Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Tuesday 22 April 2008

34 Desa di Sikka Sasaran Coremab

Sebanyak 34 dari 160 desa di Kabupaten Sikka sejak tahun 2004 hingga saat ini masuk sasaran Program Coral Reet Rehabilitation and Management Program (Coremap) atau proses rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang. Dana miliaran rupiah dikucurkan untuk program ini karena dinilai berhasil mengakomodir sejumlah kebutuhan rakyat dan dapat meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dan perekonomian rakyat.

Demikian dikatakan Kepala Dinas (Kadis) Perikanan Kabupaten Sikka, Ir. Mauritz da Cunha, melalui Kepala Tata Usaha (KTU), Yonas A Nenobais, dan Kasubdin Pembinaan dan Pengembangan, Ir. Angelinus Vincentius , M.Si, kepada Pos Kupang, pekan lalu. Vincentinus menjelaskan, program Coremap di Sikka sudah dimulai sejak tahun 2002-2004 dilanjutkan tahun 2005-2010. Program Coremap difokuskan pada empat kegiatan berupa peningkatan SDM dan perekonomian masyarakat.
Pertama, kegiatan vilage grand (hibah sosial) untuk kegiatan sosial berupa pembangunan sarana prasarana desa, seperti pembangunan MCK, pos pelayanan umum, pengadaan listrik, air bersih yang sudah dilakukan di 34 desa. Tahun 2007 diplotkan dana Rp 75 juta/desa. Sementara tahun 2008 sebesar Rp 100 juta/desa.
Kedua, kegiatan seed fund pemberian bantuan dana bergulir peningkatan SDM melalui keterlibatan gender, kegiatan konservasi, ekonomi produksi bagi 34 desa sebesar Rp 50 juta/desa. Ketiga, dana renovasi desa Rp 3 juta untuk 20 desa pada tahun 2007.
Keempat, kegiatan mata pencaharian alternatif. Pada tahun 2007 dialokasi dana Rp 600 juta/kabupaten, dan tahun 2008 sebesar Rp 300 juta. Kegiatan ini menggunakan pola inti dan plasma yang dikelola kabupaten. Misalnya budidaya rumput laut dan penangkapan ikan tuna/cakalang. "Program Coremap dilakukan guna meningkatkan kapasitas masyarakat, meningkatkan kesejahteraan hidup mereka dari sumber daya laut," kata Vincentius.
Ia mengatakan, hasil kegiatan Coremap di Sikka berhasil dilihat dari pencapaiannya setiap tahun. "Kami selalu evaluasi setiap tahun bersama fasilitator atau koordinator Coremap. Hasilnya, memuaskan karena kualitas hidup, kesejahteraan dan SDM masyarakat terus meningkat setiap tahun," ujarnya(Poskup)



Selengkapnya...

Dona Inez dan Dona Maria,Peletak Dasar Emansipasi Wanita

Ada masa antara tahun 1613 sampai dengan 1620, Kerajaan Sikka pernah dikendalikan oleh dua Dona atau Puteri Raja keturunan Don Alessu. Musababnya,karena sepeninggal Don Alessu tak ada putera mahkota yang dapat menggantikannya kecuali Dona Inez dan kemudian Dona Maria. Kedua ratu tidak hanya dikenal sebagai ratu yang mengendalikan Kerajaan Sikka tetapi secara khusus mewarnai kepemimpinannya dengan memperjuangkan harkat serta martabat kaum wanita khususnya penerapan Hukum Adat Ling-Weling/Ata Dualin atau "adat pembelisan" alias mas kawin.

Ratu Dona Agnes Ines da Silva

Pada zaman pemerintahan Ratu Dona Inez, Kerajaan Sikka secara khusus tetap mempertahankan balatentara kerajaan. Beliau pernah memberikan bantuan balatentara kepada Solor dan Larantuka ketika terjadi pertempuran melawan perompak dari Jawa yang mengancam agama Katolik di Solor. Sebab masyarakat Sikka yang sudah beragama Katolik berkewajiban secara moral membela sesama yang juga Katolik. Fakta historisnya dapat ditemukan dalam ungkapan-ungkapan adat yang masih selalu diulangtuturkan hingga dewasa ini.

