Rakyat Flores

oleh: Alexander Yopi

Gemu Fa Mi Re tampil bak kuda hitam. Bukan terutama digandrungi mulanya oleh nona dan nong itam manis dari wilayah nyiur melambai, Maumere, Sikka. Gemu Fa Mi Re seperti sebuah umpan terobos yang diselesaikan dengan baik oleh para penyerangnya di tengah gempuran Ja’i dan Ikimea dari Ngada, Gawi dari Lio, dan Chacha dari Manggarai.
  Fenomena Tarian Daerah
 Ja’i mengambil posisi dominan hampir di semua pesta rakyat di daratan Flores. Juga untuk Flores diaspora di mana pun berada. Ja’i menjadi jawaban dari substansi pesta rakyat orang Flores, yaitu bersapa sua dalam persaudaraan dan kebersamaan melalui tarian dan kegembiraan.
download mp3 gemu fa mi re 
Sebelum Ja’i, pilihannya jatuh pada Rokatenda dan Gawi. Sesekali Tandak ala Larantuka menghiasi pesta rakyat Flores. Tetapi, dua tarian ini terasa monoton, tanpa ada eksplorasi gerakan yang lebih variatif. Faktor kebosanan menjenuhkan ragam tarian itu hingga pesta rakyat Flores beralih pada ragam tarian bebas dan imporan.

 Chacha yang dihidupi masyarakat Manggarai bertahan dengan grafik yang konstan. Tidak ada kemajuan lebih, kecuali untuk memberikan pilihan lain ketika Gawi dan Rokatenda sudah mengistirahatkan para penari pada pesta rakyat.

 Sampai ketika ragam Ja,i dipopulerkan sebagai alternatif tarian kebersamaan dalam sebuah pesta, kerinduan pesta rakyat Flores pun terpenuhi oleh sebuah tarian bersama yang dinamis, variatif, dan energik. Ja’i bukan lagi monopoli pesta adat orang Ngada, melainkan pesta rakyat orang Flores di mana pun berada.

 Provokasi Ja,i melahirkan Ikimea. Kedua-duanya memang berasal dari Ngada. Tetapi, Ja’i cenderung mewakili tarian adat orang Bajawa, sedangkan Ikimea adalah tarian adat orang Soa. Kedua-dunya adalah saudara kandung dalam satu teritori kabupaten, yang berhasil dimetamorforsis menjadi tarian pesta rakyat. Ikimea juga sama dinamis, variatif, dan energik. Lalu silih berganti, Ja’i dan Ikimea mengisi ruang pesta rakyat orang Flores dengan tepuk kegembiraan, kebersamaan, dan persaudaraan.

 Dengan dua tarian ini, pesta rakyat Flores pun bisa diprediksi. Dimulai dengan Gawi atau Rokatenda, lalu diletupkan oleh Ja’i dan Ikimea. Untuk sekedar ‘turun mesin,’ Chacha akan melantai diselingi dengan dansa, lalu Ja’i dan Ikimea kembali susul menyusul demi meletup-letupkan kebersamaan dan persaudaraan.

 Dominasi Musik Populer
 Maumere memang punya Rokatenda yang lahir dari kaki-kaki penari di Pulau Palue. Ini tarian muda-mudi yang kemudian diangkat menjadi tarian di pesta rakyat. Biasanya menjadi pembuka pada pesta-pesta rakyat di Flores. 

 Tetapi Rokatenda sudah sangat lama dan tidak mendapat varian baru yang bisa membuat tarian ini kembali bertengger di puncak pesta rakyat Flores. Lantas, Rokatenda digiring pada pilihan terakhir, sebelum mungkin dilupakan sama sekali kecuali untuk orang Maumere, Sikka. 

 Ketika daerah-daerah lain ditumpahi lagu-lagu bernuansa kedaerahan, menyatu padu dalam kebersamaan pesta rakyat Orang Flores, lagu musikalitas daerah Maumere, Sikka tenggelam oleh aliran musik populer berbau pop, rock, rap, ska, metal, dan reggae. Musisi dan pemusik Sikka benar-benar melahap reggae seperti musik daerahnya. Demikian juga pop, rock, rap, ska, dan metal berkembang sama cepatnya.

