Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Tuesday 19 January 2010

Frans Seda; Politisi, Pendiri Unika Atma Jaya dan Kompas, Ekonom dan Kolumnis

Mengenang Tokoh Tiga Zaman

FRANS SEDA

(4 Oktober 1926 – 31 Desember 2009)

*oleh : E.P. DA GOMEZ

“Sejarah dilakukan oleh banyak orang. Tapi hanya segelintir orang yang dapat tampil, karena mereka lahir pada saat yang tepat dan mampu menafsirkannya”. Begitu tulis wartawati Italia Oriana Fallaci dalam pengantar bukunya yang terkenal, Interview With History.

Drs Frans Seda, putra Flores, kelahiran Lekebai 4 Oktober 1926, boleh jadi termasuk salah seorang seperti yang dikatakan Fallaci itu: orang yang beruntung dapat tampil dalam pentas perjalanan sejarah Republik Indonesia. “Kita mengenal beliau sebagai tokoh tiga zaman. Beliau pernah menjadi menteri pada zaman Bung Karno, dan menteri di berbagai portefolio pada masa Pak Harto. Juga pada era reformasi, berkontribusi dalam pengembangan demokrasi dan pembangunan”, kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan para wartawan seusai melayat jenazah Frans Seda (Kompas, 02/01/2010).
Beliau meninggal dunia di rumah kediamannya Jl Metro Kencana V/5 Pondok Indah, Jakarta Selatan, pada hari Kamis pagi pukul 05.00 tanggal 31 Desember 2009, dalam usia 83 tahun, 2 bulan dan 26 hari.

Selain Presiden SBY, telah datang melayat ke rumah duka itu antara lain Wapres Budiono, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, mantan Presiden Megawati, mantan Wapres Tri Sutrisno. Pimpinan Kompas Gramedia Jakob Oetomo, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, mantan Gubernur NTT Ben Mboi dan istrinya Nafsiah, Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Perumahan Rakyat Cosmas Batubara, mantan Menteri Perhubungan dan Menteri Kependudukan & Lingkungan Hidup Emil Salim, Menpan E.E. Mangindaan, Menhub Fredy Numberi, mantan Meneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dan suaminya Sri Edi Swasono, Gubernur NTT Frans Leburaya, Bupati Sikka Drs Sosimus Mitang, Pimpinan DPRD Sikka Rafael Raga dan Alex Longginus, mantan Menkeu J.B. Sumarlin, mantan Sekjen DPP Partai Katolik dan Pendiri CSIS Harry Tjan Silalahi, Rektor dan Civitas Acedemica Unika Atma Jaya, dan ratusan orang yang tak dapat disebut namanya satu persatu di sini. Sepanjang lebih kurang 2 Km jalan di depan rumah duka itu berjejer ratusan karangan bunga sebagai pernyataan belasungkawa atas kepergian politisi kawakan, pendekar pendidikan dan ekonom senior ini. Itulah wujud dan bukti dari ketokohan Frans Seda, nama yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, nama yang sangat akrab dalam masyarakat NTT, khususnya Kabupaten Sikka.

Prosesi pemakaman orang besar Frans Seda, dilangsungkan tanggal 2 Januari 2010 dalam sebuah untaian upacara yang megah, mulia dan bermartabat. Dimulai ada pagihari dengan acara penupan peti jenazah di rumah duka Pondok Indah, lalu disemayamkan selama satu jam di Kampus Unika Atma Jaya untuk mendapat penghormatan dari komunitas universitas yang didirikannya itu. Tepat jam 11.00 dilangsungkan Misa Requiem di Gereja Katedral Jakarta, dipimpin Uskup Agung Jakarta, Julius Kardinal Darmaatmaja, SJ, didampingi tujuh Uskup lainnya, antara lain Mgr M.D. Situmorang, OFM,Cap (Ketua KWI/Uskup Padang), Mgr Ignatius Suharyo, SJ (Sekjen KWI/Uskup Agung Co-Ajutor KAJ) dan Mgr G. Kherubim Pareira, SVD (Bendahara KWI/Uskup Maumere). Gereja Katedral penuh sesak dengan umat sampai meluber di luarnya. Hadir tokoh-tokoh pemerintah dan masyarakat dari berbagai kalangan dan profesi, dan masyarakat Flores yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya. Sementara upacara pemakaman dilakukan oleh negara secara militer dengan inspekturnya Menteri Perhubungan Fredy Numberi, mulai dari depan Katedral sampai ke liang lahat di kompleks pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.

*****

Frans Seda, V.B. da Costa dan Ben Mangreng Say, trio Kabupaten Sikka yang terkenal pada zamannya, adalah rahmat Tuhan untuk rakyat dan bangsa Indonesia melalui bidang politik sebagai pilihannya dan moralitas Katolik sebagai landasannya. Sedangkan bagi masyarakat Flores, Seda-Sentis-Say, adalah personifikasi demokrasi dan integrasi etnis Flores dan golongan Katolik ke tengah kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia ini.

