Kabupaten Sikka mempunyai sejarah yang khas dengan sarat pergolakan. Seperti daerah lainnya, bumi air Sikka juga diruangi makhluk yang lahir dari perut buana, yang datang dari seberang lautan atau jelmaan dari jenis-jenis tumbuhan atau binatang tertentu. Dalam zaman sejarah, Sikka juga tak lepas dari bangsa-bangsa dari seberang. Namun yang khas ialah saat Portugis meningkalkan jejak dalam pengelolaan kekuasaan dan kebudayaan. Kenyataan mana kemudian jadi fondasi Kabupaten Sikka yang dikenal sekarang, lahir dan berkembang melalui pergolakan demi pergolakan.
Sebelum Portugis, Belanda, dan Jepang, Sikka sudah mempunyai sistem pemerintahan lokal. Pada masa kekuasaan Mbengu-Paga (dua nama pemimpin awal) sudah dikenal sistem pemerintahan yang disebut Ria Bewa Resi Langga dengan baitannya: Ria sai ae meti, Bewa sai watu dusu.
Secara bebas dapat diartikan sebagai "Yang besar dan berkuasa sejak tanah dan batu ada di perut bumi".
Mbengu di Mbengu bertugas menangani urusan dalam. Sedangkan adiknya, Paga, turun di Puu Boro (yang kemudian diubah jadi Paga) untuk urusan-urusan ke luar menghadapi para pendatang. Kehadiran orang Portugis yakni de Hornay dan da Costa semakin memberi arah kehidupan masyarakat Paga-Mbengu (Mbengu-Paga) dalam hal keagamaan dan pemerintahan. De Hornay kemudian ke Larantuka (tak jelas apakah setelah sampai di Paga, atau di Sikka baru ke Larantuka atau memang langsung dari Lifao (Oekusi, sebuah enklaf di Timor Barat sekarang, dulunya wilayah Portugis dan kini menjadi bagian Timor Leste) ke Larantuka. Sementara da Costa terus ke Sikka dan Paga.
De Hornay (de Ornay) kemudian dikenal sebagai sebuah klan di Larantuka hingga sekarang, sementara da Costa terus berketurunan di Paga, seperti D. Juang da Costa.
Da Costa tercatat penyebar agama (Katolik) juga adalah penguasa utusan Portugis. Karena mampu memberantas para penjahat yang sebelumnya sangat menakutkan masyarakat Paga-Mbengu, maka da Costa digelari "Raja Muda dari Paga".
Di Paga, da Costa dikenal juga dengan sebutan Ratu Raja. Beliau bertugas sebagai penguasa pelabuhan (selain sebagai guru agama) sepanjang Paga dan Kaliwajo. Dan turunan inilah kemudian dikenal Kolombeke serta Lakorai da Costa serta keluarganya yang masih berkembang sampai kini.
Sistem pemerintahan semakin menajam ketika tahun 1860, Raja Sikka, Thomas Mbo da Silva melantik Kolombeke da Costa sebagai Commandanti di Paga untuk seluruh wilayah perbatasan di sebelah Barat.
Di Sikka, menurut tradisi lisan/oral history berbentuk sastera lisan, Naruk Kleteng Latar-Naruk Du'a Mo'an(g) dan Blake Hara, bahwa Sikka purba dibangun Ata Teri Niang Era Tana -yang artinya "Bapak Pengasal Tanah" yang disebut juga Ata Bekor atau Ata Tawa Tana- bernama Mo'ang Ria, Mo'ang Ragha, dan Mo'ang Guneng (Guniang). Selain Ata Bekor terdapat juga Mo'ang RaE Raja dan isterinya Du'a Rubang Sina dari Buang Gala Wawa (Benggala/Bangladesh).
Keturunan dan pasangan purba inilah yang kemudian jadi peletak dasar Kerajaan Sikka. Tiga tokoh utama yang dikenal sebagai peletak dasar kerajaan itu ialah Bata Mo'ang Jatti Jawa, Mo'ang La'i Igor, dan Mo'ang Bagha Ngang. Namun tiga tokoh ini belum memakai gelar raja, tapi dengan sapaan kebesaran Mo'ang Ina Gete Ama Gahar.
Raja Sikka yang memakai gelar raja secara resmi ialah Mo'ang Alessu dengan gelar Raja Mo'ang Ratu Don Alexius Alessu Ximenes da Silva. Gelar ini diperolehnya setelah mengadakan perjalanan kontroversial "mencari dunia tanpa kematian" atau niang loguk ganu ular, Lana kokah ganu ko'at ke Tana Bara, Malaka, di tahun 1607 (sesuai dengan angka yang tertera di mahkota kerajaan).
Namun jauh sebelumnya, Sikka sudah mempunyai sistem pemerintahan lokal di masa Mo'ang Baga Ngang dengan lembaga yang dikenal sebagai Mo'ang puluh (10 kelompok). Ini adalah upaya mengembangkan kekuasaan yang telah ditanamkan Mo'ang Bata Jawa yang dikenal dengan sebutan kebesaran Ina Gete Ama Gahar. Kekuasaan mana yang dibaitkan secara sakral sebagai: Ratu egong natakoli, Mole kelii samba, Ulu kowe Jawa, Eko leka Lambo.
