Sayang sekali, kami akhirnya membatalkan adventure menuju Air Terjun Kembar (twin waterfalls). Hanya karena waktu tak mencukupi. Tapi beberapa warga Dusun Watu Wa memberikan solusi. Kami diminta merubah peta perjalanan. Mereka menawarkan sebuah tempat langkah dan menantang yang katanya tak pernah didatangi manusia lain selain warga Watu Wa. Mhhh..menarik juga ya. Tawaran kami terima. Dua mobil yang di kendarai Lucky dan Refly dari MOFF (Maumere Offroad), langsung bergerak turun ke sungai. Matahari hilang ditutupi rimbunan pepohonan. Suara burung dipadu desiran angin pegunungan seakan orkestra alam. Penduduk dusun semakin banyak berkumpul. “Sudah dekat Mo’at...” kata Hanis. Dia adalah anak muda yang selalu cekatan menerobos hutan semak. Lantas kedua oto bergerak kedepan mengiringi mentari yang turun perlahan. Akhirnya, hutan sungai Watu Wa membiarkan kami menikmati penat diatas batu-batu raksasa. Pancuran air segar nan bening lembut menyentuh kulit. Betapa nikmatnya ...
Lanjuttt...
Lanjuttt...
Baru menjelang pukul 13.30 wita hari Minggu (28/08/2010) kami bergerak keluar Kota Maumere. Rileks saya menikmati perjalanan disamping Lucky. Pemuda gimbal ini sungguh lincah mengendalikan hartop FJ40-nya. Didepan kami, Ferly bersama seorang rekannya bergerak liar dengan Taft Kebo. Lucky dan Ferly adalah bagian dari Maumere Off Road (MOFF). Komunitas pecinta mobil off road di Maumere hampir medekati 30 orang. Setiap minggu memiliki jadwal rutin mencari titik-titik ekstrem. Disini berbagai gaya diperagakan dalam arena offroad alami.
Kali ini bersama saya akan mencoba arena offroad alami sekaligus berburu air terjun. Tapi hunting air terjun akhirnya batal karena waktu tak memungkinkan. Kecewa. Begitulah perasaan kami saat itu.
Dan sebagai gantinya kami merubah jalur. Ada sensasi lain yang tak kalah menarik! Yakni menapaki batu-batu raksasa. Dan salah satu lokasinya mengeluarkan pancuran air alamiah nan bening. Wow, segar sekali.
Seperti yang ditulis tadi, selain penduduk setempat, kami adalah orang pertama yang memasuki gua batu tersebut. Bangga. Ini diakui penduduk setempat. Dan klimaksnya ada!
Itu terjadi saat kami menikmati detik-detik bersatunya jiwa kami dengan alam Nian Sikka. Sekali lagi kami merasa beruntung hehee..
***
Watu Wa adalah sebuah dusun kecil yang terletak di Desa Done dan berada diwilayah Kecamatan Magepanda. Penduduk dusun ini berjumlah hampir 200 orang. Dan mereka sebagian besar beretnis Lio sehingga bahasa yang digunakan adalah Bahasa Lio. Lio adalah salah satu etnis dari enam etnis besar yang ada di Kabupaten Sikka, Flores.Menurut penduduk setempat, dalam hidup mereka baru pertama kali inilah oto (sebutan lain untuk mobil bagi orang NTT) melintasi dusunnya, maklum jalan lebar khusus mobil tak ada. Mereka sangat gembira. Dan kegembiraan itu diwujudkan dengan membantu kami secara spontan. Hampir semua penduduk dusun mengikuti kemana saja mobil bergerak.
Dan yang lebih sensasional lagi, FJ40 dan Taft Kebo akhirnya memerawani daerah alamiah ini. Bukan hanya melintasi dusun tapi malah bergerak dan terus bergerak menembus hutan semak, menapaki bebatuan dan melewati perbukitan. Apa saja yang mereka punya, mereka kerahkan agar mobil yang sedang berjalan pelan bisa mulus mendekati lokasi “air terjun”.
"Baru pertama kali ini ada oto sampai masuk kedalam sini sampai menuju kali Watu Wa," ujar Hanis.
***
Lucky dan Refly kebut-kebutan, saling kejar diatas jalanan mulus berkelok. Pemandangan pantai disisi kanan kami adalah bonus spesial ditengah ganasnya sinar matahari.
Lagu lawas dari Tesla, Stryper dan Stone Temple Pilot bergantian menemani jalur Pantura. Sesekali ekor mata ini mengintip orang-orang yang rebah dipasir putih Kajuwulu, sebuah pantai tujuan piknik warga Maumere.