Saya telah mendengar nama Frans Seda sejak medio tahun limapuluhan ketika masih di bangku SMPK Yapenthom Maumere (1953-1956). Antara tahun 1956 sampai 1971 saya mendapat kesempatan dalam berbagai pertemuan dan kegiatan dengan Pak Frans Seda. Mulai dekat dan akrab sejak Pemilu 1971, ketika saya terlibat dalam kampanyenya “Kontas” untuk memenangkan Partai Katolik di Kabupaten Sikka. Sejak itu terjalin keakraban dan persaudaraan sampai dengan wafatnya 31 Desember 2009. Tigapuluh delapan tahun, bukan waktu yang pendek. Sebab itu saya menulis sebuah buku kecil setebal 135 halaman untuk menginformasikan kepada khalayak tentang siapa itu Frans Seda, dalam judul “Drs Frans Seda 80 tahun: Catatan Perjalanan Seorang Pejuang” (Yayasan Kasimo Cabang Sikka & Yayasan Dobo Nualolo Maumere, Percetakan Arnoldus Ende, September 2006). Buku itu bukanlah sebuah biografi. Lebih tepat disebut saja sebagai catatan sekilas tentang perjalanan hidup, karya dan perjuangan tokoh tiga zaman itu. Karena isi buku ini saya angkat dari pengalaman bersama beliau, sambil memetik, merangkum, meringkas dan mengintisarikan dari banyak sumber naskah/buku, dengan tekad yang tulus dan niat yang lurus untuk memaknai hari ulang tahun ke-80 ekonom senior itu tanggal 4 Oktober 2006.

Saya tersentak kaget dan terkejut, ketika membaca Pos Kupang dan Flores Pos (05/01/2010) yang memberitakan bahwa Bupati Sikka dan satu-dua Anggota DPRD Kabupaten Sikka mengusulkan agar Bandara Waioti dibaptis dengan nama Frans Seda. Alasannya, Frans Seda telah berjasa dalam mengupgrade landasan dan fasilitas bandara itu ketika beliau menjadi Menteri Perhubungan (1968-1973). Pada hemat saya, karya, jasa pengabdian, kebesaran nama dan ketokohan Frans Seda tidak bisa diukur karena perhatiannya pada sepenggal tanah dan sebuah “proyek” kecil di lapangan Waioti itu. Karya dan jasa Frans Seda sebagai putera Gereja Katolik, politisi, ekonom dan pendekar pendidikan, jauh lebih luas cakupan dan jangkauannya, menyentuh banyak aspek, dimensi dan dampaknya. Saya sependapat dengan Gubernur NTT Frans Lebu Raya yang mengatakan bahwa “pengabdian nama Frans Seda untuk nama bandara di NTT mungkin dinilai terlalu kecil” (Pos Kupang, 05/10/2010). Terus terang, saya tidak setuju, kalau Bandara Waioti diberi nama Frans Seda. Terlalu kecil untuk ukuran kebesaran dan ketokohan Frans Seda, apabila dihubungkan dengan alasan yang diangkat Bupati Sikka dan sementara Anggota DPRD Kabupaten Sikka. Akan tetapi jika hal itu telah menjadi tekad dan keputusan Pemerintah bersama DPRD Kabupaten Sikka, tentu saja saya tidak berhak menghalanginya, meski hati kecil saya tidak bisa menerimanya.

Frans Seda telah berbuat banyak untuk bangsa dan negara ini. Secara luas telah saya tulis dalam buku yang saya sebutkan di atas. Di sini saya hendak meringkasnya dalam uraian berikut.

Sejak pulang dari Negeri Belanda (Mei 1956) setelah menyelesaikan studinya di Katholieke Economische Hogeschool Tilburg (beliau adalah awam Flores pertama yang meraih gelar sarjana, Drs), Frans Seda memilih Partai Katolik sebagai kendaraan politiknya. Menduduki posisi sebagai Wakil Ketua DPP, mendampingi I.J. Kasimo. Oleh kemampuan dan kepiawaiannya, ia terpilih menjadi Ketua Umum DPP Partai Katolik (1961-1968), seterusnya menjadi Anggota Presidium DPP Partai Katolik (1968-1973). Setelah Partai Katolik dilebur ke dalam PDI (1973), ia dipercayakan sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Pusat (1973-1996), kemudian Anggota Penasehat DPP PDI Perjuangan (1996-2009). Frans Seda adalah satu-satunya pejabat negara pada awal tahun tujuhpuluhan yang dengan sadar dan berani menolak “perintah wajib” menjadi anggota Golkar.

Di antara sekian banyak prestasi yang dicapainya dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum DPP Partai Katolik, saya mencatat prestasinya sebagai negosiator dalam penyelesaian masalah Irian Barat. Atas permintaan pimpinan ABRI (Jenderal A.H. Nasution), pada Maret 1962 Frans Seda diutus untuk mendukung Pastor Oudejans, OFM (kelahiran Belanda yang masuk menjadi WNI), yang dikirim resmi oleh negara dalam suatu misi rahasia ke Negeri Belanda, Misi Frans Seda dan Pastor Oudejans adalah mengupayakan agar Pemerintah Kerajaan Belanda menerima Plan Bunker (yang sudah disetujui Pemerintah RI) sebagai bentuk kesepakatan penyelesaian masalah Irian Barat dan untuk mencegah perang terbuka antara RI dan Belanda.

Frans Seda dalam misi rahasia ini telah melakukan pembicaraan tertutup dengan Pimpinan Partai Katolik Belanda (KVP), yang ketika itu mempunyai peran kunci dalam Kabinet Belanda. Singkat ceriteranya, Menlu Belanda Yosef Luns yang sangat berpengaruh, akhirnya sebagai seorang politisi katolik Belanda sangat memahami peran perjuangan Partai Katolik Indonesia di bawah kepemimpinan Frans Seda. Sepulangya Frans Seda di Indonesia (melalui liku-liku visa dan paspor), pada Mei 1962 Pemerintah Belanda mengumumkan keputusan politiknya menerima Plan Bunker.

