Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Monday 10 June 2013

Butuh Waktu dan Proses Berpolitik di NTT

Maumere adalah Ibukota Kabupaten Sikka, terletak di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kota Maumere berada di pesisir Pantai Utara(Pantura)Flores dengan Bandara Frans Seda serta Pelabuhan Laut L.Say sebagai pintu gerbangnya. Lewat inimaumere.com Anda bisa menjelajahi Kabupaten kecil ini, epang gawan (terima kasih) telah berkunjung... Kontak Kami
Menggunakan isu agama, suku dan kampung dalam proses berpolitik di NTT merupakan cara paling gampang saat tim sukses atau figur pemimpin berkampanye. Demikian pandangan Praeses Seminari Tinggi Ritapiret Maumere, Romo Ewal Sedu, Pr, ketika dihubungi Pos Kupang, Sabtu (8/6/2013) sore. Menurut Romo Ewal, untuk sampai kepada masyarakat menjadi pemilih cerdas membutuhkan waktu dan proses. Proses itu diibarat seperti manusia, belajar sampai seumur hidup. Romo Ewal mengatakan, membuat masyarakat NTT menjadi pemilih cerdas bukan gampang dan dalam waktu yang singkat. Prosesnya sangat lama dan perjuangan menuju masyarakat cerdas dalam berpolitik bukan hanya urusan satu dua orang saja tapi semua pihak.

"Bukan hanya urusan partai politik tapi semua pihak, termasuk lembaga pendidikan dan keluarga. Maka itu butuh waktu yang lama dan kita sedang menuju ke sana. Tergantung campur tangan semua pihak agar masyarakat NTT menjadi cerdas. Selama ini, di NTT, isu agama, kampung dan suku paling gampang dipakai untuk meraih kemenangan jika orang berpolitik. Dalam berpolitik segala cara pasti dipakai untuk meraih kemenangan," kata Romo Ewal.
Ketua Majelis Sinode GMIT Sion Nangahure, Pendeta Dhyana Babys DD Funu, S.Si, mengatakan, isu agama dalam Pilgub NTT harus diakui semua pihak memang sangat berpengaruh. Tetapi, lanjutnya, jika dicermati secara baik, isu agama dan suku itu menunjukkan bahwa masyarakat NTT belum dewasa dalam berpolitik.
Hal itu sejalan dengan tingkat pendidikan masyarakat NTT yang tergolong rendah sehingga masyarakat mudah dipengaruhi.
"Masyarakat dengan kondisi ini bisa terpengaruh tanpa melihat kualitas dan realitas calon pemimpin yang ada. Hal ini membuktikan bahwa peranan gereja atau tokoh agama untuk memberikan pemahaman bagi umat yang didampinginya masih kurang. Gereja masih berpikir sempit atau sebatas kepentingan umat atau basisnya saja tanpa melihat kepentingan yang lebih luas," kata Dhyana.
Wacana Tidak Bagus Wacana ada pemilih memilih gubernur berdasarkan agama, itu tidak bagus untuk kebersamaan dan kerukunan umat beragama. Apalagi kerukunan antarumat beragama di NTT sudah terbangun bagus selama ini.
"Saya sebagai tokoh agama mengimbau kepada masyarakat jangan seperti itu. Pemilukada sudah ada tahapannya. Dengan demikian, dalam rangka belajar dan menegakkan demokrasi ini, ikuti tahapan yang sedang berjalan," kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) NTT, Drs. IGM Putra Kusuma, kepada Pos Kupang, Sabtu (8/6/2013).
Bila ada kelompok yang tidak puas, kata Kusuma, ada saluran- saluran atau jalur yang bisa ditempuh. Jangan sampai terjadi ada kelompok ini dan itu untuk menjaga kerukunan umat beragama. Ia mengatakan, kalau tidak rukun lagi maka akan mengganggu proses pembangunan. Untuk itu, ia mengimbau agar pihak yang tidak puas dapat menempuh jalur yang ditempuh sesuai mekanisme yang diatur undang-undang.
Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, John Tuba Helan, menyatakan, hasil pemilihan gubernur putaran kedua tampak sekali para pemilih menjatuhkan pilihannya karena berlatar belakangkan agama.
Ia mencontohkan kabupaten yang pendudukukan mayoritas Katolik akan memilih Frenly. Sebaliknya kabupaten yang penduduknya mayoritas beragama Kristen Protestan memilih Esthon.
Fakta itu, kata Tuba Helan, merupakan peristiwa alamiah yang terjadi. Bila dilihat dari sisi demokrasi, hal itu bisa diterima asalkan tidak dipengaruhi dan dimainkan para elit politik. Pengaruh itu bisa dilakukan dengan cara memilih harus sesuai dengan agamanya masing-masing.

"Itu hal yang alamiah kalau para pemilih memilih pasangan yang satu suku, agama dan daerah. Dan itu tidak menjadi masalah. Kalau itu terjadi dengan sendirinya, saya pikir tidak apa-apa," ujar Tuba Helan.
Hal itu menjadi tidak bagus, kata Tuba Helan, manakala elit politik memanfaatkan isu agama dan mempengaruhi pemilih untuk memilih pasangan tertentu. "Dan hal itu menjadi pendidikan politik yang tidak bagus bagi masyarakat," katanya. (ris/aly/pos-kupang))

Artikel Terkait



 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Butuh Waktu dan Proses Berpolitik di NTT | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---