Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Thursday 13 January 2011

Pesona Tanarawa, Pesona Tana Ai..

Sebuah Kisah di Tanarawa..

Pesona Air Terjun di Tanarawa dan Toke (mantel hujan tradisional) Suku Ipir-Tana Ai

Tak pernah terpikirkan kalau suatu saat berada ditengah kehidupan alam Tana Ai.  Sebuah suku asli di ujung timur Kabupaten Sikka.  Di wilayah ini, masyarakat setempat masih memegang tradisi dan budaya lokal yang berkaitan dengan alam, leluhur dan wujud Tertinggi. Bagi kami,  pengelaman ini  adalah tantangan yang mengasikan. Meski kami (Oss n Boim) sendiri lahir dari perut buana Kabupaten Sikka, tapi menjelajah hingga kepedalaman Tana Ai adalah sebuah kisah unik. Bagimana tidak, di daerah ini kami mengenal berbagai hal. Sedikit banyak lebih paham tentang kebiasaan dimasing-masing suku mengenai berbagai pantangan, kepercayaan dan segala sesuatu yang bersentuhan dengan alam. Disana kami bertemu Mo'at Pius Ipir, seorang Kepala Suku Ipir yang mengepalai 15 suku lain di Tana Ai. Ia berusia 52 tahun. Hidup sangat sederhana dengan anak-anaknya dan membesarkan mereka lewat hasil kebun dan ladang. Dari dia banyak hal kami ketahui. Termasuk melihat air terjun yang menjulang indah ditengah rimbunan pohon hutan. Ada sapaan adat. Ada perasaan mistis sekaligus mendebarkan. Yuuukk...

Anak muda bernama San, asli dari Tana Ai kami ‘culik’ sebagai pemandu perjalanan. Maklum, inilah pertama kali menuju Tana Ai. Dan tujuan utama adalah kehidupan Suku Ipir. Suku ini berada di Dusun Lewak, Desa Tanarawa, Kecamatan Waiblama. Kebetulan San adalah putera asli dari Waibalama dan berasal dari Suku Ipir. San mengenal betul daerahnya. Dia selalu bersemangat jika bercerita tentang Tana Ai.

***
Hujan deras baru saja membersihkan debu Kota Maumere. Kami bertiga meninggalkan kota dengan dua sepeda motor bebek. Jalanan aspal begitu basah dan terasa licin. Sepanjang jalan gerimis bagai kekasih setia. Dan ketika hujan membesar kami sejenak berpisah. Saat meredah, motor kembali berlari kencang karena mengejar waktu yang tinggal sepotong. Maklum jarum jam telah memberi isyarat hampir pukul 15.00 Wita. Artinya kami harus bergegas sebelum rembulan menjemput. Padahal baru setengah perjalanan. 

Tana Ai adalah salah satu etnis besar yang ada di Kabupaten Sikka. Selain Tana Ai, 5 etnis lainnya yang mendiami wilayah Kabupaten Sikka adalah Sikka, Krowe, Lio, Palu’e dan Tidung Bajao. Di Tana Ai sendiri ada kira-kira 26 suku. Ritual dan pertalian hubungan dengan leluhur selalu diungkapkan suku-suku tersebut dengan berbagai upacara yang unik dan melibatkan banyak orang. Ritual-ritual dilakukan dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat dan keutuhan hubungan dengan Tuhan, leluhur serta alam.

Meninggalkan Maumere menuju Tana Ai, arah perjalanan menuju timur Kabupaten Sikka. Menyusuri lintasan jalan raya beraspal mulus  di jalur utara Pulau Flores. Tentunya, perjalanan  akan menyenangkan.  Sebabnya sebagian besar pemandangannya adalah pantai indah dan tenang. Dari Maumere, Geliting, Waiara, Waigete, Wodong, Wairterang, Talibura, semuanya menebarkan ketentraman.

Butuh waktu sekitar sejam perjalanan hingga Kecamatan Talibura yang notabene didiami sebagian besar suku-suku Tana Ai. Talibura berada dalam lintasan jalur menuju Kabupaten Flores Timur (Larantuka).

San memberi isyarat mengambil arah belokan ke kanan ketika kami tepat dipersimpangan Desa Nangahale  Talibura. Katanya, ini adalah akses menuju ke Desa Tanarawa, Dusun Lewak Kecamatan Waiblama. Wilayah yang berada di pegunungan beriklim sejuk ini adalah tempat kelahiran San. Jarak dari jalan utama sekitar 20 Km.  Kelokan kanan dan kiri sungguh rapat. Pengendara harus berhati-hati meski aspal jalan sangat mulus.
"Jalan ini juga baru saja dibangun, sebelumnya kondisinya sangat memprihatinkan," kata San.

Menjelang sore sekitar pukul 16.30 akhirnya kami tiba di Dusun Lewak. Tak berapa lama kami telah berada di rumah Philipus Pius Ipir, sang kepala suku. Rumahnya sangat sederhana, seperti pula rumah penduduk suku umumnya. Dari duduk-duduk cerita, kami memberitahu perihal kedatangan. Kami diperbolekan memotret, diperbolehkan bertanya dan disuguhi teh panas. Udara dingin segera berlalu sejenak.


