Sebab itu, dandanan menjadi tak seratus persen Eropa: mereka menyilangkan selendang tenun ikat di dadanya. Di bagian tubuh bawahnya juga terlilit kain sarung
lipa.Para penari itu unjuk kebolehan di depan serombongan turis yang mampir di desa tersebut. Melenggang di sebuah
naming (tempat menari) depan
korke (rumah adat) yang persis menempel di bibir pantai laut Sawu yang bergelombang. Tarian yang disebut Tojabobu ini konon memang berangkat dari cerita kuno bangsa Portugis—tentang kisah asmara sang puteri raja (
Prinseja) yang tertambat pada seorang saudagar (
Maskador) yang turut memperebutkannya lewat adu kebolehan.
Serupa Tak SamaTapi dalam pertunjukan itu yang paling menarik barangkali ya pada kostumnya itu. Sebuah kontes busana yang oleh pesohor teori poskolonial Homi Bhabha disebut sebagai mimikri. Seperti disebutkannya dalam
Location of Culture, konsep ini menjelaskan bagaimana wacana kolonial membentuk suatu kelompok dalam bangsa terjajah yang mirip dengan penjajah, tetapi masih terbedakan dari penjajah.
Jika meminjam Bhabha, mimic man alias “Pak Turut”—yang dalam konteks ini diperlihatkan oleh para penari itu—menjadi orang yang tubuh dan kulitnya Flores, tapi selera dan pikirannya meniru bangsa Eropa—yang dalam hal ini adalah bangsa Portugis. Para penari itu (
mimic man) memakai dasi dan jas, tetapi kita tidak tahu apa makna setelan baju itu. “Colonizer menciptakan
the colonized,” kata Bhabha.
Bhabha menggunakan istilah para peniru ini sebagai yang "
almost the same but not quite, almost the same but not white." Di sini, superioritas kolonial dipertahankan, namun di dalamnya juga terkandung unsur subversifnya. Mereka hadir untuk melawan dominasi kebudayaan bangsa kolonial, tetapi sekaligus berada di dalamnya. Dengan kata lain, mereka melakukan perlawanan budaya dengan cara mengambil tempat dalam budaya dominan tersebut.
Dengan konsep mimikri, peniruan itu sebenarnya dilakukan dengan tidak sepenuhnya, lantaran tersembul maksud untuk mengejek atau melawan. Karena, mimikri sendiri memang selalu bersifat ambivalen. Dan kemenduaan ini selalu ada dalam budaya poskolonial sebagaimana dipertontonkan dalam
Tojabobu, juga seni-seni pertunjukan tradisi Nusantara lainnya.
Mimikri Ala MinkeTapi sungguhkah para penari Tojabobu itu sadar sedang melakukan perlawanan, tentu berpulang pada mereka. Tapi yang penting adalah, kata Bhabha, mimikri hanya sukses melalui jalur pendidikan. Karena itu, coba kita tengok apa yang diperankan Minke, tokoh yang menjadi aras peniruan ala Pramoedya Anantatoer dalam tetralogi Pulau Buru yang cemerlang itu.
Diah Ariani Arimbi dalam penelitiannya
Mimikri: Dialektika Identitas Dalam Tetralogi Pulau Buru Ditinjau dari Studi Pascakolonial memperlihatkan bahwa hubungan antara bangsa penjajah dan yang terjajah berlangsung dalam relasi hirarkis. Konstruksi
whiteness is rightness produk penjajah membuat bangsa terjajah berjuang untuk mencapai derajat yang sejajar dengan penjajah yang berkulit putih itu. Mereka melakukan perlawanan atas superioritas mereka.
Kesempatan itu diambil secara cerdas oleh “Pak Turut” Minke justru melalui produk kebijakan yang dibuat oleh mereka: kebijakan politik etis bangsa kolonial yang memberi kesempatan pribumi untuk menikmati pendidikan dengan kurikulum Belanda. Kebijakan yang diterapkan pada akhir abad ke-19 itu memberi arah dan warna baru kehidupan pribumi, terutama kalangan priyayi yang berkesempatan mengenyam etikad baik itu. Mereka mempelajari cara berpikir, gaya hidup, dan tentu juga penampilan para bule itu.
Dan Minke, yang seorang putra bupati sehingga memiliki kesempatan bersekolah di HBS dan STOVIA itu, melenggang sebagai “Pak Turut” yang cemerlang. Tak lupa, ia juga mendadani tubuhnya, meski dengan batasan-batasan tertentu, hingga tampak perlente seperti kaum terpelajar Belanda. Ia lantas hidup di antara dua identitas (i
n between): sebagai priyayi Jawa tapi berpikir cara Barat.
Kemenduaan inilah yang membuat ia bermetamorfosa: dari yang semula memuja Belanda—dan menghilangkan tradisi feodal—berbalik menghantamnya justru dengan pengetahuan yang diperolehnya dari bangsa yang menjajahnya tersebut. Pram meminjam Minke untuk melawan dominasi kekuasaan kaum penjajah.
Meniru Lalu MelawanDari Minke dan penari Tojabobu kita kemudian tahu, peniruan mereka bukan semata
mimemis sebagaimana kerap diperlihatkan dalam dunia penciptaan seni—yang lebih terjebak pada persoalan material estetis. Sebaliknya, peniruan keduanya lebih merupakan kehendak untuk menggapai nilai dan pemikiran (
value) sebagaimana yang dibayangkan sebagai (bangsa) penjajah yang menguasai, dominan dan menentukan, serta modern.
Sungguhpun ekspresi materialnya terkesan mencaplok begitu saja (pada apa yang ditirunya), tentu hal itu dilakukan dengan kesadaran untuk tuntutan estetis mampu menarik perhatian audiensnya.
Budayawan dari Sikka, Johanes Orestis Parera, menyebut drama tari tradisional
Tojabobu adalah eksistensi Kerajaan Sikka—yang menjadi kota bandar yang sangat penting saat Portugis jaya di sana. Di sinilah nilai itu terpendar: Tojabobu adalah simbol eksistensi Sikka (t
he colonized), bukan eksistensi sang
colonizer Portugis. Ini sepadan dengan ulah Minke, yang berpenampilan necis ala priyayi indies namun berbalik menghantam Belanda.
Pada keduanya, peniruan itu pantas dilakukan seperti juga diikhtiarkan oleh para jenius di belahan Nusantara lainnya. Tengoklah cara seniman
Soreng, Dadung Awuk, Angguk dan seterusnya yang melawan kebudayaan istana dengan meniru cerita, gaya, penampilan, serta teknik pemanggungan ala istana.
Oleh: Joko S Gomblohwww.inimaumere.com