Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Monday 12 December 2011

Tiga Ribu Lilin untuk Korban Gempa '92

Malam Renungan di Taman Kristus Raja

Mengenang korban dan peristiwa gempa tsunami yang melanda Pulau Flores 12 Desember 1992, puluhan pelajar SDK 2 Maumere berkumpul bersama mengikuti malam renungan dan penyalaan 3000 lilin di Taman Kristus Raja Maumere,Senin (12/12/2011). Kegiatan ini diprakarsai Forum Peduli Penanggulangan Bencana (FPPB) Kabupaten Sikka. Ketua Divisi Penanggulangan Resiko Bencana, Wim Keupung mengatakan malam 3000 lilin tersebut untuk mengenang sekitar tiga ribu korban yang tewas saat bencana nasional tersebut melanda. Sebelumnya pada pagi hingga sinag hari FPPB menggelar evakuasi laut dari Basarnas (Badan SAR Nasional) Sikka dan Tireben (Tim Reelawan Bencana) Sikka serta penaburan bunga ke laut di pesisir pantai Wuring. Kampung Wuring merupakan salah satu lokasi yang mengalami kerusakan parah dan jumlah korban yang tak sedikit. Begitu pula beberapa tempat lain seperti Pulau Babi, Pulau Sukun dan lain-lain. Di daratan, puluhan ribu rumah hancur dan korban berjatuhan lantaran tertimpa bangunan yang rubuh.



Diantara remang-remang cahaya lilin, lantunan doa rosario mengalir dari bibir para bocah. Begitu pula saat Emanuel Ola, guru SDK 2 memberi sebuah renungan atas peristiwa memilukan 19 tahun lalu tersebut. Para bocah-bocah yang tak pernah mengalami peristiwa itu mengikuti dengan seksama.

Disebagian renungannya, Ola mengajak umat manusia agar tidak mevonis para korban pada kejadian bencana sebagai sebuah azab. Ia mengatakan meski bermaksud memberi peringatan kepada kita yang masih hidup dan jauh dari bencana, namun pesan-pesan itu tak perlu dibumbui dengan vonis dosa bagi para korban bencana. “Tidak ada bedanya seperti mengolok-mengolok bencana itu sebagai bahan tertawaan. Bila kita tak mampu menolong orang lain, berusahalah untuk tidak menyakitinya,” ajak guru asal berdarah Lembata yang telah lama menetap di Maumere.



Bencana gempa yang diikuti tsunami pada tanggal 12 desember 1992 menghancurkan sebagian wilayah Flores. Tercatat ada empat kabupaten yang terkena dampak bencana tersebut yakni Kabupaten Sikka yang mengalami kerusakan dan korban jiwa terbanyak, Flores Timur, Ende dan Bajawa.

Bencana tersebut juga ditetapkan pemerintah pusat sebagai bencana nasional. Bantuan nasional dan international kemudian turun meringankan beban para korban. Presiden Soeharto dan Ibu Tin beserta pejabat negara kemudian meakukan kunjungan ke Maumere dan bertatap muka serta memberi bantuan bagi warga. Banyak kejadian dan cerita pahit namun tak sedikit juga mengalami perisitiwa ajaib.

Kita mestinya tetap waspada karena bencana gempa dan tsunami datang tanpa kita tahu. Bahkan Flores oleh para ahli disebut sebagai daerah merah alias rawan gempa.



www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Dua Minggu setelah Gempa Tsunami 1992 Goyang Flores

