L.SAY, nama yang sangat tenar, terkenal dan akrab bagi rakyat Kabupaten Sikka, bahkan tidak asing di lingkungan pemerintahan, dunia usaha, perkoperasian dan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Bupati Sikka dua periode itu (1967-1977),kini telah pergi untuk selamanya meninggalkan kita semua,namun harum namanya masih diingat oleh banyak orang Sikka,berikut petikan kenangan akan Bapak Say yang disadur dari tulisan Bapak EP da Gomez dalam buku 'Menantang Badai Di Bumi Gempa Tsunami'.
Almahrum yang memiliki 8 anak (5 putra dan 3 putri) dari perkawinannya dengan HELENA PARERA (meninggal dunia 16 Maret 1992), terlahir dengan bakat dan kemampuan sebagai pemimpin, meski didukung oleh latar belakang pendidikan yang tidak luar biasa. Setelah tamat Schakelschool di Ndao/Ende (1939) beliau melanjutkan ke sekolah pertanian dan kehutanan di Bogor dan Yogyakarta. Di Yogya itulah, antara tahun 1946-1949, beliau turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan melalui wadah Laskar Sunda Kecil/TNI Batalyon "Paraja" bersama sejumlah kawan (antara lain : Daud Kelah, C.J. Kodiowa, El Tani, Amos Pah, Silvester Fernandez, Herman Fernandez, Frans Seda, Dion Lamury, Paulus Wangge, Is Tibuloeji, dlsb).
L. Say yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris ini mulai bekerja sebagai Pegawai pada Balai Besar Penyelidikan Pertanian Cabang Makassar (1950-1956).Tahun 1954 mendapat tugas belajar selama 6 bulan pada Pest Control Ltd di Born Cambridge /Inggeris (kursus hama dan penyakit tanaman). Dalam usia 32 tahun beliau telah ditunjuk menjadi Kepala Yayasan Kopra Cabang Nusa Tenggara di Ende. Setelah Yayasan Kopra dilikuidasi, beliau dipercayakan sebagai Wakil Ketua Badan Urusan Kopra (BUK) Daerah Flores (Ketuanya adalah Kepala Daerah Flores).
Berangkat dari BUK lahirlah konsep membangun Koperasi Kopra di Flores sebagai wadah dan alat perjuangan kepentingan petani kelapa. Selama dua tahun (1958-1959) beliau memimpin Tim Pembentukan Primair Koperasi Kopra, mulai dari Mauponggo sampai Pulau Adonara, disusul pembentukan Pusat Koperasi Kopra di Ende, Maumere dan Waiwerang untuk membawahi Primair-Primair Koperasi Kopra di Kabupaten masing-masing (Ende, Sikka dan Flores Timur).
Atas anjuran Frans Seda dan Yusuf Indradewa, dibentuk Gabungan Koperasi Kopra NTT berkedudukan di Maumere pada tahun 1960 untuk mengkoordinasi kegiatan dari ketiga Pusat Koperasi Kopra itu. Laurens Say terpilih menjadi Ketua Gabungan Koperasi Kopra NTT yang pertama (1960-1963).
Koperasi Kopra memikul tanggung jawab sebagai pengumpul/pembeli kopra tunggal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1960 yang diperbaharui dengan Penetapan Presiden Nomor 11 tahun 1963, telah mencapai "kejayaan" selama lebih kurang 8 tahun dalam melayani kepentingan petani kelapa Flores. Masa kejayaan itu menjadi pudar, hilang tinggal nama setelah berlakunya SK Menteri Perdagangan Nomor 9 Tahun 1967 yang membebaskan hak pembelian dan perdagangan kopra.
Tahun 1959-1963, Veteran Pejuang Angkatan 1945 ini menetap di Maumere dengan tugas memimpin PT. Negara ex NV Moluchse Handelsvenootschap Ranting Maumere suatu perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi (kemudian dilebur menjadi PN. Budi Bhakti). Beliau juga mendirikan perusahaan jasa konstruksi, PT. WIRADHARMA, yang antara lain mengerjakan berbagai bangunan dan fasilitas Bandara Waioti ketika itu. Di samping itu beliau berhasil menghimpun semua pengusaha swasta di Kabupaten Sikka dalam wadah GAPENIM (Gabungan Pengusaha Nasional Indonesia Maumere) yang bergiat dalam sektor distribusi bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat (sembako). Beliau juga mendirikan YAPEN USRA (Yayasan Pendidikan Usaha Rakyat) untuk menghimpun semua SLTP Swasta di Kabupaten Sikka yang ketika itu amat senin kamis dalam soal dana, fasilitas, tenaga guru dan pola pengelolaan/pembinaan pendidikan yang efektif.
Pada tahun 1963, dari unsur Induk Koperasi Kopra Indonesia (IKKI), beliau ditunjuk oleh Pemerintah sebagai salah satu dari lima orang mewakili Indonesia dalam badan kerja sama industri perkelapaan Philipina dan Indonesia (PICC = Philipine Indonesia Coconut Commision). Dua tahun lamanya beliau bertugas di Manila, lalu kembali ke Indonesia pada Sep¬tember 1965. Karena tidak mendapat meja kerja lagi di IKKI Jakarta, beliau mengambil keputusan kembali ke kampung halamannya sebagai rakyat biasa. Tanggal 1 Januari 1966 bersama keluarga menetap di Bola. Selama satu tahun lebih beliau bertekun dan bergumul sebagai petani yang produktif, sambil berperan dalam kehidupan sosial masyarakat melalui berbagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan.
