Maumere adalah Ibukota Kabupaten Sikka, terletak di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kota Maumere berada di pesisir Pantai Utara(Pantura)Flores dengan Bandara Frans Seda serta Pelabuhan Laut L.Say sebagai pintu gerbangnya. Lewat inimaumere.com Anda bisa menjelajahi Kabupaten kecil ini, epang gawan (terima kasih) telah berkunjung... Kontak Kami
Kisah spiritual Moang Alessu mencari hidup yang kekal untuk rakyatnya....
Baga Igor mempunyai turunan Mo'ang Keu, Kurang, dan Lesu ( (Alessu). Keu dan isterinya Du'a Plue asal Wolomotang. Kurang dan Lesu dari Du'a Hengar, Lifao atau Oekusi di Timor Timur. Kurang dalam perkembangannya mengenakan gelar da Cunha menurut pihak ibu, karena takut akan gelar bapak yang sering meningga1.
Dari keturunan Moang Baga Igor, Lesu atau Alessu tampil secara menonjol. Alessu dikenal berani menghadap tantangan. Seorang pemimpin yang senantiasa gelisah, seperti para filsuf yang selalu bertanya-tanya, mencari sesuatu yang baru. Dia juga tergolong progresif, menggandrungi terobosan-terobosan.
Suatu masa sekitar akhir abad 16, bencana besar melanda Sikka dan sekitarnya. Kematian demi kematian sangat meresahkan, menggelisahkan, dan menakutkan. Wabah penyakit mengganas, tetapi tak diketahui wabah apa itu. Obat-obatan yang tepat belum ada. Anak negeri hanya mengenal obat-obatan tradisional atau hanya menggantungkan kepercayaan kepada setan dan suanggi. Hampir setiap hari banyak jiwa melayang diantar kekubur.
Mo'ang Alessu begitu cemas dan prihatin. Mo'ang Alessu kalut. Dan dalam kekalutan itulah Mo'ang Alesu mencari-cari, bertanya dan terus bertanya: "Adakah suatu tempat di bumi ini yang tak pernah mengalami kematian, di mana manusia hanya hidup,abadi?"
Pertanyaan itu begitu mengguncang diri Mo'ang Alessu terutama bila mendengar ada kematian yang menimpa rakyatnya. Gelisah, resah. Nasi dimakan terasa sekam, air diminum serasa duri. Mo'ang Alessu ingin lari meninggalkan tempat tinggal dan tanah airnya mencari "tanah hidup" yang sangat didambakannya.
Suatu hari berjalanlah Mo'ang Alessu ke pantai utara, Sikka Utara yang dewasa ini dikenal sebagai Maumere. Saat itu di Maumere pelabuhan ada di kawasan Waidoko, ke sanalah Alessu menuju. Banyak perahu dagang berlabuh di Waidoko termasuk yang memuat para musafir dari Malaka.
Mo'ang Alessu begitu tergerak untuk berkenalan dengan para musafir itu. Ternyata Mo'ang Alessu tak menemui kesulitan untuk membangun pergaulan dengan para musafir dari Malaka itu. Salah seorang musafir menyapa dan memperkenalkan dirinya sebagai yang bemama Dzogo Worilla seorang Portugis Malaka.
Mo'ang Alessu juga memperkenalkan dirinya, dan mengungkapkan kegelisahan dalam dirinya. Mo'ang Alessu bertanya,
"Mengapa tuan-tuan hidup mewah begini? Apakah di tanah air tuan-tuan tak ada orang yang dapat mati?Adakah yang hidup selama-lamanya?Apabila demikian, baiklah kami pun tuan bawa untuk hidup bersama-sama, demi mengenyam kebahagiaan itu."
Mendengar pertanyaan Mo'ang Alessu, Dzogo Worilla hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Worilla hanya memberikan pengharapan yang abstrak. "Apabila saudara ingin mencari tempat Jaya, marilah berlayar bersama ke luar daerah ini, dari pulau ke pulau, dari negara ke negara. Di sanalah kita akan melihat, apa artinya hidup. Bila tiba di negara kami, kelak kami akan memperlihatkan kebahagiaan itu".