Ratu Sikka beli wa, Jong lau Lamaoja. Lau lamaoja, Jongjawa ola tiwang /Tuke terang aur kole, tanah lama Lamakera. Lama Lamakera, Welung pedang meang mate/Lewonamang jawa, Reta Watumea mere, Watumea mere, Jong Jawa ola tiwang.//Jawa Larantuka, Suding apa mora Solor, Sikka nora Solar, tena wue nora wari

Penjelasan secara bebas menurut Edmundus Pareira:
"Akibat serangan dari Jawa terhadap orang Portugis, penyebar agama Nasrani, maka api peperangan semakin menjalar ke Solor, Larantuka, juga Sikka sebagai jaringan segitiga dalam suatu ikatan keyakinan."

Dijelaskan, Lewonamang Jawa waktu itu -menurut D.D. Kondi dan A. BoEr- sebenarnya adalah Kota Larantuka. Bahwa lasykar dari Sikka yang dikirim Dona Inez, maju dalam pertempuran, pantang mundur melepaskan pedang mereka. Mereka bertahan sebagai pohon lontar tegak di Lamakera melawan Jong Jawa (armada Jawa).

Sejarah juga mencatat bahwa Kerajaan Sikka pernah menjalin persahabatan atau persaudaraan dengan Larantuka dan Solor. Sikka dalam hal ini sebagai penengah atau pembawa damai di kala Larantuka dan Solor berselisih. Jalinan yang dimuatkan dalam baitan adat:

"Ung Baluk raning, wi neti nora urung, neti nora urung, halo Terong Lamahala. Lobo lau Terong, atang mole Lamahala, mole Lamahala, brau hala mate golo. Lobo ei Terong, tau mole Lamahala, Lamahala laeng railing, poi rado laeng pasak"

"Bahwa lasykar dari Bola, Baluk yang gagah, telah membumihanguskan terong serta lamahala.Kalau tidakl bertahan, karena kecut, pasti kalah. Bahwa lasykar Lamahala baru hanya membidik dengan senjata dan belum menembak’

Semasa hidup Ratu Dona inez,beliau pernah menjelajahi wilayah kerajaan sahabat sampai ke perbatasan Ngadha sebelah utara dan selatan. Juga ke sebelah timur di perbatasan Jawa Krowe.Sampai hari ini masih terdapat sebuah sumur yang disebut Wair Dona Inez. Juga di sebelah Bokang terdapat sebuah batu di tepi pantai yang disebut watu dona tobo (batu tempatduduk dona).

Mengenai Uru duur tada tawang, Ratu Dona Inez menasihati serta memerintah dengan tegas, agar supaya dipatuhi seluruh rakyat. Rakyat diminta untuk memelihara ekonomi, pula agar jangan ada yang mencuri, atau memasuki kebun orang, pun memetik kelapa bukan pada waktunya. Terhadap mereka harus dikenakan hukuman dan sanksi menurut ketentuan raja, misalnya dengan memberi makan kepada masyarakat setempat. Selain itu, hukuman terhadap pelanggar susila, mereka dikenakan hukuman lebih berat.


Ratu Dona Maria Du'a Lise Ximenes da Silva

Perjuangan yang telah dilakukan Ratu Dona Inez, ditegaskan lagi pada masa pemerintahan Ratu Dona Maria Du'a Lise Ximenes da Silva. Secara lebih fokus, Ratu Dona Maria da Silva menetapkan agar supaya nasib kaum wanita dilindungi, ialah dengan diadakannya penetapan belis atau emas kawin apabila seorang jejaka ingin menikahinya

Sebab menurut kata sepakat dengan tua adat Sikka bahwa seorang wanita harus dihargai martabatnya dengan emas kawin yang disebut lingweling atau ling gete weling berat. Hal ini harus didahului dengan pertunangan, yang sebelumnya kedua keluarga wajib merundingkan nilai atau ling-weling, ialah belis.

