Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Saturday 31 May 2014

Menuju Air Panas Blidit

Adventure Bersama Bocah Dusun
Air Panas Blidit. Cerita mengenai keberadaanya di bumi Sikka telah terdengar sejak lama. Namun tak sekalipun menikmati pesona kehangatannya yang telah menjadi buah bibir para pengelana. Hingga akahirnya pengelaman pertama datang. Kamis, 29 Mei 2014, disaat warga Kota Maumere tenggelam menikmati liburan, bersama petualang Ferly Irwanto, kami menikmati pelukan alam di bawah kaki Gunung Egon. Didalam hutan lindung yang masih perawan, melewati lekukan dan tanjakan terjal, dibawah nyanyian penghuni hutan, kami menikmati kebersamaan dengan para anak kampung. Blidit memang mempesona.

Anda mungkin perlu mencoba menceburkan diri kedalam air panas ini. Ia berada di sisi aliran air sungai. Batu-batu kali seakan membentuknya seperti kolam. Nah kolam inilah yang memiliki sumber air panas. Memang tidak mendidih, namun ketika menceburkan diri kedalam kolamnya tubuh kita akan merasakan sensasinya. Panasnya seakan meresap kedalam pori-pori. Nikmat dan rasanya tak cukup untuk sekali dua kali berendam.

Saya dan Feely anak WAI oTI,  beruntung. Kami akhirnya bisa menikmati pesona alam ditengah hutan. Menurut kami, destinasi ini layak menjadi tujuan wisata alam. Namun sayang, tidak ada tanda-tanda sedikitpun bahwa air panas yang berpotensi sebagai obyek wisata ini dikelolah secara baik. Jadi jangan heran kalau untuk mencapainya kita mesti mencari tau sendiri letak keberadaanya yang misterius. Contoh kecil, di depan pertigaan Jalan Trans Maumere-Larantuka dan Blidit, tidak ada tanda-tanda adanya papan informasi mengenai keberadaan air panas ini.

***
Kami berangkat siang itu ketika terik membakar jantung kota. Tujuan kami menuju arah timur dimana air panas tersebut berada. Air panas ini berada di Dusun Blidit, Desa Egon, Kecamatan Waigete. Ferly Irwanto sebagai salah satu pecinta alam membawa diriku merambah badan jalan. Ajakannya ke Air Panas Blidit kusambut erat.

Si Putih melaju kencang melewati Desa Waipare, Geliting, Waiara, Wairita, hingga memasuki kawasan Kota Kecamatan Waigete. Dari sini kita bergerak sedikit lagi hingga akhirnya berada di persimpangan Dusun Blidit. Ambil arah kanan dan nikmatilah alam yang melukis indah di depan. Gunung Egon, gunung berapi yang masih aktif sangat jelas menampakan ketegarannya. Dibawah sana, lukisan samudera Laut Flores dengan beberapa pulaunya begitu cantik dan teduh. Sekitar 3 Km kita akan melaju hingga bertemu lagi persimpangan, Disinilah titik utama menuju air panas Blidit.

Cerita menarik tersaji kemudian. Ditengah kebingungan, Bocah-bocah Blidit menawarkan jasa mengantar kami. Dengan senang hati, para guide cilik ini membawa kami menuju wisata alam kebanggaannya.

Lagi-lagi, anak-anak ini menjadi sentra penting dalam menghidupkan wisata di dusun mereka. Pertanyaanya, dimanakah para pengelolah wisata? Ataukah mungkin destinasi air panas ini tidak dianggap sebagai potensi wisata bagi kabupaten ini?

Sayang sekali. Padahal, sudah sering para wisatawan lokal maupun mancanegara menuju ke pemandian air panas. Rupanya pengelolahan wisata alam ini masih belum jelas, kabur dan dibiarkan apa adanya tanpa sentuhan.

