Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Friday 12 February 2010

Apalah Arti Sebuah Nama

Refleksi Jelang Hari Raya Imlek; Perjalanan Panjang Etnis Tionghoa Dalam Mencari Indentitas Diri

Oleh : Theodorus Widodo
Wakil Ketua Forum Pembauran Kebangsaan Nusa Tenggara Timur (NTT)

SEBAGAI komunitas yang nyaris kehilangan jati diri karena berbagai upaya sistematis rezim otoriter masa lalu, tulisan ini mencoba menampilkan salah satu bagian dari apa yg disebut Erving Goffman sebagai "back region" atau "wilayah belakang" etnis Tionghoa di Indonesia. Back region atau wilayah belakang nampak jelas ketika kita menyaksikan dua politisi yang berkelahi hebat di depan orang banyak, tetapi mereka akan berpelukan sebagaimana layaknya dua sahabat ketika berada berdua sendiri . Back region bagi suatu etnis adalah bagian belakang panggung etnis tersebut yg terjadi atau mereka rasakan tetapi tidak terlihat oleh orang orang diluar mereka. Dan salah satu back region bagi etnis Tionghoa yg dimaksudkan disini adalah kegalauan etnis ini mengenali siapa dirinya.
Istilah yg dipakai disini "Tionghoa", bukan "Cina" utk membedakannya dari org Cina yg ada di daratan Cina. Alasan lain¬nya adalah disamping kosa kata Cina sebenarnya berasal dari bahasa Belanda China yang mengacu pada Cina kunciran,Istilah Cina juga mengandung arti yang merendahkan dan dianggap oleh orang yang bersangkutan sebagai sebutan yang bersifat menghina dan meremehkan ( Copple dan Suryadinata,1970; Tan,1990; Copple,2005).

Istilah "Overseas Chinese" atau "Cina Perantauan " atau "huaqiao' sebagaimana yg digunakan Lea Williams dlm bukunya " Overseas Chinese Nationalism " pun tidak digunakan disini karena "Overseas Chinese" akan bermakna Warga Negara Republik Rakyat Cina yg berada diluar negri yang tetap berada dalam perlindungan pemerintah RRC ( ps 50,UUD 1982 RRC) ;
Tambahan adjective "Indonesia" menjadi "Cina Indonesia"juga tidak dipakai karena etnis ini sudah merupakan bagian integral bangsa Indonesia.Toh tidak ada Jawa Indonesia, Minang Indonesia, Dayak 'Indonesia dsb

Istilah "Tionghoa" paling tepat digunakan walaupun masih ada kesulitan besar mengganti sebutan "Cina" menjadi "Tionghoa". Beberapa kata "Cina "sudah akrab ditelinga masyarakat. Ada "petai cina", ada "kampung cina" ,bahkan di Kupang ada "lemun cina", "air cina" , "menangis cina (menangis sampai keluar ingusnya)" dsb. Apa mungkin mengganti "lemun cina" dan "Air Cina" menjadi "Lemun Tionghoa" dan "Air Tionghoa"?. .

Disamping banyak juga bahasa daerah yang menggunakan istilah yang mirip “China’. Di Ende "Ata Sina ",d1 Jawa "Wong Cino dst".

Kesulitan menggganti "Cina" dengan "Tionghoa" ini bertambah lagi akibat pendapat sebagian kalangan Tionghoa sendiri yg mengatakan,dari pada alergi dengan istilah ini karena berkonotasi penghinaan sebagaimana istilah "Arab "bagi orang "Saudi" atau ''Yankee" bagi "American", Iebih baik "Cina" ini dibiasakan saja ditelinga etnis Tionghoa sendiri agar ia tidak bisa dipakai lagi sebagai sebuah kosakata berkonotasi penghinaan sebagaimana yg dimaksudkan oleh regim otoriter masa lalu yg sampai sampai perlu mengeluarkan peraturan mengganti sebutan etnis ini dari Tionghoa menjadi Cina dengan tujuan untuk menciptakan rsa inferior dikalangan warga Tionghoa. Aneh bin ajaib, Negara kurang kerjaan sampai sampai harus mengatur sebutan untuk sebuah etnis. Untung saja ketika itu kita masih memiliki beberapa tokoh yg benar benar benar benar radar akan kesetaraan etnis, antara lain Ro¬sihan Anwar dan Adam malik yg tetap konsisten menyebut "Tionghoa" pada berbagai kesempatan.