Latar belakang ling-weling atau belis memiliki dua dasar. Pertama, harga diri, agar kaum wanita dihormati dan jangan ditelantarkan lagi oleh suaminya kemudian hari. Karena wanita dianggap benda yang tak benilai, ia dianggap sebagai bola permainan mungkin juga oleh percekcokan atau tak mempunyai keturunan. Kedua, membendung kaum pria agar jangan memperbanyak selir atau membangun hidup poligami.

Dalam baitan adat dirumuskan:
Ata dua utang naha nora ling, labu naha nora weling. Naha beli wiing nora tudi manu diat nora kila bitak. Ata meng ene wua weli poi ita, a ta mahang ene hoi well poi ita. Inat au naha leto, met au naha boter.

Arti secara harfiahnya:
"Kau wanita selalu bernilai tinggi, ialah harga diri atau martabatnya. Baju atau sarung sekalipunjangan disentuh. Sedang budak orang sekali pun bukanlah hak kita. Anak orang bukanlah kuasa kita. Berarti segala wanita jangan direndahkan sebagai bola permainan, yang dikawini dan diceraikan sesuka hati."

Dengan demikian, Ratu Dona Inez da Silva dan Ratu Dona Maria da Silva telah berbuat secara berani memperjuangkan harkat dan martabat wanita jauh sebelum R.A. Kartini (1879-1904) melahirkan "Habis Gelap Terbitlah Terang" untuk barn Hawa se-Nusantara.

Diambil dari buku : Pelangi Sikka karangan M.Beding - Indah Lestari Beding




Selengkapnya...

Dialog Kosmologis Melindungi Hutan: Pada Letusan Gunung Egon

Ditulis oleh anak Maumere, Alexander Yopi Susanto,tinggal di Jakarta Selatan.
Epang gawan Mo'at..


Helaan napas panjang keluar dari mulut Dua Kesik. Dengan lincahnya perempuan tua itu memindahkan buntalan benang dari sisi kiri ke kanan. Dalam lima enam kali gerakan, ia merapatkan benang-benang itu. Menyatu pintal dengan tenunan benang lainnya. Terus menerus gerakan itu dilakukan. Di sisi terdekat dari simpuh duduknya, kelihatan kain tenunannya itu menggambarkan motif dari sebuah sarung. Seperti bangunan segi lima, teratur, indah, berwarna.


Dua Kesik menghela napas lagi. Entah apa yang mengganggu pikirannya. Menimbulkan beban pada pundak. Dengan hati seperti biru blau. Kalau dipandang dengan sekejab mata. Tanpa perhatian serius dan mendalam, nampak Dua Kesik begitu menikmati setiap gerakan dari menenunnya itu. Ia seakan ikut menari bersama sahut-sahutan benang-benang itu. Karena menemukan solidaritas dan identitas dari penyatuan dirinya dengan benang lainnya menjadi sebuah sarung. Tanpa terganggu oleh keresahan hati seorang Dua Kesik.

Setengah jam berlalu. Dari arah berlawanan muncul Nong Frans. Hitam. Berdebu. Dengan kumis pada mulut. Kelihatan sekali tempaan alam membuat otot-otot bisep trisep sang pembawa kelapa itu nampak kekar.
“Kabor kelut ko Nong?” (Kelapa muda ka Nong?) Tanya Ina Kesik.
“Eon. Kabor kubar ge Dua. Au gai pano regang. Kabor tena selung no pare.” (Bukan. Kelapa tua kok sayang. Saya mau ke pasar untuk tukar kelapa ini dengan beras) Jelas Nong.
“Tea leu poi. Puan sa ena Nurakin neni hoang gai riwa hoang sekolah nimun” (Jual saja itu kelapa. Dari tadi Nurak terus minta uang untuk bayar uang sekolahnya) Kata Dua Kesik.
“Au ma tea sai”. (Ayolah, jualah kelapa itu) Lanjutnya pula.


Egon: The Lost Paradise

Egon terlihat gagah. Di sekeliling kawahnya terburat garis lurus awan putih. Tidak ada asap. Tidak ada bunyi gemuruh. Nampak tenang agung dengan keindahan sekilas di puncaknya.

