Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Wednesday 26 October 2011

Mbolaso, Palue

Maumere adalah Ibukota Kabupaten Sikka, terletak di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kota Maumere berada di pesisir Pantai Utara(Pantura)Flores dengan Bandara Frans Seda serta Pelabuhan Laut L.Say sebagai pintu gerbangnya. Lewat inimaumere.com Anda bisa menjelajahi Kabupaten kecil ini, epang gawan (terima kasih) telah berkunjung... Kontak Kami
SAMPAI menjelang akhir Juni tahun ini, saya selalu beranggapan bahwa hanya ada satu bahasa dari bahasa-bahasa lokal masyarakat Flores dan sekitarnya yang mengenal kata terima kasih, yakni bahasa Sikka yang menggunakan kata epan(g) gawan(g).
Ternyata masih ada satu masyarakat yang juga memiliki kata khusus untuk mengungkapkan rasa terima kasih, yakni bahasa masyarakat pulau Palue. Kata untuk itu adalah mbolaso. Tentu saja, ketiadaan kata terima kasih dalam bahasa-bahasa lain tidak berarti bahwa masyarakat tersebut tidak tahu berterima kasih. Mereka mengungkapkan rasa syukur mereka tidak dalam kata tetapi dalam sikap tubuh atau dalam bentuk pemberian balik.
Orang Palue menyatakan terima kasihnya baik dalam sikap maupun dalam kata mbolaso. Mereka berterima kasih untuk berbagai macam hal, juga untuk kesediaan orang bertamu di rumah mereka. Kedermawanan menerima tamu tampaknya merupakan sebuah keutamaan warga pulau Palue.

Sebagaimana dikatakan seorang warga pada kesempatan perpisahan dengan sekelompok mahasiswa/i Universitas Indonesia (UI) yang ber-K2N di Kampung Rokirole, orang Palue memang mudah menerima tamu, tetapi mereka merasa sangat berat melepaskan tamu. Menerima tamu merupakan sebuah penghargaan, dan melepaskan tamu sering disertai rasa sedih.

Boleh jadi, pulau yang didiami para pelaut tangguh ini memang tidak selalu merupakan tempat yang sering mendapat kunjungan para pejabat. Palue sering dikonotasikan dengan kekeringan dan ketandusan, tanpa sumber air minum. Orang mencemaskan akan minum apa dan bisa mandi berapa kali. Perjalanan ke sana berbahaya. Dan bayangan tentang ini diperkuat dengan tenggelamnya kapal motor Karya Pinang pada Oktober 2010. Orang semakin enggan bepergian ke Palue. Tidak terkecuali para pejabat dan petugas negara yang pekerjaannya adalah membangun masyarakat Indonesia.

Namun, sebenarnya Palue tidak seperti yang ditakuti dalam bayangan. Sudah sejak zaman dulu orang Palue memiliki kecerdasan untuk mendapat air, entah dari batang pisang dan pohon ara, maupun dengan menampung air hujan serta menggali beberapa sumur di wilayah pantai.

Air memang sesuatu yang sangat berharga, tetapi orang tidak perlu mati kekeringan di pulau ini. Pelayaran ke Palue, sebagaimana pelayaran ke pulau-pulau kecil lainnya, memang selalu mengandung risiko. Memang kapal-kapal motor yang melayari rute Maumere-Palue perlu terus dibenahi dan dilengkapi dengan peralatan keselamatan, namun perjalanan ke dan dari Palue bukanlah pelayaran menyongsong maut.

Karena berbagai gambaran yang keliru, Palue, meski tidak perlu disebut tertinggal, namun agaknya gampang dilupakan dan mudah diabaikan. Hal ini tampak dalam beberapa hal. Pertama, soal nama pada peta. Ternyata, paling kurang terdapat tiga nama pada tiga peta berbeda. Ketika berlayar bersama rombongan mahasiswa/i UI ke Palue, pada peta pelaut yang ditunjukkan kepada saya di ruang kapten kapal TNI AL Teluk Mandar, nama yang tertera adalah Pulau Raja (Palue).

Kemudian saya mendapat penjelasan, bahwa nama ini digunakan pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke-19. Pada pulau itu, hanya dituliskan dua nama tempat, yaitu Labuhan Boko dan Mage. Kedua nama tempat ini ternyata tidak lazim malah tidak dikenal oleh beberapa orang muda Palue dan orang-orang yang berkarya di pulau ini. Peta ini menggunakan nama tempat yang tidak populer di kalangan warga.

Nama lain untuk pulau ini ditemukan pada peta seluruh Indonesia yang cukup baru yang memaparkan 33 propinsi Indonesia. Pada peta yang digantung pada kantor desa Ladolaka, di Palue, nama yang digunakan adalah Paloe. Varian ketiga adalah Palue, yang dapat dibaca pada peta khusus Propinsi NTT. Inilah nama yang digunakan warga secara populer.