Akses Masuk
"Kira-kira jaraknya masih 1,5 Km Om," jelas bocah yang bernama Lius sebelum kami beranjak dari simpang jalan. Saya menarik napas. Artinya butuh stamina lagi dan tentu saja fisik prima.

"Nanti baru ada sedikit turunan yang terjal baru kita jalan lagi sedikit dan sampai," sambung bocah Nadus. Saya tak mau lagi mendengar. Langsung saja kaki ini bergegas. Kami perlahan memasuki hutan Blidit, sebelumnya melewati dulu perkebunan warga.

Ferly yang dasarnya tukang offroad (Offroader) mulai kegatalan medengar jalur ekstrim. Ia tak mau jalan kaki. Dengan menunggang si putih, mulailah kawasan kaki Egon dipenuhi jejak oto.


"Baru pertama kali ini oto masuk sampai kedalam sini Om," jelas bocah Lius yang setia berada disamping saya. Kami berdua memang mengambil langkah duluan dari si Putih yang dikendarai Ferly.

Dibelakang, suara raungan oto mengagetkan kawanan hewan ternak. Yang lebih unik lagi tersaji, ketika para bocah lainnya mengawal mobil dari samping dan depan. Menarik tali hewan, memindahkan potongan pohon yang melintang dan sebagainya. Antusias mereka sungguh menampakan kesahajaan khas warga dusun yang tanpa pamrih menolong.

Hingga akhirnya Si Putih terjerembab. Meski dengan sekuat tenaga, mobil tersebut tak mampu sedikitpun beranjak. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk membujuk Siputih agar keluar dari jebakan. Bocah-bocah riang bergembira ketika menyaksikan si putih berhasil lolos. Keringat membasahi wajah kami. Namun tak ada sedikitpun rasa capek. Semangat menyentuh air panas ditengah alam yang begitu natural mengalahkan segalanya.

Lanjuutttttttttttt...

Kami kemudian bergegas diikuti Si Putih dengan suara raungan yang mencekam. Dan tak lama kemudian, "Berhenti! Oto taruh disini saja Om, dibawah su jurang," teriak bocah perempuan bernama Martha. Saya mengintip dan ternyata benar. Mobil tak bisa turun, terlalu ekstrim.

Ferly menyatakan setuju, selanjutnya dengan berjalan kaki, kami mulai menelusuri hutan Blidit, mulai menjauh dari perkebunan warga. Suara burung dan binatang hutan terdengar riuh. Kami terus melangkah hingga perlahan mulai bertemu aliran sungai. Namun akses jalan pun mulai tak menentu, kadang datar dan kadang pula mendaki tajam. Masih sekita 15 menit perjalanan.
 memindahkan batangan pohon agar bisa dilalui si putih

Menaruh Uang
Jejak kaki kami yang begitu panjang akhirnya menyentuh aliran air. Meski diketinggian, namun air sungai kecil ini tidak dingin. Rasanya biasa-biasa saja. Bahkan dibeberapa titik ada yang terasa hangat. Sudah dekat kah? Ya betul, sedikit lagi Om, koor para bocah.

Saya melangkah makin pasti meski dengan tubuh terengah-engah. Harapan akan menikmati panasnya air yang keluar dari perut bumi terbayang jelas.

"Nanti sampai disana sebelum mandi, Om mereka mesti taruh uang Rp 5 ribu atau Rp 10 ribu ya, " terang Martha.

Oh Begitu ka? Menarik sekali. Meski penuh tanda tanya namun kepercayaan setempat meski
dijunjung tinggi. Dimana Bumi dipijak, Disitu Langit Dijunjung. Demikian pepatah kuno yang menggambarkan etika akan tanah yang baru kita kenal. Banyak mitos yang telah saya dengar sebelumnya tentang air panas Blidit ini.

Setelah cukup lama berjalan, akhirnya sungai yang merupakan kawasan mata air panas Blidit berhasil kami gapai. Rasanya biasa saja. Tak ada yang istimewa. Seperti sungai lain pada umumnya. Ah, jadi jalan jauh-jauh hanya melihat sungai seperti ini?