Uraian lebih rinci dan jelimet tentang perjalanan misi rahasia Frans Seda dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat dari cengkeraman Belanda, dapat dibaca pada buku “I.J. Kasimo, Hidup dan Perjuangannya” (Tim Wartawan Kompas & Redaksi Penerbit Gramedia, kerjasama Yayasan Kasimo & Penerbit Gramedia, Jakarta 1980). Baca juga Kompas (04/01/2010) tulisan wartawan Pieter P. Gero, di bawah judul “Diplomasi Frans Seda”. Peristiwa politik yang berbobot dan bertaraf internasional ini sungguh menarik. Prof Dr J.J.A.M. Van Gennip menulis dsalam bahasa Belanda, “Seda, De Onvervangdare Intermediar” (= Seda, Perantara Yang Tak Tergantikan, dalam buku Frans Seda, Ad Multos Annos, Atma Jaya Jakarta, 1991, halaman 129-131).

Semenjak pulang dari studinya di Belanda (1956), hampir seluruh kegiatan Frans Seda diserap dalam “karya kerasulan” Partai Katolik. Naiknya beliau ke jenjang tertinggi partai kontas itu, banyak sangkut pautnya dengan kemelut politik nasional yang bergejolak sejak awal Desember 1956, suatu peralihan yang menentukan sejarah Indonesia sendiri. Di sinilah berawal karier Frans Seda sebagai pemimpin tertinggi Partai Katolik selama hampir satu dasawarsa, dan berbarengan dengan itu Bung Karno mengangkat Frans Seda sebagai Menteri Perkebunan (1964-1966). Ketika terjadi peralihan kekuasaan ke tangan Soeharto, Frans Seda menduduki kursi pemerintahan selama 12 tahun masa awal Orde Baru sebagai Menteri Pertanian merangkap Menteri Perkebunan (1966), Menteri Keuangan (1966-1968), Menteri Perhubungan & Pariwisata (1968-1973), Duta Besar RI untuk Belgia, Luxemburg dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE, 1973-1976), dan terakhir sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA, 1976-1978).

*****

Frans Seda dilantik sebagai Menteri Perkebunan tanggal 3 Juni 1964. Hal-hal yang boleh dicatat sebagai sukses dalam jabatannya ini antara lain : (1) Meningkatkan efisiensi perkebunan sebagai sumber devisa utama negara; (2) Mengamankan perkebunan sebagai modal bangsa dari penguasaan PKI/Komunis yang memang berusaha keras tapi tidak bisa berkutik, dicegah Gerakan Turbun (Turun Kebun) yang diorganisir pimpinan departemen, dan pengorganisasian dari Badan Pengamanan Produksi Perkebunan; (3) Mempolakan kerja sama Perusahaan Perkebunan Negara dengan Swasta dalam satu keterkaitan usaha, terutama dalam hal teknologi dan pemasaran; dan (4) Mengalihkan pelelangan tembakau ke Bremen (Jerman) dan membentuk joint venture dalam bidang pemasaran tembakau.

Setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September, Presiden Soekarno melakukan perombakan kabinet, yang disebut Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan Lagi, di mana Frans Seda dipercayakan sebagai Menteri Pertanian merangkap Menteri Perkebunan. Selama tiga bulan usia kabinet ini, dapat dicatat hasil karya Frans Seda memimpin Departemen Pertanian adalah antara lain: (1) Menyatukan Departemen Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perikanan yang tergabung dalam Kompartemen Pertanian dan Agraria dalam satu departemen saja, yakni Departemen Pertanian; (2) Mengaktifkan BIMAS dan memasukkan Indonesia kembali menjadi anggota FAO.

Pada tanggal 25 Juli 1966, Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan Lagi. Selanjutnya Presiden menugaskan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Pengemban Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 (tentang Supersemar) segera membentuk Kabinet AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat). Sangat mengejutkan banyak orang, terutama di kalangan politisi nasional dan kelompok non Kristen/Katolik, bahwa Frans Seda mendapat porsi jabatan Menteri Keuangan, suatu posisi kunci dalam urusan kenegaraan ini.

Frans M Parera menyatakan bahwa Frans Seda termasuk dalam anggota barisan pemikir dan arsitek pembangunan ekonomi nasional. Sementara pakar dan begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo mengatakan, “Sebagai Menteri Keuangan pada masa yang paling sulit, Frans Seda memberikan andil yang besar kepada perekonomian negara”. Menurut Sumitro, ketika Frans Seda menjadi Menteri Keuangan (1966-1968), keadaan keuangan negara waktu itu masih kacau balau dengan menanggung inflasi sekitar 600%. Suasana masih serba gaduh, dan ancaman komunis masih kuat. Dalam keadaan seperti itu Frans Seda mampu mengatasinya.

