Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Sunday 13 March 2011

Pariwisata : "Mimpi Besar" yang Menjanjikan

Maumere adalah Ibukota Kabupaten Sikka, terletak di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kota Maumere berada di pesisir Pantai Utara(Pantura)Flores dengan Bandara Frans Seda serta Pelabuhan Laut L.Say sebagai pintu gerbangnya. Lewat inimaumere.com Anda bisa menjelajahi Kabupaten kecil ini, epang gawan (terima kasih) telah berkunjung... Kontak Kami
Oleh: Yohanis Yanto Kaliwon
Menyadari keterbatasan potensi sumber daya alam (SDA) di Nusa Tenggara Timur(NTT), maka Pariwisata adalah pilihan yang tepat untuk mendinamisasi perekonomian Daerah. Peta potensi pariwisata NTT secara keseluruhan sesungguhnya sangat prospektif jika dikelola secara serius dan berkesinambungan. Asumsinya, jika pengembangan sarana dan prasarana pariwisata ditata secara baik didukung dengan promosi yang gencar, mampu mengundang banyak wisatawan, maka sektor-sektor lainnya akan bergerak mengikuti atau meningkat secara signifikan. Sektor pertanian, jasa-jasa, perdagangan, hotel, restoran, industri berbasis potensi lokal dan lain-lain akan terstimulisasi secara positif.
Banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten se-NTT dalam mengembangkan sektor pariwisata, namun “efek berganda” yang diharapkan akan mendinamisasi perekonomian daerah harus diakui belum maksimal.

Gebrakan Gubernur Lebu Raya untuk “back to basic” mendayagunakan potensi lokal haruslah direspon sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari semua sektor, bukan hanya sekedar memanfaatkan(baca:mengkonsumsi sendiri) potensi yang ada tetapi lebih dari itu, bagaimana potensi lokal tersebut diberdayakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

Robert Wood, menulis, “…pariwisata dapat memperkuat kebudayaan-kebudayaan tradisional dengan cara menambah kebanggaan setempat dan membuat kerajinan tangan dan kegiatan-kegiatan tradisional lainnya menjadi layak dikembangkan secara ekonomi(dalam: Dr. Yekti Maunati, Identitas Dayak,LKiS,Yogyakarta,2004:43). Dengan demikian, pariwisata juga sebenarnya mampu “meregenerasi” tradisi-tradisi komunitas adat yang mulai terkikis modernisasi di satu sisi dan memberi keuntungan ekonomis di sisi lain.

Berdasarkan laporan dari World Trade and Tourism Council (WTTC, 1999), secara global di tahun 1999 pariwisata menghasilkan pendapatan sebanyak 3,5 triliun US$ dan menyediakan lapangan pekerjaan sebanyak 200 juta. Laporan WTTC juga menambahkan bahwa di kebanyakan Negara, wisata pesisir merupakan industri wisata terbesar dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi PDB (sekitar 25 % dari total PDB). Di Bali sebagai contoh sumbangan kumulatif sektor pariwisata terhadap PDRB mencapai 70 % (1999) walaupun tragedi WTC New York dan Bom Bali menyebabkan penurunan pendapatan menjadi 60 % tahun 2000 dan 47% tahun 2002 (Bali Post, 2003).

Jika seluruh potensi pariwisata dikelola secara baik maka bukan mustahil kita mampu bersaing dengan Bali. Paket-paket wisata dengan rute Bali, NTB dan NTT sudah cukup banyak meskipun masih insidentil dan parsial. Persoalannya adalah “peluang” tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal agar wisatawan yang melewati daerah kita “betah” untuk menikmati paket-paket wisata yang menarik. Beberapa Daerah telah menangkap peluang tersebut secara baik tetapi dampak positif ekonomisnya masih terkonsentrasi pada titik-titik lokasi pariwisata tersebut. Di Moni Kabupaten Ende misalnya, daya tarik danau tri warna Kelimutu telah menstimulasi bergeraknya sektor-sektor lain seperti jasa, penginapan, restaurant, transportasi, industri souvenir dan lain-lain.

Keindahan pesisir pantai maupun potensi kelautan yang menjanjikan pun belum dikelola secara maksimal. Masih banyak ruang terbuka pantai yang dibiarkan merana seolah tak bertuan. Dengan topografi yang unik, berbukit-bukit, tebing-tebing tinggi yang curam maupun hamparan padang ilalang yang belum tersentuh, sesungguhnya dapat dibangun berbagai prasarana dan sarana pendukung pariwisata. Dalam konteks ini, koordinasi lintas sektor merupakan suatu keharusan, mulai dari perencanaan tata ruang, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, agar dampak negatif proses kontruksi dapat diminimalisir.

Disamping itu, situs-situs bersejarah yang bernilai historis tinggi perlu dilestarikan keberadaannya. Peningkatan akses mobilitas ke titik-titik lokasi tersebut dapat memudahkan wisatawan untuk menentukan rute dan waktu perjalanannya. Lebih menarik lagi, jika di lokasi-lokasi tersebut para wisatawan dapat disuguhi pertunjukan ritus-ritus adat maupun atraksi-atraksi tradisional yang telah dikemas secara baik sebagai suguhan yang memikat wisatawan. Stuart Hall berpendapat bahwa etnis-etnis lain yang eksotik dan murni adalah sebuah fantasi Barat(dalam Yekti Maunati,2004:45). Dengan memahami orientasi wisatawan (khususnya mancanegara), kita dapat melakukan banyak terobosan untuk “menghidupkan kembali” kesenian-kesenian tradisional, tanpa harus menanggalkan modernitas yang terus bergerak maju.

Jika seluruh potensi pariwisata telah dikembangkan secara baik, maka promosi baik melalui media massa, brosur, website dan lain-lain adalah “sentuhan akhir yang indah” untuk meyakinkan calon-calon wisatawan yang sedang merencanakan perjalanan wisatanya. Dengan kebanggaan dan kepercayaan diri menampilkan visualisasi yang artistik, kita berani berujar “welcome to my beautiful island”. Selamat datang di pulauku yang indah dan menawan.

Pelibatan sektor swasta secara intens dalam “mega proyek pariwisata” ini adalah suatu keharusan. Kompensasi pembebasan pungutan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah(PAD) seperti retribusi daerah, pajak daerah dan lain-lain untuk jangka waktu tertentu bagi pemodal atau investor di sektor pariwisata adalah salah satu langkah taktis dalam upaya mendinamisasi perekonomian Daerah untuk jangka panjang. Jika dinamika perekonomian daerah bergerak naik secara meyakinkan, maka peningkatan PAD sebagai salah satu variabel esensial implementasi otonomi daerah dapat terpenuhi. Dengan lain kalimat, ketergantungan Daerah pada Pusat akan berkurang secara signifikan.

Sekali lagi, “mimpi besar” untuk mengubah “padang ilalang, situs-situs tua, hamparan pasir-pasir pantai” menjadi tempat pariwisata yang menjanjikan dan mampu mengundang wisatawan untuk berkunjung, bukan mustahil akan membawa masyarakat dengan berbagai latar belakang profesi atau pekerjaan, menuju kesejahteraan. Dan kemandirian sebagai jiwa dari otonomi daerah itu sendiri akan terwujud dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga!

Oleh: Yohanis Yanto Kaliwon
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

www.inimaumere.com

Artikel Terkait



 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Pariwisata : "Mimpi Besar" yang Menjanjikan | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---