FRANS SEDA, Guru Ekonomi Orde Baru dari Maumere
Frans Seda Guru Ekonomi Orde Baru dari Maumere Franciscus Xaverius Seda dilahirkan pada tanggal 4 Oktober 1926 di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Ayahnya, Paulus Putu Seda, selain seorang kepala SD juga seorang kepala suku di kampungnya. Seda tertua dari sembilan bersaudara.
Kala itu, ia bercita-cita menjadi seorang guru. Alasannya? "Di daerah saya waktu itu ada dua pekerjaan yang sangat dihargai oleh masyarakat yaitu guru atau pastor."
Seda menyelesaikan sekolah dasarnya pada tahun 1940. Di sanalah terpatri kenangan yang paling mengesankan tentang sang ayah, yang mengajarkan dua hal penting yang harus dilakukan dalam hidupnya. Yang pertama, Seda diajar untuk memperhatikan kepentingan masyarakat.
"Mungkin karena saya anak kepala suku, maka saya diajar cara mengabdikan diri pada masyarakat," kisahnya.
Yang kedua, ajaran bahwa manusia akan semakin bermartabat jika ia berwawasan luas.
"Jadi ayah saya rela menjual semua miliknya untuk sekolah anaknya," tambahnya. "Saya bersyukur mempunyai ayah yang berpikiran maju seperti dia."
Menurut ayahnya, warisan terbaik yang dapat diberikan kepada anak bukanlah harta, tetapi kepandaian. Tak heran bila kemudian dalam usianya yang muda, Seda berani merantau ke Jawa untuk melanjutkan sekolah di Yogyakarta.
Pada tahun 194, saat Jepang masuk ke Indonesia kehidupan menjadi semakin sulit. Seda terpaksa berhenti sekolah, sejak itulah ia harus bekerja, entah sebagai tukang rumput, pemerah susu sapi di sebuah peternakan, dan loper susu, hingga sekali waktu dipercaya sebagai penagih rekening. Dia juga menjadi penarik gerobak yang membantu mengangkut barang-barang keluarga Belanda yang terpaksa pindah dari kawasan Kotabaru, Yogya, karena Jepang mengambil alih Indonesia.
"Saya saat itu mendapat satu ringgit per hari dari hasil menarik gerobak," katanya.
Dalam situasi seperti itu, Seda tetap menyempatkan diri belajar pada malam hari. Kerja kerasnya tak sia-sia, tahun 1946 ia menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya. Dia pernah duduk di bangku MULO di Muntilan, juga SMP BOPKRI di Yogya. Selanjutnya, ia melanjutkan sekolahnya ke AMKRI Yogya. Pada tahun 1949, ia pindah ke HBS Surabaya dan tamat setahun kemudian.
Selama sekolah, Seda paling menyukai mata pelajaran bahasa, budaya, atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Hal ini sesuai dengan minatnya yang besar di bidang politik, selepas perjuangan fisik di tahun 1945-an.
Pada masa perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, seperti pemuda lainnya, Seda juga aktif berjuang. Ia tercatat sebagai anggota laskar KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) dan batalion Paraja atau Laskar Rakyat GRISK dari tahun 1945-1950.
Tahun 1946, Seda pernah dikirim ke daerah Kebon Jeruk, Bekasi, untuk bertempur melawan Belanda. "Bukannya merasa takut, jika dikirim ke medan perang. Tetapi saat itu para pemuda merasa bangga dan senang, padahal kita tahu bahwa kemungkinan untuk mati juga besar," tambahnya.
Setelah masa perjuangan fisik mulai surut, Seda ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah hukum di Jakarta (cikal bakal Fakultas Hukum UI). Tetapi tawaran yang ada adalah sekolah ekonomi ke Belanda. "Perang mengubah hidup dan cita-cita saya. Jika semula saya ingin jadi guru, akhirnya saya justru sekolah ekonomi.
" Alasannya, karena saya punya ijazah bon A dan B untuk tata buku." Jadi saya berangkat ke Belanda tahun 1951 untuk sekolah, bukanlah karena keinginan saya, tetapi di bidang itulah saya dibutuhkan negara saat itu," katanya.
Menurut Frans Seda, di samping masa kecilnya di Flores, salah satu masa terpenting dalam hidupnya adalah ketika ia bersekolah di Belanda. "Bayangkan saja, saya berada di negara yang telah sekian lama menjajah Indonesia. Ibarat berada di dalam rumah musuh," katanya. Bagaimana saya harus bertahan dan menunjukkan bahwa apa yang kita lakukan di Indonesia adalah benar yaitu merebut kemerdekaan dari tangan Belanda.
"Orang Belanda paling benci dengan Soekarno. Menurut mereka Soekarno lah sumber banyak masalah," cerita Seda tentang tanggapan orang Belanda terhadap Bung Karno. Tetapi ada satu hal yang saya kagumi dari sifat orang Belanda, walaupun mereka membenci Soekarno, tetapi jika saya bisa membuktikan bahwa apa yang dilakukan Soekarno benar, mereka bisa menerima argumentasi saya, jadi mereka juga cukup fair.
Terus terang, saat saya sekolah di Belanda banyak hal saya dapatkan selain ilmu, yang terpenting adalah bahwa rasa nasionalisme saya benar-benar diasah dan diuji, sehingga saya merasa bangga menjadi orang Indonesia.
"Soekarno lah yang memberikan rasa harga diri pada saya, yang membuat saya mencintai tanah air, dan perasaan itu tidak sekuat ketika saya masih tinggal di Indonesia."