Boim n Oss, apit Moat Pius Ipir & istirahat sejenak di perjalanan, dibelakang G,Egon tertutup kabut..

Dari sekian banyak upacara dan ritual, ada dua yang cukup terkenal dan menjadi bagian dari budaya suku Tana Ai, yakni Garen Lameng dan Gren Mahe. Keduanya masih dijalankan hingga sekarang. Gareng Lameng adalah upacara penyunatan terhadap laki-laki sebagai tanda ia telah dewasa dan menjadi laki-laki dalam suku tersebut. Upacara Garen Lameng sendiri terkesan mistis dan berlangsung tengah malam. Setiap pengikuti upacara sebelumnya diwajibkan mengaku dosa lewat tua-tua adat sebelum penyunatan berlangsung. Gareng Lameng dilakukan pada saat yang mau disunat telah siap. Dan dilakukan tak tentu waktu.

Sedangkan Gren Mahe sendiri adalah sebuah ritus tradisional masyarakat Tana Ai. Upacara ini merupakan simbol persaudaraan, perdamaian sekaligus keberanian masyarakat Tana Ai. Upacara ini merupakan pemujaan kepada Tuhan dan kepada leluhur mereka yang dilaksanakan 3, 5 sampai 7 tahun sekali tergantung kesiapan ekonomi masyarakat, karena acara ini membutuhkan biaya yang cukup besar.

Saat upacara berlangsung, puluhan ekor hewan disembelih dan tentu saja atraksi saling bacok diantara pemuda. Luka akibat bacok segera hilang sekali usap.

Selain kedua upacara diatas, masih banyak budaya dan adat setempat yang selalu dilakukan masyarakat misalnya saat kelahiran, perkawinan dan kematian. Juga tentu upacara-upacara adat yang berkaitan dengan cocok tanam dan hal-hal lain.

Bapak Ipir sebagai Kepala Suklu Ipir bercerita banyak tentang kehidupan suku-suku di Tana Ai dan budayanya. Sebagai kepala suku, ia sering kali dijadikan narasumber oleh berbagai penulis dan pencari catatan tentang kehidupan suku-suku di Tana Ai meski sama sekali tak dibiayai. Padahal banyak yang telah menggali informasi darinya. Termasuk Profesor Dr. Lewis Douglas, peneliti dari Australia yamg hidup sekitar 6 tahun besama suku-suku di Tana Ai. Dari Profesor Douglas, ia dibawa menuju Australia. Disana ia dipertemukan dengan sebuah suku dalam budaya Aborigin dimana ada sebuah Batu Mahe (batu persembahan) yang mirip dengan Mahe di Suku Ipir. Bahkan ritual upacarapun mirip, begitu San menjelaskan.

Tana Ai memang unik. Etnis ini mendiami sebelah timur Kabupaten Sikka hingga perbatasan dengan Kabupaten Flores Timur. Wilayah ini mencakup 3 kecamatan, yaituh Keacamatan Talibura, Waiblama dan dua desa yang berada di Kecamatan Waigete yakni Desa Runut dan Desa Watudiran. Tana Ai terletak diantara dua gunung yaituh Gunung Mapitara (Egon) dibagian barat dan Gunung Wuko dibagian timur. Bagian selatan Tana Ai berbatasan dengan Laut Sawu dan bagian utara berbatasan dengan Laut Flores. Masyarakat Tana Ai umumnya berbahasa Sikka dengan dialek yang berbeda dengan orang Sikka-Krowe, etnis lain di Kabupaten Sikka. Namun ada sebagian orang Tana Ai yang berbahasa Muhang dimana bahasa ini merupakan campuran bahasa Sikka dan Flores Timur.

Salah seorang sahabat kami bernama Wempi Wisang, yang dibesarkan di sana menceritakan di Desa Tanarawa ada beberapa cerita legenda yang dipercayai oleh masyarakat setempat. Cerita-cerita legenda itu antara lain legenda Mangolian (kepiting raksasa keramat), Ular Gokok (Ular mirip naga siluman penjaga Kampung Tana Ai ) dan legenda Rawin Dai. San membenarkan cerita diatas. Menurutnya, kepiting raksasa tersebut ada disebuah danau (telaga) yang terletak tak jauh dari sebuah sekolah.

“Kisah-kisah itu dulu pernah dibukukan oleh budayawan Australia Mr Douglas, kalau saya tidak salah bukunya ada di Museum Blikon Blewut,” jelas Wempi. Museum Blikon Blewut terletak 6 Km diluar Kota Maumere. Di museum ini terdapat segala macam barang-barang peninggalan masa lampau dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur dan Indonesia umumnya.