Tiba-tiba sebuah mobil pick up nyelonong dan menyalib kami dengan kecepatan tinggi. Hampir seluruh bak pick up penuh manusia. Anak-anak kecil berdesak-desakan dengan orang-orang dewasa. Kelihatan mereka sedang bergegas menuju tempat piknik. Maklum hari minggu adalah hari spesial buat sebagian warga Maumere. Tiba-tiba kenangan masa kecil melintas dibenak ini..cieee.
Ketika mobil bergerak, perbukitan tandus cokelat kekuningan seakan-akan mendampingi kami. Pemandangan yang sama bisa dilihat di daerah-daerah pantai utara yang hampir semua pepohonan seolah terbakar. Sangat kontras jika dibandingkan saat musim hujan.
Dari arah pertigaan tadi, sekitar 3 km kami dihadiahi jalan beraspal mulus sebelum akhirnya kembali memasuki jalan buruk. Ferly dan Lucky kembali beradu kecepatan. Debu-debu berterbangan dibelakang. Jalanan buruk tak beraspal yang cukup panjang akhirnya terputus di sungai Watu Wa. Sungai dengan batu-batu besarnya membentang menghalangi jalan. Dan dengan jeli, pengendara mobil Refly dan Lucky akhirnya menancapkan nama mereka sebagai orang pertama yanng memasuki wilayah Dusun Watu bersama mobil off road-nya.
Mobil terus bergerak. Dusun Watu Wa menyambut kami. Saya harus menahan napas, ketika mobil yang dikendarai Lucky mulai riang menerobos medan nan buruk. Batu-batu yang menghalangi niat kami di lewati. Kadang saya berharap ada batu besar yang mengangkang sehingga mobil berhenti (dan saya bisa bernapas lega) hehehe ... Namun harapan saya hanyalah harapan semu hehehe.. mobil terus melaju. Tapi bukan melewati jalan lebar. Bukan. Tapi melewati jalan setapak. Melintasi parit tanah, membuka semak-semak dan mulai merambah hutan semak. Para penduduk desa mengiringii mobil baik dari depan, samping dan belakang. Ada yang hanya menikmati tapi banyak pula yang berjaga-jaga kalo tiba-tiba kami meminta bantuan. Gila, benar-benar keren.
Batang-batang dan ranting besar pepohonan yang seolah menghadang laju mobil dengan cepat ditebas oleh penduduk. Beberapa anak muda penuh semangat berlari cepat kedepan, membuka semak dengan parang ditangan dan berteriak, “lewat sini...awas disitu ada batu besar... ambil kanan...”. Antusias sekali.
Matahari terus turun dan bergerak perlahan kebawah. Sudah sangat sore ketika dua mobil itu berdiri dibawah tanjakan tebing. Sebenarnya bisa melintas tapi sebuah batu yang sangat besar menghadang kami. Diantara letih, kami bisa menyaksikan anak-anak desa yang cekatan menyingkirkan batu sekuat tenaga.
Karena hari sudah semakin sore. Saya dan Lucky memutuskan berjalan kaki, sedangkan Refly masih menunggu anak-anak muda menyingkirkan batu. “Tempatnya dekat, tidak jauh,” jelas Hanis. Melewati jalan setapak yang cukup jauh dengan napas dan keringat bercucuran adalah sebuah kisah yang paling unik sekaligus meletihkan. Lucky dan beberapa orang kampung sudah melesat cepat kedepan.
Diantara bunyi suara napas ini yang tersengal-sengal, teriakan ayam hutan dan koor burung-burung rimba simpatik menyambut kami. Batu-batu hitam bertebaran didalam sungai. Sungai Watu Wa mulai kami tapak. Hanis melangkah mendampingi saya. Kaki-kaki kami menari-nari dari satu batu ke batu yang lain. Kami terus bergerak keatas melewati jalur sungai. Terkadang batu-batu sebesar rumah menghadang. Terpaksa kami harus memanjatnya. Benar-benar keren sekaligus melelahkan. Jika dikreatif sedikit Pemda bisa menjadikan Watu Wa sebagai sebuah tempat eksotik bagi para petualang backpaker yang suka tantangan.
Huhhh..dengan napas ngos-ngosan kayak kuda pacuan hehehe...akhirnya kami memijakkan tapak kaki kami disebuah tempat yang asli keren abis. Body yang penat, mata yang redup, keringat yang menetes disulap menjadi segar menyegarkan. Lunas sudah semuanya. Tak sia-sia kami sampai disini. Suasana yang alamiah, eksotik dan natural menjadi sesuatu yang mahal untuk didapat. Dan kami selaksa orang yang beruntung, setiap kali menjelajahi tubuk molek Nian Sikka.
Dari sebuah ‘atap batu’ meluncurlah sekumpulan air bening yang rasanya segar dan dingin. Seperti air pancuran, seperti air terjun mini. Tempat itu dikelilingi batu-batu cadas raksasa sebesar rumah tingkat yang mengelilingi kami. Dan kami berada dibawahnya.