 Membersit juga kerinduan, kapan musikalitas kedaerahan orang Maumere, Sikka bisa mempengaruhi ragam tarian pesta rakyat di Flores seperti masa keemasan Rokatenda? 

 Banyak proyek percobaan yang sudah dilakukan musisi asal Maumere, Sikka. Karena telinga orang Maumere, Sikka sudah terbiasa dengan musik populer, musisi asal Maumere, Sikka menyusupkan syair dan lagu berbahasa daerah ke dalam genre musik populer tersebut. Begitu pun dengan lagu-lagu rakyat Maumere, Sikka. Diaransemen ulang sesuai genre musik populer, seperti pop rock, reggae. Selebihnya, lagu berbahasa daerah Maumere, Sikka didominasi oleh genre musik dangdut melayu, musik gambus, dan slow rock. 

 Dengan citarasa seperti ini, tidak ada ragam tarian bersama yang lahir dari dan untuk pesta rakyat di Maumere, Sikka. Pesta rakyat itu lebih banyak diisi dengan lagu daerah dengan sentuhan musik populer, lalu dangdut melayu dan gambus. Ragam tarian yang diperagakan kebanyakan berekspresi bebas. Tidak ada pola khusus, ragam khusus, apalagi yang dihasilkan dari aliterasi gerakan tarian adat menjadi tarian pesta rakyat. 

 Apakah gong waning dan hegong, soka bobu, toja bobu, gareng lameng, misalnya tidak mampu memberikan inspirasi bagi musisi dan pencipta kreasi tarian modern di Maumere, Sikka untuk menelurkan ragam tarian pesta rakyat? Sementara itu, gong waning sendiri mampu mengiringi berbagai jenis irama seperti Todu, Badu Blabat, Glebak, dan Leke. Mengapa tidak lahir irama musik rakyat dari varian gong waning ini?

 Gemu Fa Mi Re 
 Saya suka lagu ini sejak pertama berkenalan. Pertama, karena musik gong waning dan ketukan khas musikalitas orang Maumere, Sikka. Kedua, NF Mof dan Alfred Gare mengangkat syair dari warisan penulis anonim berdasarkan pelajaran membaca not (solmisasi) guru agama untuk murid-murid SD hingga SMA, juga mudika pada era 1970-an. 

 Di Ohe, Maumere pada era 1970-an itu, setiap siang atau saat pulang sekolah, murid-murid sekolah menyanyikan syair dari notasi angka tersebut. 

Demikian pun muda-mudi yang pulang latihan koor. Tidak lupa membungkus langkahnya dengan syair tersebut. Begini syair asli dari penggalan lagu Gemu Fa Mi Re itu dilafalkan: LA LELE LUK SI LA SOL/MI FA MI FA SOL, LELE TIDING FA FA, LELE KLEPIN MI MI/ MI DO MI DO PEMUK FA MI RE

. Tidak jelas memang, apakah syair itu adalah penggalan refrein atau justru keseluruhan lagu itu. Karena yang dinyanyikan saat itu dan kebanyakan diingat hingga kini adalah penggalan syair tersebut. 

 Tetapi itu tidaklah amat penting. Karena Ketiga, saya menjadi kagum karena gong waning dan Gemu Fa Mi Re ini justru digandrungi oleh hampir seluruh daratan Flores pada pesta rakyat orang Flores. Ketika gong waning itu dibunyikan sebagai intro dari lagu tersebut, kursi-kursi mulai ditinggalkan dan pesta rakyat Flores itu pun riuh rendah.

 Yang mengasyikkan adalah ragam tarian seperti nona-nona Maumere, Sikka lagi menari hegong, berputar ke kiri dan ke kanan. Betapa kuatnya pengaruh dari musikalitas Gemu Fa Mi Re tersebut hingga pesta rakyat Flores pun dibius dengan lenggak-lenggok putar ke kiri e…nona manis putarlah ke kiri, ke kiri, ke kiri, ke kiri, dan ke kiri ke kiri ke kiri ke kiri manis e.. sekarang ke kanan e…nona manis putarlah ke kanan, ke kanan, ke kanan, ke kanan, dan ke kanan, ke kanan, ke kanan manis e… Mencatut ragam tari video klip lagu tersebut. Seperti Hegong. 

 Hegemoni Ja’i dan Ikimea pun sejenak terhenti. Kejadian ini mirip turnamen Seminari St Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko Cup, dalam rangka pesta intan 75 tahun pada 2005 lalu. 

