Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Tuesday 6 July 2010

Tenun Alami Nusa Bunga

Merawat dan Mengabadikan Tenun Alami Nusa Tenggara Timur


Catatan Ahmad Yunus

TIGA perempuan tengah menumbuk akar dan kulit pohon dengan sebilah gelondong kayu. Suara tumbukan terdengar ritmis dan berirama. Keringat peluh terlihat mengucur pada wajah ketiga perempuan itu. Mereka menghaluskan akar dan kulit dari berbagai tumbuhan itu hingga menjadi serbuk.
Ini bahan ramuan utama untuk pewarnaan alami benang. Ada 17 jenis tumbuhan yang bisa menghasilkan warna alami. Nangka. Kapuk Randu. Mangga. Mengkudu. Kemiri. Kacang-kacangan. Hingga tumbuhan lokal seperti Waher, Tener, Dadap, Nila dan Pohon Susu. Tumbuhan ini tumbuh subur di daratan Flores hingga ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.
Mengkudu bisa menghasilkan warna merah dasar. Pohon Nila menghasilkan warna biru. Tumbuhan berbiji belah bisa menghasilkan warna coklat. Pengetahuan membuat ramuan ini mereka dapatkan secara turun temurun dari nenek moyangnya.

“Dua hari rendam dengan air sampai dapat endapan warnanya,” kata Daniel David.

Ia menunjuk pada sebuah gubuk kecil di belakang rumahnya. Ada beberapa ember terlihat penuh dengan air rendaman. Proses perendaman makan waktu dua hingga lima hari untuk mendapatkan warna yang berkualitas.

“Harus telaten. Tidak bisa buru-buru. Ini namanya proses alam,” katanya.

Pewarnaan alami punya beberapa manfaat. Pertama, tidak membawa efek buruk bagi kesehatan bagi si pengrajin tenun. Kedua, ramah lingkungan karena tidak terbuat dari bahan kimia pabrikan. Bahan-bahan ini mereka dapatkan dari tumbuhan di sekitar rumah maupun hutan yang ada di Flores ini.

Namun, kini mereka juga menanam diperkebunannya. Tanaman Menkudu, misalnya. Akarnya bisa digunakan untuk bahan pewarnaan. Namun, tumbuhan ini bisa dipanen setelah berumur lima tahun.

Beberapa contoh benang hasil pewarnaan menggantung di bilik dinding rumahnya. Ada yang berwarna biru tua, muda, merah, putih dan coklat. Suara tumbukan masih terdengar nyaring. Sesekali terdengar gelak tawa dari perempuan itu. Di pojok ruang keluarga terlihat satu perempuan tengah menjahit tenun dengan tangan. Sambil menemani satu bocah kecil yang tengah menonton televisi.

David membawa beberapa contoh kain tenun dari kamarnya. Kain tenun terasa tebal. Bau akar masih terasa nempel pada lembaran kain tenun itu. Warna alami terlihat redup dan tidak mengkilap. Setiap motif kain tenun punya makna dan cerita. Juga fungsinya, baik untuk kalangan orang tua, ketua adat maupun anak muda. Untuk kebutuhan ritual adat, perkawinan hingga sehari-hari.

“Ada pengaruh animisme, dinamisme, katolik, portugis, hingga india,” katanya.

Menurutnya, setiap klan atau suku di Nusa Tenggara Timur punya karakter motif sendiri. Mulai dari Labuanbajo di Manggarai, Ende, Sumba Timur, Atambua di Timor, hingga kepulauan Alor. Namun ada beberapa daerah ditemukan dengan karakter motif yang hampir serupa. Ia memperkirakan ratusan motif tenun tradisional yang berada di Nusa Tenggara Timur. Satu daerah saja bisa punya 40 macam motif. Misalnya di daerah Iwanggete dan Palue.