Menurut Hanis, sebenarnya kalau kami mau kami bisa terus naik keatas karena diatas sana ada segumpalan air yang meluncur deras dan lebih banyak dibandingkan ditempat kami berdiri. Sayang karena capek, kami tak bisa menyetujui tantangan Hanis.
Suasana ditempat ini sangat sejuk dan nyaman. Karena dikelilingin batu-batu raksasa dan pepohonan rimbun disekitarnya. Tentram banget.
“Andai tadi datang lebih awal pasti kita bisa bakar ayam hutan disini, pisang juga banyak, tinggal bakar saja..” ujar Hanis disela-sela bunyi air yang mengalir. Mmhh..selain ayam hutan dan burung hutan yang banyak berseliweran, monyet-monyet yang berakrobat dipepohonan juga menjadi atraksi lain pengiring perjalanan. ;-) Keren ya..
Detik demi detik kami terus menikmati bersatunya jiwa kami dengan alam Watu Wa. Air nan segar kami biarkan mengoles penat dan mengelupas rasa capek. Sudah semakin sore. Matahari sudah pulang. Angin dingin pegunungan sudah memberi isyarat. Tapi air terus meluncur menerjang tubuh kami yang sedang bercumbu dengan alam sekeliling. Ah, hati ini tak mau pulang sebenarnya. Tapi apa bole buat.
“Yuuuk pulangggggg.......” teriak Ferly dari atas batu cadas raksasa.
Dan kami bergegas. Beberapa orang kampung turut bersama kami. Mereka siap memberi petunjuk jalan pulang. Lantas kaki-kaki ini melangkah turun dengan darah segar dan tenaga baru. Dusun Watu Wa menyambut kepulangan kami. Roda-roda mobil bergerak. Puluhan warga Dusun Watu memberi senyum dan sapaan akrab selamat tinggal. Anak-anak kecil mengejar mobil dari belakang. Orang-orang dewasa melambai-lambaikan tangan. “Jangan lupa kembali lagi yaaa.....” teriak mereka.
Tiba-tiba sebuah mobil pick up nyelonong dan menyalib kami dengan kecepatan tinggi. Hampir seluruh bak pick up penuh manusia. Anak-anak kecil berdesak-desakan dengan orang-orang dewasa. Kelihatan mereka sedang bergegas menuju tempat piknik. Maklum hari minggu adalah hari spesial buat sebagian warga Maumere. Tiba-tiba kenangan masa kecil melintas dibenak ini..cieee.
Ketika mobil bergerak, perbukitan tandus cokelat kekuningan seakan-akan mendampingi kami. Pemandangan yang sama bisa dilihat di daerah-daerah pantai utara yang hampir semua pepohonan seolah terbakar. Sangat kontras jika dibandingkan saat musim hujan.
***
Setelah seru kebut-kebutan, akhirnya wilayah Magepanda menyambut kedatangan kami. Kami langsung berbelok arah kekiri dengan tujuan lokasi air terjun. Arah ini sama atau searah menuju waduk (bendungan) Magepanda yang terkenal itu.Dari arah pertigaan tadi, sekitar 3 km kami dihadiahi jalan beraspal mulus sebelum akhirnya kembali memasuki jalan buruk. Ferly dan Lucky kembali beradu kecepatan. Debu-debu berterbangan dibelakang. Jalanan buruk tak beraspal yang cukup panjang akhirnya terputus di sungai Watu Wa. Sungai dengan batu-batu besarnya membentang menghalangi jalan. Dan dengan jeli, pengendara mobil Refly dan Lucky akhirnya menancapkan nama mereka sebagai orang pertama yanng memasuki wilayah Dusun Watu bersama mobil off road-nya.
Mobil terus bergerak. Dusun Watu Wa menyambut kami. Saya harus menahan napas, ketika mobil yang dikendarai Lucky mulai riang menerobos medan nan buruk. Batu-batu yang menghalangi niat kami di lewati. Kadang saya berharap ada batu besar yang mengangkang sehingga mobil berhenti (dan saya bisa bernapas lega) hehehe ... Namun harapan saya hanyalah harapan semu hehehe.. mobil terus melaju. Tapi bukan melewati jalan lebar. Bukan. Tapi melewati jalan setapak. Melintasi parit tanah, membuka semak-semak dan mulai merambah hutan semak. Para penduduk desa mengiringii mobil baik dari depan, samping dan belakang. Ada yang hanya menikmati tapi banyak pula yang berjaga-jaga kalo tiba-tiba kami meminta bantuan. Gila, benar-benar keren.
Batang-batang dan ranting besar pepohonan yang seolah menghadang laju mobil dengan cepat ditebas oleh penduduk. Beberapa anak muda penuh semangat berlari cepat kedepan, membuka semak dengan parang ditangan dan berteriak, “lewat sini...awas disitu ada batu besar... ambil kanan...”. Antusias sekali.