Tentu tidak! Sebelum melompat masuk kedalam air panas, uang Rp 10 ribu saya dan Ferly menaruhnya dibawah pohon besar, seperti anjuran sang bocah Marta, guide cilik kami. Sesajen ini merupakan ungkapan selamat datang sebagai orang baru. Dalam bahasa adat Maumere biasa disebut Plewo Pla'a, atau sopan santun, sapaan kepada daerah yang baru kita masuki.

Dan setelah itu mulailah ritual mandi-mandi dilaksanakan. Horeeeeeeeeeeeeeeeeeeee..

Betapa hangatnya merasuk kulit. Sehingga rasa capek dan pegal lenyap seketika. Kami dan para bocah seakan tak ada batas. Saling bercanda bak sahabat karib. Ditengah hutan Egon, kebersamaan layak dinikmati.

Selain aliran sungainya, pada sisi sebelhnya terbentuk kolam air panas. Ada beberapa mata air panas di beberapa sisi. Kolam inilah yang paling panas. Ketika baru pertama kali mencoba masuk, panasnya sungguh membuat hati menjerit. Tapi rasa nikmat juga tak bisa dipungkiri. Nikmat ketika panasnya merasuk kedalam tulang, membasuh rasa pegal yang mendera.

Setelah kolam air panas, sebelahnya ada air yang terasa hangat. Tidak begitu panas sehingga bisa berleha-leha menikmati kehangatannya. Sungguh nikmat. Ditengah hutan Egon, diantara nyanyian burung hutan kami dan para bocah Blidit merayakan keberhasilan menjamah air panas ini. Terima kasih.

Sekitar dua jam kami menikmati air panas sebelum akhirnya kembali berpamitan pada alam agar menuntun kami kembali pulang ke rumah.

Perjalanan balik terasa lebih cepat. Namun beberapa tanjakan terjal kembali memporakporandakan stamina tubuh. Dengan susah payah, akhirnya kami kembali sampai ditempat dimana si putih parkir manis. Menanti tuannya Ferly yang terengah-engah bak banteng aduan hehehe..

Kali ini saya dan para bocah tak lagi berjalan kaki. Dengan Si Putih yang di kendarai Ferly kami menikmati sisa-sisa kemesraan yang hampir saja lenyap. Nostalgia bersama Air Panas Blidit semoga terulang lagi.

Jika memng air panas ini dianggap sebagai potensi pariwisata kita, maka berbenahlah, kelolahlah dan berilah sentuhan agar wisata alam ini bermanfaat bagi semua orang terutama masyarakat dusun yang telah menjaga kelestariannya dari dulu hingga sekarang.

Sampai Jumpa di petualangan selanjutnya, (ossrebong) 


 Sampai Jumpa Pemirsaaaa.. :)
www.inimaumere.com
Selengkapnya...

Tuesday 13 May 2014

Berkelana Sampai Ende

Bermesraan dengan Air Terjun Tonggopapa!
Maumere punya air terjun kembar setinggi seratus meter di Murusobe, tapi Ende juga tak kalah menarik. Air terjun paling keren yang pernah kami lihat! Nah, kali ini saya dan rekan Ferli Irwanto ditantang menjelajah pedalaman Ende dan memperkenalkan salah satu pesona alam yang begitu cantik. Seperti foto diatas, pesona ini dalam bentuk air terjun dengan curah air berlimpah yang tak putus. Yuk kita kesana pemirsa!

Sungguh! Tantangan ini datang ketika salah satu teman menelpon dari Ende. Ia menantang kami menuju pedalaman di Kabupaten Ende. Katanya dengan antusias, di tempat kelahirannya itu bermukim ar terjun yang sangat cantik! Kota Ende, ibukota Kabupaten Ende berjarak kurang lebih 135 Km dari Kota Maumere, Kabupaten Sikka, tempat kami menghirup napas.