Sejarah berjalan terus. Dunia perpolitikan Kabupaten Sikka mulai hangat, bergelora setelah peristiwa G-30-S/PKI. Di seluruh Indonesia mulai terjadi perubahan dalam jabatan-jabatan politik, termasuk posisi Kepala Daerah di Kabupaten-Kabupaten. Naluri politik L. Say juga terangsang untuk turut "bertempur" dalam perebutan jabatan Bupati Sikka. Beliau berhasil diorbitkan oleh Partai Katolik menjadi salah satu calonnya. Meskipun kalah suara dalam pemilihan oleh Sidang DPRD Sikka pada Pthruari 1967,namun dengan rekomendasi Gubernur NTT dan DPP Partai Katolik, Menteri Dalam Negeri menetapkan L. SAY terpilih sebagai Bupati Sikka, dan dilantik pada tanggal 6 September 1967 oleh Gubernur El Tari, menggantikan Paulus Samador da Cunha pendahulunya (1960-1967).
Kehadiran L. Say di puncak pemerintahan Kabupaten Sikka, bukan sekedar merubah wajah pemimpin, tapi juga membawa warna dan karakteristik baru dalam gaya dan manajemen kepemerintahan. Apabila P.S. da Cunha, seorang pamong praja tulen tampil melakukan pembenahan dan peletakan dasar administrasi pemerintahan di saat Kabupaten-Kabupaten tidak punya dana yang memadai untuk menerapkan konsep pembangunan yang menyeluruh, maka L. Say datang dengan obsesi dan cita-cita besar untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki masyarakat sebagai sumber daya pembangunan.
"Saga tidak mengandalkan APBD saja sebagai sumber dana pembangunan, karena sebetulnya masyarakat sendiri memiliki potensi cukup untuk maju, asal saja dimanfaatkan dan digunakan dengan tepat", katanya kepada saya ketika berbincang¬bincang di hari Minggu pagi 4 Pebruari 2001.
Lebih lanjut beliau mengatakan: "Agar rakyat berhasil maksimal dalam membangun dirinya dengan kemandirian penuh,tugas utama pemerintah adalah menciptakan iklim ketenangan dan ketenteraman yang kondusif. Pembangunan fisik dan non fisik yang dilaksanakan penierintah dan lembaga-lembaga masyarakat, hanyalah faktor pendorong untuk merangsang dan memantapkan kesadaran masyarakat dalam upaya mencapai kemajuan lebih.
Pada awal masa kebupatiannya, L. Say mulai menggebrak langkah pembangunan dengan berbagai terobosan yang tidak lazim dalam administrasi pemerintahan dan birokrasi pembangunan. Selain pekerjaan rutin seperti pembenahan administrasi pemerintahan dan kepegawaian, beberapa pemikiran dan konsep pembangunan yang ada di benaknya mulai diterapkan. Berikut ini saya beberkan beberapa hal yang lahir dari gagasan, kreasi, inisiatif dan konsep L. Say untuk membangun Kabupaten Sikka. Beliau selalu berpikir pragmatis, efektif dan efisien, tanpa program yang muluk-muluk. Apalagi kalau soal uang, beliau sangat cermat dan hati-hati. Pada zamannya belum ada BAPPEDA.
Beliau bercita-cita membangun fasilitas dermaga pelabuhan laut Maumere yang representatif. Para pengusaha sebagai sumber daya dan dana dilibatkan. Pekerjaan itu dimulai saja tanpa perencanaan yang matang, baik gambarnya maupun dananya. Ini hanya satu gebrakan untuk menarik perhatian Pemerintah Pusat agar terbuka mata hatinya menyediakan anggaran pembangunan pelabuhan laut itu. Pada akhirnya sebuah dermaga yang luas dan kuat baru dibangun pada masa Bupati Dan Woda Palle, tapi gagasan itu muncul dengan tekad yang bulat dan kuat yang ditanam oleh L. Say. Begitu pula pembangunan landasan Bandara Waioti dengan fasilitasnya dimulai dengan keberanian melawan aturan birokrasi pemerintahan, khususnya sistim anggarannya. Beliau didukung oleh Drs. Frans Seda yang ketika itu menjabat Menteri Perhubungan.
Tambak ikan air payau Koliaduk Maumere, punya ceriteranya sendiri. Ketika Yosef da Cunha, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Sikka mengajukan proposal untuk proyek ini dengan anggaran yang sangat besar, beliau anjurkan konsep lain. Katanya, Pemerintah Daerah tidak punya cukup uang. Yang memiliki potensi dan uang adalah masyarakat. Sebab itu masyarakat yang harus digerakkan dan dilibatkan unttik membangun tambak-tambak itu. Maka tanah negara di kawasan tambak
itu dibagi-bagi kepada petani tambak, pengusaha, instansi pemerintah yang berminat dan masyarakat untuk membangun tambak ikan dengan ukuran dan luas yang sama. Dinas Perikanan memandu, mendampingi dan memberikan penyuluhan tentang teknik pemeliharaan ikan air payau. Hasilnya memuaskan, produksi ikan naik memenuhi pasar kebutuhan masyarakat. Suatu saat, September 1969 Gubernur NTT El Tari dan para Bupati se NTT mengadakan Rapat Kerja di tambak ikan Koliaduk itu sambil menikmati basil ikan tangkapan dari "Konsep L. Say". Beliau sungguh puas dengan sukses yang dicapainya. Kini, kawasan tambak itu sudah amblas karena letaknya di muara kali yang banjirnya ganas setiap tahun.