Saat sekolah di Belanda, Seda bersama beberapa kawannya juga membentuk Ikatan Mahasiswa Katholik Indonesia (IMKI) dan juga anggota Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda. Lulus dari Katholieke Economische Hogeschool, Tilburg, Belanda pada tahun 1956, Seda langsung pulang ke Indonesia. Di Jakarta, pertama kali ia bekerja pada Biro Karpi, milik pengusaha terkenal saat itu, Ir. Laoh.
Karier politik Seda kemudian tumbuh sama suburnya dengan jiwa wiraswastanya. Seda merintis karier politiknya lewat Partai Katholik. Sepulang dari Belanda ia diminta untuk mendampingi I.J. Kasimo sebagai wakil ketua partai itu. Lantas pada tahun 1961, ia menggantikan Kasimo sebagai ketua umum. Dari sini karer politiknya terus meningkat. Dari tahun 1960 sampai tahun 1964 ia menjadi anggota MPRS dan DPR-GR. Pada tahun 1963, Seda diminta Bung Karno untuk menjabat Menteri Perdagangan.
Tetapi Seda menolaknya karena ketua PK yang saat itu menjadi partai oposisi terhadap Bung Karno, alasan lainnya karena ia menganggap usianya saat itu masih terlalu muda. Tapi rupanya, pada tahun 1964 Seda tak bisa lagi menolak ketika dia diangkat menjadi Menteri Perkebunan oleh Bung Karno. Lantas ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertanian (1966), lalu Menteri Keuangan (1966-1968) dan Menteri Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973).
Pensiun dari jabatan menteri, Seda lantas dipercaya menjadi Dubes RI di Brussel, untuk Belgia dan Luksemburg (1968-1973), juga merangkap Kepala Perwakilan RI untuk Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dari tahun 1973-1976. Setelah kembali ke Indonesia, ia dipercaya untuk menjadi anggota DPA dari tahun 1976-1978.
Di bidang pendidikan, Frans Seda juga turut mendirikan Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia pernah menjabat Ketua Umum Yayasan Atma Jaya (1961), sekaligus dekan Fakultas Ekonomi di sana (1961-1964).
Namanya sebagai usahawan juga cukup dikenal, antara lain karena dia pernah menjabat Presiden Komisaris PT Narisa -- pabrik pakaian jadi -- juga anggota Komisaris PT Bayer Indonesia, dan anggota dewan komisaris di PT Gramedia. Lantas pernah juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Perdagangan Tekstil Indonesia.
Kegiatan sosialnya juga menonjol. Ia pernah menjadi anggota Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian (Iustitia Et Pax) di Roma (1984-1989), serta anggota Dewan Pertimbangan PMI Pusat (1986 - )
Seperti orang Flores pada umumnya, Seda dikenal terbuka dan suka humor. Ketika ditanya apa resepnya tetap sehat dan bahagia di usia yang lebih dari 70 tahun, Seda berkata ,"Hidup itu artinya mengabdi pada Tuhan dan sesama."
Dalam melakoni hidup yang sering tak terduga ini, menurutnya orang perlu punya sikap nothing to lose. "Cobalah berbuat baik saja, jangan terlalu takut memikirkan akibatnya," katanya. Apalagi melihat kondisi saat ini, dimana orang takut menyatakan kebenaran. Satu-satunya hal yang masih ingin dilakukannya sekarang adalah bagaimana agar generasi muda dapat mempunyai kesempatan yang lebih bebas untuk belajar, termasuk berpolitik, bebas berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Katanya,"Hanya dengan kebebasan itulah demokrasi dapat tumbuh lebih baik, jika tidak generasi muda kita ibarat katak dalam tempurung, wawasannya sempit.
" Perlu diingat juga bahwa suka atau tidak. Di tangan generasi mudalah masa depan Indonesia nanti. Menurut Seda, kondisi seperti di awal pemerintahan Orde Baru cukup demokratis, seharusnya kondisi saat ini mengacu kesana. Frans Seda mengaku bahwa perkawinannya dengan Johanna Maria Pattinaya termasuk dalam "Paket Kilat". Apa maksudnya? "Tidak seperti anak jaman sekarang yang sering gonta-ganti pacar, saya dulu cuma butuh waktu tiga bulan dari sejak kenal hingga menikah," katanya. Ia mengaku tertarik pada istrinya saat menonton Johanna bermain dalam tonil, sejenis drama. Bekas guru bahasa di Santa Ursula yang dipinangnya di atas becak itu, kini telah memberinya dua orang anak. "Mulai dari meminang hingga perkawinan, saya urus sendiri. Tepat sehari setelah ulang tahun Johanna, 12 Mei 1961, kami menikah."
Apa yang membuat Seda yakin hanya dalam waktu tiga bulan bahwa Johanna bakal menjadi istri yang setia? Ketika ditanyakan, sambil tertawa Seda menjawab,"Jika seorang wanita suka mengajar dan menyukai anak-anak, biasanya ia adalah wanita yang baik. Apalagi ia juga tinggal di asrama bersama suster, garansilah."
Pada 4 Oktober 2006 lalu, Frans Seda genap berusia 80 tahun. Politisi, ekonom senior, negarawan dan tokoh Katolik yang dikenal dekat dengan mantan Presiden RI Soekarno itu tetap tegar dan masih ingin berbuat banyak bagi negeri tercinta ini. Berbagai jabatan pemerintahan di tingkat nasional dan internasional sudah dilakoninya dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Mulai dari tentara pejuang kemerdekaan, aktivis mahasiswa, pimpinan partai, menteri, duta besar hingga penasihat presiden pun sudah dijalankannya.
www.christianview.14.forumer.com