Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Thursday 2 December 2010

Alfonsa Horeng, Konsisten Kenalkan Tenun Ikat Sikka dan Flores ke Dunia

Ingin Bangun Sekolah Tekstil dan Museum
Di saat wanita seusianya sibuk terbawa arus modernisasi, Alfonsa Ragha ­Horeng, gadis asal Nita, Kabupaten Sikka, justru memilih jalur berbeda. Dengan kegigihannya, wanita kelahiran 1 Agustus 1974 ini konsisten melestarikan kain tenun ikat asal Flores, kampung halamannya. Ratusan wanita perajin tenun ikat, sukses di bawah binaannya. Hasil jerih payahnya pun kini sudah tersiar hingga ke mancanegara. Berikut petikan wawancara Yetta Anggelina dari Tabloid Nova dengan Alfonsa Horeng.

Sejak kapan Anda mulai aktif mendalami kain tenun ikat?

Di kampung saya, menenun sudah menjadi kegiatan sehari-hari dan dilakukan turun-temurun. Ibu, tante, nenek, tetangga, bahkan semua wanita di Flores dan NTT sudah terbiasa menenun sejak kecil.

Saya mulai bisa menenun sejak SMP. Tapi, itupun hanya mengerjakan per bagian saja. Soalnya, untuk anak dan remaja, memang hanya diperbolehkan mengerjakan bagian-bagian tertentu saja.

Mengerjakan tenun ikat tidak sekaligus seperti kain lainnya. Mengerjakannya harus bagian per bagian. Tapi, saya baru benar-benar terjun aktif melestarikan tenun ikat sejak Oktober 2003.

Bagaimana ceritanya?

Setelah tamat kuliah dari Universitas Widya Mandala Surabaya pada 1998, saya sempat bekerja di Surabaya. Tapi, saya merasa terikat dan jadi tergantung sekali kepada kantor orang.

Saya seperti bekerja untuk membesarkan kantor orang, sementara di kampung, saya punya tanah sendiri, dengan sumber daya alam dan manusia yang luar biasa.

Saya ingin sekali bekerja di lahan sendiri. Dengan begitu, saya bisa menyediakan waktu dan diri saya untuk membantu orang lain. Disamping itu, saya juga senang.

Kalau di perusahaan, saya yang “kecil”. Tapi di sini, saya jadi orang “besar” di tengah orang-orang “kecil”. Akhirnya saya putuskan untuk kembali ke kampung.

Lantas, apa yang kemudian Anda lakukan?

Saya berinisiatif mengumpulkan ibu-ibu di kampung saya untuk mulai menenun. Kebetulan ada tanah dan lahan kosong. Saya minta ibu-ibu memanfaatkan bambu, alang-alang dan kelapa untuk membuat rumah tenun. Daripada hanya mencari kutu dan menganggur, saya memotivasi mereka.

Jujur, awalnya ini hanya proyek iseng. Tapi, mereka ternyata serius bekerja. Padahal, mengerjakan tenun itu, kan, berat. Prosesnya panjang, rumit, dan butuh ketelitian tinggi. Melihat keseriusan mereka, saya tergerak untuk ikut serius. Akhrinya saya giat mencari informasi ke pemerintah dan dinas-dinas terkait, sampai akhirnya mereka memberi bantuan sehingga saya jadi lebih fokus.

(Alfonsa memrakarsai berdirinya Sentra Industri Lokal Lepo Lorun (STILL) sejak Oktober 2003).

Siapa saja yang menjadi anggota binaan Anda?

Sekarang, kelompok binaan saya sudah tersebar di 12 desa di seluruh Pulau Flores dan Pulau Palue. Setiap kelompok rata-rata beranggotakan 21 orang. Jadi total sekitar 252 orang anggota. Sampai tahun 2009 lalu, kami sudah berhasil memproduksi sekitar 900 helai kain tenun ikat Flores. Tidak cukup banyak, karena memang prosesnya rumit sekali.

Prosesnya saja harus melalui 18 tahapan. Mulai dari kapas dipintal jadi benang, lalu jadi kain, sebelum jadi kain diikat dulu, diberi warna, diurai satu per satu, di-frame, sampai beberapa macam frame tenun.

Rata-rata untuk satu lembar kain, yang asli dari bahan pintal dan pewarna alam kurang lebih dikerjakan selama 9 bulan. Itu yang standar. Harganya pun jauh lebih tinggi. Minimal Rp2,5 juta sampai tidak terbatas. Yang harganya Rp 25 juta pun ada.

Anda, kan, lulusan Teknologi Pertanian. Lalu, bagaimana cara mengembangkan kemampuan anggota binaan Anda?

Saya hobi sekali mencampur-campurkan warna. Saya juga sempat memperdalam pengetahuan dengan mengikuti pelatihan tekstil di Yogyakarta. Saya belajar memadukan warna dengan menggunakan pewarna praktis.

Nah, ilmu itulah yang saya bagikan ke ibu-ibu kelompok. Setelah dibuat dan diramu, ternyata hasilnya, milik kami lebih unggul.

Bagaimana dengan motif?

Saya ingin mengarahkan mereka untuk kembali ke alam, dari bahan dasar sampai pewarnaan. Selama ini, kan, tahunya beli bahan dan benang di toko. Membuatnya juga tidak benar-benar menggunakan formula yang tepat untuk kain tenun.