Di pusat kota Maumere sekarang, berdiri sebuah bangunan pasar yang luas dan megah. Bangunan itu menelan biaya sekitar Rp. 2 milyar dari APBD Sikka Tahun Anggaran 1996/1997. Menurut ceritera, lokasi pasar itu sudah dimulai sejak tahun 1949 pada masa pemerintahan Raja Sikka Don Thomas. Sampai dengan akhir tahun enam puluhan di lokasi itu hanya terdapat beberapa bangunan los terbuka, sedangkan sebagian besarnya adalah tanah lapang yang kosong.
Tergerak hatinya melihat kondisi pasar yang fasilitasnya begitu sederhana, L. Say ingin berbuat sesuatu. Diinstruksikannya Kepala Dinas PU Guntoro membuat rancang bangun gardu-gardu untuk kios ukuran 4 x 5 meter. Kepala Desa Beru, Thomas Tandjung diminta mendaftarkan peminat yang akan memanfaatkan bidang tanah pasar untuk membangun kios sesuai ukuran yang diberikan Dinas PU.
Ternyata datang banyak peminat membangun kios dengan biaya sendiri dan seterusnya melakukan aktivitas jual beli. Sekitar 80 kios dibangun mengitari lokasi pasar itu. Pemda tidak mengeluarkan biaya satu sen pun, malahan kelak memetik retribusi pasar yang memadai untuk memasok Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, ketika datang gempa bumi 1992, semuanya hancur lebur, dan diatas puing itulah kini tegak berdiri bangunan pasar yang megah. Lepas dari soal bangunan pasar/kios-kios konsep L. Say itu telah hancur dilanda gempa, namun obsesi untuk memanfaatkan potensi masyarakat sebagai hakekat otonomi daerah (otda) bertumbuh dan berkembang.
Pada tanggal 11 September 1984 Kabupaten Sikka dengan bangga menerima petaka kehormatan PARASAMYA PURNAKARYA NUGRAHA,lambang supremasi keberhasilan pembangunan Kabupaten Sikka dalam Pelita III (1979-1984). Sukses Kabupaten Sikka ini dinilai oleh Pemerintah Pusat dalam Program LAMTORONISASI.
Program ini adalah gagasan murni L.Say dalam awal masa jabatannya yang kedua, tahun 1973, yang dilanjutkan oleh Bupati Dan Woda Palle. Bupati L. Say melaksanakan program ini dalam kerja sama dengan P.H. Bollen SVD, Delsos Maumere (Biro Sosial Maumere, tahun 1974 menjadi YASPEM, sebuah LSM pemula yang terkenal). Bentuk kerja samanya adalah Pemda Sikka menggerakkan masyarakat untuk terlibat dalam program ini dengan mengikuti pelatihan oleh Biro Sosial, menyiapkan lahannya dan menabur biji lamtoro diatasnya sesuai petunjuk teknis Dinas Pertanian dan Biro Sosial. Pemda menyiapkan juga dana perangsang Rp. 1 juta untuk hadiah perlombaan keberhasilan lamtoronisasi bagi Camat, Kepala Desa dan petani terbaik. Sementara itu Biro Sosial menyediakan bibit lamtoro dan mendistribusikan ke setiap desa untuk diteruskan kepada para petani.
Tidak kurang dari 100 ton bibit lamtoro telah ditanam diatas areal ribuan hektar di seluruh Kabupaten Sikka. Hasilnya sangat memuaskan dan diakui dunia internasional sebagai sistim pertanian lahan kering yang tepat dan mantap dengan menggunakan lamtoro sebagai upaya konservasi tanah dan penghijauan (sekaligus untuk makanan temak dan kayu bakar keperluan dapur rumah tangga).
Sekali lagi L. Say membuktikan bahwa menggunakan potensi yang dimiliki masyarakat dengan pendekatan persuasif, jauh lebih besar makna, hasil dan bobotnya, dari pada menghambur-hambur uang dengan proyekisme pola top down.
Kalau kita boleh bertanya: berapa capaian hasil dari program penghijauan yang menelan biaya ratusan juta rupiah bahkan dua milyaran rupiah setiap tahun anggaran selama kurang lebih 15 tahun terakhir ini ?? Tanpa mengecilkan hasil yang dicapai, namun tampaknya kurang meyakinkan. Buah karya L. Say jauh lebih mantap, merupakan proyek monumental dari gagasan membangun dengan kemampuan sendiri sebagai hakekat menerapkan prinsip otonomi daerah. LAMTORONISASI adalah sukses besar L. Say yang tercatat sebagai keberhasilan pembangunan yang bergaung luas dan berbobot sejarah.