Ulu ata mae gete, eko ata mae sete. Kekuatan serta kekuasaan yang semakin ditata Mo'ang Alessu sekembali dari Malaka dengan gelar Raja Mo'ang Ratu Don Alexius Alessu Ximenes da Silva..
Catatan krusial mengenai Raja Mo'ang Ratu Don Alexius Ximenes da Silva ialah bahwa tokoh inilah yang meletakkan dasar pemerintahan secara permanen sekaligus sebagai yang pertama membangun bumi Sikka sebagai "Bumi Katolik" seperti dikenal sampai sekarang. "Agama Raja adalah agama rakyat" yang dilakukan Portugis -berdasar hak patronus dari Paus- ke seluruh dunia, dilakukan dengan sangat berhasil oleh Raja Alessu di Sikka.
Sebagai seorang pemimpin, Don Alessu berusaha menata pemerintahannya. Setelah bermusyawarah dengan para Mo'ang puluh, Don Alessu membentuk Dewan Kapitan sebagai Menteri Kerajaan. Para Kapitan sebagai dewan pendamping raja, mendukung sang raja dalam beberapa hal prinsipil. Sedang para Mo'ang puluh tetap sebagai dewan pleno dan penguasa hoak-hewernya. Selain itu masih ada posisi para tua adat yang bergelar mangung lajar sebagai pendukung wilayahnya.
Sedangkan di Paga, kedatangan de Hornay dan da Costa sekitar abad ke-17 dari Lifao, Oekusi (Timor Timur) juga mendapatkan masyarakat Mbengu-Paga yang sudah mempunyai sistem pemerintahan lokal. Secara khusus, menurut Edmundus Pareira yang mengutip D.D. Kondi, Paga juga mengenal sistem wisu one (seperti wisung wangang di Sikka). Wisu one adalah Wisu Penditi, Wisu Pewaga, Wisu Soko, Wisu Boe, Wisu One, dan Wisu Kendaru.
Menurut para tokoh adat dan tokoh masyarakat di Paga, wisu one itulah yang sangat berperan dalam hidup dan kehidupan.Terutama dalam gelar berbagai ritus khususnya yang dicatat sebagai warisan Portugis.
Sistem pemerintahan lokal itu berjalan sampai masuknya Pemerintahan Belanda di awal Abad XVII. Dalam perkembangannya, Portugis dan Belanda begitu menyejarah dan mengotak-kotakkan Hindia Timur umumnya dan khususnya di Flores. Puncaknya pada tahun 1859, hak serta kekuasaan Portugis atas Hindia Timur dialihkan seluruhnya ke tangan Belanda. Namun baru pada 10 Juni 1893, diadakan Perjanjian Lisabon dengan ketetapan bahwa Portugis hanya dapat bertahan di wilayah Timor Dili, selebihnya jatuh ke tangan Belanda, termasuk Sikka.
Dengan demikian dapat dicatat, Sikka sejak dahulu kala sudah memiliki sistem pemerintahan lokal yang karakteristik. Sistem pemerintahan yang begitu membumi yang pada sisi tersendiri bahkan mengilhami Sikka di abad XX menuju abad XXI sekarang. Sistem pemerintahan mana sangat diwarnai percaturan politik antara Portugis dan Belanda. Bahkan Pemerintahan Belanda yang dengan sistem devide et impera-nya memecah-belah Sikka jadi tiga kerajaan.
Pada tanggal 8 Desember 1902 Pemerintah Kolonial Belanda, Residen Timor di Kupang bersama Controleur Timur dan Gezaghebber Larantuka datang ke Maumere dan terus ke Waipare melantik raja baru yang pertama untuk Kerajaan Kangae yaitu Raja Mo'ang Nai Juje. Peristiwa serupa juga dilakukan Pemerintah Belanda sebelumnya ialah pengangkatan Fransiscus Mo'ang Digung da Silva sebagai raja pertama Kerajaan Nita pada tanggal 12 September 1885.
Demikian dinamika Sikka dengan kerajaan-kerajaan utama:
Sikka(1507-1945); Nita (12 September 1885-14 November 1925); dan Kerajaan Kangae yang dibentuk paling belakang (9 Desember 1902-14 November 1925).
Daerah-daerah bekas kerajaan itu, oleh UU No.69/1958, kemudian berkembang jadi Daerah Swatantra Tingkat II Sikka (Daswati II Sikka) yang kemudian berkembang jadi Kabupaten Sikka. Proses juridis secara global.
Dalam tahun 1950 Negara Indonesia Timur (NIT) dibubarkan dan dilebur dalam Negara Kesatuan RI, sehingga Flores bergabung dengan/dalam Propinsi Sunda Kecil yang sejak 1954 menjadi Propinsi Nusa Tenggara.
Pada 1958 Propinsi Nusa Tenggara dimekarkan menjadi tiga propinsi, dan Pulau Flores termasuk dalam Pemerintahan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemudian pada tahun 1960 sistem pemerintahan Swapraja berubah menjadi daerah otonom Kabupaten Daerah Tingkat II, maka wilayah ini menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Sikka.
Sumber ; Buku Pelangi Sikka
www.inimaumere.com