Menurut Sumitro, banyak orang, termasuk di lingkungan Katolik sendiri kurang menghargai Frans Seda dari sisi ini, yakni sebagai Menteri Keuangan. Padahalnya dari sisi inilah Frans Seda telah memberikan andil yang besar kepada negara. Ditanya tentang kelemahan apa yang dimiliki Frans Seda, Sumitro hanya menebarkan senyumnya yang khas itu. Ia menuturkan, yang unik dari Frans Seda ialah selain seorang ekonom, sekaligus juga seorang politisi. Kombinasi ini sangat bermanfaat menunjang kariernya. Orang seperti Frans Seda sulit didapat. Kalau toh ini dapat dianggap sebagai kelemahannya, menurut Sumitro, rasa sebagai politisinya sering mempengaruhi dirinya dalam mengambil keputusan-keputusan.

Sedangkan Jenderal A.H. Nasution berpendapat bahwa pengangkatan Frans Seda sebagai Menteri Keuangan saat itu, berdasarkan pertimbangan antara lain, Indonesia ingin memperbaiki hubungan dengan Eropa Barat khususnya untuk meminta bantuan ekonomi. Waktu Orde Lama, Indonesia condong ke Blok Timur yang komunis dan memusuhi dunia barat, termasuk Amerika. Frans Seda dinilai sebagai orang yang tepat, terutama karena ia dari Partai Katolik. Ternyata harapan yang dibebankan kepada Frans Seda, menurut Nasution, dapat dijalankannya dengan baik. Dengan menggunakan relasinya, secara cepat dapat memperbaiki hubungan Indonesia dengan Belanda, oleh karena saat itu di negeri Belanda sendiri ada orang Partai Katolik Belanda duduk dalam kabinet. Menurut Pak Nas, usaha Frans Seda inilah yang melahirkan IGGI (= Inter Governmental Group on Indonesia), sebuah forum multilateral negara-negara donor pembangunan Indonesia yang dibentuk untuk memulihkan dan mengembangkan pembangunan ekonomi Indonesia pada awal Orde Baru. Anggota-anggotanya antara lain Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Kanada, Australia, Belgia, Perancis, Jerman Barat, Italia, dan Inggris. Lembaga yang dipimpin oleh seorang Menteri dari negara Belanda itu, didukung pula Selandia Baru, Norwegia dan Swis, serta lembaga-lembaga keuangan internasional seperti: IMF, Bank Dunia, Program Pembangunan PBB (UNDP), Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Pertemuan pertama kali dilaksanakan di Amsterdam pada Pebruari 1967). “Zaman kita beralih dengan mencari bantuan dunia barat, di situlah Frans Seda berposisi sangat penting,” demikian Nasution.

Menurut Drs R.J. Kaptin Adisumarta (Pembantu Khusus Menteri Keuangan, 1966-1970), sebagai Menteri Keuangan Frans Seda berjasa membereskan keuangan negara yang masih berantakan. Salah satu kebijakan tokoh Partai Katolik ini waktu itu adalah tidak memperbolehkan adanya menteri yang memegang manajemen keuangan. Semua keuangan negara dikelola satu orang, yaitu Menteri Keuangan. Akibatnya, semua menteri ”memusuhi” Frans Seda. ”Bayangkan saja, kalau enggak diumpat sama menteri lain. Sebab, semua departemen punya sumber penerimaan negara sendiri, kok diciut semua. Tapi, itu dilaksanakan Frans Seda demi perbaikan keuangan negara. Hasilnya? Sekarang sudah settled, tinggal meneruskan”, ujarnya.

Kaptin juga mengungkapkan, pihak luar negeri melihat Frans Seda sebagai seorang figur yang mempunyai tujuan kerja yang jelas, strategi jelas, memiliki sikap tegas dan bijak dalam pemilihan orang-orang. Ini berkaitan dengan keberhasilan Indonesia menata keuangan negara.

Menurut Kaptin, Frans Seda ditunjuk menjadi Menteri Keuangan karena memang Indonesia pada saat itu membutuhkannya. Waktu itu Indonesia sedang membangun kerja sama dengan luar negeri, seperti Jerman, Perancis, Belanda, Amerika Serikat. Frans Seda yang punya banyak teman dan sudah biasa di Eropa membuat segala sesuatunya menjadi mudah. Namun yang terpenting – kata Kaptin – Frans Seda mempunyai ide yang sudah jelas mengenai sanering (penyehatan) keuangan. Dan mendapat dukungan.