Bersama Biro Sosial Maumere, L. Say juga menjalin kerja sama di bidang pengadaan air minum bersih untuk wilayah-wilayah yang rawan air minum seperti Kecamatan Kewapante, Bola dan Kota Maumere. Di samping itu dirancang pula pembukaan jalan baru ke lokasi-lokasi terpencil yang potensial sebagai daerah penghasil komoditi pertanian dan perkebunan. Sejauh pembukaan jalan yang dilakukan sekarang, lebih banyak adalah rancangan yang sudah digariskan pada awal tahun tujuh puluhan oleh Pemda yang didukung oleh Biro Sosial Maumere.
Masih ada banyak kegiatan lain yang bisa diangkat disini, seperti program penanaman kelapa dalam dengan dana CESS KOPRA, atau pembangunan kawasan Magepanda sebagai daerah persawahan untuk memasok kebutuhan beras dan bahan makanan lainnya bagi rakyat seluruh Kabupaten. Atau juga hasil kunjungannya ke belahan timur Kecamatan Talibura untuk memacu rakyat menanam tanaman per¬dagangan seperti kakao dan jambu mente. Atau bagaimana beliau menerobos kekakuan birokrasi untuk mencukupi tenaga guru di SLTP dan SLTA. Begitu banyak guru honorer diangkatnya sebagai Pegawai Daerah.
Yang spektakuler ketika beliau berlangkah untuk "menjual" indahnya matahari terbenam di balik tanjung Sadawatumanuk, jika ditonton/dipandang dari pantai Waiara. Itulah upaya mempromosikan Kabupaten Sikka di sektor industri pariwisata. Dimulai tahun 1974 dengan mengisinkan usaha wisata "Sea World Club" milik pengusaha Ny. Ambrosiana dari Italia. Usaha ini kemudian diteruskan oleh CV. YASPEM SARANA sampai kini. Dari gagasan ini pada medio tahun 1980 muncullah Hotel Permata Sari, Sao Wisata dan beberapa cottage/ home stay di kawasan pantai Wodong, yang berkembang memanfaatkan Taman Laut Gugus Pulau Teluk Maumere sebagai hamparan pesona wisata bahari.
Patut dicatat disini peran istrinya, Ny. Helena Say Parera, seorang berpendidikan perawat dan kebidanan jebolan Rumahsakit Carolus Boromeus Bandung. Pernah bekerja di Rumahsakit Stella Maris Makassar,Rumahsakit St. Elisabeth Lela dan Rumahsakit Pemerintah Ende.
Wanita anggun yang fasih berbahasa Belanda ini mendukung karya suaminya dengan tekun. Ia mendirikan YAYASAN BHAKTI 1BU untuk mengelola Gedung Wanita Maumere dan sebuah Taman Kanak-Kanak. Gedung Wanita itu hancur dimakan gempa, tapi Taman Kanak-Kanak itu masih berjalan terus dibawah urusan Nn. Ros da Cunha. Pada jam an Bupati L.Say belum ada lembaga Dharma Wanita dan PKK, sehingga kehadiran dan peran seorang istri Bupati tidak nampak menonjol seperti sekarang.
Berdasarkan keputusan KWI dan Para Uskup Nusa Tenggara,Maumere ditunjuk sebagai kota penyelenggara Perayaan Tahun Maria 1988. Dalam satu pertemuan tokoh umat di bulan Desember 1987, L. Say dipilih sebagai Ketua Umum Panitia mendampingi Frans Seda sebagai Koordinator Nasional. Pesta iman selama sepekan dengan menghimpun lebih kurang 3500 utusan dari 33 Keuskupan se Indonesia, sungguh membutuhkan suatu organisasi yang "raksasa".
Belum lagi mem bludaknya kehadiran umat Katolik dari seluruh Nusa Tenggara Timur. Dengan. segala kelebihan dan kekurangannya, perayaan yang berlangsung tanggal 24-30 Juli 1988 di Maumere itu telah berlangsung sukses, dan menjadi kenangan panjang dari semua orang yang meng¬hayatinya. Sekali lagi L. Say menunjukkan kebolehan dan ketangguhannya sebagai pemimpin dan organisator yang piawai.
Tulisan ini tidak bermaksud menokohkan seseorang secara berlebihan.Bagaimanapun dalam prestasi-prestasi yang dicapai, ada pula kegagalan. Itu suatu yang manusiawi. Namun, nukilan kenyataan diatas dikemukakan hanya untuk memacu dan mendorong setiap pemimpin otda untuk menerapkan konsep dan pelaksanaan pembangunan yang lebih kena, lebih dekat dengan kepentingan rakyat dan menjamah kebutuhan dasar rakyat. Kini, dana pembangunan otonomi daerah yang disebut DAU (Dana Alokasi Umum) dilimpahkan oleh pemerintah pusat ke daerah dalam jumlah cukup besar. Tinggal bagaimana cara kita memanfaatkannya dengan baik. Rakyat jangan dijadikan obyek dari konsep dan kebijakan pembangunan yang kaku dan birokratis, apalagi tidak aspiratif dan demokratis.
Apabila DON YOSEPHUS THOMAS XIMENES DA SILVA merupakan tokoh legendaris di antara deretan para Raja Sikka, maka tanpa mengurangkan penghargaan dan penghormatan atas karya dan prestasi para Bupati Sikka sejak awal sampai kini, sangatlah tepat kalau L. SAY diposisikan sebagai sosok Bupati Otda yang ideal bukan hanya pada zamannya.