Mo'ang Alessu menerima tawaran Worilla. Untuk itu dia mohon diri kembali ke Sikka untuk mempersiapkan keperluan dalam pelayaran. Dalam tempo beberapa hari, Mo'ang Alessu sudah mengumpulkan 70 gumpalan emas serta ambar harum (ambar menik yaitu sejenis harum-haruman yang diperoleh dan usus paus penemuan leluhurnya. Ambar itu sangat mahal harganya).
Pada hari yang ditentukan untuk berlayar, Alessu datang ke Waidoko. Singkat cerita, Alessu berlayar bersama Worilla ke Tana Bara, Malaka. Di setiap pulau yang disinggahi, di setiap pelabuhan yang dilabuhi, Alessu senantiasa bertanya tentang kematian dan kehidupan, tentang kesusahan dan kesenangan. Jawaban yang diterima Alessu hanyalah, "Tanah ini adalah tanah mati. Semua orang akan mati".
Dengan berkat Tuhan, Alessu akhirnya tiba di Malaka bersama Worilla. Malaka adalah daerah jajahan Portugis. Dzogo Worilla kemudian melapor perjalanannya kepada Raja Worilla yang adalah ayahnya. Alessu baru sadar bahwa ternyata Dzogo Worilla adalah keluarga kerajaan. Dzogo Worilla secara khusus menceritakan maksud Alessu yang dalam perkenalannya mengaku sebagai raja atas 300 buah kampung.
Mendengar masalah yang mengganggu hati Mo'ang Alessu, Baginda Raja Worilla tertawa, lalu menghiburnya. "Kami di sinipun tak pernah luput dari kematian. Di mana saja ada kematian. Apabila kita ingin hidup selamanya, baiklah pergi ke surga. Di sanalah tempat hidup abadi, dan tak pemah akan mati. Maka untuk mencapai hidup abadi di surga, kita hams mencari jalan ke surga, dengan belajar agama, dan dipermandikan lalu menjadi Kristen, serta hidup baik menurut Hukum Tuhan".
Mendengar petuah Baginda Raja Worilla, Alessu manggut-manggut. Alessu ingin jadi Kristen dengan belajar agama Katolik.
Alessu menerima pembinaan agama Nasrani (Katolik) mungkin setahun. Alessu mempelajari doa serta nyanyian dengan bahasa Portugis. Di samping itu, Alessu juga belajar tentang kepemimpinan dan kebudayaan Portugis. Setelah cukup mendapat pembinaan,Alessu dipermandikan dengan nama Don Alexius Ximenes da Silva. Sebelumnya, Alessu memberikan persembahan kepada baginda raja berupa harta yang dibawanya.
Pada hari itu juga baginda raja melantik Don Alessu sebagai raja resmi Kerajaan Sikka yang takluk pada Portugis dengan gelar Don Alexius Alessu Ximenes da Silva. Alessu dipermandikan dan dilantik sebagai Raja Sikka dan diamanatkan untuk membantu menyebarkan agama Nasrani dalam Kerajaan Sikka.
Untuk itu seorang guru agama ditugaskan untuk mendampingi Alessu. Guru Agama itu bernama Augustinho Rosario da Gama. Alessu sangat berbangga dengan pelantikannya oleh Baginda Raja Worilla yang berbunyi:
"Viva Altissimo Senhor Don Alexius Ximenes da Silva elry, aqual seya boasaudi. Elquam Deos nossa senhor de longa vida permanessa. Elry de regno da Sikka, de blaixo de Lisboa."
Menurut terjemahan D.D. Kondi dan A. BoEr yang kemudian dipetik dan dicatat P. Piet Petu SVD dan Edmundus Pareira kata pelantikan itu bermakna,
"Hiduplah Baginda yang mulia Raja Don Alexius Ximenes da Silva, memerintah kerajaan dengan selamat. Semoga dilanjutkan Tuhan usiamu, tetap memerintah Kerajaan Sikka, takluk ke bawah Baginda dan Ratu di Lisboa".