Bukannya memodifikasi dengan model baru, tapi kami menggali ke dalam tanah. Ibaratnya, semakin digali, kan, umbi semakin berisi. Saya putuskan untuk kembali ke motif zaman kuno. Cari informasi ke museum, ke orang-orang tua zaman dulu, ke nenek untuk mencari motif kuno dan asli sebagai master produk.

Untuk apa menciptakan modifikasi, kalau yang tua tidak kalah banyak dan tak kalah cantiknya. Di Flores, ciri khas tiap desa memang bisa dilihat dari kainnya. Beda desa, beda pula motif kainnya. Orang dari kampung seberang, mungkin bisa tidak kenal, tapi dari kainnya, kami bisa tahu dia dari desa mana. Itulah indahnya.

Tidak takut, motif “kuno” tidak bisa bersaing dengan motif yang lebih modern?

Kami harus melawan dan berperang menghadapi arus modernisasi. Saat ini kami sedang dalam tahap merintis kembali dan hasilnya belum maksimal. Kami harus terus menggali lebih dalam, agar tidak terpengaruh modernisasi. Itu lebih sulit daripada sekadar ikut arus.

Modernisasi, tanpa harus diikuti sudah otomatis memengaruhi. Tapi, ketika harus menggali ke nilai-nilai terdahulu, butuh waktu lama. Semoga kami bisa. Semua butuh kesabaran tinggi. Kami hanya ingin budaya tetap terjaga.

Bagaimana, kok , Anda dan tenun Flores sampai bisa berjaya di mancanegara?

Sejak awal, kami sudah mencari jalan untuk menembus pasar luar negeri. Semuanya berawal dari pameran. Pameran pertama kami di tahun 2004, di kawasan Kemayoran, Jakarta. Dari sana, mulai banyak yang melirik. Saya pun aktif mencari informasi dari internet.

Suatu kali di tahun 2008, saya dikunjungi Ibu Mutia Hatta, lalu ditawari beasiswa AuSAID dari pemerintah Australia dalam program Australian Leadership Award, bidang studi Gender, Good Governance and Leadership di Adelaide. Saya terima dan berangkat ke sana. Di sana, kesempatan untuk memperkenalkan produk kain Flores makin luas.

Saya harus jeli mencari pasar. Saya pun rajin mengadakan presentasi di sekolah-sekolah dan kampus, mengajar di National Gallery, di Heritage Culture Group, di Art School, sampai di kumpulan ibu-ibu. Semua untuk memperkenalkan tenun ikat Flores ke dunia. Sejak itu pula saya rutin mengikuti pameran di Swiss, Belanda, Jerman, dan banyak negara lain.
Pernah menemui kendala?

Saya suka kewalahan mengurus kelompok-kelompok yang makin bertumbuh. Tapi, apa daya, saya belum mampu menggaji orang untuk membantu saya. Kami juga belum memiliki Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), yang seharusnya berfungsi mempercepat proses pengerjaan.

Soal hak paten juga jadi masalah. Makanya, sekarang saya dan teman-teman lain sedang memperjuangkan hak paten secara folklore , untuk tenun NTT, di bawah perlindungan pemerintah. Semoga tahun depan sudah bisa, agar tak kalah dari batik.

Hasil karya kelompok Anda bisa diperoleh di mana?

Di Jakarta, produk kami sudah ada di rancangan banyak desainer ternama seperti Stephanus Hamy, Oscar Lawalata, Ghea, dan Samuel Wattimena. Kini, kami malah kewalahan meladeni antusiasme ibu-ibu di Flores untuk bergabung dengan STILL.

Syukur, kini kami sudah mulai menambah inventaris seperti mesin jahit yang tadinya hanya ada 8, kini sudah ada 33. Semua dari hasil penjualan kain tenun.

Saat ini kami malah sudah mulai memperluas usaha ke bidang souvenir . Jadi, tak hanya terpaku pada kain saja.

Anda sibuk mengurusi kelompok, ikut berbagai pameran dan presentasi di luar negeri. Bagaimana dengan rencana pribadi? Menikah, misalnya?

Menikah, sih , belum terpikir. Kalau dapat jodoh yang baik, ya oke. Tapi, kalau dapat jodoh yang bisa mengacaukan aktivitas, susah juga, ya? Ha ha ha. Jodoh, kan, persoalan yang tak bisa dibeli. Itu urusan hati. Biar jadi urusan Tuhan saja, biar Dia yang menentukan.

Apa rencana besar Anda selanjutnya?

Tetap berusaha memperkenalkan kain tenun ikat Flores ke seluruh dunia. Suatu saat saya juga ingin bikin buku, membangun sekolah tekstil, hingga museum. Semua masih dalam proses. Semoga nanti cepat tercapai.(Yetta Angelina)


Alfonsa Horeng di saat berkeliling Eropa dan foto bersama Ibu-Ibu STILL, Nita


Selengkapnya tentang Alfonsa Horeng dan STILL (Sentra Industri Lokal Lepo Lorun) bisa baca di www.alfonsadeflores.com atau Klik disini

www.inimaumere.com

Selengkapnya...

 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Thursday, December 02 | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---