Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Tuesday 22 April 2008

Dialog Kosmologis Melindungi Hutan: Pada Letusan Gunung Egon

Maumere adalah Ibukota Kabupaten Sikka, terletak di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kota Maumere berada di pesisir Pantai Utara(Pantura)Flores dengan Bandara Frans Seda serta Pelabuhan Laut L.Say sebagai pintu gerbangnya. Lewat inimaumere.com Anda bisa menjelajahi Kabupaten kecil ini, epang gawan (terima kasih) telah berkunjung... Kontak Kami
Ditulis oleh anak Maumere, Alexander Yopi Susanto,tinggal di Jakarta Selatan.
Epang gawan Mo'at..


Helaan napas panjang keluar dari mulut Dua Kesik. Dengan lincahnya perempuan tua itu memindahkan buntalan benang dari sisi kiri ke kanan. Dalam lima enam kali gerakan, ia merapatkan benang-benang itu. Menyatu pintal dengan tenunan benang lainnya. Terus menerus gerakan itu dilakukan. Di sisi terdekat dari simpuh duduknya, kelihatan kain tenunannya itu menggambarkan motif dari sebuah sarung. Seperti bangunan segi lima, teratur, indah, berwarna.


Dua Kesik menghela napas lagi. Entah apa yang mengganggu pikirannya. Menimbulkan beban pada pundak. Dengan hati seperti biru blau. Kalau dipandang dengan sekejab mata. Tanpa perhatian serius dan mendalam, nampak Dua Kesik begitu menikmati setiap gerakan dari menenunnya itu. Ia seakan ikut menari bersama sahut-sahutan benang-benang itu. Karena menemukan solidaritas dan identitas dari penyatuan dirinya dengan benang lainnya menjadi sebuah sarung. Tanpa terganggu oleh keresahan hati seorang Dua Kesik.

Setengah jam berlalu. Dari arah berlawanan muncul Nong Frans. Hitam. Berdebu. Dengan kumis pada mulut. Kelihatan sekali tempaan alam membuat otot-otot bisep trisep sang pembawa kelapa itu nampak kekar.
“Kabor kelut ko Nong?” (Kelapa muda ka Nong?) Tanya Ina Kesik.
“Eon. Kabor kubar ge Dua. Au gai pano regang. Kabor tena selung no pare.” (Bukan. Kelapa tua kok sayang. Saya mau ke pasar untuk tukar kelapa ini dengan beras) Jelas Nong.
“Tea leu poi. Puan sa ena Nurakin neni hoang gai riwa hoang sekolah nimun” (Jual saja itu kelapa. Dari tadi Nurak terus minta uang untuk bayar uang sekolahnya) Kata Dua Kesik.
“Au ma tea sai”. (Ayolah, jualah kelapa itu) Lanjutnya pula.


Egon: The Lost Paradise

Egon terlihat gagah. Di sekeliling kawahnya terburat garis lurus awan putih. Tidak ada asap. Tidak ada bunyi gemuruh. Nampak tenang agung dengan keindahan sekilas di puncaknya.

Kalau punya kesempatan merangsek ke dalam, pada isi perut di kaki pegunungan itu, akan ditemukan aneka kekayaan dan keindahannya. Beberapa jenis burung Kakatua, Nuri, Beo dengan pernah pernik warnanya, sekawanan rusa bertanduk empat, babi hutan, ayam hutan, kera, bahkan kelinci.


Beberapa kali seekor dua rusa masuk kampung. Sekejab rupa, kampung menjadi ramai. Laki-laki berumur maupun belia sama-sama mengejar rusa yang masuk kampung itu. Mirip arena balapan dengan lintasan tak berhingga. Sampai rusa itu benar-benar tertangkap.
Lain waktu, di rumahku beberapa orang di kaki gunung mengantar burung Kakatua, Nuri, atau Beo. Bulunya indah. Suara kicauannya merdu rupawan. Tetapi tidak mudah untuk mengurung burung-burung itu pada sangkar. Mereka sudah terbiasa dengan alam bebas di kaki pegunungan. Kalau tidak keburu dilepas, mereka bakal mati.


Hampir setiap sore, ketika beberapa siswa berpawai-pawai ke sekolah untuk belajar sore, anak-anak di kampung kami justru berbaris menuju hutan di kaki pegunungan itu. Mereka, yang rata-rata perempuan ragam usia itu, mencari kayu bakar. Mengambil dan mematahkan ranting-ranting pohon yang kering. Atau dahan dan batang pohon yang sudah mendekati lapuk. Semua itu dikumpulkan pada sebuah ikatan. Dibawa pulang untuk kebutuhan dapur. Menghidupkan tungku api dengan kayu-kayu kering itu.


Pada belukar hutan dan pohon kenari tua di sebuah letak, sekitar 15 kilometer dari jalan raya Maumere – Larantuka, tersembunyi mata air panas. Yang keluar terus menerus dari perut bumi oleh desakan aktivitas vulkanologi. Tempatnya masih sangat perawan. Tidak ada jebakan sejenis bendungan. Ia tercipta dari palung alam. Membaringkan aliran dari sumber panas itu mengalir di sela berisik gesekan daun-daun kenari.


Kalau sedikit menanjak ke sebuah perkampungan. Blidit, namanya. Ditemukan di sana bendungan tua yang tak terawat. Volume air yang dialirinya cukup membuat dam-dam di sepanjang bendungan itu penuh. Melimpahkan air pada sawah-sawah di Waigete. Yang membuat Waigete dikenal sebagai salah satu lumbung beras, sayur-sayuran, dan buah-buahan di Kabupaten Sikka.


