Warga Desa Tuanggeo di Palue, Nusa Tenggara Timur bertahan hidup dari generasi ke generasi hanya dengan mengandalkan sumber air tawar yang berasal dari pohon pisang. Di bagian Selatan pulau seluas 41 kilometer persegi ini berdiri Gunung Api Rokatenda setinggi 875 meter di atas permukaan laut yang masih aktif hingga kini. Oleh sebab itu, tidak heran lagi bagi pulau sejauh 35 mil dari Maumere yang dapat dijangkau dengan kapal motor selama 6 jam perjalanan ini, terisolir dari pipa-pipa penyalur air tawar milik pemerintah. Persoalan klasik Indonesia yang seakan tidak pernah berujung pada penyelesaian. Tidak jauh berbeda dengan 1400 orang dari Desa Rokirole. Mereka memanfaatkan sumber panas bumi sebagai sumber air tawar. Penyulingan menggunakan bilah bambu muda yang kuat sepanjang 70 hingga 100 meter yang terhubung ke sumber-sumber titik panas bumi, uap panas yang tertampung dapat menhasilkan 40 liter air per harinya.
Uap panas didapat dari panas bumi dengan magma Gunung Rokatenda sebagai kompornya. Uap dalam perut bumi dialiri air laut, lalu menguap melalui rekahan-rekahan kecil hingga keluar ke permukaan tanah atau pasir di pulau Palue. Proses inilah yang dinamakan dengan sublimasi.
Masih di Pulau Palue, masyarakatnya tidak pernah menanam padi untuk memenuhi kebutuhan akan karbohidratnya. Mereka percaya, jika menanam padi akan mendatangkan bencana. Walaupun, sebenarnya kontur tanah yang berbatu dan banyak karanglah yang tidak memungkinkan untuk menanam padi, belum lagi cuaca panas yang berlansung sepanjang tahun.
Sumber air panas Reruwairere menjadi salah satu bukti ketersediaan panas bumi dengan panas lebih dari 100 derajat celcius. Masyarakat di sini mengandalkan umbi-umbian di hutan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hebatnya, di pulau ini tidak membutuhkan kompor untuk memasak. Tinggal menggali pasir sedikit, panas seperti api kompor sudah bisa diperoleh.
@oleh: Jejak Petualang Trans7, episode "Survival Ala Masyarakat Palue"
www.inimaumere.com