Catatan Majalah Tempo - Maumere - 26 Desember 1992

FLORES, dalam bahasa Portugal, berarti bunga. Tapi pelaut Vacso da Gama, yang menemukan daratan itu empat abad yang lalu, menjuluki Flores sebagai bunga yang indah. Setelah gempa dahsyat disusul badai tsunami menerjang pulau itu -- Sabtu dua pekan lalu -- Flores barangkali lebih tepat disebut pulau yang sedang menderita. Empat kabupaten di sana -- Sikka, Ngada, Ende, dan Flores Timur -- seakan berhenti berdetak. Menurut catatan posko penanggulangan bencana di daerah itu, sampai akhir pekan lalu, korban yang tewas sudah lebih dari 2.400 orang. Gempa dan gelombang tsunami itu mengakibatkan sekitar 18 ribu rumah hancur, 113 sekolah porak-poranda, 211 kantor rusak berat, 120 tempat ibadah -- sebagian besar di antaranya gereja -- tak lagi bisa dipakai, dan lima jalan utama lumpuh. Ini bukan lagi kepalang tanggung. Menurut taksiran sementara, kerugian mencapai Rp 200 milyar. Karena itu, ada yang bilang, kondisi kabupaten ini sekarang mundur ke Pelita pertama. Inilah gempa bumi dengan korban terbesar sepanjang sejarah republik ini. Maumere, jantung dan ibukota Kabupaten Sikka, menderita paling parah. Lebih dari 10.000 rumah penduduk hancur.

Kota ini berpenduduk sekitar 20.000 jiwa. Denyut kegiatan ekonomi di sana sementara ini boleh dibilang mengalami koma, kendati bukan berarti mati. Lihat saja, bagaimana pasar lama di dekat pelabuhan hancur. Daerah pertokoan tinggal puing dan bangunan rontok. Kantor BRI, rumah sakit, dan semua bangunan pemerintah lainnya rusak berat.

Jalan utama pecah-pecah, dan di beberapa bagian merekah. Pelabuhan pun harus direhabilitasi berat. Dermaga sebelah timur amblas. Kegiatan pengiriman hasil laut Flores, terutama ikan tuna dan cakalang, jelas terancam. Dua gudang pendingin berkapasitas 100 ton di pelabuhan porak-poranda, menerbangkan 30 ton ikan tuna beku yang siap dikirim.

Untung, listrik yang padam di seluruh kota, sejak kota ini disergap bencana itu, Rabu lalu sudah mulai menyala. Namun, jangan coba-coba mencari hotel di Maumere. Hampir seluruhnya penuh. Isinya: wartawan atau pejabat dari Pusat.

Namun, seperti dilaporkan wartawan TEMPO Zed Abidien dari Maumere, "Saya terpaksa bangun tiga kali di hotel karena gempa masih terasa menggetarkan. Sepertinya lebih aman tidur di luar, di tenda-tenda penduduk."

Menurut catatan Stasiun Meteorologi dan Geofisika setempat, gempa susulan masih datang, sekalipun goyangnya tak lagi kuat. Sementara gempa yang meremukkan itu berkekuatan 6,8 skala Richter, susulannya paling berkekuatan 3 skala Richter. Maka, Maumere memang menjelma menjadi kota tenda. Penduduk masih takut bermalam di dalam rumah atau bangunan permanen lainnya. Empat tempat penampungan korban bencana didirikan di Kabupaten Sikka. Satu di antaranya di Nangahale, Taliburo, yang saat ini menampung sekitar 900 pengungsi, 300 di antaranya berasal dari Pulau Babi, di lepas Pantai Maumere. Bahkan penduduk yang bermobil pun, bila malam, tampak menggelar tenda di luar pekarangan rumahnya yang roboh.

Musibah yang tak kurang parahnya diderita penduduk di pulau-pulau yang terpencil, dan biasanya terpencil pula dari perhatian orang. Misalnya, lihatlah penduduk Pulau Babi. Pulau yang terletak di sebelah timur lepas pantai Maumere itu -- dua jam perjalanan dengan kapal motor -- adalah tempat yang sangat menyesakkan napas. Wartawan TEMPO, yang bergabung dengan dua peleton zeni tempur Kodam Udayana yang dikirim ke lokasi tiga hari setelah kejadian, disambut bau anyir mayat manusia ketika menjejakkan kaki di pulau gundul itu.

Keindahan Laut Flores dengan bunga karangnya praktis pupus ketika terlihat pemandangan ini: rumah penduduk yang terseret sampai ke bibir pantai, kubah mesjid yang terpangkas roboh, dan mayat-mayat yang membusuk. Sebagian mayat itu bergeletakan di bawah pohon kelapa. Sebagian lagi dikumpulkan dari bawah reruntuhan rumah-rumah. Kabar terakhir, penduduk pulau yang tercatat sebanyak 1017 jiwa itu kini tinggal sekitar 700 orang. Empat ratus yang lain diperkirakan habis disapu tsunami.