Masih banyak orang di antara para pakar ekonomi dan politik yang memberi penilaian terhadap karya Frans Seda sebagai Menteri Keuangan. Pada hemat saya, yang paling menarik adalah tulisan Rizal Ramli dalam Kata Pengantar buku “Simfoni Tanpa Henti”. Buku ini diterbitkan Desember 1991, ketika Frans Seda berusia 65 tahun dan Rizal Ramli sendiri baru berusia 38 tahun. Terpaut 27 tahun memang. Rizal bukan orang Flores dan bukan dari lingkungan Katolik, sehingga tidak ada alasan primordial untuk meng-“katrol” peranan dan kontribusi pikiran-pikiran Frans Seda dalam sejarah ekonomi Indonesia. Rizal Ramli antara lain menulis, ”Ada hal yang terlupakan dalam sejarah ekonomi Indonesia, yaitu peranan Frans Seda dalam periode stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi pada awal Orde Baru, yaitu dalam kapasitasnya sebagai Menteri Keuangan tahun 1966-1968. Masa itu adalah masa transisi dan periode yang sangat kritis bagi Orde Baru. Banyak penulis sejarah ekonomi Indonesia, terutama penulis-penulis dari barat, yang hanya menonjolkan peranan Prof Wijoyo dan kawan-kawan dalam masa transisi ini. Sebagai Aspri Presiden, tim Prof Wijoyo memang terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan pada masa transisi itu. Peranan Prof Wijoyo dan kawan-kawan baru mulai menonjol, baik secara konseptual maupun operasional, setelah Prof Wijoyo ditunjuk sebagai Ketua Bappenas”.
Sebagai Menteri Keuangan pada masa transisi tersebut, ada sejumlah langkah strategis yang dilakukan Frans Seda. Pertama, mendaftarkan kembali Indonesia sebagai anggota Bank Dunia dan IMF. Langkah strategis tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan internasional terhadap Indonesia dan memudahkan negosiasi utang-utang Orde Lama. Kedua, melakukan lobbying dengan negara Eropa untuk penjadwalan kembali utang-utang luar negeri. Frans Seda bersama-sama dengan Radius Prawiro (ketika itu Gubernur Bank Indonesia), dan Hans Pandelaki (saat itu Sekjen Departemen Keuangan) melakukan perjalanan keliling Jerman, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya. Pada saat yang hampir bersamaan, tim Sultan Hamengkubuwono IX berangkat ke Tokyo untuk mendapatkan pinjaman baru dari pemerintah Jepang. Sebagai hasil dari kedua tim tersebut, negara-negara kreditor Indonesia kemudian setuju menjadwalkan kembali utang-utang Indonesia dan membentuk konsorsium IGGI.

Frans Seda juga memperkenalkan prinsip anggaran berimbang (balanced budget), yaitu prinsip agar pengeluaran dan penerimaan negara berimbang. Jika pengeluaran lebih besar dari penerimaan, maka defisitnya harus bisa dibiayai oleh pinjaman luar negeri.
Prinsip tersebut diperlukan agar tidak terjadi lagi pembiayaan defisit anggaran dengan cara mencetak uang – cara yang lazim dipakai pada awal tahun 1960-an dan merupakan penyebab utama inflasi. Dalam konteks saat itu, usaha menerapkan anggaran berimbang adalah bagian dari upaya untuk menekan laju inflasi yang mencapai angka 635 persen pada tahun 1966.

Hal-hal yang dapat dicatat sebagai karya besar Frans Seda ketika menjabat Menteri Keuangan, antara lain: (1) Operasi penyelamatan ekonomi negara dengan mengganyang “hyperinflation” dan kebijakan stabilitas dan rehabilitasi ekonomi sebagai landasan untuk pelaksanaan pembangunan; (2) Mengembalikan kepercayaan rakyat pada ekonomi dan demokrasi antara lain dengan mengembalikan “single management” APBN di tangan Menteri/Departemen Keuangan dan mengintroduksi-kan APBN Berimbang yang dibicarakan dengan DPR; (3) Mengembalikan kepercayaan luar negeri pada RI dengan antara lain kembali menjadi anggota Bank Dunia/IMF dan Asian Development Bank (ADB), menyelesaikan utang-utang dan membuka pintu investasi swasta asing dan domestik; (4) Meletakkan dasar-dasar dan kebijakan anggaran berimbang dan Undang-Undang APBN, menyelesaikan Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Modal Dalam Negeri dan Undang-Undang Pokok Perbankan; (5) Merombak etatisme dalam ekonomi dengan mengadakan deregulasi, debirokratisasi, dekonsentrasi dan desentralisasi; (6) Mendorong terbentuknya IGGI sebagai suatu konsorsium penyelesaian utang-utang lama dan pemberian utang-utang baru yang berfungsi sampai tahun 1992.

Pada tanggal 6 Juni 1968, Kabinet Ampera dibubarkan, dan Presiden Soeharto mengumumkan pembentukan Kabinet Pembangunan I (1968 – 1973). Frans Seda digeser dari Menteri Keuangan menjadi Menteri Perhubungan. Menurut Presiden Soeharto, bahwa di dalam menetapkan posisi kabinet itu, dipertimbangkan berbagai faktor, antara lain, “Meliputi berbagai golongan kekuatan yang ada di dalam masyarakat dewasa ini, ialah dari Golongan Karya, ABRI dan non ABRI dan golongan politik yang sedapat mungkin terdiri dari tenaga-tenaga yang ahli (tehnokrat)”. Patut disadari dan dimaklumi, bahwa basis dukungan politik Frans Seda melalui kekuatan Partai Katolik dipandang tidak cukup dan tidak pas dengan situasi dan kondisi politik yang sedang berkembang saat itu. Satu-satunya kekuatan yang dimiliki adalah kualifikasi atas kapasitas pribadi sebagai tehnokrat ekonomi yang punya relasi kuat dengan kepentingan-kepentingan negara dalam hubungan ekonomi dengan luar negeri.

