|
Sebuah Catatan Pendakian Menuju Puncak Gunung Egon
Oleh : Lucky ReynerEditor : Oss
Hari masih pagi, mentari di ufuk timur masih malu-malu menampakan cahaya keemasannya. Kesibukan masyarakat kota mulai nampak berjalan. Jam ditangan menunjukan Pukul 05.00 WITA. Mobil yang kami tumpangi perlahan melaju mulus meninggalkan Kota Maumere menuju ke arah timur Kabupaten Sikka, tepatnya menuju Kecamatan Waigete. Di kecamatan inilah menjadi lokasi target operasi perjalanan kami, target yang tak bisa dibilang biasa karena harus menapaki puncak gunung berapi yang masih aktif dan dalam pengawasan BMG (Badan Metereologi dan Geofisika) NTT. Gunung berapi tersebut tekenal dalam bahasa masyarakat Sikka sebagai Gunung Egon dengan 1001 kisah mistik yang melatari sejarah keberadaanya.
Kali ini saya kebagian jatah sebagai pemandu bagi rekan dari Jakarta yang akan merayapi Egon. Rekan dari Jakarta ini adalah Mbak Tyty Chandra yang bagi saya merupakan salah satu senior dalam urusan pendakian gunung. Tak terbilang telah beberapa gunung di Indonesia yang pernah ditelusurinya. Hal inilah yang membangkitkan saya untuk terus bersemangat merayapi sisi Egon menuju puncaknya yang terkenal dan menakutkan.
Oya, keberadaan Mbak Tyty di Maumere tak lepas dari www.inimaumere.com. Dari web yang dimiliki oleh Oss & Boim inilah Mbak Tyty menghubungi mereka dan meminta tolong menyediakan salah satu pemandu menuju Egon. Akhirnya sayalah yang kemudian dijadikan target untuk ‘peta’ pendakian oleh mereka berdua... hehehe dasar..!
Ayo, ikuti kisah seru pendakian kami....
Kali ini saya kebagian jatah sebagai pemandu bagi rekan dari Jakarta yang akan merayapi Egon. Rekan dari Jakarta ini adalah Mbak Tyty Chandra yang bagi saya merupakan salah satu senior dalam urusan pendakian gunung. Tak terbilang telah beberapa gunung di Indonesia yang pernah ditelusurinya. Hal inilah yang membangkitkan saya untuk terus bersemangat merayapi sisi Egon menuju puncaknya yang terkenal dan menakutkan.
Oya, keberadaan Mbak Tyty di Maumere tak lepas dari www.inimaumere.com. Dari web yang dimiliki oleh Oss & Boim inilah Mbak Tyty menghubungi mereka dan meminta tolong menyediakan salah satu pemandu menuju Egon. Akhirnya sayalah yang kemudian dijadikan target untuk ‘peta’ pendakian oleh mereka berdua... hehehe dasar..!
Ayo, ikuti kisah seru pendakian kami....
Dalam perjalanan, Tyty terus berkomat kamit kayak dukun yg lagi baca mantra, menceritakan segudang pengalamannya. Kata Tyty, sebelum berkunjung ke Flores dia berusaha browsing di dunia maya 'tuk mencari tahu sepenggal informasi tentang Gunung Egon, tapi hasil pencarian tersebut tak memuaskan. Namun ini tak menyurutkan semangatnya untuk berkelana menuju Maumere. Ia lalu melakukan kontak dengan Oss, admin www.inimaumere.com. Dari sinilah benang merah itu mulai terlihat. Oss memastikan Tyty untuk berkunjung ke Maumere dan bersedia membantunya untuk mendapatkan info tentang ‘peta’ Egon semampunya.
Lanjjuuuttt...
Tak terasa lima belas menit perjalanan telah kami tempuh, sampailah kami di Desa Waigete yg jauhnya kira-kira 30 Km dari Kota Maumere. Waigete adalah Ibu Kota Kecamatan Waigete merupakan salah satu desa pensuplai berbagai macam sayuran untuk kota Maumere. Tidak heran jika memasuki Desa Waigete terhampar pemandangan kebun-kebun sayur nan hijau yang terhampar luas menyejukan mata.
Kalau diingat-ingat, setahun yg lalu saya pernah menuju Puncak Egon sendirian. Dari situlah saya melaporkan aktivitas Egon secara langsung via Stasiun Radio Sonia FM Maumere. Kejadian ini berlangsung dua hari setelah Egon memuntahkan lahar dinginnya. Inilah hal ternekat dan paling konyol yang dilakukan oleh seorang pendaki (maklum masih amatiran), yang melakukan pendakian tanpa terlebih dahulu menggali informasi tentang gunung tersebut, upppsss..untung tidak terjadi apa-apa. (hehehe tanks God n don’t try it ).