 Persami Maumere sudah lama tidak punya nama di kancah turnamen sepak bola di Flores. Terjadi demikian, karena kesebelasan Pati Ahu, di Waigete, Maumere berhenti memproduksi pemain berkelas sejak ditinggal Bruder Otmar. Tetapi, ketika turnamen sepak bola mulai menjamur di kota beling ini, klub-klub sepak bola pun bermunculan. Lalu, pemain-pemain bertalenta, dengan postur pohon moke yang ramping bertumbuh di lapangan hijau. 

 Sangat mengejutkan, ketika Pelangi FC, Klub asal Maumere menohok penonton karena berhasil masuk final. Mereka berhadapan dengan Gladiator FC, Klub Kota Bajawa, yang favorit juara kala itu.

 Jika dibandingkan secara fisik, Pelangi FC kalah kelas. Sudah pasti adu fisik mereka kalah. Daud dan Goliat. Dari sisi historisitas dan skill, Pelangi FC pun berada di bawah rata-rata. Benar-benar underdog di hadapan Gladiator FC.

 Kejutan kembali terjadi. Klub asal Maumere itu pun menggondol piala karena berhasil menekuk Gladiator FC (2-1). Mereka tampil taktis dan efektif. Dua peluang gol berhasil dikonversi Edmon Ngata dan Cantona menjadi kemenangan. 

 Benar bahwa Gemu Fa Mi Re itu sebuah umpan terobos dari permainan efektif dan efisien. NF Mof dan Alfred Gare cerdas mengatur ritme permainan, dengan kombinasi musik populer dan tradisional, antara syair populer dan syair kedaerahan. 

 Inilah kekuatan Gemu Fa Mi Re, yaitu terletak pada kombinasi keinginan pasar dan alternatif musik untuk pesta rakyat Flores. Bahwa gong waning dan hegong telah dikonversi dari tarian adat menjadi tarian rakyat. Persis yang terjadi pada Ja’i dan Ikimea. 

 Namun, tetaplah Maumere, Sikka masih terbilang underdog untuk musikalitas yang mengusung pesta rakyat Flores. Gemu Fa Mi Re adalah fenomena. 

Jika dan hanya jika, spirit dan kesuksesan yang sudah ditularkan Gemu Fa Mi Re bisa memacu karya-karya musikalitas pesta rakyat ala Maumere, Sikka, fenomena itu akan menjadi fakta.

 Setelah Rokatenda adalah gong waning, atau yang lain. Selamat berkarya musisi dan kreator tarian ala Maumere, Sikka. Kami menanti umpan terobosan berikut.(Alexander Yopi)

Download Gemu Fa Mi Re Mp3 


www.inimaumere.com
Selengkapnya...

WURING

Pernah ke Wuring? Wuring berada dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Alok Barat, Kota Maumere. Untuk mencapai desa nelayan yang berjarak sekitar 3 Km ini tak perlu risau. Aspal mulus membawa kita menikmati perjalanan hingga perkampungannya. Kampung Wuring merupakan daerah rawan tsunami. Masih melekat dalam bayangan tahun 1992, gempa yang disertai gelombang tsunami menghantam kawasan pesisir ini. Pemerintah kemudian merelokasi warganya kedataran yang lebih tinggi di  Nangahure. Namun sebagai keturunan pelaut, warga Wuring kemudian kembali kepemukiman dan tetap menetap didaerah ini seperti sediakala. Masyarakat Wuring merupakan keturunan etnis Tidung Bajao, salah satu etnis dari enam etnis di Kabupaten Sikka, Flores.

 Keturunan mereka berasal dari Sulawesi Selatan. Beratus tahun etnis ini telah menetap di sebagian wilayah pesisir utara Kabupaten Sikka. Mengunjungi desa ini, kesan pertama cukup menggoda ketika kita bercengkerama diantara ikan-ikan laut yang bertebaran di lokasi pasar harian. Berbagai macam jenis ikan bisa kita jumpai.


Mama-mama pedagang ikan dengan dengan telaten melayani pembeli yang sebagian berasal dari Kota Maumere. Keberadaan pasar dan aktivitas masyarakatnya dimulai sejak pagi hari dengan datangnya para nelayan yang mencari ikan di sekitar Laut Flores.