Wacana tentang "Cina dan "Tionghoa" ini akan menjadi debat panjang dan rumit kalau diteruskan. Untuk itu sebaiknya soal ini tidak perlu dibahas lebih jauh lagi karena bagaimanapun "Cina atau Tionghoa" tidak akan merubah seseorang yg Tionghoa (baca: salah satu suku yg ada di bumi Nusantara) menjadi Cina ( Yg sama dengan Cina yang ada didaratan Cina) atau sebaliknya karena kosakata ini adalah kosakata "descriptive", bukan "performative".( meminjam tulisan filsuf inggris terkenal John L Austin).

Contoh bahasa descriptif , kata " itu meja"tidak akan merubah seketika sebuah "kursi" menjadi "meja" tapi bahasa performative yg diucapkan oleh seorang menteri dalam negri yg mengucapkan kalimat kalimat " Dengan ini saudara dinyatakan menjadi Gubernur" maka seketika itu jugs seseorang akan menjadi Gubernur dengan segala konsekuensinya. Bagaimanapun etnis Tionghoa sudah ada sejak ratusan tahun lalu, bahkan dalam catatan sejarah, nenek moyang penduduk nusantara berasal dari Cina selatan. Mengingkari keberadaannya sebagai bagian dari Bangsa Indonesia berarti mengingkari sejarah. Ia sudah ada dan sudah menjadi bagian integral Bangsa Indonesia.Singkat kata, menggantinya dengan "Cina" tidak akan menjadikan Tionghoa menjadi "Cina Daratan" atau bukan Tionghoa ,atau bukan bagian dari Bangsa Indonesia'

Berbeda dengan sebutan untuk etnis secara keseluruhan, nama pribadi seseorang adalah sesuatu yg amat penting karena nama menunjukkan identitas pribadi termasuk etnisitas orang tersebut.

"What is a name" , begitu kata sastrawan besar William Shakespiere.


Banyak yg tidak setuju atas pernyataan ini. Anda mungkin akan memutuskan batal kepesta kerabat anda kalau yg empunya pesta salah menulis nama atau bahkan jika lama anda.ditulis kurang satu huruf saja . Walaupun seringkali dihalaman depan bawah undangan sudah tertulis :"mohon 'maaf jika terjadi kesalahan penulisan nama dan gelar”. Anda nungkin akan kecewa jika seorang teman salah menyebut nama anda didepan umum. Konon, suara yg paling merdu ditelinga adalah ketika nama kita disrebut orang .

Di Indonesia, nama sangat berarti bahkan cenderung sakral karena nama dapat menunjukkan asal daerah, keluarga, agama, bahkan status sosial. Bagi suku suku tertentu, nama seseorang dipilih dengan berbagai perhitungan agar dikemudian hari nama itu dapat membawa kebaikan bagi yg bersangkutan, bahkan tak jarang nama itu diganti apabila dianggap menimbulkan malapetaka bagi yg menyandangnya. Ada berbagai suku yg memiliki kebiasaan yg berbeda dalam memberi nama.Bagi suku Batak yang sistem kekeluragaanya patrilineal nama seseorang bisanya terdiri dari nama kecil dan nama marga, berbeda dengan suku Sunda dan Jawa yg sistem kekeluargaannya parental , pada umumnya tidak mengenal nama marga atau keluarga yg diturunkan, sehingga nama seseorang biasanya hanya terdiri dari satu kata .Kalaupun terdiri dari dua kata atau lebih, tambahan dari nama nama yg diambil itu biasanya berasal dari tokoh agama yg bersangkutan atau nama nama khas yg menunjukkan status sosialnya. Konon, sebagian orang Manggarai memberi nama anaknya untuk mengenang apa yg terjadi pada saat kelahiran.Suku suku di Bali memberikan nama sesuai kasta dan urutan kelahiran.