Dengan berbekal lisan penjelasan dari rekan tersebut, maka kami berkemas dan bergegas menuju Kota Pancasila, Ende!

Rekan Ferly Irwanto, petualang yang bermukim di Waioti Maumere sudah memperkirakan kami akan tiba di Ende sekitar pukul 18.00 Wita. Perjalanan sangat santai dari Maumere ke Kota Ende dimulai sejak pukul 14.00 Wita, hari Sabtu, 8 Mei 2014.

Suasana sejuk dan asri ketika memasuki wilayah Kabupaten Ende. Maklum saja karena melewati pegunungan dingin. Dari Maumere kita akan melintasi wilayah Nita, Paga di Kabupaten Sikka dan Wolowaru, Moni, Detusoko sebelum memasuki Kota Ende, Dipegunungan Ende kita selalu menemui kabut tipis. Ada juga pasar tradisional khusus menjual sayuran dan buah hasil olahan para petani Nduaria.

Sekedar info, di wilayah Kabupaten Ende saat ini badan jalan negara trans Maumere- Ende sedang dalam pengerjaan dan pengerukan akibat longsoran dari tebing. Terutama di Kilometer 17 dari Kora Ende. Jalur ini sangat sempit sehingga butuh kewaspadaan.

Tiba di Ende saat matahari bersembunyi. Masakan Padang di Jalan Kelimutu jadi tempat persinggahan. Malam itu dua porsi nasi ayam yang rasanya tak segar plus satu kepala ikan menghabiskan kantong Rp 100 ribu. Catatan saja, masih banyak rumah makan dan warung lain di Kota Ende yang bervariasi dari menunya sampai rasanya yang enak dengan harga yang pasti lebih terjangkau. Kita hanya perlu berkeliling kota Ende. Dijamin perut kita siap dilayani :)

Setelah puas, kami memilih sebuah hotel untuk merebahkan diri. Perjalanan masih panjang. Butuh perjuangan ekstra. Butuh tenaga baru yang leibh fresh.

Matahari segar mencubit kulit. Kami membuka tirai disambut Gunung Meja yang menjulang indah. Selamat pagi Kota Ende. Kami datang untuk mereguk indahmu.

Kami berkemas. Seanjutnya deru mobil membelah pagi. Kesibukan nyata terlihat di kota yang pernah menjadi tempat buangan Bung Karno ini. Dengan bekal empat nasi bungkus berlauk ayam dan satu dos air mineral kami berangkat. Ini penting demi kesehatan tubuh yang akan terkuras tenaganya sebentar lagi.

Ferli Irwanto, dengan santainya membawa diriku dan angin pagi keluar dari Kota Ende. Kami bertemu kesibukan di sepanjang bibir pantai menuju arah barat. Kami akan segera ke Nanga Ba, Kecamatan Ende. Di tempat inilah tiik utama menuju air terjun.

Lama tak menyapa pagi di Ende, sekian waktu yang bergulir diantara remah-remah kenangan. Namun yang pasti keramahan tetap menjadi ratu disini. Saya begitu juga Ferly merasa menikmati suasana kepolosan orang-orang kampung di pelosok. Modal utama pariwisata kita yang tanpa dibuat-buat. Tak bermuka dua.

Kami mesti melewati jalan raya berlobang dengan bebatuan berserakan di badan jalan disertai tanjakan dengan rabat yang compang-camping. Mobil terus merengsek menembus ketinggian. Orang-orang kampung menatap tanda tanya. Kami melihat mereka memberi senyum termanis. Senyum yang kami tangkap sebaga sebuah sapaan selamat datang paling ramah di muka bumi.

Selama melintas dusun dan kampung, sesekali oto mesti melewati kali yang berair deras. Dan diantara derunya, kemesraan nyanyian burung hutan serta lambaian nyiur dan hutan perkebunan mendekap kami erat.Selamat datang, bisiknya mesra.