Boleh jadi, nasib yang sama dialami juga oleh pulau-pulau kecil lainnya di wilayah ini. Mestinya menjadi tugas pemerintah kabupaten atau propinsi agar secara resmi pulau ini ditulis pada peta dengan nama baku yang digunakan oleh warga setempat.
Kedua, proyek yang mudah diterlantarkan.

Di pantai Uwa yang merupakan pelabuhan utama dan pintu masuk Palue, terdapat sebuah proyek yang belum selesai. Anehnya, tidak ada papan nama proyek tersebut. Warga tidak pernah dapat mengetahui secara terbuka data-data penting terkait proyek tersebut. Namun, berdasarkan informasi lepas yang dihimpun warga, proyek tersebut adalah pembangunan tambatan perahu yang ditangani seorang kontraktor dari Maumere dan sudah harus selesai. Kontraktor tersebut menangani beberapa proyek pembangunan lain di Palue.

Anehnya, demikian keterangan warga, pada kesempatan kunjungan anggota DPRD Sikka beberapa waktu lalu, saat ditanya warga mengenai proyek yang terkesan tidak selesai tersebut, seorang anggota DPRD menjawab dengan mengatakan bahwa kekurangan pada proyek yang satu ini tidak perlu dibesar-besarkan karena proyek lain yang ditangani kontraktor bersangkutan telah dilaksanakan dengan baik.

Argumentasi ini menunjukkan bahwa si wakil rakyat merendahkan dan menganggap remeh warga yang dikiranya mudah dibodohi. Mestinya, instansi yang bertanggungjawab atas pelaksanaan proyek tersebut bertindak agar uang negara tidak disia-siakan di pulau yang dikira berada di luar jangkauan perhatian umum, dan agar warga tidak dibiarkan menunggu dalam ketidakpastian.

Ketiga, bantuan bencana yang tak kunjung tiba. Pada hari Kamis, 26 Mei 2011 yang lalu terjadi gempa bumi yang meninggalkan bekas kerusakan di Palue. Berdasarkan catatan yang dibuat dan dilaporkan Camat Palue, lebih dari 50 rumah mengalami kerusakan berat, yang rusak ringan sebanyak sekitar 150 rumah.

Lebih dari 60 bak penampung air hujan warga mengalami kerusakan berat. Selain itu, masih ada sejumlah kerugian lain seperti kerusakan fasilitas umum. Beberapa hari setelah gempa pemerintah kecamatan telah menyampaikan laporan kepada pemerintah kabupaten Sikka mengenai kerusakan tersebut. Namun, sampai sekarang belum ada bantuan yang diberikan kepada warga Palue.

Warga yang hidup dalam kerukunan kampung tentu memiliki kepedulian saling membantu dalam situasi darurat. Orang Palue hidup dalam solidaritas yang kuat satu dengan yang lain. Namun, tangan mereka sangat terbatas. Bantuan yang dapat berikan kepada sesamanya yang menderita pun tentu saja serba terbatas. Sebab itu, penyaluran dana bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki rumah atau membangun kembali bak penampung air hujan dirasakan sebagai sebuah kebutuhan mendesak. Bak penampung air hujan sangat vital bagi orang-orang yang hidup di Pulau tanpa mata air ini.

Upacara Pati Karapau di Palue
Foto by: Hiller Ratu


Tetapi, Palue memang terlampau mudah dilupakan, apalagi di tengah hiruk pikuk permasalahan dana bantuan sosial yang sedang menjadi berita utama di kabupaten Sikka. Sangat boleh jadi, dana bantuan sosial telah habis terkuras untuk segala sesuatu yang tidak sosial, sehingga warga Palue yang tertimpa bencana ditinggal sendirian.

Mestinya, ketika sebuah kabupaten tidak sanggup membantu warga yang tertimpa bencana karena kesulitan keuangan, pemerintah pada tingkat di atas harus turun tangan. Tentu saja, apabila pemerintah kabupaten melaporkan bencana tersebut kepada pihak yang di atasnya. Kalau hingga kini warga tetap tinggal dalam penantian akan bantuan, apakah ini berarti mereka menjadi korban macetnya komunikasi pemerintah kabupaten dengan pihak-pihak yang di atasnya?

Orang Palue punya kata untuk terima kasih. Mbolaso, tidak hanya kata, itu juga sikap. Mereka pasti menunjukkan sikap dan menyampaikan mbolaso kepada pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap mereka dan tidak terlampau mudah melupakan mereka. *(PosKupang)

Oleh: Paul Kleden, SVD
Dosen STFK Ledalero
foto utama: Paul Budi Kleden, SVD (Pos Kupang)


www.inimaumere.com

Artikel Terkait



 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Mbolaso, Palue | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---