Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Tuesday 26 August 2008

Don Alessu,Mencari Dunia Tanpa Kematian..(1)

Kisah spiritual Moang Alessu mencari hidup yang kekal untuk rakyatnya....

Baga Igor mempunyai turunan Mo'ang Keu, Kurang, dan Lesu ( (Alessu). Keu dan isterinya Du'a Plue asal Wolomotang. Kurang dan Lesu dari Du'a Hengar, Lifao atau Oekusi di Timor Timur. Kurang dalam perkembangannya mengenakan gelar da Cunha menurut pihak ibu, karena takut akan gelar bapak yang sering meningga1.

Dari keturunan Moang Baga Igor, Lesu atau Alessu tampil secara menonjol. Alessu dikenal berani menghadap tantangan. Seorang pemimpin yang senantiasa gelisah, seperti para filsuf yang selalu bertanya-tanya, mencari sesuatu yang baru. Dia juga tergolong progresif, menggandrungi terobosan-terobosan.

Suatu masa sekitar akhir abad 16, bencana besar melanda Sikka dan sekitarnya. Kematian demi kematian sangat meresahkan, menggelisahkan, dan menakutkan. Wabah penyakit mengganas, tetapi tak diketahui wabah apa itu. Obat-obatan yang tepat belum ada. Anak negeri hanya mengenal obat-obatan tradisional atau hanya menggantungkan kepercayaan kepada setan dan suanggi. Hampir setiap hari banyak jiwa melayang diantar kekubur.

Mo'ang Alessu begitu cemas dan prihatin. Mo'ang Alessu kalut. Dan dalam kekalutan itulah Mo'ang Alesu mencari-cari, bertanya dan terus bertanya: "Adakah suatu tempat di bumi ini yang tak pernah mengalami kematian, di mana manusia hanya hidup,abadi?"
Pertanyaan itu begitu mengguncang diri Mo'ang Alessu terutama bila mendengar ada kematian yang menimpa rakyatnya. Gelisah, resah. Nasi dimakan terasa sekam, air diminum serasa duri. Mo'ang Alessu ingin lari meninggalkan tempat tinggal dan tanah airnya mencari "tanah hidup" yang sangat didambakannya.

Suatu hari berjalanlah Mo'ang Alessu ke pantai utara, Sikka Utara yang dewasa ini dikenal sebagai Maumere. Saat itu di Maumere pelabuhan ada di kawasan Waidoko, ke sanalah Alessu menuju. Banyak perahu dagang berlabuh di Waidoko termasuk yang memuat para musafir dari Malaka.

Mo'ang Alessu begitu tergerak untuk berkenalan dengan para musafir itu. Ternyata Mo'ang Alessu tak menemui kesulitan untuk membangun pergaulan dengan para musafir dari Malaka itu. Salah seorang musafir menyapa dan memperkenalkan dirinya sebagai yang bemama Dzogo Worilla seorang Portugis Malaka.
Mo'ang Alessu juga memperkenalkan dirinya, dan mengungkapkan kegelisahan dalam dirinya. Mo'ang Alessu bertanya,
"Mengapa tuan-tuan hidup mewah begini? Apakah di tanah air tuan-tuan tak ada orang yang dapat mati?Adakah yang hidup selama-lamanya?Apabila demikian, baiklah kami pun tuan bawa untuk hidup bersama-sama, demi mengenyam kebahagiaan itu."

Mendengar pertanyaan Mo'ang Alessu, Dzogo Worilla hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Worilla hanya memberikan pengharapan yang abstrak. "Apabila saudara ingin mencari tempat Jaya, marilah berlayar bersama ke luar daerah ini, dari pulau ke pulau, dari negara ke negara. Di sanalah kita akan melihat, apa artinya hidup. Bila tiba di negara kami, kelak kami akan memperlihatkan kebahagiaan itu".

Mo'ang Alessu menerima tawaran Worilla. Untuk itu dia mohon diri kembali ke Sikka untuk mempersiapkan keperluan dalam pelayaran. Dalam tempo beberapa hari, Mo'ang Alessu sudah mengumpulkan 70 gumpalan emas serta ambar harum (ambar menik yaitu sejenis harum-haruman yang diperoleh dan usus paus penemuan leluhurnya. Ambar itu sangat mahal harganya).