Singkat cerita, sampailah kami di Dusun Woloora, Tonggopapa di wilayah Kecamatan Ende, Kabupaten Ende. Tepat didepan Polindes kami turun. Sebelah timur dari Woloora berbatasan dengan kampung Worhosambi,Sogoroga, sebelah barat berbatasan dengan kampung Worombera dan sebagainya.

Dua anak muda memperkenalkan diri sebagai Alam dan Sil. Dari mulutnya mereka berinisiatip membawa kami menuju air terjun. Melewati samping Polindes, treking pertama dimulai. Inilah salah satu perjalanan penuh sensasional. Capek? Yups! Sangat malah...

Perlu diketahui bersama, perjalanan menuju air terjun ini cukup menyita waktu dan tenaga. Pasalnya, jalur treking cukup ekstrim karena licin serta terjal. Selalu hati-hati kalau tidak mau terguling percuma. Jadi hal utama adalah membawa perlengkapan treking yang memadai seperti sepatu yang kuat mendekap tanah baik licin maupun terjal. Bawa juga tongkat penahan tubuh. Penting bagi sebagaian orang untuk menjaga keseimbanagn di medan licin dan menurun tajam, saran saja :)

Sebelum mencapai air terjun, kita akan melewati perkebunan warga seperti singkong, jagung, kacang ijo, kelapa dan lain-lain. Selesai itu, kaki kita segera dihadiahi medan ekstrim dengan kemiringan yang cukup terjal.Saya dan Ferly, dengan berat badan lumayan, jarang olah raga menerima ini sebagai sebuah tantangan yang perlu untuk ditaklukan. Masa sudah sampai depan pintu lantas balik badan dan pulang? Bayangkan!! Kami dengan gagah bak pahlawan kesiangan heheehe lantas menyingsingkan lengan siap beradu fisik. Dan hasilnya, anak kampung bernama Alam dan Sil mesti bersabar menunggu kami. Pasalnya perjalanan sering ngadat akibat mesin mengalami gangguan hehehe....

Akhirnya, setelah bersusah-susah dahulu kamipun bersenang-senang kemudian! Air terjun yag ingin kami jumpai tersebut dengan gagah dan ramah memberi ucapan selamat datang. Lewat gemuruhnya yang terdengar menggetarkan jantung, ia seolah memanggil kami untuk segera memeluknya. Tak perlu berlama-lama. Sepersekian detik, tubuhnya yang besar dan putih itu telah merangkul penuh kerinduan. Inilah aset bergarga tanah Ende yang menjanikan. Tak hanya Kelimutu yang terkenal di seantero dunia, Ende juga punya keindahan lain. Dan Flores bukan hanya Komodo dan Kelimut, masih ada yang lain bro, masih ada!!

Bila di Maumere punya air terjun kembar Murusobe, Ende punya Tonggopapa. Dua-duanya menjadi aset berharga wisata Flores! Sayangnya, keduanya masih menyimpan kegalauan amat sangat. Meski sama-sama cantik, otoritas wisata dikedua kabupaten bertetetangga ini belum memberi sentuhan berarti. Keduanya bak anak tiri yang selalu tidak diperhatikan. Yang paling penting bagi kedua air terjun ini adalah memperbaiki sarana jalan dan akses masuk ke lokasinya. Setidaknya secara ekonomi ada keuntungan besar bagi daerah dan masyarakat setempat!

Kembali ke laptop! Air terjun Tonggopapa telah menjadi ikon Desa Tonggopapa, Kecamatan Ende. Ia berada di tengah hutan dan mengaliri air hingga ke sungai Nangaba. Air terjun ini sungguh eksotik. Lebar dan tingginya mempesona. Debit air yang tercurah sangat deras. Meski musim kemarau air terjun ini tetap tercurah dengan limpahan yang penuh.

Ketika berada didekatnya, kami merasakan sensasi yang menggemaskan. Setidaknya kami berada di tengah lokasi ini sekitar empat jam! Bayangkan bro! Saking lembut dan eksotiknya kamipun lupa untuk kembali dan pulang. Luar biasa.