Prestasi Frans Seda sebagai Menteri Perhubungan adalah membuat terobosan dan keputusan-keputusan yang strategis, antara lain: (1) Mempersatukan seluruh kegiatan perhubungan (darat, laut, udara dan telkom) dalam satu kebijakan nasional terpadu, dan mengembalikan penguasaan sektor perhubungan di tangan sipil; (2) Meletakkan dasar-dasar kebijakan “reguler liner service“ di laut, udara, dan darat, dan sistem telekomunikasi nusantara; (3) Membina sistem pengelolaan perhubungan secara “regulated competition“ dengan perusahaan-perusahaan negara sebagai usaha inti; (4) Mengintroduksikan angkutan laut dan udara perintis bagi daerah-daerah terpencil; (5) Mengorganisasikan pelayaran Samudera Nasional dalam suatu “Freight Conference” dan memberi peran pada pelayaran rakyat dalam pelayaran dalam negeri; (6) Mengintroduksikan di Departemen Perhubungan, Direktorat Jenderal Pariwisata dengan rencana pengembangan pariwisata serta lembaga-lembaganya dan penentuan Bali sebagai Pusat Pengembangan Pariwisata Indonesia; (7) Mengambil insiatif dan merencanakan pembangunan Bandar Udara Soekarno-Hatta di Cengkareng (sebagai peralihan kegiatan Bandara Kemayoran ke Halim Perdana Kusuma); (8) Mengambil inisiatif dan membentuk Otorita Pulau Batam (yang kemudian diserahkan kepada Pertamina); (9) Memilih dan menentukan Nusa Dua sebagai daerah pengembangan sarana turis internasional dan membentuk BTDC Nusa Dua.

Pada tanggal 27 Maret 1973, Presiden Soeharto didampingi Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan II (1973-1978). Frans Seda tidak masuk lagi dalam kabinet ini dan untuk seterusnya. Itulah konsekuensi politik dari apa yang dikemukakan Presiden Soeharto ketika mengumumkan susunan kabinet ini antara lain mengatakan, “Dalam menyusun Kabinet Pembangunan II ini, saya telah mendapatkan banyak saran dan pertimbangan dari parpol-parpol, ormas-ormas, organisasi mahasiswa dan perorangan”. Harus dimaklumi bahwa Partai Katolik dari mana Frans Seda berasal hanya mendapat 3 kursi pada Pemilu 1971, dan sejak Januari 1973 telah difusikan ke dalam PDI yang tergolong sebagai partai “gurem”.

Apakah Frans Seda sudah terlempar dari panggung politik dan pemerintahan? Ternyata ia masih dipercayakan pemerintah untuk jabatan Duta Besar RI untuk Belgia dan Luxemburg sekaligus merangkap sebagai Kepala Perwakilan RI di Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Penempatan Frans Seda sebagai Duta Besar Indonesia di Belgia, menurut Mh. Isnaeni, memang dialah orangnya yang paling tepat. Belgia merupakan sentrum ekonomi di mana Indonesia mempunyai kepentingan, dan Frans Seda yang ahli ekonomi itu sudah cocok. Jadi tidak berlebihan. Penugasannya boleh dikatakan “the right man on the right place”, kata Isnaeni.

Dalam tiga tahun penugasan ini (1973-1976), Frans Seda mencatat prestasi kerjanya, antara lain: (1) Membentuk Asean Brussels Commitee sebagai wadah kerja sama Perwakilan Negara ASEAN pada MEE; (2) Meletakkan dasar kerja sama formal antara MEE dan ASEAN; (3) Membawa Raja dan Ratu Belgia berkunjung ke Indonesia; (4) Membawa Presiden MEE berkunjung ke Indonesia; (5) Mengambil inisiatif menghubungi secara informal Pemerintah Portugal untuk bekerjasama dengan Indonesia dalam policy dan proses dekolonisasi mereka di Timor Timur, yang kemudian diikuti suatu perutusan formal dari RI di bawah pimpinan Jenderal Ali Murtopo.

Tentang butir (5) tersebut, dalam buku INTEGRITAS ditulis lengkap seperti diuraikan di bawah ini, “Dalam hubungan ini, Duta Besar RI di Belgia, Frans Seda, mempunyai saham yang cukup besar dalam ikut berusaha mengadakan pendekatan di Lisabon. Duta Besar Frans Seda sebelumnya telah mempunyai kontak-kontak pribadi dengan salah seorang pejabat Departemen Luar Negeri Portugal, yakni Prof Campignos, yang juga sebagai seorang mahaguru di salah satu Universitas di Lisabon. Prof Campignos, merupakan salah seorang teman akrab Dubes Frans Seda sewaktu bersama-sama mengikuti kuliah di perguruan tinggi di Perancis. Sebagai seorang pejabat dari Departemen Luar Negeri, Prof Campignos saat itu juga mempunyai jalur-jalur langsung dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintah Portugal. Hal ini oleh Dubes Frans Seda tidak disia-disiakan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menggunakan Prof Campignos. Sekitar bulan September 1974, Dubes Frans Seda dan Mohamad berhasil masuk ke Lisabon untuk mengadakan kontak-kontak kepada beberapa pejabat pemerintah serta membuat dan mengatur acara kunjungan Jenderal Ali Murtopo di Lisabon”.

Tahun 1976 tugas Frans Seda sebagai duta besar berakhir. Ada komentar yang menarik dari Emil Salim, rekan dekatnya ketika bersama duduk dalam kabinet. “Sayang sekali, masa jabatannya terlalu singkat”. Belgia itu pusat pasaran bersama dan saat itu masuknya Indonesia ke pasar Eropa tidak gampang. Sebagai dubes, Frans Seda berusaha memperlancar kondisi itu. Tapi yah, iklim dingin Belgia membuat anaknya yang kedua, Nesa, menderita semacam alergi terhadap udara dingin, sehingga terus menerus sakit, delapan bulan dari satu tahun. “Frans rupanya lebih baik mengorbankan jabatannya demi puterinya itu,” demikian Emil Salim.