 Salah satu pemandangan unik di kampung ini adalah menyaksikan puluhan rumah khas suku bajao yang berdiri mengangkang pesisir laut Flores. Seolah-olah terlihat seperti rumah terapung. Barisan rumah ini berdiri kokoh dengan tiang-tiang penyangga menancap kuat di dasar pantai yang landai. Dibawah kolong rumah nampak sampah menumpuk, dengan baunya khas tidak seorang pun yang peduli. Kehidupan orang-orang di sekitarnya berjalan sebagaimana adanya. Tak ada perasaan takut dengan ancaman tsunami dgn kondisi pemukiman yang sebagian berada di laut.  

 Didaerah ini, terdapat satu pelabuhan kapal yang berada didalam teluk yang menjorok kedalam. Aktivitas pelabuhan ini cukup sibuk sebagai pelabuhan bongkar muat barang. Kapal-kapal motor berbadan kayu mayoritas menghuni pelabuhan, dengan aktivitas mengangkut hasil bumi dan bahan bangunan dari Maumere ke Makassar, Buton ataupun sebaliknya. 

Selain itu, didaerah pesisir ini pemandangan cukup indah. Pada umumnya suku bajo diwuring kebanyakan berprofesi sebagai Nelayan. Walaupun ada sebagian kecil suku bajo tersebut menjadi pedagang.  Aktivitas melaut  biasa dilakukan pada malam hari, dimulai pada jam 3 sore hingga pagi hari. 

 Selain ikan-ikan segar, Wuring juga terkenal sebagai daerah produksi ikan asin (ikan kering) dari jenis kerapuh hingga teri. Sejumlah warga Maumere, selalu menyempatkan waktu dihari libur untuk berbelanja ikan di daerah pinggiran ini. Sebagian melanjutkan perjalanan ke arah barat, menikmati pemandangan indah Kajuwulu dan Tanjung di pantura Flores. Tentu tak lupa menikmati gurihnya ikan bakar dan secangkir moke di pesisir nan elok.


foto utma: kembarabahari
foto halaman: dari berbagai sumber


www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Kebiasaan Pesta Miskinkan Orang NTT

Mental dan perilaku serta kebiasaan pesta di NTT antara lain menyebabkan daerah itu tetap miskin dan terbelakang. Pesta itu berlangsung sepanjang malam dan siang hari dengan menghabiskan dana rata-rata Rp 50 juta per pesta. Direktur Yayasan Peduli Sesama NTT Isidorus Kopong Udak di Kupang, Senin (9/7/2012), mengatakan, meski biaya pesta dipinjam dari berbagai sumber, tetapi penyelenggara pesta tidak pernah merasa malu atau takut menyelenggarakan pesta. "Ada macam-macam pesta, mulai dari ulang tahun, syukuran rumah, cukur rambut, sambut baru (komuni pertama), wisuda, kumpul keluarga, tahbisan pastor, pesta panen, pesta bangun rumah, syukuran rumah baru, dan seterusnya," kata Udak. Setiap penyelenggaraan pesta menghadirkan antara 50-2.000 orang undangan. Masing masing tamu undangan dijamu dengan biaya Rp 40.000-Rp 70.000, tergantung status sosial penyelenggara pesta.

Menurut Udak, NTT masuk kategori provinsi termiskin di Indonesia, tetapi tidak ada upaya pemda setempat menekan kegiatan pesta. Pemda sendiri juga terlibat di dalam perilaku pesta itu.

 "Para pejabat yang anaknya sambut baru (komuni pertama), wisuda, dan lainnya menyelenggarakan pesta yang jauh lebih semarak dari warga biasa. Gengsi sosial sangat tinggi terkait penyelenggaraan pesta ini," kata Udak. 

 Ia mengatakan, sebaiknya ada perda untuk membatasi pesta, termasuk waktu penyelenggaraan, anggaran, jumlah tamu undangan, dan minuman keras pesta. Banyak anak sekolah terlibat di dalam kegiatan pesta itu sehingga melupakan belajar. Mereka berdansa dan menari sepanjang malam sambil mabuk-mabukan, hingga lupa belajar. 

 "Pesta ini masalah sosial yang mesti segera ditangani pemerintah, tokoh agama, dan aparat keamanan," kata Udak.(pos-kupang.com)
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Friday, July 13 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---