Kendaraan kami terus melaju menuju Posko Balai Pengamatan Gunung Berapi Egon yg terletak di ujung Desa Waigete. “Kita harus singgah di sana dulu untuk mencari tahu informasi terakir tentang situasi Egon” kata Tyty mengagetkan saya dari ngantuk.
Sopir pun mengarahkan mobil kearah kanan jalan cabang menuju posko. Tak lama sampailah kami di Posko Balai Pengamatan Gunung Berapi Egon yang berjarak kurang lebih 200 m. Setelah menggali informasi yang cukup dan mendapatkan masker untuk menjaga pernafasan dari debu kawah Egon, kami pun bergerak untuk bersiap-siap melakukan pendakian.
Bergerak Ke Egon
Ada dua rute menuju Puncak Egon. Rute pertama bermula dari Kampung Blidit dan rute kedua dari Posko Balai Pengamatan Gunung Berapi Egon tadi. Untuk ke Egon, kami memilih rute pertama karena merupakan jalur pendakian yang berjarak pendek, ya kurang lebih 3 km dari titik start. Sedangkan rute kedua memiliki jarak tempuh sejauh kira-kira 10 km. Nah, pilih mana Lu hehehe..
Kamipun bergegas memacu kendaraan menuju Desa Blidit karena matahari sudah mulai menanggalkan sinar orangenya.
Menuju Desa Blidit dari Waigete berjarak kira-kira 8 Km. Kondisi jalan menuju Desa Blidit dari Waigete bisa dikatakan cukup bagus. Ada sih beberapa ruas jalan yang rusak tapi tak seberapa parah. Tak berapa lama sampailah kami di titik start pendakian. Suasananya sungguh berbeda ketika setahun yang lalu saya melakukan pendakian. Jalan setapak menuju puncak Egon pun tak kelihatan lagi. Semak dan rerumputan kecil telah menutupi keberadaanya. Kelihatan sekali kalau puncak Egon jarang dikunjungi.
Saya sempat mencari-cari akses jalan tersebut untuk pendakian. Tak juga ketemu. Beruntung kami berpapasan dengan seorang anak muda asal Desa Blidit . Tanpa malu-malu saya pun menanyakan akses jalan tersebut. Dengan ramah n full senyum, si Egi (nama anak muda tersebut) bersedia menunjukan dan sekaligus mengantarkan kami menuju puncak Egon. Sikap ramah dan suka menolong yang ditunjukan Egi adalah gambaran sikap asli masyarakat yang tinggal di dusun-dusun Kabupaten Sikka. Mereka akan bersedia membantu meski baru bertemu dengan orang baru. (epan gawan golo nong Egi atau terima kasih banyak Bro Egi…..)
Tanpa menunggu waktu lagi kami langsung kencangkan tali sepatu, pikul ransel, tenteng kamera dan melangkah dengan pasti, menelusuri jalan setapak yangg kelihatan abstrak. Egi langsung mengambil posisi leader berperan sebagai guidenya kami. Tyty tidak henti-hentinya mengabadikan pemandangan yang berpapasan dengan kami mulai dari rumput, pohon, semak, batu, tanah, kayu kering dan lain-lain (terkecuali tugu monas hehehe) sementara Pak Theodorus (salah satu rombongan Tyty yang berasal dari PolHut (Sporc) BTN Kelimutu Ende) sibuk menjelaskan secara detail setiap jenis tumbuhan yang kami temui. Maklum beliau kan pegawai kehutanan hehehe..
Panas matahari sesekali terasa membakar kulit, saat sinarnya nyelonong menembus dedaunan pohon Eucalyptus yang masih kokoh berdiri meski umurnya sudah sangat tua.
Kurang lebih satu setengah jam kami melewati hutan Eucalyptus yang tumbuh secara homogen di bawah punggung puncak Egon. Keringat kami mulai bercucuran dan stamina pun mulai sedikit terganggu.
“Kita istirahat makan dulu” kata Pa' Theo sambil mengambil posisi istirahat di sebuah batu besar. Hmmmm…Tanpa ba bi bu, bekal nasi kuning disikat dengan lahapnya. (hehehe..ketahuan belum sarapan nih). Setelah berisitirahat sejenak, kami pun kembali melanjutkan pendakian. Tak berapa lama sampailah kami di ujung hutan.
|
|
Di depan kami terlihat Puncak Egon yang anggun dan sombong, berdiri tegar menantang kami yang kerdil, menantang setiap niat yang ingin menghancurkannya.
Jarak antara ujung hutan dan puncak Egon kurang lebih 1 km. Tak ada lagi satu pohon pun yang terlihat tumbuh disini. Yang ada hanyalah tumbuhan khas puncak pegunungan seperti, edelweiss (anaphalis sp), santinggi gunung (istilah orang sini sih atau nama latinnya Vaccinium Varingiaefolium ) dan lain-lain. Juga bongkahan batu-batu besar yang rapuh membentuk puncak-puncak kecil dan siap jatuh jika terjadi longsor sewaktu-waktu.