Selain tercurah dengan gagah dan eksotismenya sangat terasa, air terjun ini juga memiliki kolam air yang jernih dan segar. Kolam ini dikelilingi batu cadas menyerupai tembok. Alamiah bro! Dan ini menjadi tempat pemandian yang luar biasa. Siapapun yang kesini tak akan pernah bisa melupakan sensasinya. Dia sangat mempesona!

Sayangnya, disekitar lokasi ini ditemukan sampah-sampah plastik. Kemungkinan berasal dari para wisatawan yang pernah kesini.

Untuk menjaga keindahannya, saya dan Ferly berinisiatip membersihkan sampah tersebut. Dan kepada Alam dan Sil, putra Tonggopapa sekaligus pemandu lokal, kami berikan masukan agar selalu membersihkan tempat ini dari sampah bawaan para turis dan mengingatkan para wisatawan yang datang untuk tidak membuang sampah sembarangan, semua demi kelestarian alam sehingga kecantikannya terus mempesona.

Setelah berleha-leha selama hampir empat jam, kaki-kaki kami mulai beranjak. Treking balik ke Polindes bukanlah perkara mudah. Kemiringannhya yang cukup ekstrim ditambah pijakan yang lumayan licin membuat kami kesusahan untuk berjalan. Perlu fisik tubuh yang prima. Beberapa kali kami mesti beristirahat di tengah perjalanan untuk mengatur napas dan fisik. Ini merupakan tantangan kesekian menjelajah tanah Flores bersama rekan petualang Ferly Irwanto.

Kami sampai di Polindes ketika matahari meninggi. Segar meski lelah. Lambaian tangan dan senyuman manis sebagai tanda perpisahan mewarnai desa yang cerah itu. Kami akan kembali lagi sobat! Kami akan selalu merindukanmu, Tonggopapa, Ende Sare!(ossrebong)

@thanks buat sobat petualang Ferly Irwanto, anak Wai Oti!













Selengkapnya...

Saturday 3 May 2014

Menjamah NUSA KUTU

Adventure Magepanda!
Alkisah, dahulu kala ada sebuah perkampungan di sekitar Pantai Tanjung tepatnya di pesisir pantura  Laut Flores. Ditengah kehidupan masyarakat yang senantiasa rukun, terjadilah sebuah petaka. Tiba-tiba saja warganya mengalami kebutaan total. Kebutaan yang membuat panik warga setempat terjadi akibat melanggar pantang yang telah diwariskan nenek moyang, yakni melarang berbicara dengan binatang. Kejadian berawal ketika dua perempuan buta usai mengumpulkan kayu bakar memanggil anjing seolah berbicara dengan manusia. Akibatnya semua warga di kampung tersebut mengalami kebutaan. Selanjutnya, hujan terus menerus turun berhari-hari. Air laut kemudian naik dan akhirnya menutupi kampung tersebut. Wilayah tersebut sekarang dikenal dengan nama Teluk Kolisia.
****
Laju mobil membawa kami menembus jalur Pantura Flores, tepatnya ke pesisir bagian barat dari Kota Maumere. Wilayah tujuan ini berada dalam lingkup Kecamatan Magepanda. Sekali lagi, pesisir ini menampakan panorama lepas pantai yang indah. Bukit tandus seolah tembok China yang berdiri kokoh sepanjang pantura.

Masyarakat pantura didiami empat etnis yakni etnis Sikka, Lio, Palue dan Tidung. Ketiga etnis hidup berbaur secara rukun. Keramahan penduduk yang hidup sederhana dipesisir senantiasa menjadi cerita menarik ditengah adventure para petualang.