Motif-motif ini biasanya muncul dengan menampilkan simbol tertentu. Misalnya legenda naga yang bisa ditemukan di Bajawa, Ende dan Sikka. Naga menjadi simbol kesuburan. Sementara di Alor muncul motif gajah. Simbol ini diperkirakan pengaruh dari India. Ketika masa perdagangan rempah-rempah pada abad ke 16 hingga 18 silam berlangsung di kepulauan Nusantara ini. Selain itu ada motif bunga hingga binatang macam tokek, ikan, gurita dan kura-kura.

“Tak banyak yang tahu mengenai cerita dan legenda dari kain tenun tradisional. Saya riset untuk mempelajari penyebaran dan makna dibalik setiap motif itu,” katanya sambil membakar rokok kreteknya.

Kecintaan David terhadap kain tenun berawal dari 10 tahun yang lalu. Orang tuanya pernah mengingatkan agar ia mencintai budayanya sendiri. Ia melihat banyak perempuan dikampungnya, Watublapi yang menjadi pengrajin tenun.

Kampung Watublapi sekitar 10 kilometer arah timur dari Maumere, Kabupaten Sikka. Banyak pengrajin tenun sudah menggunakan bahan kimia untuk proses pewarnaan. Mereka meninggalkan keterampilan dan pengetahuannya tentang penggunaan bahan-bahan alami.

“Mereka bilang ini sudah modern. Kalau alami itu masa nenek moyang,” katanya.

David mengajak agar pengrajin tenun dikampungya tetap mempertahankan tadisi alami. Namun tak mudah karena pengrajin ini sudah terbiasa menggunakan bahan pewarna kimia. Alasannya karena lebih praktis dan gampang.

Menurutnya, penggunaan kimia justru tidak menguntungkan bagi si pengrajin. Ia khawatir kimia punya dampak buruk terhadap kesehatan warga dan lingkungan. Pengrajin justru menambah beban sendiri dengan mengeluarkan uang tambahan untuk membeli bahan warna kimia ini. Satu botol pewarna kimia dipasaran sekitar 70 ribu rupiah. Belum lagi untuk membeli bantal benang sekitar 50 ribu rupiah.

“Satu tenun butuh waktu pengerjaan sekitar dua bulan. Kalau dijual pun tidak untung. Ongkos tenaga kerja tidak dihitung,” katanya. Rata-rata harga untuk tenun dalam bentuk selendang sekitar 50 ribu rupiah. Dan untuk sarung antara 200 ribu hingga 300 ribu rupiah.

Ia menunjukkan bahwa tenun yang menggunakan bahan alami justru punya nilai tambah yang lebih. Rata-rata harga satu lembar tenun selendang sebesar 100 hingga 250 ribu rupiah. Dan untuk sarung maupun lembaran yang lebih besar bisa mencapai satu hingga dua juta rupiah.

Kain tenun alami banyak diburu oleh kolektor dan pecinta kain tradisional dari luar daerah Flores. Diantaranya dari Bali dan Jakarta. Pesanan juga banyak untuk kebutuhan penjualan ke negara luar seperti Amerika, Jerman, Singapura dan Jepang. Kain tenun tradisional alami ini kerapkali untuk mengisi kebutuhan galeri dan museum-museum. Penjualan kain tradisional yang masuk kategori antik bisa mencapai 25 juta hingga 80 juta rupiah.

Ia melihat peluang bisnis penjualan tenun bisa menguntungkan. Namun perlu tenaga dan waktu untuk terus mempromosikan keberadaan tenun alami tradisional ini. Mulai dari riset, sejarah, karakteristik motif, pengemasan hingga untuk kebutuhan pendidikan budaya tradisi.

Sampai sekarang ia melihat tak ada upaya yang serius dari pemerintah lokal untuk melestarikan budaya ini. Seringkali pendekatan pemerintah dalam bentuk proyek hingga promosi pameran.

“Mereka jarang bawa pengrajinnya untuk mengikuti pameran,” katanya.