Medan yang akan kami tempuh semakin terjal dengan kemiringan 60 derajad, cukup menantang adrenalin. Jalan setapak semakin tidak ada bekasnya lagi. Kami hanya mengandalkan tumpukan batu kecil yang disusun ala kadarnya. Tumpukan batu ini disusun oleh masyarakat sekitar dan digunakan sebagai tanda untuk jalur yang pernah dilewati sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan pengambilan belerang di sekitar kawah. Mmmhhhh...
Lanjuttt....
Kabut tebal mulai menutupi padangan. Aroma belerang mulai terasa menyengat. Persediaan air mineral di botol semakin menipis. Kurang lebih 300 m dari puncak kami mulai mendaki dengan merangkak penuh hati-hati karena medannya semakin terjal. Lagi pula karakter tanahnya agak rapuh, bebatuan kecil pun mudah terlepas dan terperosot. Egi sang guide yang sangat menguasai medan tiba-tiba melesat dalam kabut tebal hingga meninggalkan kami. Aahhhhhh maunya berteriak agar ia jangan pergi, takut juga jangan sampai kami salah arah dalam pendakian hehehe..
Akhirnya sampailah kami di punggung Gunung Egon. Kami langsung beristirahat tuk memulihkan kembali stamina yang terkuras selama pendakian tadi, semua ini berhubungan dengan rencana pendakian menuju bibir kawah yang tinggal 100 m lagi. Kabut tebal sesekali ditiup angin membuka cakrawala di depan mata kami.
“Buseeet… ternyata kita lagi terkurung jurang yang dalam bangeeet…..” teriak Tyty dengan dialek Jakarta-nya tanpa menunjukan ekspresi takut sedikitpun diwajahnya. (koq ga mecing ya… dasar pendaki senior).
Sementara dari tadi Egi sibuk mondar mandir mengamati jalur yang akan kami tempuh ke bibir kawah. Dengan muka melas tanpa dosa Egi menyampaikan kalau jalur ke bibir kawah sudah putus akibat longsor. Semangat petualang kami tidak kendor dengan pernyataan Egi. Saya pun merangkak perlahan menuju tempatnya Egi bertengger. Ternyata benar jalannya sudah putus.
“Tapi masih ada sedikit pijakan untuk kesana kalau mau nekat,” teriak saya mengajak 'tuk menantang medan ekstrim tersebut. Tapi tak satupun yang menjawab ajakan saya. Tyty yg berpengelaman dalam dunia pendakian langsung meredam semangat saya.
“Kita ga bawa peralatan lucky….jangan ambil resiko ya” teriak Tyty sambil terus mengabadikan moment-moment di tempat tesebut. Yap, jangan ambil resiko, dengan demikian kecelakaan bisa diminimalisir hehehe.
Kabut tebal terus menghalangi pengambilan gambar. Jarak pandang hanya 5-7 m sehingga menanti moment puncak Egon dihiasi langit biru sangatlah langka. Sesekali kami langsung berebutan tuk mengabadikanya jika langit biru menampakan wajahnya pada kami.
“Asyiiik akhirnya dapat juga langit biru…” teriak Tyty kegirangan.
Sudah sejam kami menikmati panorama dipunggung Gunung Egon dan akhirnya kami segera memutuskan untuk turun.
Hari telah beranjak sore.
Egon memang terlihat gagah. Tidak ada bunyi gemuruh. Nampak tenang agung dengan keindahan sekilas di puncaknya. Pemandangannya sangat indah dan mempesona setiap pengunjungnya
Kalau punya kesempatan merangsek ke dalam, pada isi perut di kaki pegunungan itu, akan ditemukan aneka kekayaan dan keindahannya. Beberapa jenis burung Kakatua, Nuri, Beo dengan pernah pernik warnanya, sekawanan rusa bertanduk empat, babi hutan, ayam hutan, kera, bahkan kelinci dan hewan-hewan lainnya.
Tersirat ketidakpuasan di masing-masing wajah kami karena tidak berhasil mancapai bibir kawah. Tapi setidaknya, kami sudah mengantongi sedikit informasi tetang Gunung Egon, yang selama ini berdiri megah menghiasi Kabupaten Sikka dengan minimnya informasi akan kemegahannya itu sendiri. ..
|
|
|
Info:
Bersama Gunung Rokatenda, Gunung Egon adalah gunung berapi yang terdapat di Kabupaten Sikka, Pulau Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Gunung ini memiliki tinggi 1.703 meter dari permukaan laut. Egon kembali aktif pada 2006 setelah vakum selama 75 tahun. Egon tercatat meletus dahsyat pada 1925.
Cerita rakyat atau artikel mengenai Gunung Egon bisa dibaca secara bersambung disini...(1) atau disini...(2)
ATAU
Cerita Rakyat tentang Sejarah Gunung Egon bisa di baca disini.
Oss
www.inimaumere.com