Hingga sungai Kolisia yang membelah jantung jalan, Ferly Adi Irwanto, sahabat yang memicu andrenalin dengan oto offroadnya membanting setir ke kanan. Kami memasuki jalan tanah yang tak rata ditengah suara aliran sungai yang terdengar bak simponi orkestra. Beberapa orang kampung menyapa ramah. Jalur ini merupakan akses menuju Waer Nokerua yang melegenda.

Nampak beberapa kerbau dan sapi melepas penat disungai. Burung-burung menghirup cerahnya udara. Suasana yang mahal dan telah luntur diperkotaan ini kami nikmati sepuasnya. Kami merasa beruntung.

Dengan cekatan, cengkereman ban oto menembus dan terus menelusuri tubuh sungai yang meliuk erotis. Beberapa pemandangan yang dirasa sensasional kami dokumentasikan. Indah, Ya, inilah treking berikutnya menuju Pulau Nusa Kutu!

Dalam peta admisnistrasi Kabupaten Sikka, pulau ini tidak ada. Namun bagi masyarakat setempat mereka tetap menyebutnya pulau kecil yang menawan. Saking kecilnya, pulau yang akan kami datangi ini pun disebut pulau kutu, Nusa Kutu!

Setelah meliuk mengikuti aliran sungainya, kami bertemu ladang penduduk, persawahan. Mobil akhirnya berhenti. Alhasil kami terpaku sejenak. Didepan kami nampak persawahan yang sangat luas. Daerah Magepanda memang terkenal sebagai salah satu lumbung padi Kabupaten Sikka.

Sambil mencari tahu siapa tahu bertemu warga kampung. Entah dari mana, tiba-tiba sosok orang tua
bersama dua orang anaknya muncul dari rimbunan hutan yang berjejer disepanjang aliran sungai. Ia memperkenalkan dirinya Mo'at Sogun. Lelaki ini menunjuk kami sebuah akses jalan. Kami akhirnya mengekor beliau. Hingga akhirnya bertemu sepotong jalur yang bisa ditembus yang bisa menghindari persawahan warga. Saya pun turun dan mebiarkan Ferly memperkosanya. Dan, si putih pun lolos. Trek berikutnya, melindas perkebunan warga. Ha??!!

Lantas bersama Mo'at Sogun dan kedua anaknya kami dibawa kerumah salah satu warga. Rumah renta tersebut sepertinya dihuni oleh keluarga kecil yang ramah. Dipekarangan beliau yang akhirnya kami kenal bernama Mo'at Bena, ada sejumlah sayuran. Dan ironisnya kami mesti melewatinya. Tentu saja karena tak ada akses lain ke pantai selain melewati pekarangan ini.

Mo'at Bena dan istrinya dengan senyum ramah mempersilakan kami melewati halaman rumahnya. Ya tentu saja kami mesti melewati sayuran itu. Tak mengapa karena kebun sayuran sudah dipanen.

Dan pekarangan rumahnya yang ditumbuhi sayuran yang telah tua dilindas. Dengan senang hati, Ferly kemudian melewati pagar keluar yang telah dibuka paksa oleh pemilknya!

Bukan itu saja, bersama dua anak lelaki, mereka menuntun kami perlahan menuju bibir pantai yang tinggal beberapa ratus meter. AMAZING!

Asik Benar! Dan akhirnya kami tiba dengan selamat di pantai yang memiliki pemandangan menakjubkan. Lantas dimanakah Sang Pulau? Tidak Nampak.

Ferly Memarkirkan mobil. Lantas kami mencoba melewati tebing cadas tepat dipinggir pantai. Dengan cara perlahan namun pasti, kami melihat bahwa air pasang tidak memungkinkan kami untuk menembus daerah pesisir yang terjal.

Kami kembali. Dan disitu, Mo'at Sogun bersama Mo'at Bena memberikan alternatip. Kami mengekor
mereka. Anak-anak lain pun antusias mendampingi. Treking yang cukup menantang karena kami diminta untuk menembus bukit. Tentu saja dengan embel-embel mendaki. Gila Benar!