Menurut keterangan saksi mata, seluruh pulau ini sempat ditenggelamkan gelombang air tsunami selama beberapa detik. Gelombang itu kemudian menyeret apa saja yang ada di pulau itu ke laut. Sampai Kamis pekan lalu baru sekitar 100 mayat yang ditemukan. Penduduk yang selamat memilih membangun tenda darurat di sebuah bukit yang merupakan puncak tertinggi di pulau itu.

Dan tampaknya penduduk Pulau Babi dicekam trauma. Karena belum ada seorang pun yang datang untuk mencari maupun mengenali sanak keluarga mereka yang tewas. Akhirnya, keputusan diambil petugas: semua mayat yang ditemukan langsung dikubur. Ada yang dikubur satu orang dalam satu lubang, ada pula yang satu lubang untuk dua atau tiga orang. Repotnya, galian lubang tak bisa terlalu dalam, karena baru setengah meter digali, air asin sudah memenuhi lubang.

Pulau Babi terdiri dari dua dusun, Batter dan Pagaraman. Uniknya, Dusun Batter ini penduduknya Islam, sedangkan Dusun Pagaraman dihuni penduduk yang beragama Katolik. Kalau penduduk Batter membangun masjid, rakyat Pagaraman ikut turun tangan. Begitu sebaliknya. Maka, nama pulau pun ikut berbeda. Penduduk yang mayoritas Islam tak mau menyebut kata babi, lalu memilih kata Batter untuk nama pulau kecil itu. Sedangkan yang di Dusun Pagaraman memakai sebutan babi.

Konon, penduduk yang beragama Islam itu datang dari Sulawesi, dari suku Bajo. Penduduk Pagaraman adalah orang Flores asli. Mata pencaharian kedua dusun itu sama, nelayan. Ada yang melaut. Ada yang memilih mencari nener (bibit bandeng) di pantai. Ketika mencari nener itulah Safei, 50 tahun, penduduk Batter, menyaksikan datangnya gelombang pasang luar biasa yang diakibatkan gempa itu.

"Suara itu bergemuruh seperti bunyi pesawat terbang. Saya berada di Pantai Tanjungdarat, di Flores, dan saat itu ada 21 penduduk yang sedang mencari ikan. Tiba-tiba air laut susut. Lalu datanglah badai. Ombak setinggi kira-kira 20 meter menghantam pantai," cerita Safei.

Antara Pantai Tanjungdarat Flores dan Pulau Babi ada selat selebar 15 kilometer. Jadi dia melihat jelas Pulau Babi seperti ditelan ombak. Safei mengajak istrinya lari ke daratan Flores, tapi sang istri yang ingat tiga anak mereka ditinggal di Pulau Babi, malah lari ke laut seperti hendak berenang untuk menyelamatkan anaknya di pulau itu. Sang istri pun terseret arus deras.

Safei pulang dengan sampannya ke Pulau Babi. Apa yang didapatinya? "Tiga anak saya hilang, istri saya juga hilang," katanya pilu.

Yang juga dilanda nestapa adalah penduduk Pulau Pemana, yang bisa dicapai dari Pantai Maumere dengan perahu selama dua jam perjalanan. Pulau yang berpenghuni 4.500 jiwa ini (700 kepala keluarga) mayoritas penduduknya beragama Islam. Dan sangat taat. Di pulau ini sudah ditemukan 29 mayat yang tewas kejatuhan bangunan. Derita ini masih ditambah dengan keruhnya air minum akibat badai tsunami.

"Disaring pun air putih ini belum bagus diminum," kata Abbas Tambo, penduduk Pemana. Hampir semua bangunan di pulau kecil itu runtuh, termasuk SD Inpres, SMP PGRI, dan sekolah taman kanak-kanak. Tiang-tiang listrik pun tumbang kena longsoran batu-batu raksasa.