Pada ketinggian itu pula, sejauh mata memandang, nampak garisan pantai dengan pasir putih yang indah. Dibalut nyiur melambai pada sepanjang garis pantai itu. Sebuah tempat di sebelah Timur yang bernama pantai Wairterang justru menjadi salah satu tujuan wisata. Pada tempat yang tenang itu, wisatawan lokal maupun asing, berebutan berjemur dan merenangi isi keindahan terumbu karang di lepas pantainya.


Pati Ahu, nama lain dari tempat di Kecamatan Waigete yang mesti juga disebutkan. Di tempat ini, ada tiga hal yang perlu diingat. Pertama, Pati Ahu adalah tempat belajar para petani dan peternak. Ada sebuah sekolah pertanian dan peternakan yang diasuh biarawan SVD. Beberapa hektar tanahnya diabdikan untuk ladang percontohan budi daya kelapa, jati putih, lamtoro, beberapa jenis sayuran, dan buah-buahan. Sementara salah satu bangunan di deretan bangunan asrama dan perumahan para karyawan, dibangun khusus sebuah asrama percontohan peternakan babi, sapi, ayam, itik, dan ikan. Semua orang yang berminat bisa belajar dari asrama orang tani dan peternak ini.


Kedua, Pati Ahu memiliki klub sepak bola kesohor. Klub yang lintas ethnis. Orang Maumere, Ngada, dan Lembata. Mereka menjadi tersohor karena berturut-turut memboyong piala bergilir antarkecamatan se-Kabupaten Sikka untuk Waigete. Tidaklah heran, pemain besutan klub ini menjadi langganan kesebelasan Persami Maumere, PS Ngada, dan PS Lembata.
Ketiga, pada salah satu tempat di kedalaman hutannya terdapat sebuah gua dengan usia puluhan tahun. Menariknya, karena di gua itu hidup secara berkerumunan sekelompok kelalawar. Gua itu disebut Gua Kelalawar. Karena mereka sesungguhnya adalah tuan atas tempat itu, sebelum ditemukan oleh peradaban. Dan menjadi daya tarik lain bagi pengunjung di daerah wisata Waigete.


Rata-rata masyarakat Waigete orang kelas menengah ke bawah. Kalau mau dipatok berdasarkan ukuran sosiologis ekonomis. Tetapi sangat tidak adil kalau selanjutnya dijustifikasi dengan ukuran seperti ini. Kerdil di hadapan statistik. Kurus di hadapan data angka kemiskinan.
Tidak ada orang asli di Waigete. Semua adalah pendatang dari wilayah Nele, Kloangpopot, Bola, Sikka-Lela. Oleh peradaban berpindah-pindah, mereka mematok hutan, membuka ladang dan persawahan, dan makan dari sistem food gathering.


Untuk para pendatang, Waigete merupakan penemuan terbesar. Seperti surga yang hilang (The lost paradise). Untuk rata-rata kondisi geografis dan kontur tanah Sikka yang kering kemarau, Waigete (sesuai namanya, Wair: air, Gete: besar) adalah kelimpahan, kesuburan, dan kehidupan. Karena itu, gerak perpindahan translokal itu pun serentak mengalir sendiri. Tanpa harus dipaksa atau diultimatum. Tanah yang subur dan air yang berlimpah merupakan berita sejuk untuk Sikka yang kering.


Surga itu pun dibuka. Dengan cantiknya, mereka meletakkan sawah-sawah itu di dataran yang subur, menanam kelapa-kelapa di sepanjang garis pantai, buah-buahan, sayur-sayuran, dan hidup dari kelimpahan tersebut. Tidak pernah terpikirkan untuk mengambil secara serakah, atau berlebihan dari hasil yang seharusnya dipetik. Mereka hidup selaras alam. Mencintai irama harmonisasi alamnya. Pada sungai mengalir, pada kicau burung, pada ranting pohon yang mengering dan batang pohon yang patah, pada ular sawah, tikus, belalang, madu hutan, terumbu, kerang, rusa, kera, babi dan ayam hutan. Yang terpikirkan oleh mereka adalah bumi mesti tetap mengeluarkan khasiat kesuburannya, tetapi tidak dengan cara dipaksakan. Diperas. Bumi hanya bisa menurunkan hujan, mengeluarkan kesuburan, kalau manusia menuruti irama alamnya. Mencintai dengan merawat, mengambil seperlunya, dan menyimpan yang lainnya di dalam tanah, untuk hari berikutnya........bersambung

Alexander Yopi Susanto,Dilahirkan di Flores, 23 Oktober 1981. Pendidikan dasar diselesaikan di SDK 051 Waigete. Pendidikan menengah pertama dan atas dihabiskan di Seminari Sint. John. Berkhmans Todabelu Mataloko, Ngada, Flores.
Bidang spesialisasi: TI, Writing n Publishing, Advokasi Tanah, Advokasi dan Pemantau Hak Anak. Sekarang tinggal di Jakarta Selatan.

tulisan ini merupakan hak cipta penulis. Barang siapa yang ingin memperbanyak atau meng-copy tulisan-tulisan ini diharapkan mencantumkan nama penulis aslinya. Dilarang keras menjiplak tulisan tanpa mencantumkan referensi!

Wue wari punya artikel tentang niang tanah kirim ke cherovita@yahoo.co.id
Akan kami postingkan..





Artikel Terkait



 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Dialog Kosmologis Melindungi Hutan: Pada Letusan Gunung Egon | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---