Nama,penting bagi siapa saja.begitu pula bagi etnis Tionghoa.Nama Tionghoa selalu terdiri dari tiga kata. Kata pertama menunjukkan marga, kata kedua generasi, dan kata ketiga adalah nama kecil atau nama panggilan seseorang. Dengan sistem kekeluargaan etnis Tionghoa yg patrilineal, nama ditentukan menurut hukum kebapakan, sehingga nama marga diturunkan dari garis laki laki. Setiap nama bagi etnis Tionghoa dipilih dan diperhitungkan dengan sangat hati hati agar memiliki arti yg baik pula dikemudian hari.Oleh karena semua etnis Tionghoa menyandang nama marga dan generasi, nama menjadi sesuatu yg sangat berharga untuk dijaga sebaik baiknya karena kelakuan buruk seseorang dapat menodai nama marga dan keluarganya. Hubungan kekerabatanpun biasanya bisa langsung di¬ketahui dari nama pertama dan kedua yg disandang.
Marga Oey pada generasi tertentu semua prianya harus menggunakan nama kedua Tek, sehingga semua yg namanya Oey Tek, besar kemungkinan berasal dari satu kakek.Nama ketiga merupakan nama kecil atau nama panggilan seseorang dan hanya menjadi milik pribadi orang itu. Dengan menyebut Oey Tek Leang , orang akan dengan mudah mengetahui identitas pribadi yaitu marga, generasi ,bahkan siapa kakek nya. Sama halnya pada Aria, wanita Tionghoa pun demikian. Wanita marga Oey pada generasi tertentu harus menggunakan nama kedua yg sama. Dengan demikian orang akan dengan mudah mengetahui hubungan kekerabatan antar sesama Tionghoa yg menggunakan tiga kata dan perkawinan antar kerabat dekatpun dapat dihindari.
Nama, bagi sukuTionghoa seperti halnya agama (baca:Kong Fu Chu) dan budaya telah dijadikan symbol politik regim otoriter masa lalu. Keputusan Presidium Kabinet No 127/U/Kep/12/1966 tentang ganti nama warga Tionghoa adalah kesalahan paling fatal yg sudah terjadi. . Akibat utama kebijakan ini, etnis Tionghoa memiliki double identity. Disatu saat ia Tionghoa , disaat lain ia bukan Thionghoa.

Banyak Tionghoa yang galau bertanya siapa sebenarnya dirinya.. Kegalauan mencari identitas diri ini dengan bagus sekali di lukiskan oleh “Effendi. Wardhana” dalam cerita bersambung di harian kompas thn 1999. Ia mengalami kebingungan karena memiliki 3 nama . "Peng Hwa" , "Ping An" dan "Effendi Wardhana". Kalau berada diantara kawan dekat sesama etnis, Effendi lebih suka dipanggil Peng Hwa atau Ping An tapi kalau sedang berurusan dengan instansi resmi ia ingin dipanggil Effendi. Memiliki 3 nama ini menyebabkan ia kadang kadang mengalami kesulitan merespon panggilan yg ditujukan kepada dirinya. Dalam kehidupan sehari hari, ia merasa tertekan karena dipaksa bertindak layaknya hewan yg pandai mengganti wama kulit. " Sejarah telah menyeretku menjadi bunglon : cepat berganti nama begitu berpindah tempat ".

Suatu ketika, ia berada di Paris,sebuah kota kosmopolitan yg dihuni oleh berbagai bangsa. Disana ia tidak perlu lagi ngumpet seperti yg sering dilakukannya di Jakarta karena takut mengalami perlakuan diskriminatif yg menyebabkan ia merasa. etnisitas yg dimilikinya adalah sebuah kutukan. Di Paris ia tidak perlu lagi kuatir dikenal siapa dia sebenarnya. Dipauggil apapun ia tidak peduli. Ditempat yg bukan bagian dari Indonesia ia merasa "plong".Hal yg tidak dirasakannya ketika ia berada di Jakarta.

Double identity yg dimiliki etnis ini seringkali menjadi sasaran empuk hagi kelompok tertentu yg rasist yg tidak menghendaki etnis Tionghoa menjadi bagian integral bangsa Indonesia. Ketika seorang warga Tionghoa jadi bajingan , media massa tertentu akan memblow-upnya dengan menyebut pelaku lengkap keturunan, lengkap etnis,lengkap pula nama aslinya. Contoh ,kasus Eddie Tansil. Pasti banyak dari kita yg masih ingat nama asli Eddie Tansil karena oleh media massa tertentu, Eddie Tansil selalu ditulis , "Eddie Tansil, WNI Keturunan Cina alias Tan Tju Hong".