Dalam kondisi mayat bergeletakan membusuk, wabah kolera, tifus, serta disentri diduga akan segera berkecamuk. Dan wabah ini bisa merepotkan karena ia seakan berpacu dengan masuknya bantuan obat-obatan. Padahal transportasi ke daerah terpencil bukan main sulitnya. Hari Kamis pekan lalu, dalam sehari sampai ada 32 sorti (penerbangan bolak-balik) pesawat yang mengangkut bantuan dari Jakarta, Denpasar, maupun Kupang, ibu kota provinsi, yang mendarat di Bandara Wai Oti Maumere.

Syukurlah, tampaknya tragedi ini mendapat perhatian paling luas dari dalam dan luar negeri. Bantuan datang dari negeri tetangga Australia, Bank Pembangunan Asia, dan beberapa negeri lainnya. Bantuan dari Australia sampai dikirim dengan pesawat khusus. Pernyataan prihatin atas bencana yang memilukan hati ini berdatangan dari mana-mana, termasuk dari Paus Yohanes Paulus II. Pernyataan yang sama juga datang dari Putra Mahkota Kerajaan Yordania El Hasan Ibnu Talal. Raja Arab Saudi Fahd Bin Abdul Azis menyampaikan doa agar para korban yang meninggal dunia mendapat rahmat dari Allah. MUI mengimbau umat Islam Indonesia agar mengumpukan dana kemanusiaan untuk membantu masyarakat yang terkena musibah di Flores. Pengurus Pusat Muhammadiyah malah segera mengirim tim bantuan kemanusiaan yang terdiri dari tiga dokter dan enam perawat -- dengan peralatan dan obat-obatan -- ke daerah gempa itu. Organisasi itu juga membuka dompet bantuan kemanusiaan. MUI Aceh pun turut mengimbau masyarakatnya agar prihatin dan membantu korban bencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur itu.

Semua cerita di atas membesarkan hati, karena menggambarkan kegotong-royongan masyarakat, tanpa melihat suku atau agama. Mayoritas masyarakat Flores berama Katolik dan Kristen. Bantuan masyarakat mengalir pula melalui dompet terbuka di koran-koran seperti Kompas, Suara Pembaruan, dan Jawa Pos. Untuk pengumpulan dana model ini, jumlah terbesar dikumpulkan Jawa Pos. Sampai Sabtu pekan lalu, koran Surabaya itu telah mengumpulkan uang lebih Rp 164 juta.

Secara keseluruhan, bantuan terbesar, sekitar Rp 3 milyar, datang dari pemerintah Jepang. Total bantuan sampai pekan lalu mendekati Rp 5 milyar. Pemerintah telah menetapkan kejadian tragis di Flores itu sebagai bencana nasional. Konon, inilah pertama kalinya sebuah bencana gempa bumi dinyatakan sebagai bencana nasional.

Tadinya, seluruh bantuan ini ditangani oleh tim Satkorlak (Satuan Koordinasi Pelaksana), penanggulangan gempa yang dibentuk Pemda NTT. Kemudian, barangkali agar lebih memudahkan, tim ini dipimpin langsung oleh Pangdam Udayana Mayor Jenderal Soewardi.

Maka, sejak Kamis pekan lalu, di pundak jenderal berbintang dua itulah tanggung jawab penyaluran bantuan ke daerah bencana ini. Jenderal ini mengharuskan stafnya melaporkan kegiatan harian operasi mereka setiap pukul delapan malam. Dan soal penyaluran bantuan, tim yang dipimpin Soewardi ini pula yang menentukan. Sudah diatur: 40% bantuan untuk Kabupaten Sikka, 40% untuk daerah di luar Sikka, dan sisanya untuk petugas.

Kini, paling tidak ada seribu personel ABRI yang sudah diterjunkan ke Flores. Kodam Udayana saja mengedrop satu batalyon (sekitar 700 pasukan) ditambah lima satuan setingkat kompi yang beranggota 150 orang. Masih ada satu kompi Pasukan Khas (Paskhas) AURI, dan tentu saja ditambah satuan militer setempat. Semua ini dalam komando Mayjen. Soewardi.