Sekembalinya dari Belgia, Frans Seda diminta masuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA, 1976-1978). Dua tahun, terasa seperti namanya “tenggelam” dalam hiruk pikuk politik Orde Baru. Ketika itu mulai timbul reaksi masyarakat, khususnya di kalangan mahasiswa terhadap kebijakan pembangunan pada umumnya, khususnya konsep BKK/NKK (normalisasi kampus) yang menjurus kepada pembungkaman kegiatan politik mahasiswa. Juga sekitar konsep pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan dan kurang mengandalkan pemerataan. Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa menggelegar. Salah satu konsep yang disiapkan DPA adalah Pengaturan Pendidikan Nasional dalam satu rancangan undang-undang pokok.

Apa tugas yang paling mengesankan yang pernah ditangani? Menjawab pertanyaan menggelitik dari wartawan Kompas Julius Pour, mantan Duta Besar ini mengenang kembali sebuah peristiwa yang agak menggelikan: ”Mengantar Ratu Febiola dari Belgia ke Keraton Yogyakarta agar beliau segera punya putera. Baru kemudian saya tahu, jamu Jawa itu rumit dan tak sekali minum, beres, perlu ramuan untuk beberapa kali. Maka, sewaktu saya kembali ke Brussel, Sultan Yogya titip ramuan tersebut; mungkin hanya saya, Dubes yang membawa titipan jamu Jawa di kantong diplomatik ........” (Kompas, 4/10/2006).

Masih ada yang lebih menarik tentang Frans Seda sebagaimana diceriterakan Prof Dr Widjojo Nitisastro pada tanggal 6 Oktober 1996 ketika acara peluncuran buku ”Kekuasaan dan Moral” yang berlangsung di Jakarta, dalam rangka peringatan 70 tahun usia Frans Seda. Prof Widjojo adalah Ketua Tim Penasehat Ahli Ekonomi Presiden (1968-1973). Anggota-anggotanya antara lain Emil Salim, Frans Seda, Mohamad Sadli, Subroto, Ali Wardhana dan Sumitro Djojohadikusumo.

Widjojo menceriterakan bahwa pada setiap hari Kamis, Tim Penasehat ini melakukan rapat. Ada tiga anggota tim yang selalu datang terlambat, yaitu: (1) Emil Salim sering datang terlambat, dan meminta maaf atas keterlambatannya; (2) Mohamad Sadli, datang terlambat, minta maaf dan menerangkan sebab-sebab keterlambatannya; dan (3) Frans Seda, paling terlambat datang, tidak minta maaf dan tidak menjelaskan alasan keterlambatannya.

Demikian ringkasan sekilas tentang masa pengabdian Frans Seda di lingkungan pemerintahan sejak menjadi Menteri Perkebunan tahun 1964.



*****

Dalam karya kerasulan Gereja Katolik, Frans Seda memaknai penghayatan imannya dalam wujud empat karya besar di bawah ini:

Pertama, dengan sejumlah kawannya sebanyak 15 orang, terdiri dari unsur tokoh-tokoh eks IMKI (Ikatan Mahasiswa Katolik Indonesia, organisasi mahasiswa Katolik yang berstudi di Negeri Belanda), diwakili Frans Seda, unsur PMKRI yang diwakili Anton M. Moeliono, ISKA (Ikatan Sarjana Katolik) yang diketuai Drs Lo Siang Hien Ginting, dan tokoh Katolik seperti I.J. Kasimo dan Ben Mang Reng Say, mereka mendirikan Universitas Katolik Atma Jaya di Jakarta. Unika ini mulai beroperasi tanggal 1 Juni 1960, berarti tahun 2010 ini mencapai usia emas, 50 tahun. Sayang, Frans Seda telah meninggal lebih cepat lima bulan, tak dapat menyaksikan hari raya yang sedang dikemas. Dalam sambutannya ketika jenazah Frans Seda disemayamkan di Komplek Unika Atma Jaya selama lebih kurang satu jam, Rektor Unika Atma Jaya Prof Dr F.G. Winarno menegaskan bahwa Frans Seda adalah jiwa dan tokoh sentral dari universitas ini.

Kedua, Frans Seda bersama I.J. Kasimo, Jakob Oetomo dan P.K. Ojong adalah pendiri Harian Kompas, yang terbit pertama kalinya tanggal 28 Juni 1965. Kini sudah menyongsong usia 45 tahun. Ada mulut usil yang mempelesetkan Kompas sebagai “Komando Pastor”, atau “Komando Pak Seda”. Padahalnya semua orang tahu bahwa yang memegang komando atas pengelolaan harian terbesar tirasnya di Indonesia yang terbit dari dapur kerja di Jl Palmerah Selatan 26-28 Jakarta itu adalah P.K. Ojong (+ 31 Mei 1980) dan Jakob Oetomo.

Terbitnya harian Kompas ini dimulai dengan proses minta izin usaha, izin terbit dan izin cetak. Penuh rintangan dan liku-liku, walaupun sudah ada restu dari Presiden Soekarno, bantuan pimpinan Angkatan Darat dan berkat Uskup Agung Jakarta. PKI dan kaki tangannya yang menguasai birokrasi aparatur berusaha keras untuk menghadang penerbitan harian ini, antara lain dengan mematok syarat bahwa izin cetak dapat diberikan apabila sudah terdaftar 3.000 pelanggan. Menurut Frans Seda, ini benar-benar suatu pukulan yang bisa knock out!. Namun mereka lupa, bahwa masih ada satu kekuatan yang bernama Flores. Frans Seda segera berpaling ke Flores, mengimbau semua anggota Partai Katolik, guru-guru dan anggota Koperasi Kopra di Kabupaten Sikka, Ende dan Flores Timur. Dalam waktu singkat daftar pelanggan lebih dari 3.000 orang lengkap dengan alamat dan tandatangannya tiba di Jakarta. Nah, izin cetak segera diterbitkan penguasa militer, Kodam V Jaya.