EP da Gomez dalam Buku 'Menantang Badai Di Bumi Gempa Tsunami'.
Selengkapnya...
Almahrum yang memiliki 8 anak (5 putra dan 3 putri) dari perkawinannya dengan HELENA PARERA (meninggal dunia 16 Maret 1992), terlahir dengan bakat dan kemampuan sebagai pemimpin, meski didukung oleh latar belakang pendidikan yang tidak luar biasa. Setelah tamat Schakelschool di Ndao/Ende (1939) beliau melanjutkan ke sekolah pertanian dan kehutanan di Bogor dan Yogyakarta. Di Yogya itulah, antara tahun 1946-1949, beliau turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan melalui wadah Laskar Sunda Kecil/TNI Batalyon "Paraja" bersama sejumlah kawan (antara lain : Daud Kelah, C.J. Kodiowa, El Tani, Amos Pah, Silvester Fernandez, Herman Fernandez, Frans Seda, Dion Lamury, Paulus Wangge, Is Tibuloeji, dlsb).
L. Say yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris ini mulai bekerja sebagai Pegawai pada Balai Besar Penyelidikan Pertanian Cabang Makassar (1950-1956).Tahun 1954 mendapat tugas belajar selama 6 bulan pada Pest Control Ltd di Born Cambridge /Inggeris (kursus hama dan penyakit tanaman). Dalam usia 32 tahun beliau telah ditunjuk menjadi Kepala Yayasan Kopra Cabang Nusa Tenggara di Ende. Setelah Yayasan Kopra dilikuidasi, beliau dipercayakan sebagai Wakil Ketua Badan Urusan Kopra (BUK) Daerah Flores (Ketuanya adalah Kepala Daerah Flores).
Berangkat dari BUK lahirlah konsep membangun Koperasi Kopra di Flores sebagai wadah dan alat perjuangan kepentingan petani kelapa. Selama dua tahun (1958-1959) beliau memimpin Tim Pembentukan Primair Koperasi Kopra, mulai dari Mauponggo sampai Pulau Adonara, disusul pembentukan Pusat Koperasi Kopra di Ende, Maumere dan Waiwerang untuk membawahi Primair-Primair Koperasi Kopra di Kabupaten masing-masing (Ende, Sikka dan Flores Timur).
Atas anjuran Frans Seda dan Yusuf Indradewa, dibentuk Gabungan Koperasi Kopra NTT berkedudukan di Maumere pada tahun 1960 untuk mengkoordinasi kegiatan dari ketiga Pusat Koperasi Kopra itu. Laurens Say terpilih menjadi Ketua Gabungan Koperasi Kopra NTT yang pertama (1960-1963).
Koperasi Kopra memikul tanggung jawab sebagai pengumpul/pembeli kopra tunggal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1960 yang diperbaharui dengan Penetapan Presiden Nomor 11 tahun 1963, telah mencapai "kejayaan" selama lebih kurang 8 tahun dalam melayani kepentingan petani kelapa Flores. Masa kejayaan itu menjadi pudar, hilang tinggal nama setelah berlakunya SK Menteri Perdagangan Nomor 9 Tahun 1967 yang membebaskan hak pembelian dan perdagangan kopra.
Tahun 1959-1963, Veteran Pejuang Angkatan 1945 ini menetap di Maumere dengan tugas memimpin PT. Negara ex NV Moluchse Handelsvenootschap Ranting Maumere suatu perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi (kemudian dilebur menjadi PN. Budi Bhakti). Beliau juga mendirikan perusahaan jasa konstruksi, PT. WIRADHARMA, yang antara lain mengerjakan berbagai bangunan dan fasilitas Bandara Waioti ketika itu. Di samping itu beliau berhasil menghimpun semua pengusaha swasta di Kabupaten Sikka dalam wadah GAPENIM (Gabungan Pengusaha Nasional Indonesia Maumere) yang bergiat dalam sektor distribusi bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat (sembako). Beliau juga mendirikan YAPEN USRA (Yayasan Pendidikan Usaha Rakyat) untuk menghimpun semua SLTP Swasta di Kabupaten Sikka yang ketika itu amat senin kamis dalam soal dana, fasilitas, tenaga guru dan pola pengelolaan/pembinaan pendidikan yang efektif.
Pada tahun 1963, dari unsur Induk Koperasi Kopra Indonesia (IKKI), beliau ditunjuk oleh Pemerintah sebagai salah satu dari lima orang mewakili Indonesia dalam badan kerja sama industri perkelapaan Philipina dan Indonesia (PICC = Philipine Indonesia Coconut Commision). Dua tahun lamanya beliau bertugas di Manila, lalu kembali ke Indonesia pada Sep¬tember 1965. Karena tidak mendapat meja kerja lagi di IKKI Jakarta, beliau mengambil keputusan kembali ke kampung halamannya sebagai rakyat biasa. Tanggal 1 Januari 1966 bersama keluarga menetap di Bola. Selama satu tahun lebih beliau bertekun dan bergumul sebagai petani yang produktif, sambil berperan dalam kehidupan sosial masyarakat melalui berbagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan.