Pada hari yang ditentukan untuk berlayar, Alessu datang ke Waidoko. Singkat cerita, Alessu berlayar bersama Worilla ke Tana Bara, Malaka. Di setiap pulau yang disinggahi, di setiap pelabuhan yang dilabuhi, Alessu senantiasa bertanya tentang kematian dan kehidupan, tentang kesusahan dan kesenangan. Jawaban yang diterima Alessu hanyalah, "Tanah ini adalah tanah mati. Semua orang akan mati".

Dengan berkat Tuhan, Alessu akhirnya tiba di Malaka bersama Worilla. Malaka adalah daerah jajahan Portugis. Dzogo Worilla kemudian melapor perjalanannya kepada Raja Worilla yang adalah ayahnya. Alessu baru sadar bahwa ternyata Dzogo Worilla adalah keluarga kerajaan. Dzogo Worilla secara khusus menceritakan maksud Alessu yang dalam perkenalannya mengaku sebagai raja atas 300 buah kampung.

Mendengar masalah yang mengganggu hati Mo'ang Alessu, Baginda Raja Worilla tertawa, lalu menghiburnya. "Kami di sinipun tak pernah luput dari kematian. Di mana saja ada kematian. Apabila kita ingin hidup selamanya, baiklah pergi ke surga. Di sanalah tempat hidup abadi, dan tak pemah akan mati. Maka untuk mencapai hidup abadi di surga, kita hams mencari jalan ke surga, dengan belajar agama, dan dipermandikan lalu menjadi Kristen, serta hidup baik menurut Hukum Tuhan".

Mendengar petuah Baginda Raja Worilla, Alessu manggut-manggut. Alessu ingin jadi Kristen dengan belajar agama Katolik.

Alessu menerima pembinaan agama Nasrani (Katolik) mungkin setahun. Alessu mempelajari doa serta nyanyian dengan bahasa Portugis. Di samping itu, Alessu juga belajar tentang kepemimpinan dan kebudayaan Portugis. Setelah cukup mendapat pembinaan,Alessu dipermandikan dengan nama Don Alexius Ximenes da Silva. Sebelumnya, Alessu memberikan persembahan kepada baginda raja berupa harta yang dibawanya.

Pada hari itu juga baginda raja melantik Don Alessu sebagai raja resmi Kerajaan Sikka yang takluk pada Portugis dengan gelar Don Alexius Alessu Ximenes da Silva. Alessu dipermandikan dan dilantik sebagai Raja Sikka dan diamanatkan untuk membantu menyebarkan agama Nasrani dalam Kerajaan Sikka.
Untuk itu seorang guru agama ditugaskan untuk mendampingi Alessu. Guru Agama itu bernama Augustinho Rosario da Gama. Alessu sangat berbangga dengan pelantikannya oleh Baginda Raja Worilla yang berbunyi:

"Viva Altissimo Senhor Don Alexius Ximenes da Silva elry, aqual seya boasaudi. Elquam Deos nossa senhor de longa vida permanessa. Elry de regno da Sikka, de blaixo de Lisboa."

Menurut terjemahan D.D. Kondi dan A. BoEr yang kemudian dipetik dan dicatat P. Piet Petu SVD dan Edmundus Pareira kata pelantikan itu bermakna,

"Hiduplah Baginda yang mulia Raja Don Alexius Ximenes da Silva, memerintah kerajaan dengan selamat. Semoga dilanjutkan Tuhan usiamu, tetap memerintah Kerajaan Sikka, takluk ke bawah Baginda dan Ratu di Lisboa".

Setelah pelantikan, Don Alessu dan Augustinho da Gama berkemas untuk kembali ke Sikka. Hatinya lega karena telah mendapat jawaban yang agak jelas mengenai kehidupan kekal.