Pemerintah tidak melakukan pendekatan yang lebih merakyat untuk mendorong pemberdayaan. Sehingga keberadaan produk budaya ini bisa memberikan manfaat pada perekonomian warga. Selain untuk melestarikan kekayaan budaya dan pariwisata di Nusa Tenggara Timur.

Setiap daerah punya motif sendiri. Namun sayang, pemerintah daerah tidak mengemas ini dengan ciamik. Kain-kain tradisional ini dijual secara eceran di lapak-lapak dan pasar. Tidak ada satu kawasan khusus yang menjual benda-benda seni. Sehingga bisa terlihat lebih rapi.

“Pasar lokal masih sulit berkembang. Orang awam sulit untuk membedakan mana tenun yang berkualitas mana yang tidak. Kalau yang ada dipasaran, itu semua menggunakan kimia. Cirinya lebih mengkilap,” katanya.

Di Watublapi ia bersama warga kemudian membentuk kelompok Bliran Sina. Artinya, sangat sejuk atau teduh. Kelompok ini mempromosikan budaya, musik dan tenun tradisional Sikka. Termasuk penggunaan bahan alami untuk proses pewarnaan tenun. Kelompok ini juga membentuk usaha keuangan mikro berupa simpan pinjam.

Usaha ini ternyata membawa berkah bagi kampungnya. Apalagi saat itu warga tengah terpuruk akibat gagal panen kokoa. Usaha tenun alami lambat laun bisa mendongkrak kehidupan di Watublapi. Kampung ini lambat laun dapat kunjungan dari wisatawan luar.

Warga juga tidak keberatan menyelenggarakan acara budaya seperti pertunjukkan musik dan tarian tradisional. Saat ini kelompok Bliran Sina sudah memiliki kerjasama dengan travel dan agen-agen wisata yang berbasis di Bali.

“Penjualan langsung dalam satu hari bisa sampai 250 juta,” katanya.

Pengrajin dan pembeli bisa membeli langsung dan berdialog. Masyarakat senang dengan sistem pasar seperti ini. Karena lebih terbuka dan manusiawi. Setiap bulannya pengiriman tenun alami tradisional ke Bali dan Jakarta sekitar 20 hingga 40 lembar. Dengan proses seleksi agar kualitasnya tetap terjaga.

Pengembangan dari tenun ini belum berkembang. Masyarakat lokal belum mampu untuk merancang dalam bentuk lain seperti tas, sepatu, gorden, taplak meja makan hingga gaun. Modifikasi juga masih sulit karena kain tenun terlalu tebal. Alternatif lain pernah coba dengan menggunakan benang sutera. Hasilnya halus. Harga tinggi. Namun bahan dan pengerjaan masih terlampau sulit.

“Kita sering bicara masalah paten. Namun belum bisa. Banyak kain tenun di rumah adat yang sudah banyak hilang. Tidak jelas kemana rimbanya,” katanya sedih.

Sudah lima tahun sudah ia keliling kampung di kepulauan Nusa Bunga ini. Ia terus mencari dan mendalami makna dari setiap motif kain tenun ini. Ia percaya bahwa produk budaya ini bisa memberikan dampak pada perekonomian warga. Kain tenun juga sudah melekat dengan kehidupan warga. Mulai dari aktifitas berkebun hingga ke pasar.

“Kelak saya ingin punya museum tenun tradisional. Mulai dari contoh kain hingga peralatan tenun yang tua. Supaya orang bisa belajar dan melestarikan tenun-tenun itu,” katanya.

Pertengahan tahun ini ia menargetkan agar proyek duplikasi 40 motif Sikka bisa kelar. Termasuk sebuah galeri seni yang bisa menjadi episentrum penjualan kain tenun alami tradisional itu.(Ahmad Yunus /The AHMAD Institute).

info ttg tenun ikat, klik saja : www.alfonsadeflores.com

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Tuesday, July 06 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---