“Satu lagi tempat yang dikeramatkan adalah 'Liang Firdaus' yang diyakini sebagai surga. Hal itu sudah dibuktikan oleh Pater Piet Petu SVD (alm) dengan masuk ke dalamnya dan menemukan sebuah taman yang sangat indah penuh anak-anak kecil yang bahagia. Tapi tidak mudah bagi orang awam untuk masuk ke dalamnya. Masyarakat setempat biasa mengadakan ritual di tempat itu saat musim tanam padi tiba, saya nyaris diajak Pater Piet Petu untuk ikut masuk ke liang tersebut sekitar tahun 80-an tapi dilarang ibu saya, karena resiko terburuk adalah kematian,”jelas Wempi.

San dan Moat Pius Ipir pun membenarkan tempat tersebut meski ceritanya sedikit berbeda. Duduk cerita tanpa kenal waktu ternyata hari menjelang magrib. Kami meminta untuk melihat Air Terjun yang sangat dijaga kelestariannya oleh masyarakat setempat. Maklum lewat sungai itu, masyarakat bisa berladang dan berkehidupan. Bahkan ada syair dan nyanyian yang dihususkan untuk air terjun tersebut.

Dari rumah kepala suku Moat Pius Ipir, jarak ke lokasi air terjun tersebut sekitar 2 Km. Kondisi jalan sangat buruk. Aspal berlubang dihampir sepanjang jalan. Kalau tak hati-hati, bisa-bisa terpeleset. Motor diparkir dijalan. Dan beberapa menit kemudian kami telah berada ditengah semak dan hutan.

Dari jalan raya menuju air terjun tersebut jaraknya sekitar 70 meter. Kondisi tanahnya licin dan agak terjal jadi harus hati-hati kalau tak mau terpeleset. Sebelum memasuki lokasi air terjun, Moat Ipir harus ‘membuka pagar’ dengan upacara khusus agar kami diperbolekan masuk. Katanya, ritual ini mesti dilakukan sebelum ketengah belantara pohin.


SAN dengan bangga perlihatkan keindahan Tanarawa yang masih asli..

Dan dengan kagum kami memandang air terjun yang tumpah ruah dengan deras. Perasaan begitu bahagia karena keaslian lokasi air terjun yang hampir tak pernah didatangi oleh siapapun. Setelah bersusah payah melewati hadangan batu besar berlumut dan licin, akhirnya kami bisa menikmati segarnya air pegunungan. Hati ini terasa tentram sekaligus bahagia, karena bersama inimaumere.com kami kembali menjelajahi tubuh molek nian sikka yang seakan-akan terlupakan keindahannya.

Dan yang paling berkesan ketika akan beranjak pulang, Moat Pius menyapa lokasi air terjun dengan bahasa Sikka yang artinya kira-kira begini,” Anak-anak ini datang dengan niat baik, dengan niat tulus, tolong dijaga perjalanan pulang,” begitu kira-kira. Dan anehya tiba-tiba Moat Ipir seakan-akan hilang dari sekeliling kami saat kami masih berkutat dengan tanah yang licin dan terjalnya perjalanan pulang.

Dirumah Moat Ipir kami melepaskan penat. Jarum jam sudah menunjuk pukul 8 malam. Dengan lampu pelita, kami bercengkerama sebentar sebelum akhirnya pulang ke Maumere. Sebuah doa dalam bahasa Sikka setempat kembali keluar dari Moat Ipir agar perjalanan pulang kami tak terjadi apa-apa.


Oss n Boim, segarnya air pegunungan...

Sungguh perkenalan pertama dengan alam Tanarawa, Tana Ai begitu mempesona. Yang patut disayangkan adalah ketiadaan sarana listrik bagi masyarakat setempat. Padahal rumah-rumah penduduk sudah cukup banyak. Ada beberapa sekolah, ada pula sebuah puskesma yang sedang dibangun. Sebuah gereja katolik dan rumah pastoran pun berdiri dengan meganya. Sayang memang, mungkinkah pemerintah memberikan fasilitas tersebut? Ah, jangan tanya pula, disini Hp atau ponsel sebagus dan secanggih apapun tak ada manfaatnya sama sekali untuk berkomunikasi. Maklum sinyal Hp pun tak ada. Hp dimanfaatkan menjadi senter. Hanya untuk penerangan, untuk dengar musik, kata San.

Turun dari Tanarawa menuju Maumere, perjalanan kami hanya ditemani burung-burung malam yang sesekali menghalangi pandangan kami. Suasana begitu gelap gulita. Hanya cahaya lampu motor dan temaram lampu pelita dari balik halar (bambu) rumah penduduk. Sepanjang perjalanan tak pernah sekalipun kami berpapasan dengan kendaraan lain. Dan kami membawa pesona Tanarawa, tak pernah terlupakan..

Dengan perjalanan yang kami lakukan beberapa hari lalu tersebut, Stasiun TransTv akan memasukan Tanarawa kedalam agenda program acara mereka Ethnic Runaway. Tunggu saja, karena krunya baru hari ini (13 januari 2011) tiba dan akan melakukan pemantapan lokasi bersama kami. Kisah berikutnya di Tana Ai segera bersama inimaumere.com

www.inimaumere.com
Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Thursday, January 13 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---