Setelah pelantikan, Don Alessu dan Augustinho da Gama berkemas untuk kembali ke Sikka. Hatinya lega karena telah mendapat jawaban yang agak jelas mengenai kehidupan kekal.
Referensi Buku : Pelangi Sikka; B.Michael Beding - Indah Lestari Beding
Baga Igor mempunyai turunan Mo'ang Keu, Kurang, dan Lesu ( (Alessu). Keu dan isterinya Du'a Plue asal Wolomotang. Kurang dan Lesu dari Du'a Hengar, Lifao atau Oekusi di Timor Timur. Kurang dalam perkembangannya mengenakan gelar da Cunha menurut pihak ibu, karena takut akan gelar bapak yang sering meningga1.
Dari keturunan Moang Baga Igor, Lesu atau Alessu tampil secara menonjol. Alessu dikenal berani menghadap tantangan. Seorang pemimpin yang senantiasa gelisah, seperti para filsuf yang selalu bertanya-tanya, mencari sesuatu yang baru. Dia juga tergolong progresif, menggandrungi terobosan-terobosan.
Suatu masa sekitar akhir abad 16, bencana besar melanda Sikka dan sekitarnya. Kematian demi kematian sangat meresahkan, menggelisahkan, dan menakutkan. Wabah penyakit mengganas, tetapi tak diketahui wabah apa itu. Obat-obatan yang tepat belum ada. Anak negeri hanya mengenal obat-obatan tradisional atau hanya menggantungkan kepercayaan kepada setan dan suanggi. Hampir setiap hari banyak jiwa melayang diantar kekubur.
Mo'ang Alessu begitu cemas dan prihatin. Mo'ang Alessu kalut. Dan dalam kekalutan itulah Mo'ang Alesu mencari-cari, bertanya dan terus bertanya: "Adakah suatu tempat di bumi ini yang tak pernah mengalami kematian, di mana manusia hanya hidup,abadi?"
Pertanyaan itu begitu mengguncang diri Mo'ang Alessu terutama bila mendengar ada kematian yang menimpa rakyatnya. Gelisah, resah. Nasi dimakan terasa sekam, air diminum serasa duri. Mo'ang Alessu ingin lari meninggalkan tempat tinggal dan tanah airnya mencari "tanah hidup" yang sangat didambakannya.
Suatu hari berjalanlah Mo'ang Alessu ke pantai utara, Sikka Utara yang dewasa ini dikenal sebagai Maumere. Saat itu di Maumere pelabuhan ada di kawasan Waidoko, ke sanalah Alessu menuju. Banyak perahu dagang berlabuh di Waidoko termasuk yang memuat para musafir dari Malaka.
Mo'ang Alessu begitu tergerak untuk berkenalan dengan para musafir itu. Ternyata Mo'ang Alessu tak menemui kesulitan untuk membangun pergaulan dengan para musafir dari Malaka itu. Salah seorang musafir menyapa dan memperkenalkan dirinya sebagai yang bemama Dzogo Worilla seorang Portugis Malaka.
Mo'ang Alessu juga memperkenalkan dirinya, dan mengungkapkan kegelisahan dalam dirinya. Mo'ang Alessu bertanya,
"Mengapa tuan-tuan hidup mewah begini? Apakah di tanah air tuan-tuan tak ada orang yang dapat mati?Adakah yang hidup selama-lamanya?Apabila demikian, baiklah kami pun tuan bawa untuk hidup bersama-sama, demi mengenyam kebahagiaan itu."
Mendengar pertanyaan Mo'ang Alessu, Dzogo Worilla hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Worilla hanya memberikan pengharapan yang abstrak. "Apabila saudara ingin mencari tempat Jaya, marilah berlayar bersama ke luar daerah ini, dari pulau ke pulau, dari negara ke negara. Di sanalah kita akan melihat, apa artinya hidup. Bila tiba di negara kami, kelak kami akan memperlihatkan kebahagiaan itu".
Mo'ang Alessu menerima tawaran Worilla. Untuk itu dia mohon diri kembali ke Sikka untuk mempersiapkan keperluan dalam pelayaran. Dalam tempo beberapa hari, Mo'ang Alessu sudah mengumpulkan 70 gumpalan emas serta ambar harum (ambar menik yaitu sejenis harum-haruman yang diperoleh dan usus paus penemuan leluhurnya. Ambar itu sangat mahal harganya).