Pangdam Udayana menolak anggapan kalau pihaknya mengambil alih tugas Pemda NTT dalam hal penyaluran bantuan. "Tak ada pengambilalihan. Nggak ada. Satkorlak itu kan kecil, sedangkan kejadian ini meliputi daerah yang luas," kata Soewardi.

Menurutnya, perintah untuk terjun ke Flores ini langsung diberikan oleh Panglima ABRI pada malam gempa bumi terjadi. Dan, kata Soewardi," Keesokan harinya langsung saya bertolak ke lapangan". Turun tangannya Kodam dalam bantuan ini mungkin karena soal ini memang rawan. Penduduk di daerah yang sulit dijangkau seperti Pulau Pemana, misalnya, akan mudah curiga bahwa daerahnya luput dari droping jatah.

"Praktis kini kami hanya makan singkong. Itu pun hanya untuk seminggu karena persediaan tanaman menipis," kata seorang penduduk Pulau Pemana.

Sebelumnya, setiap hari, penduduk pulau itu rata-rata berpenghasilan seribu sampai Rp 5 ribu, dari hasil memancing ikan. Banyak di antara mereka yang punya televisi ukuran kecil. Pesawat itulah satu-satunya hiburan bagi mereka di tempat terpencil itu.

Selasa pekan lalu, datang droping 4 ton beras. Jumlah ini dianggap penduduk jauh dari memadai untuk 4.500 jiwa yang ada. Tiap kepala keluarga dijatah lima kilogram, tapi konon ada 90 kepala keluarga yang belum kebagian jatah.

"Kami jadi repot mengaturnya. Buat kami, ini seperti musibah di Somalia saja," ujar Suma'ali, 56 tahun, pamong Desa Pemana yang mengaku kerap mengikuti berita Somalia di TVRI.

Urusan yang tak jelas begitu agaknya bisa berakibat macam-macam. Maklumlah, perut lagi lapar. Sabtu pagi yang lalu, sekitar 200 orang warga Kelurahan Baru Maumere mendatangi rumah dinas Bupati Sikka A.M. Konterius. Mereka membawa spanduk yang isinya bermacam-macam tulisan. Antara lain, "Lapar Haus Minta Makan", "Hujan Panas Rumah Tidak Ada Terpal". Jelas ini sebuah demonstrasi. Kapten Jojo Sutarja dari Kodim Sikka yang segera membubarkan arak-arakan itu.

Ada apa? Ferdinandez, 22 tahun, pegawai RSU Hillers yang ikut unjuk rasa, mejelaskan bahwa dia sehari-hari bekerja di rumah sakit umum, dan sibuk menolong korban gempa, tapi dia tak mendapat jatah makanan di rumah. Ada lagi Romanus Radja, buruh pelabuhan yang mengaku ikut membantu posko tapi juga tak kebagian jatah makanan. Ignas da Cunha, Direktur Yayasan Karya Sosial di Maumere yang ikut juga menyalurkan bantuan 60 ton beras, mengimbau pemerintah membuat jelas soal pembagian bantuan.

"Butuh data yang akurat, jumlah penderita dan di mana lokasinya. Saya lihat belum ada data yang jelas," ujar Cunha.

Pangdam Udayana, Mayjen. Soewardi, yang sejak Kamis lalu langsung menangani penyaluran bantuan, rupanya maklum dengan keadaan ini. "Semua menganggap dirinya menderita kerusakan paling besar. Mereka tak mengerti bahwa kerusakan ada di pulau-pulau dan daerah pantai. Masalahnya, bagaimana membagi yang seadil-adilnya," kata Soewardi tegas. Soewardi membantah keras bahwa pemberian bantuan ini disangkutpautkan dengan faktor kesukuan, apalagi agama. Panglima itu benar, yang menderita di Flores adalah sesama saudara. Wahyu Muryadi, Zed Abidien (Maumere), Toriq Hadad (Jakarta)/Majalah Tempo - 26 Desember 1992

baca juga:
Gempa Tsunami Flores 92 dalam Kenangan (galeri foto) disini



www.inimaumere.com

Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Monday, December 12 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---