Sejarah berjalan terus. Dunia perpolitikan Kabupaten Sikka mulai hangat, bergelora setelah peristiwa G-30-S/PKI. Di seluruh Indonesia mulai terjadi perubahan dalam jabatan-jabatan politik, termasuk posisi Kepala Daerah di Kabupaten-Kabupaten. Naluri politik L. Say juga terangsang untuk turut "bertempur" dalam perebutan jabatan Bupati Sikka. Beliau berhasil diorbitkan oleh Partai Katolik menjadi salah satu calonnya. Meskipun kalah suara dalam pemilihan oleh Sidang DPRD Sikka pada Pthruari 1967,namun dengan rekomendasi Gubernur NTT dan DPP Partai Katolik, Menteri Dalam Negeri menetapkan L. SAY terpilih sebagai Bupati Sikka, dan dilantik pada tanggal 6 September 1967 oleh Gubernur El Tari, menggantikan Paulus Samador da Cunha pendahulunya (1960-1967).
Kehadiran L. Say di puncak pemerintahan Kabupaten Sikka, bukan sekedar merubah wajah pemimpin, tapi juga membawa warna dan karakteristik baru dalam gaya dan manajemen kepemerintahan. Apabila P.S. da Cunha, seorang pamong praja tulen tampil melakukan pembenahan dan peletakan dasar administrasi pemerintahan di saat Kabupaten-Kabupaten tidak punya dana yang memadai untuk menerapkan konsep pembangunan yang menyeluruh, maka L. Say datang dengan obsesi dan cita-cita besar untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki masyarakat sebagai sumber daya pembangunan.
"Saga tidak mengandalkan APBD saja sebagai sumber dana pembangunan, karena sebetulnya masyarakat sendiri memiliki potensi cukup untuk maju, asal saja dimanfaatkan dan digunakan dengan tepat", katanya kepada saya ketika berbincang¬bincang di hari Minggu pagi 4 Pebruari 2001.
Lebih lanjut beliau mengatakan: "Agar rakyat berhasil maksimal dalam membangun dirinya dengan kemandirian penuh,tugas utama pemerintah adalah menciptakan iklim ketenangan dan ketenteraman yang kondusif. Pembangunan fisik dan non fisik yang dilaksanakan penierintah dan lembaga-lembaga masyarakat, hanyalah faktor pendorong untuk merangsang dan memantapkan kesadaran masyarakat dalam upaya mencapai kemajuan lebih.
Pada awal masa kebupatiannya, L. Say mulai menggebrak langkah pembangunan dengan berbagai terobosan yang tidak lazim dalam administrasi pemerintahan dan birokrasi pembangunan. Selain pekerjaan rutin seperti pembenahan administrasi pemerintahan dan kepegawaian, beberapa pemikiran dan konsep pembangunan yang ada di benaknya mulai diterapkan. Berikut ini saya beberkan beberapa hal yang lahir dari gagasan, kreasi, inisiatif dan konsep L. Say untuk membangun Kabupaten Sikka. Beliau selalu berpikir pragmatis, efektif dan efisien, tanpa program yang muluk-muluk. Apalagi kalau soal uang, beliau sangat cermat dan hati-hati. Pada zamannya belum ada BAPPEDA.
Beliau bercita-cita membangun fasilitas dermaga pelabuhan laut Maumere yang representatif. Para pengusaha sebagai sumber daya dan dana dilibatkan. Pekerjaan itu dimulai saja tanpa perencanaan yang matang, baik gambarnya maupun dananya. Ini hanya satu gebrakan untuk menarik perhatian Pemerintah Pusat agar terbuka mata hatinya menyediakan anggaran pembangunan pelabuhan laut itu. Pada akhirnya sebuah dermaga yang luas dan kuat baru dibangun pada masa Bupati Dan Woda Palle, tapi gagasan itu muncul dengan tekad yang bulat dan kuat yang ditanam oleh L. Say. Begitu pula pembangunan landasan Bandara Waioti dengan fasilitasnya dimulai dengan keberanian melawan aturan birokrasi pemerintahan, khususnya sistim anggarannya. Beliau didukung oleh Drs. Frans Seda yang ketika itu menjabat Menteri Perhubungan.
Tambak ikan air payau Koliaduk Maumere, punya ceriteranya sendiri. Ketika Yosef da Cunha, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Sikka mengajukan proposal untuk proyek ini dengan anggaran yang sangat besar, beliau anjurkan konsep lain. Katanya, Pemerintah Daerah tidak punya cukup uang. Yang memiliki potensi dan uang adalah masyarakat. Sebab itu masyarakat yang harus digerakkan dan dilibatkan unttik membangun tambak-tambak itu. Maka tanah negara di kawasan tambak
itu dibagi-bagi kepada petani tambak, pengusaha, instansi pemerintah yang berminat dan masyarakat untuk membangun tambak ikan dengan ukuran dan luas yang sama. Dinas Perikanan memandu, mendampingi dan memberikan penyuluhan tentang teknik pemeliharaan ikan air payau. Hasilnya memuaskan, produksi ikan naik memenuhi pasar kebutuhan masyarakat. Suatu saat, September 1969 Gubernur NTT El Tari dan para Bupati se NTT mengadakan Rapat Kerja di tambak ikan Koliaduk itu sambil menikmati basil ikan tangkapan dari "Konsep L. Say". Beliau sungguh puas dengan sukses yang dicapainya. Kini, kawasan tambak itu sudah amblas karena letaknya di muara kali yang banjirnya ganas setiap tahun.