Pada hari yang ditentukan untuk berlayar, Alessu datang ke Waidoko. Singkat cerita, Alessu berlayar bersama Worilla ke Tana Bara, Malaka. Di setiap pulau yang disinggahi, di setiap pelabuhan yang dilabuhi, Alessu senantiasa bertanya tentang kematian dan kehidupan, tentang kesusahan dan kesenangan. Jawaban yang diterima Alessu hanyalah, "Tanah ini adalah tanah mati. Semua orang akan mati".
Dengan berkat Tuhan, Alessu akhirnya tiba di Malaka bersama Worilla. Malaka adalah daerah jajahan Portugis. Dzogo Worilla kemudian melapor perjalanannya kepada Raja Worilla yang adalah ayahnya. Alessu baru sadar bahwa ternyata Dzogo Worilla adalah keluarga kerajaan. Dzogo Worilla secara khusus menceritakan maksud Alessu yang dalam perkenalannya mengaku sebagai raja atas 300 buah kampung.
Mendengar masalah yang mengganggu hati Mo'ang Alessu, Baginda Raja Worilla tertawa, lalu menghiburnya. "Kami di sinipun tak pernah luput dari kematian. Di mana saja ada kematian. Apabila kita ingin hidup selamanya, baiklah pergi ke surga. Di sanalah tempat hidup abadi, dan tak pemah akan mati. Maka untuk mencapai hidup abadi di surga, kita hams mencari jalan ke surga, dengan belajar agama, dan dipermandikan lalu menjadi Kristen, serta hidup baik menurut Hukum Tuhan".
Mendengar petuah Baginda Raja Worilla, Alessu manggut-manggut. Alessu ingin jadi Kristen dengan belajar agama Katolik.
Alessu menerima pembinaan agama Nasrani (Katolik) mungkin setahun. Alessu mempelajari doa serta nyanyian dengan bahasa Portugis. Di samping itu, Alessu juga belajar tentang kepemimpinan dan kebudayaan Portugis. Setelah cukup mendapat pembinaan,Alessu dipermandikan dengan nama Don Alexius Ximenes da Silva. Sebelumnya, Alessu memberikan persembahan kepada baginda raja berupa harta yang dibawanya.
Pada hari itu juga baginda raja melantik Don Alessu sebagai raja resmi Kerajaan Sikka yang takluk pada Portugis dengan gelar Don Alexius Alessu Ximenes da Silva. Alessu dipermandikan dan dilantik sebagai Raja Sikka dan diamanatkan untuk membantu menyebarkan agama Nasrani dalam Kerajaan Sikka.
Untuk itu seorang guru agama ditugaskan untuk mendampingi Alessu. Guru Agama itu bernama Augustinho Rosario da Gama. Alessu sangat berbangga dengan pelantikannya oleh Baginda Raja Worilla yang berbunyi:
"Viva Altissimo Senhor Don Alexius Ximenes da Silva elry, aqual seya boasaudi. Elquam Deos nossa senhor de longa vida permanessa. Elry de regno da Sikka, de blaixo de Lisboa."
Menurut terjemahan D.D. Kondi dan A. BoEr yang kemudian dipetik dan dicatat P. Piet Petu SVD dan Edmundus Pareira kata pelantikan itu bermakna,
"Hiduplah Baginda yang mulia Raja Don Alexius Ximenes da Silva, memerintah kerajaan dengan selamat. Semoga dilanjutkan Tuhan usiamu, tetap memerintah Kerajaan Sikka, takluk ke bawah Baginda dan Ratu di Lisboa".
Setelah pelantikan, Don Alessu dan Augustinho da Gama berkemas untuk kembali ke Sikka. Hatinya lega karena telah mendapat jawaban yang agak jelas mengenai kehidupan kekal.
Referensi Buku : Pelangi Sikka; B.Michael Beding - Indah Lestari Beding
www.inimaumere.com