Tapi ketika seorang Rudy Hartono menjuarai All England delapan kali, tidak sekalipun ditulis lengkap identitas pribadi Rudy Hartono. Pasti juga tidak banyak pembaca yg tahu nama asli Susi Susanti dan Allan Budi Kusuma,sepasang sejoli pelaku sejarah olahraga dunia yg berhasil mengibarkan bendera merah putih pertama kali di Olympiade. Ada pula nama nama seperti Wongso Suseno sang juara IBF pertama sebelum Elias Pical, Putu Wijaya, Marga T,Basuki Abdullah,Mira W,Abdu I hadi WM, Arief Budiman.,atau bahkan petinju kebanggan kita saat ini Chris John. Kita tak pernah tahu etnisitas para tokoh ini karena mereka tidak menggunakan nama Tionghoa.

Nama, sekali lagi menunjukkan identitas etnis seseorang. Stigma Tionghoa pelit, tidak memiliki rasa solidaritas, tidak peduli pada sesama dsb tidak akan pernah pupus sepanjang nama bunglon nya yg dipakai ketika mereka menyumbang. Perhatikan text kaki/ running text pd televisi atau daftar penyumbang ketika terjadi suatu bencana. Bisakah kita tahu bahwa nama2 seperti Adhi Sanjaya, Lukas Wijaya, Ingrid Luanjaya, Chandra Elim, Piter Gonzales, Christine Sulaiman dsb adalah etnis Tionghoa ? Bayangkan kalau yg menyumbang adalah Frans Silitonga, Deddy Panjaitan, Ketut Suasta, Putu Wardhana atau Yohanes Wara, Adhi Lema, Jemmy saudale, Anton Serail dsb, sudah pasti kita akan tahu etnisitas mereka.

Ketua Forum Pembauran Kebangsaan NTT, Pius Rengka selalu mengemukakan dalam berbagai kesempatan, manusia memiliki dua identitas yaitu Given Identity (Identitas terberi) dan Culture Identity( Identitas budaya). Given Identity sampai kapanpun tidak akan bisa diganti karena ia telah ada sejak lahir. Jika anda seorang pria, anda tidak pernah akan bisa berubah men¬jadi wanita. Ganti penis menjadi vagina sekalipun, anda tetap seorang pria , cuma peluru kendali anda saja yg hilang.

Jika anda terlahir sebagai anak Manggarai, seumur hidup anda tetap akan menjadi orang Manggarai. Beda dengan given identity, culture identity bisa diganti. Setiap saat anda bisa berganti Agama, Bahasa dsb. Sayangnya pemerintah dulu tidak bisa membedakan kedua jenis identitas ini. Dengan merubah culture identity etnis Tionghoa ,dikiranya given identity mereka juga bisa berubah. Ketika itu pembauran asimilatif diupayakan dengan cara orang diminta mengingkari identitas dirinya. Suatu hal yg mustahil karena sampai kapanpun given identity tidak akan bisa berubah dan pembauran dengan mengingkari identitas diri yg berarti juga mengingkari adanya pluraritas adalah upaya yg sia sia . Sekali terlahir dengan kulit kuning mata sipit, sampai kapanpun kulitnya akan tetap kuning dan matanya akan tetap sipit sekalipun ia ganti nama, ia dilarang berbahasa mandarin, ia dilarang melakukan atraksi budaya,ditutup sekolahnya,dilarang memperluas/mendirikan kelenteng dsb.

Tentang nama ini ,mungkin suatu saat nanti Pius Rengka perlu pula menjelaskan apakah ia termasuk given identity atau bukan karena kalau given identity adalah sesuatu yg tidak bisa dirubah karena ia sudah ada sejak kelahiran ( warna kulit, raut wajah, jenis kelamin dsb),nama marga bagi etnis apapun bahkan sudah ada sebelum kelahiran dan mestinya tidak bisa dirubah.
Ganti nama telah semakin mengaburkan identitas etnis Tionghoa. " Who am I ? " , itulah pertanyaan yg selalu muncul ketika nama tidak menunjukkan identitas diri.

Mengakhiri tulisan ini, tiba tiba terbayang,andaikan saja suatu saat ganti nama marga yg sudah terjadi pada etnis Tionghoa ini terjadi pula pada etnis lainnya . Nama nama marga seperti Abineno,Manafe, Manek, Riwu Rohi, Riwu Kore, Silitonga, Panjaitan, Da Santo dll nya suatu saat nanti diminta untuk diganti . Wallahualam..Entah apa yg akan terjadi!!!.


Oleh : Theodorus Widodo
Wakil Ketua Forum Pembauran Kebangsaan Nusa Tenggara Timur (NTT)

www.inimaumere.com



Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Friday, February 12 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---