Kalau punya kesempatan merangsek ke dalam, pada isi perut di kaki pegunungan itu, akan ditemukan aneka kekayaan dan keindahannya. Beberapa jenis burung Kakatua, Nuri, Beo dengan pernah pernik warnanya, sekawanan rusa bertanduk empat, babi hutan, ayam hutan, kera, bahkan kelinci.


Beberapa kali seekor dua rusa masuk kampung. Sekejab rupa, kampung menjadi ramai. Laki-laki berumur maupun belia sama-sama mengejar rusa yang masuk kampung itu. Mirip arena balapan dengan lintasan tak berhingga. Sampai rusa itu benar-benar tertangkap.
Lain waktu, di rumahku beberapa orang di kaki gunung mengantar burung Kakatua, Nuri, atau Beo. Bulunya indah. Suara kicauannya merdu rupawan. Tetapi tidak mudah untuk mengurung burung-burung itu pada sangkar. Mereka sudah terbiasa dengan alam bebas di kaki pegunungan. Kalau tidak keburu dilepas, mereka bakal mati.


Hampir setiap sore, ketika beberapa siswa berpawai-pawai ke sekolah untuk belajar sore, anak-anak di kampung kami justru berbaris menuju hutan di kaki pegunungan itu. Mereka, yang rata-rata perempuan ragam usia itu, mencari kayu bakar. Mengambil dan mematahkan ranting-ranting pohon yang kering. Atau dahan dan batang pohon yang sudah mendekati lapuk. Semua itu dikumpulkan pada sebuah ikatan. Dibawa pulang untuk kebutuhan dapur. Menghidupkan tungku api dengan kayu-kayu kering itu.


Pada belukar hutan dan pohon kenari tua di sebuah letak, sekitar 15 kilometer dari jalan raya Maumere – Larantuka, tersembunyi mata air panas. Yang keluar terus menerus dari perut bumi oleh desakan aktivitas vulkanologi. Tempatnya masih sangat perawan. Tidak ada jebakan sejenis bendungan. Ia tercipta dari palung alam. Membaringkan aliran dari sumber panas itu mengalir di sela berisik gesekan daun-daun kenari.


Kalau sedikit menanjak ke sebuah perkampungan. Blidit, namanya. Ditemukan di sana bendungan tua yang tak terawat. Volume air yang dialirinya cukup membuat dam-dam di sepanjang bendungan itu penuh. Melimpahkan air pada sawah-sawah di Waigete. Yang membuat Waigete dikenal sebagai salah satu lumbung beras, sayur-sayuran, dan buah-buahan di Kabupaten Sikka.


Pada ketinggian itu pula, sejauh mata memandang, nampak garisan pantai dengan pasir putih yang indah. Dibalut nyiur melambai pada sepanjang garis pantai itu. Sebuah tempat di sebelah Timur yang bernama pantai Wairterang justru menjadi salah satu tujuan wisata. Pada tempat yang tenang itu, wisatawan lokal maupun asing, berebutan berjemur dan merenangi isi keindahan terumbu karang di lepas pantainya.


Pati Ahu, nama lain dari tempat di Kecamatan Waigete yang mesti juga disebutkan. Di tempat ini, ada tiga hal yang perlu diingat. Pertama, Pati Ahu adalah tempat belajar para petani dan peternak. Ada sebuah sekolah pertanian dan peternakan yang diasuh biarawan SVD. Beberapa hektar tanahnya diabdikan untuk ladang percontohan budi daya kelapa, jati putih, lamtoro, beberapa jenis sayuran, dan buah-buahan. Sementara salah satu bangunan di deretan bangunan asrama dan perumahan para karyawan, dibangun khusus sebuah asrama percontohan peternakan babi, sapi, ayam, itik, dan ikan. Semua orang yang berminat bisa belajar dari asrama orang tani dan peternak ini.