Wow! Bukit berbatu dan ditumbuhi rerumputan menghadang pandangana kami. Pendakian yang berbahaya. Tanpa peralatan pendakian, kami mencoba menembus sang bukit yang katanya memiliki pemandangan spektakuler. Namun sayang, terjalnya lereng bukit dan angin yang cukup kencang menghalangi treking ini. Kami mengurungkan niat karena tak mau ambil resiko.!

Secara perlahan kami kembali. Sambil melepas lelah dibawah beberapa pohon asam nan rindang, kami mengumpulkan energi untuk mencoba melewati pesisir dibawah tebing-tebing terjal. Dengan catatan menunggu air surut. Ada perasaan menyesal ketika sadar kami tak membawa bekal seperti ikan dan pisang buat bakar-bakar.

Agak lama, tiba-tiba Mo'at Nelis berteriak, Ayo air sudah surut. Beramai-ramai bak kelompok Pramuka kami lantas bergegas. Deburan ombak yang kian melemah menandakan air telah turun. Dipesisir ini sangat sepi, hanya kelompok kami yang terlihat.

Lantas dengan hari-hati karena melewati berbagai hadangan karang dan bebatuan hingga akhirnya sang pulau yang kami cita-citakan untuk menjamahnya terlihat juga. Beruntungnya kami, karena menjadi saksi kesekian kecantikan yang dianugerahi Tuhan bagi Nian Sikka.

Nusa Kutu. Seperti yang diceritakan diatas, bahwa dalam peta administrasi Kabupaten Sikka Pulau Nusa Kutu tidak termasuk dalam daftar 17 buah pulau di kabupaten ini.

Uniknya pulau ini, jika air surut ia akan menampakan bebatuan kecil yang tersusun rapi bak jembatan. Batu-batu tersebut sebagai jalan penghubung antara daratan dan sang pulau. Ketika air pasang maka jembatan bebatuan ini akan hilang dan tinggalah sang pulau berdiam sendiri.

Perjalanan yang tak sia-sia ini akhirnya tercapai juga. Kami memuaskan diri dengan mendokumentasikan semuanya yang ada dipuau ini. Apalagi katanya Sunset bisa disaksikan dengan indah dari Nusa Kutu. Dari si mungil ini pula, pandangan kita akan bertemu berbagai panorama cantik yang tersaji di daratan Flores. Mulai dari pegunungan savana sampai deretan pesisir yang terkenal dikalangan wisatawan domestik dengan sebutan Tanjung Satu.

Bahkan pesisir kajuwulu dan pantainya bisa disaksikan. Dari tempat eksotis Nusa Kutu ini pula Teluk Kolisia menjadi bagian yang menghadirkan berbagai kesejukan. Siapa sangka, dahulunya merupakan hamparan perkampungan yang ramai sebelum bencana datang akibat pantangan yang dilanggar.

Menjelang senja, sebelum mentari pamit dari hadapan bumi, kami bergegas meninggalkan Nusa Kutu. Pulau mungl ini yang memiliki pasir karang putih dan beberapa tanaman bakau serta makam yang entah milik siapa.

Mobil putih akhirnya melaju menembus pesisir. Jalan ulang akhirnya kami lewati kembali. Moat Sogun, Bena dan Nelis serta anak-anak melambai tangan sambil berteriak agar kami kembali lagi.

Kami tiba di Maumere usai hujan membasahi kota ini. Selamat Malam Kota Maumere. Sepenggal kisah treking ini semoga menjadi perjalanan wisata alternatip yang dilirik pemerintah untuk dikelolah!

Jika dikemas akan menjadi salah satu aset wisata yang cukup berpotensi karena berada dalam jalur pariwisata yang sama-sama belum dikelolah. Yakni, Waernokerua, Tanjung, Kajuwulu dan Bukit Kolisia. Semoga! (Ossrebong)







SAMPE JUMPA DI ADVENTURE BERIKUTNYA!
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: 05.14 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---