Cita-cita Kompas, demikian Frans Seda, adalah menjadi sebuah monumen nasional dari hati nurani rakyat, sebagai sumbangsih para pemrakarsa dan pendirinya, dari profesi kewartawanan Indonesia dan dari korps wartawan pengasuhnya.

Ketiga, tanggal 24-30 Juli 1988 diselenggarakan Perayaan Nasional Tahun Maria di Maumere, ibukota Kabupaten Sikka. Perayaan akbar ini dihadiri 33 uskup Indonesia dengan utusan umat sekitar 3.000 orang dan umat Katolik sekitar 50.000 orang. Peristiwa keagamaan ini sangat berkesan dan mengangkat pamor Kabupaten Sikka ke pentas sejarah gereja dan dunia pariwisata. Selain kerja keras dari ratusan anggota panitia yang dipimpin mantan Bupati L. Say, tidaklah kurang peran yang dimainkan Frans Seda untuk menyukseskan perayaan tersebut.

Keempat, tanggal 11-12 Oktober 1989, Maumere, Kabupaten Sikka dan Flores mencatat sejarah. Hari-hari itu adalah kunjungan kegembalaan Sri Paus Yohanes Paulus II. Tidak lain, peristiwa bersejarah ini bisa terjadi karena kerja keras dan perjuangan Frans Seda bersama para uskup Indonesia yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), sehingga Sri Paus boleh berkunjung ke Jakarta, Yogyakarta, Maumere, Dili dan Medan.

”Mengapa Sri Paus ke Flores? Mengapa tidak ke Denpasar, Kupang, Makasar, Ambon atau kota besar lain di Indonesia Timur?” tanya wartawati Intisari Lily Wibisono kepada Frans Seda, Putra Flores itu menjawab dengan santai saja, ”Flores, pulau Katolik; 90% penduduk Flores adalah orang Katolik. Bangun pagi tanda salib, mau makan tanda salib, mau berenang di air laut tanda salib, mau tidur tanda salib, mau panjat pohon tanda salib, mau curi kelapa di kebun orang juga tanda salib. Bahkan batu-kayu, gunung dan lembah, babi-kambing, ikan di laut dan burung di udara, semuanya sudah Katolik”. Si wartawati yang Katolik itu tertawa terbahak-bahak. ”Dan mengapa di Maumere, bukan di Ende?” tanya wartawati yang cantik itu. ”Hanya soal praktis saja, bukan luar biasa. Kota kecil Maumere punya landasan udara yang memadai, fasilitas penginapan, transportasi, kantor pos, bank, rumah sakit bisa diandalkan, punya dua seminari tinggi, dan ada Gelora Samador”, ujar Frans Seda.

Itulah sekelumit cerita tentang karya Frans Seda dari sekian banyak yang telah dikerjakannya sepanjang hidupnya bagi kejayaan Gereja Katoli di Indonesia. ”Pro Exclesia et Patria”.

*****

Jelaslah sudah, tulisan ini tidak bermaksud lain dari pada menolak ide atau gagasan untuk memberi nama Frans Seda bagi Bandara Waioti. Sebab, peranan Frans Seda sebagai salah seorang arsitek ekonomi modern Indonesia, seorang politisi Katolik yang beken, piawai dan bermoral, pendekar di bidang pendidikan, pendiri sebuah harian ternama, penulis kolom surat kabar yang jempol, dan selaku pengukir rautan wajah Gereja Katolik di Indonesia, sudah dapat dinilai pada takaran yang berdimensi sejarah. Dengan demikian ketokohan Frans Seda tidak hanya dapat dihitung dan diukur dari sebuah ”proyek kecil” di Bandara Waioti Maumere.

Sudah lama ada pikiran yang masih tersimpan di benak banyak orang yang bersikap kritis dan rasional, hendak mengusulkan agar Bandara Waioti diabadikan dengan nama ”Don Thomas”. Raja Sikka ke-15 (1895-1954) itu adalah seorang pemimpin yang genius, brilian dan visioner yang telah memprakarsai dan merintis pembangunan bandar udara Waioti pada tahun 1943-1944. Tentang beliau, dengan seluruh karya dan jasanya, ide dan gagasannya, kelebihan dan kekurangannya, boleh dibaca buku ”Don Thomas, Peletak Dasar Sikka Membangun” (E.P. da Gomez & Oscar P. Mandalangi, Yapenthom Maumere, Percetakan Arnoldus Ende, 2003/2005/2006). Bahkan semasa hidupnya Frans Seda pernah berkata ”adalah tepat apabila Bandara Waioti diberi nama Don Thomas”.** (djo)




E.P. DA GOMEZ
Fungsionaris Partai Katolik (1961-1973), PDI (1973-1996) dan PDI Perjuangan (1996-kini).
www.inimaumere.com

Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Tuesday, January 19 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---