Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Monday 22 February 2010

Saatnya Menuju Pantai Kajuwulu dan Tanjung..




Pantai berpasir putih, bersuasana tenang, lautnya bersih, biru dan bening, disertai pemandangan alam disekitarnya yang indah selalu menjadi tempat yang dicari-cari oleh siapa saja. Begitu pula Oss dan Boim. Tak ada habisnya berkelana dari satu pantai kepantai lainnya dan mengabadikan keindahannya kedalam blog ini. Kali ini Pantai Kajuwulu dan Tanjung yang didatangi. Keduanya memiliki pemandangan indah dan terkenal sejak lama, berada dipesisir pantai utara Kabupaten Sikka, Flores searah barat dari Kota Maumere. Kalau berkendaraan cuma memakan waktu tak sampai sejam dari kota.

Pesisir pantai yang memiliki pasir putih dibeberapa tempat ini berhadapan langsung dengan bukit-bukit tandus yang berdiri garang didepannya (nampak hijau ketika musim hujan tiba). Bukit-bukit natural yang berdiri kokoh ini seakan turut menambah keindahan lukisan alam.

Pantai-pantai disepanjang jalur pantura ini sejak lama telah menjadi tempat bertamasya masyarakat Kota Maumere, khususnya pada hari libur. Tak hanya para keluarga, komunitas, anak-anak remaja pun tak ketinggalan berpiknik ria ke tempat ini sambil memadu kasih, berkencan dengan pasangannya.

Yap, keindahannya yang sangat alamiah memungkinkan kita untuk membuang segala perasaan membosankan ketika sepekan beraktifitas. Tempat ini kami rekomendasikan sebagai titik-titik yang pantas didatangi dihari libur khususnya bagi yang bertempat tinggal di Kota Maumere dan sekitarnya. Selain itu jika dioptimalkan, pantai-pantai indah ini berpeluang mengangkat kehidupan ekonomi masyarakat setempat.

Yokk lihat fotonya..










www.inimaumere.com


Selengkapnya...

Sejarah, Pemujaan dan Rasa Musikal Orang Flores

Oleh Yoseph Yapi Taum

Sejarah Flores
Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis "Cabo de Flores" yang berarti "Tanjung Bunga". Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau Ular). Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores.

Pulau Flores, Alor dan Pantar merupakan lanjutan dari rangkaian Sunda System yang bergunung api. Flores memiliki musim penghujan yang pendek dan musim kemarau yang panjang. Daerah Pulau Flores meliputi sembilan kabupaten, yakni Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Ngadha, Nagakeo, Ende, Sikka, Flores Timur, dan Lembata.

Agama-agama Asli di Flores

Kristianitas, khususnya Katolik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat kota Larantuka. Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik.

Meskipun kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara (lihat Muskens, 1978)-- sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi asli warisan nenek-moyang. Di samping itu, unsur-unsur historis, yakni tradisi-tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai di beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran.

Untuk dapat mengenal secara singkat gambaran agama-agama di Flores, Tabel 1 mendeskripsikan 'wujud tertinggi' orang Flores. Tabel itu menunjukkan bahwa orang Flores memiliki kepercayaan tradisional pada Dewa Matahari-Bulan-Bumi. Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman hidup mereka yang agraris, yang hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman) (Fernandez, 1990). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang Flores sungguh-sungguh berharap pada penyelenggaraan Dewa Langit dan Dewi Bumi.

Wujud Tertinggi Orang Flores

Flores Timur, Wujud Tertinggi Lera Wulan Tanah Ekan (Matahari-Bulan-Bumi)

Lembata = Lera Wulan Tanah Ekan (Matahari-Bulan-Bumi)

Sikka = Ina Niang Tana Wawa// Ama Lero Wulang Reta (Bumi-Matahari-Bulan)

Ende/Lio = Wula Leja Tana Watu (Bulan-Matahari-Bumi)

Ngadha = Deva zeta-Nitu zale (Langit-Bumi)

Manggarai = Mori Kraeng, bergelar: Tana wa awang eta//Ine wa ema eta (Tanah di bawah, langit di atas)



Selain itu, hampir semua etnis masyarakat Flores memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu, lengkap dengan altar pemujaannya yang melambangkan hubungan antara alam manusia dengan alam ilahi. Tabel 2 menunjukkan altar tempat upacara ritual orang Flores.