Kedua, Pati Ahu memiliki klub sepak bola kesohor. Klub yang lintas ethnis. Orang Maumere, Ngada, dan Lembata. Mereka menjadi tersohor karena berturut-turut memboyong piala bergilir antarkecamatan se-Kabupaten Sikka untuk Waigete. Tidaklah heran, pemain besutan klub ini menjadi langganan kesebelasan Persami Maumere, PS Ngada, dan PS Lembata.
Ketiga, pada salah satu tempat di kedalaman hutannya terdapat sebuah gua dengan usia puluhan tahun. Menariknya, karena di gua itu hidup secara berkerumunan sekelompok kelalawar. Gua itu disebut Gua Kelalawar. Karena mereka sesungguhnya adalah tuan atas tempat itu, sebelum ditemukan oleh peradaban. Dan menjadi daya tarik lain bagi pengunjung di daerah wisata Waigete.


Rata-rata masyarakat Waigete orang kelas menengah ke bawah. Kalau mau dipatok berdasarkan ukuran sosiologis ekonomis. Tetapi sangat tidak adil kalau selanjutnya dijustifikasi dengan ukuran seperti ini. Kerdil di hadapan statistik. Kurus di hadapan data angka kemiskinan.
Tidak ada orang asli di Waigete. Semua adalah pendatang dari wilayah Nele, Kloangpopot, Bola, Sikka-Lela. Oleh peradaban berpindah-pindah, mereka mematok hutan, membuka ladang dan persawahan, dan makan dari sistem food gathering.


Untuk para pendatang, Waigete merupakan penemuan terbesar. Seperti surga yang hilang (The lost paradise). Untuk rata-rata kondisi geografis dan kontur tanah Sikka yang kering kemarau, Waigete (sesuai namanya, Wair: air, Gete: besar) adalah kelimpahan, kesuburan, dan kehidupan. Karena itu, gerak perpindahan translokal itu pun serentak mengalir sendiri. Tanpa harus dipaksa atau diultimatum. Tanah yang subur dan air yang berlimpah merupakan berita sejuk untuk Sikka yang kering.


Surga itu pun dibuka. Dengan cantiknya, mereka meletakkan sawah-sawah itu di dataran yang subur, menanam kelapa-kelapa di sepanjang garis pantai, buah-buahan, sayur-sayuran, dan hidup dari kelimpahan tersebut. Tidak pernah terpikirkan untuk mengambil secara serakah, atau berlebihan dari hasil yang seharusnya dipetik. Mereka hidup selaras alam. Mencintai irama harmonisasi alamnya. Pada sungai mengalir, pada kicau burung, pada ranting pohon yang mengering dan batang pohon yang patah, pada ular sawah, tikus, belalang, madu hutan, terumbu, kerang, rusa, kera, babi dan ayam hutan. Yang terpikirkan oleh mereka adalah bumi mesti tetap mengeluarkan khasiat kesuburannya, tetapi tidak dengan cara dipaksakan. Diperas. Bumi hanya bisa menurunkan hujan, mengeluarkan kesuburan, kalau manusia menuruti irama alamnya. Mencintai dengan merawat, mengambil seperlunya, dan menyimpan yang lainnya di dalam tanah, untuk hari berikutnya........bersambung

Alexander Yopi Susanto,Dilahirkan di Flores, 23 Oktober 1981. Pendidikan dasar diselesaikan di SDK 051 Waigete. Pendidikan menengah pertama dan atas dihabiskan di Seminari Sint. John. Berkhmans Todabelu Mataloko, Ngada, Flores.
Bidang spesialisasi: TI, Writing n Publishing, Advokasi Tanah, Advokasi dan Pemantau Hak Anak. Sekarang tinggal di Jakarta Selatan.

tulisan ini merupakan hak cipta penulis. Barang siapa yang ingin memperbanyak atau meng-copy tulisan-tulisan ini diharapkan mencantumkan nama penulis aslinya. Dilarang keras menjiplak tulisan tanpa mencantumkan referensi!

Wue wari punya artikel tentang niang tanah kirim ke cherovita@yahoo.co.id
Akan kami postingkan..





Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Tuesday, April 22 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---