Di pusat kota Maumere sekarang, berdiri sebuah bangunan pasar yang luas dan megah. Bangunan itu menelan biaya sekitar Rp. 2 milyar dari APBD Sikka Tahun Anggaran 1996/1997. Menurut ceritera, lokasi pasar itu sudah dimulai sejak tahun 1949 pada masa pemerintahan Raja Sikka Don Thomas. Sampai dengan akhir tahun enam puluhan di lokasi itu hanya terdapat beberapa bangunan los terbuka, sedangkan sebagian besarnya adalah tanah lapang yang kosong.
Tergerak hatinya melihat kondisi pasar yang fasilitasnya begitu sederhana, L. Say ingin berbuat sesuatu. Diinstruksikannya Kepala Dinas PU Guntoro membuat rancang bangun gardu-gardu untuk kios ukuran 4 x 5 meter. Kepala Desa Beru, Thomas Tandjung diminta mendaftarkan peminat yang akan memanfaatkan bidang tanah pasar untuk membangun kios sesuai ukuran yang diberikan Dinas PU.
Ternyata datang banyak peminat membangun kios dengan biaya sendiri dan seterusnya melakukan aktivitas jual beli. Sekitar 80 kios dibangun mengitari lokasi pasar itu. Pemda tidak mengeluarkan biaya satu sen pun, malahan kelak memetik retribusi pasar yang memadai untuk memasok Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, ketika datang gempa bumi 1992, semuanya hancur lebur, dan diatas puing itulah kini tegak berdiri bangunan pasar yang megah. Lepas dari soal bangunan pasar/kios-kios konsep L. Say itu telah hancur dilanda gempa, namun obsesi untuk memanfaatkan potensi masyarakat sebagai hakekat otonomi daerah (otda) bertumbuh dan berkembang.
Pada tanggal 11 September 1984 Kabupaten Sikka dengan bangga menerima petaka kehormatan PARASAMYA PURNAKARYA NUGRAHA,lambang supremasi keberhasilan pembangunan Kabupaten Sikka dalam Pelita III (1979-1984). Sukses Kabupaten Sikka ini dinilai oleh Pemerintah Pusat dalam Program LAMTORONISASI.
Program ini adalah gagasan murni L.Say dalam awal masa jabatannya yang kedua, tahun 1973, yang dilanjutkan oleh Bupati Dan Woda Palle. Bupati L. Say melaksanakan program ini dalam kerja sama dengan P.H. Bollen SVD, Delsos Maumere (Biro Sosial Maumere, tahun 1974 menjadi YASPEM, sebuah LSM pemula yang terkenal). Bentuk kerja samanya adalah Pemda Sikka menggerakkan masyarakat untuk terlibat dalam program ini dengan mengikuti pelatihan oleh Biro Sosial, menyiapkan lahannya dan menabur biji lamtoro diatasnya sesuai petunjuk teknis Dinas Pertanian dan Biro Sosial. Pemda menyiapkan juga dana perangsang Rp. 1 juta untuk hadiah perlombaan keberhasilan lamtoronisasi bagi Camat, Kepala Desa dan petani terbaik. Sementara itu Biro Sosial menyediakan bibit lamtoro dan mendistribusikan ke setiap desa untuk diteruskan kepada para petani.
Tidak kurang dari 100 ton bibit lamtoro telah ditanam diatas areal ribuan hektar di seluruh Kabupaten Sikka. Hasilnya sangat memuaskan dan diakui dunia internasional sebagai sistim pertanian lahan kering yang tepat dan mantap dengan menggunakan lamtoro sebagai upaya konservasi tanah dan penghijauan (sekaligus untuk makanan temak dan kayu bakar keperluan dapur rumah tangga).
Sekali lagi L. Say membuktikan bahwa menggunakan potensi yang dimiliki masyarakat dengan pendekatan persuasif, jauh lebih besar makna, hasil dan bobotnya, dari pada menghambur-hambur uang dengan proyekisme pola top down.
Kalau kita boleh bertanya: berapa capaian hasil dari program penghijauan yang menelan biaya ratusan juta rupiah bahkan dua milyaran rupiah setiap tahun anggaran selama kurang lebih 15 tahun terakhir ini ?? Tanpa mengecilkan hasil yang dicapai, namun tampaknya kurang meyakinkan. Buah karya L. Say jauh lebih mantap, merupakan proyek monumental dari gagasan membangun dengan kemampuan sendiri sebagai hakekat menerapkan prinsip otonomi daerah. LAMTORONISASI adalah sukses besar L. Say yang tercatat sebagai keberhasilan pembangunan yang bergaung luas dan berbobot sejarah.
Bersama Biro Sosial Maumere, L. Say juga menjalin kerja sama di bidang pengadaan air minum bersih untuk wilayah-wilayah yang rawan air minum seperti Kecamatan Kewapante, Bola dan Kota Maumere. Di samping itu dirancang pula pembukaan jalan baru ke lokasi-lokasi terpencil yang potensial sebagai daerah penghasil komoditi pertanian dan perkebunan. Sejauh pembukaan jalan yang dilakukan sekarang, lebih banyak adalah rancangan yang sudah digariskan pada awal tahun tujuh puluhan oleh Pemda yang didukung oleh Biro Sosial Maumere.