Matahari terus turun dan bergerak perlahan kebawah. Sudah sangat sore ketika dua mobil itu berdiri dibawah tanjakan tebing. Sebenarnya bisa melintas tapi sebuah batu yang sangat besar menghadang kami. Diantara letih, kami bisa menyaksikan anak-anak desa yang cekatan menyingkirkan batu sekuat tenaga.
Oss n Lucky vs Refly n Lucky, menyaksikan kegigihan anak-anak Watu Wa memberi bantuan
Karena hari sudah semakin sore. Saya dan Lucky memutuskan berjalan kaki, sedangkan Refly masih menunggu anak-anak muda menyingkirkan batu. “Tempatnya dekat, tidak jauh,” jelas Hanis. Melewati jalan setapak yang cukup jauh dengan napas dan keringat bercucuran adalah sebuah kisah yang paling unik sekaligus meletihkan. Lucky dan beberapa orang kampung sudah melesat cepat kedepan.
Diantara bunyi suara napas ini yang tersengal-sengal, teriakan ayam hutan dan koor burung-burung rimba simpatik menyambut kami. Batu-batu hitam bertebaran didalam sungai. Sungai Watu Wa mulai kami tapak. Hanis melangkah mendampingi saya. Kaki-kaki kami menari-nari dari satu batu ke batu yang lain. Kami terus bergerak keatas melewati jalur sungai. Terkadang batu-batu sebesar rumah menghadang. Terpaksa kami harus memanjatnya. Benar-benar keren sekaligus melelahkan. Jika dikreatif sedikit Pemda bisa menjadikan Watu Wa sebagai sebuah tempat eksotik bagi para petualang backpaker yang suka tantangan.
Huhhh..dengan napas ngos-ngosan kayak kuda pacuan hehehe...akhirnya kami memijakkan tapak kaki kami disebuah tempat yang asli keren abis. Body yang penat, mata yang redup, keringat yang menetes disulap menjadi segar menyegarkan. Lunas sudah semuanya. Tak sia-sia kami sampai disini. Suasana yang alamiah, eksotik dan natural menjadi sesuatu yang mahal untuk didapat. Dan kami selaksa orang yang beruntung, setiap kali menjelajahi tubuk molek Nian Sikka.
Dari sebuah ‘atap batu’ meluncurlah sekumpulan air bening yang rasanya segar dan dingin. Seperti air pancuran, seperti air terjun mini. Tempat itu dikelilingi batu-batu cadas raksasa sebesar rumah tingkat yang mengelilingi kami. Dan kami berada dibawahnya.
Menurut Hanis, sebenarnya kalau kami mau kami bisa terus naik keatas karena diatas sana ada segumpalan air yang meluncur deras dan lebih banyak dibandingkan ditempat kami berdiri. Sayang karena capek, kami tak bisa menyetujui tantangan Hanis.
Suasana ditempat ini sangat sejuk dan nyaman. Karena dikelilingin batu-batu raksasa dan pepohonan rimbun disekitarnya. Tentram banget.
“Andai tadi datang lebih awal pasti kita bisa bakar ayam hutan disini, pisang juga banyak, tinggal bakar saja..” ujar Hanis disela-sela bunyi air yang mengalir. Mmhh..selain ayam hutan dan burung hutan yang banyak berseliweran, monyet-monyet yang berakrobat dipepohonan juga menjadi atraksi lain pengiring perjalanan. ;-) Keren ya..
Detik demi detik kami terus menikmati bersatunya jiwa kami dengan alam Watu Wa. Air nan segar kami biarkan mengoles penat dan mengelupas rasa capek. Sudah semakin sore. Matahari sudah pulang. Angin dingin pegunungan sudah memberi isyarat. Tapi air terus meluncur menerjang tubuh kami yang sedang bercumbu dengan alam sekeliling. Ah, hati ini tak mau pulang sebenarnya. Tapi apa bole buat.
“Yuuuk pulangggggg.......” teriak Ferly dari atas batu cadas raksasa.
Dan kami bergegas. Beberapa orang kampung turut bersama kami. Mereka siap memberi petunjuk jalan pulang. Lantas kaki-kaki ini melangkah turun dengan darah segar dan tenaga baru. Dusun Watu Wa menyambut kepulangan kami. Roda-roda mobil bergerak. Puluhan warga Dusun Watu memberi senyum dan sapaan akrab selamat tinggal. Anak-anak kecil mengejar mobil dari belakang. Orang-orang dewasa melambai-lambaikan tangan. “Jangan lupa kembali lagi yaaa.....” teriak mereka.
Sensasi di Watu Wa
Video Watu Wa.......
****
(By: Oss).
www.inimaumere.com