Referensi Buku : Pelangi Sikka; B.Michael Beding - Indah Lestari Beding
www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Don Alessu, Mencari Dunia Tanpa Kematian....(2)

"Agama Raja adalah Agama Rakyat"

Raja Sikka DonAlexius Alessu Ximenes da Silva dan Agustinho da Gama akhirnya tiba di Sikka. Secara kilat anak negeri se-Sikka mengetahui bahwa Raja Alessu telah kembali dari berdagang. Raja Alessu membawa 70 batang gading, tongkat kerajaan (gai bas tang), mahkota emas bertulisan 1607, kalung leher (tua wulir), rantai besar (rantai bahu),keris emas (pendo bahar), juga rantai leher yang disebut odang spiritu sancto. Selain itu juga sebuah patung kanak-kanak Yesus yang disebut Menino (Me Jidzus). Don Alessu secara khusus dilengkapi pakaian kebesaran seorang pangeran.


Dalam tempo satu dua minggu rakyat Sikka dikumpulkan. Sebuah keramaian besar digelar sebagai sebuah perayaan resmi dimana pelantikan Raja Don Alexius Ximenes da Silva di Malaka diperbarui oleh Augustinho da Gama dihadapan seluruh tua adat Sikka dan rakyatnya. Massa rakyat sangat kagum dengan ritus pelantikan apalagi memandang Raja Don Alexius Ximenes da Silva dalam pakaian kebesaran yang diiringi letusan meriam (meriam bambu?) 12 kali. Seluruh rakyat, para tua adat, hanya bisa mengaku takluk kepada Sang Baginda dan menjunjung tinggi titahnya.

Dalam amanatnya, Raja Don Alexius Ximenes da Silva mengatakan, "Apabila kita ingin mencapai hidup kekal, maka kita harus mempelajari Agama Nasrani yang mengantar kita ke surga, di mana kita tak akan mati lag', Karena bumi ins adalah fana adanya. Di mana-mana terdapat kematian".
Mendengar titah Raja Don Alexius Ximenes da Silva, rakyat serentak minta dipermandikan dan belajar agama Nasrani dari Agustinho da Gama. Bukan karena dipaksa tetapi atas kesadaran atas dunia yang fana dan surga yang abadi. Demikian, Raja Don Alexius Ximenes da Silva menjadi peletak dasar agama Katolik di Sikka dengan cara "agama raja adalah agama rakyat".

Menata Kembali Pemerintahan

Raja Sikka Don Alexius Ximenes da Silva tidak hanya menyebarkan Agama Katolik dengan giat tetapi juga membangun kembali pemerin­tahannya. Apa yang dipelajarinya di Malaka sedapatnya is terapkan di Sikka.

Dalam upaya membangun kembali pemerintahannya, Raja Don Alessu bermusyawarah dengan Mo'ang Puluh untuk membentuk Dewan Kapitan sebagai Menteri Kerajaan. Para kapitan sebagai dewan pendamping raja sedangMo'angPuluh tetap sebagai Dewan Pleno dan peng-uasa Hoak-Hewer­nya. Susunan kapitan-kapitan sebagai berikut:

-Kapitan Mor (Mayor), sebagai Kapitan Utama yang bertugas sebagai penasihat utama.

-Kapitan Sala (Sola), Moang Solapung, yang membidangi urusan upeti seperti perbekalan.

-Kapitan Guarda (Pelindung) disebut Moang Guarda yang bertugas sebagai pelindung/pembimbing juga sebagai pendamping dalam perjalanan.

-KapitanAlveris (Alvarez) disebutjuga KapitanApi yang membidangi pertahanan dan keamanan yang ditangani Moang Wodong Gerejati (da Gomez).

-Kapitan Pontera (Jentera) yang ditangani Moang Sibakloang yang membidangi bidang pengadilan serta penghukuman.

-Kapitan Kolonel yang ditangani Moang Wololora yang membidangi juga bidang pertahanan dan keamanan bersama Kapitan Api.

-Moang Commandanti sebagai syahbandar pantai utara atau pe­nguasa Pelabuhan Sikka Alok atau Maumere sekarang. Ia mengurus bidang upeti yang disebut bea Tabu watu (bea pelabuhan). Bidang ini diserahkan kepada Moang Kurangpung yang bergelar da Cunha.