Masih ada banyak kegiatan lain yang bisa diangkat disini, seperti program penanaman kelapa dalam dengan dana CESS KOPRA, atau pembangunan kawasan Magepanda sebagai daerah persawahan untuk memasok kebutuhan beras dan bahan makanan lainnya bagi rakyat seluruh Kabupaten. Atau juga hasil kunjungannya ke belahan timur Kecamatan Talibura untuk memacu rakyat menanam tanaman per¬dagangan seperti kakao dan jambu mente. Atau bagaimana beliau menerobos kekakuan birokrasi untuk mencukupi tenaga guru di SLTP dan SLTA. Begitu banyak guru honorer diangkatnya sebagai Pegawai Daerah.
Yang spektakuler ketika beliau berlangkah untuk "menjual" indahnya matahari terbenam di balik tanjung Sadawatumanuk, jika ditonton/dipandang dari pantai Waiara. Itulah upaya mempromosikan Kabupaten Sikka di sektor industri pariwisata. Dimulai tahun 1974 dengan mengisinkan usaha wisata "Sea World Club" milik pengusaha Ny. Ambrosiana dari Italia. Usaha ini kemudian diteruskan oleh CV. YASPEM SARANA sampai kini. Dari gagasan ini pada medio tahun 1980 muncullah Hotel Permata Sari, Sao Wisata dan beberapa cottage/ home stay di kawasan pantai Wodong, yang berkembang memanfaatkan Taman Laut Gugus Pulau Teluk Maumere sebagai hamparan pesona wisata bahari.
Patut dicatat disini peran istrinya, Ny. Helena Say Parera, seorang berpendidikan perawat dan kebidanan jebolan Rumahsakit Carolus Boromeus Bandung. Pernah bekerja di Rumahsakit Stella Maris Makassar,Rumahsakit St. Elisabeth Lela dan Rumahsakit Pemerintah Ende.
Wanita anggun yang fasih berbahasa Belanda ini mendukung karya suaminya dengan tekun. Ia mendirikan YAYASAN BHAKTI 1BU untuk mengelola Gedung Wanita Maumere dan sebuah Taman Kanak-Kanak. Gedung Wanita itu hancur dimakan gempa, tapi Taman Kanak-Kanak itu masih berjalan terus dibawah urusan Nn. Ros da Cunha. Pada jam an Bupati L.Say belum ada lembaga Dharma Wanita dan PKK, sehingga kehadiran dan peran seorang istri Bupati tidak nampak menonjol seperti sekarang.
Berdasarkan keputusan KWI dan Para Uskup Nusa Tenggara,Maumere ditunjuk sebagai kota penyelenggara Perayaan Tahun Maria 1988. Dalam satu pertemuan tokoh umat di bulan Desember 1987, L. Say dipilih sebagai Ketua Umum Panitia mendampingi Frans Seda sebagai Koordinator Nasional. Pesta iman selama sepekan dengan menghimpun lebih kurang 3500 utusan dari 33 Keuskupan se Indonesia, sungguh membutuhkan suatu organisasi yang "raksasa".
Belum lagi mem bludaknya kehadiran umat Katolik dari seluruh Nusa Tenggara Timur. Dengan. segala kelebihan dan kekurangannya, perayaan yang berlangsung tanggal 24-30 Juli 1988 di Maumere itu telah berlangsung sukses, dan menjadi kenangan panjang dari semua orang yang meng¬hayatinya. Sekali lagi L. Say menunjukkan kebolehan dan ketangguhannya sebagai pemimpin dan organisator yang piawai.
Tulisan ini tidak bermaksud menokohkan seseorang secara berlebihan.Bagaimanapun dalam prestasi-prestasi yang dicapai, ada pula kegagalan. Itu suatu yang manusiawi. Namun, nukilan kenyataan diatas dikemukakan hanya untuk memacu dan mendorong setiap pemimpin otda untuk menerapkan konsep dan pelaksanaan pembangunan yang lebih kena, lebih dekat dengan kepentingan rakyat dan menjamah kebutuhan dasar rakyat. Kini, dana pembangunan otonomi daerah yang disebut DAU (Dana Alokasi Umum) dilimpahkan oleh pemerintah pusat ke daerah dalam jumlah cukup besar. Tinggal bagaimana cara kita memanfaatkannya dengan baik. Rakyat jangan dijadikan obyek dari konsep dan kebijakan pembangunan yang kaku dan birokratis, apalagi tidak aspiratif dan demokratis.
Apabila DON YOSEPHUS THOMAS XIMENES DA SILVA merupakan tokoh legendaris di antara deretan para Raja Sikka, maka tanpa mengurangkan penghargaan dan penghormatan atas karya dan prestasi para Bupati Sikka sejak awal sampai kini, sangatlah tepat kalau L. SAY diposisikan sebagai sosok Bupati Otda yang ideal bukan hanya pada zamannya.
EP da Gomez dalam Buku 'Menantang Badai Di Bumi Gempa Tsunami'.
www.inimaumere.com