Tempat Pemujaan Orang Flores

Flores Timur - Nuba Nara (Menhir dan Dolmen)

Lembata - Nuba Nara (Menhir dan Dolmen)

Sikka - Watu Mahe (Menhir dan Dolmen)

Ende/Lio - Watu Boo (Dolmen)

Ngadha - Vatu Leva - Vatu Meze (Menhir dan Dolmen)

Manggarai - Compang – Lodok (Menhir)


Altar yang disebutkan dalam di atas merupakan tempat dilaksanakannya persembahan hewan korban dalam upacara ritual formal, misalnya: upacara panen, pembabatan hutan, pendirian rumah, perkawinan adat, dan sebagainya. Upacara ritual itu sendiri menduduki posisi penting sebagai sarana pembentukan kohesi sosial dan legitimasi status sosial. Ritus persembahan di altar tradisional itu mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial di Flores.

Catatan tentang Rasa Musikal Orang Flores

Sekalipun di Flores tidak banyak ditemukan alat-alat instrumen musik, rasa musikal orang Flores tergolong cukup istimewa. Hal ini dapat dilihat dalam pandangan Max Weber, yang dikutip dari J. Kunst (1942) berikut ini.

“Of musical instruments I did not see much, although, as a matter of fact, the population of Flores seemed to me to be more musically talented than the kindred Indonesian tribes whose acquaintance I made in Sumatra, Java and Celebes, where I never heard any tolerable voices sing agreeable melodies. It was different in Flores. Many a sonorous male voice, rendering simple songs at the river bank, still sounds in my ears; melodies which might well please the European ear, too. And where is the Florinese who could paddle without singing his pantuns, complete with soli and refrain sung in chorus? Among these soloists there were some voices that might, with better training, have been turned out as good tenor, soprano and bass voices. But this hardly seems to me to apply to the treble voices of the genuine Malay people, including the Buginese and Macassarians. It would seem that we have here to do with a morphological distinction in the vocal means of expression, which may well amount to a support of my view concerning the kinship of the Florinese with tribes living further east” (p. 32).

Berikut ini terjemahan selengkapnya kutipan di atas.

“Tentang musik instrumen saya tidak banyak menemukan, tetapi adalah sebuah fakta bahwa penduduk Flores memiliki bakat musikal yang lebih dibandingkan suku-suku bangsa Indonesia lainnya yang saya jumpai di Sumatra, Jawa dan Sulawesi. Saya tidak pernah mendengar suara nyanyian yang kompak dan serasi dengan melodinya. Ini berbeda di Flores. Banyak terdengar suara pria yang dalam, gema nyanyian di sepanjang sungai, tetap terngiang-ngiang di telingaku, melodinya menyenangkan telinga Eropa juga. Dan di manakah orang Flores yang berjalan tanpa menyanyikan pantunnya, lengkap dengan solo dan refrainnya dalam koor? Di antara penyanyi-penyanyi solo ini, terdapat beberapa suara yang, dengan latihan yang lebih baik, akan menjadi penyanyi tenor, sopran dan bass yang baik. Tetapi hal ini jelas hampir tidak terlihat pada suara penduduk Melayu asli, termasuk Bugis dan Makasar. Barangkali inilah pembedaan morfologis dalam ekspresi vokal, yang mendukung gagasanku tentang kekeluargaan di Flores dengan suku-suku yang hidup di timur jauh" (h. 32).

Orang Flores, seperti terungkap dalam kutipan di atas, memiliki bakat musikal yang sangat tinggi, khususnya dalam nyanyian koor. Sebagian (kecil) lagu-lagu Flores sudah diakomodasikan dalam liturgi dan sudah termuat dalam buku Madah Bhakti. Tetapi buku ini kurang disenangi di Flores karena kurang variatif dan terasa seperti menekan kreativitas.
Masih ada satu hal yang penting menjadi catatan. Jika orang Flores, menurut Max Weber, mempunyai bakat musikal yang sangat tinggi, pertanyaannya adalah, mengapa tidak ada orang Flores yang kemudian menonjol sebagai penyanyi nasional? Adakah kendala budaya yang menghambat pencapaian ini?

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Monday, February 22 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---