Selain itu juga dikenal tua-tua adat yang bergelar Mangung Lajar sebagai pendukung wilayah. Kepada para tua adat ini dibagikan 70 buah gading yang dibawa Don Alessu dari Malaka. Karenanya, para tua adat itu bergelar Moang Mangung Lajar yang dilantik secara resmi dengan bait pelantikan:
Ina lau krus puang, diat beli nora puang, Ama lau gereja wang dokang beli nora kating. Wake nei nora mangung, mangunglepe lau plebeng. Ore nei nora lajar, lajar 'loda wawa dang. Odo au ganu serdadu, gareng ganu marselu, Kiring liar lopa leder, gata wang lopa gawang. Dena niang lopa biko-liong, tanah lopa kiling-kolok. Dadi mangung`wau`wisung,lajardena gong wangang, tali lera lema `wate.

Terjemahan bebas menurut Edmundus Pareira:

Raja yang berada di Sikka (Ina krus puang), melantikmu dengan resmi menjadi penguasa wilayah. Jadilah tiang penopang serta pelindung sebagai layar. Patuh dan taat dalam menjalankan tugas. Hendaknya lemah-lembut dan ramah-tamah.

Para Mangung Lajar menerima "gading kuasa"(Bala Mangling) sebagai tanda resmi jadi pembantu raja yang takluk kepada Raja Sikka. Gading kuasa itu tidak untuk diperjualbelikan tetapi dipelihara sebagai warisan kekuasaan yang biasanya dibaringkan pada pintu masuk rumah (plebeng).
Para Mo'ang Mangling Lajar mempunyai Tujuh Pembesar Desa otonom yang disebut Mo'ang Watu Pitu:
-Kokek (Koko-kek), Koko ganu manu, kek ganu wawi yang adalah penghubung masyarakat atau juru penerang: menyampaikan pengumuman atau perintah,

-Uru Duur Tada Tawang, yang adalah pengatur atau pemegang larangan atau tabu terhadap kebun, kelapa, pisang, kemiri dan sebagainya. Bila ada kecurian, ia dikenai dengan denda termasuk hera tada,

-Neni Thing Plawi Dolo, yang adalah imam adat untuk memohon hujan serta panen berlimpah juga perayaan syukur,

-Gai Goeng Riwung, Enak Legeng Ngasung, yang memegang tongkat kekuasaan sebagai pamong/kepala dusun. Dahulu biasanya para pejabat itu membawa tongkat sebagai penguasa resmi yang diberi gelar Mo'ang Gai. Gai hanya boleh diserahkan sebagai bukti suatu perintah yang harus dilaksanakan segera.

-Buwung Gajong, yang bertugas sebagai pembagi makanan atau hasil. Apabila musim panen maka basil kebun harus disisihkan sedikit untuk Mo'ang Buwung Gajong. Para petani wajib menyerahkannya dengan genap. Setelah terhimpun, akan diantarkan sebagian kepada raja, para mo'ang puluh, serta kapitan termasuk mangung lajar. Bila timbul rawan pangan, Mo'ang Buwung Gajong harus meminta bantuan dari masyarakat untuk menanggulanginya.

-Du'a Kula Moang Kara atau lengkapnya Dua Kula Ganu Wulang, Mo'ang Kara Ganu Lero, yang adalah para hakim adat. Keputusan mereka adalah tertinggi dan wajib dijunjung sebagai matahari dan bulan. Bila ada sengketa dalam masyarakat, Hakim Adat harus segera menyelesaikannya.
Istilah lainnya: Ata Lahi Dagir, Wega Bolet. Artinya penyelesaian yang kusut dan tersangkut-paut. Kleteng Tatar-nya: Dua kula ganu wulang, moang kara ganu lero, naha lahi au dagir, bega beli au bolet. Dena tali lopa dagir waing, karang lopa kaet alan".

Dengan demikian, Raja Sikka Don Alexius Ximenes da Silva sudah sejak tahun 1607-an, membangun sistem pemerintahan lokal yang kokoh. Ina Gate Ama Gahar membangun Kerajaan Sikka, Raja Don Alexius Ximenes da Silva meletakkan dasar-dasar pemerintahan.
Dan, itu justru setelah melakukan perjalanan kontroversial mencari "bumi tanpa kematian" ke Malaka.

Referensi Buku : Pelangi Sikka; B.Michael Beding - Indah Lestari Beding
www.inimaumere.com
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Tuesday, August 26 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---