Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Monday 10 September 2012

Dititip di 'Rumah Tinggi' (2)

Maumere adalah Ibukota Kabupaten Sikka, terletak di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kota Maumere berada di pesisir Pantai Utara(Pantura)Flores dengan Bandara Frans Seda serta Pelabuhan Laut L.Say sebagai pintu gerbangnya. Lewat inimaumere.com Anda bisa menjelajahi Kabupaten kecil ini, epang gawan (terima kasih) telah berkunjung... Kontak Kami
75 Tahun Seminari Tinggi Ledalero
PADA tahun 1932, angkatan pertama seminari telah menyelesaikan pendidikan menengahnya. Bagaimana selanjutnya? Gedung khusus belum ada. Maka mereka pun dititipkan di rumah yang baru selesai dibangun untuk para misionaris SVD di Mataloko, sebuah rumah bertingkat yang karena itu disebut "Rumah Tinggi" Namun, pertanyaan paling mendasar adalah: apakah para lulusan itu menjadi calon imam praja/diosesan atau SVD? P. Cornelissen mengajukan gagasan: sebaiknya orang-orang pertama dari Nusa Tenggara ini diterima sebagai calon imam SVD. Alasannya, waktu itu semua imam yang bekerja di wilayah ini adalah anggota SVD. Agar lebih tampak persamaan antara imam-imam pribumi dan SVD, maka orang-orang pertama ini diterima sebagai calon imam SVD. Perbedaan pribumi dan Barat tidak diperbesar lagi dengan perbedaan imam praja dan religius. Maka, setelah setahun menanti, tujuh orang angkatan pertama novis SVD diterima secara resmi dan memulai masa novisiatnya pada tanggal 16 Oktober 1933.


Enam orang dari angkatan ini kemudian mengikrarkan kaul pertama pada tanggal 17 Januari 1936. Saat itu mereka sudah cukup maju dalam studi, yang telah dimulainya pada tahun 1932. P. Cornelissen, yang mendampingi para calon ini sejak seminari menengah, mempunyai rasa bahagia dan bangga tersendiri.
Karena para frater hanya dititipkan di "Rumah Tinggi" di Mataloko, maka sejak tahun 1935 mulai dicari tempat baru untuk sebagai seminari tinggi. PJ Bouma yang saat itu menjadi pemimpin tertinggi SVD di wilayah ini, dibantu oleh PH Hermens dan PA Visser mempertimbangkan beberapa kemungkinan. Lembah Hokeng menjadi salah satu alternatif yang cukup kuat. Namun, kecemasan akan malaria menjadi alasan utama untuk mundur dari kemungkinan itu.

Akhirnya, dengan persetujuan Raja Don Thomas Ximenes da Silva, ditetapkanlah Ledalero sebagai tempat bagi seminari tinggi SVD. Ledalero, tempat sandar matahari ini memang tempat ideal untuk sebuah  seminari tinggi, karna letaknya tidak jauh dari beberapa paroki besar seperti Nita dan Koting, lagi pula cukup dekat dengan kota pelabuhan Maumere. Maka, pada tahun 1936 pembangunan beberapa gedung penting pun dimulai. 

Setelah mengeluarkan keputusan pendirian Seminari Tinggi Ledalero pada tanggal 20 Mei 1937, pada tanggal 3 Juni, pemimpin tertinggi SVD memindahkan novisiat dari Todabelu-Mataloko ke Ledalero, setelah mendapat persetujuan dari Vatikan dua hari sebelumnya. Dengan ini, seminari tinggi Ledalero sudah dapat dihuni secara resmi.
Rombongan pertama yang tiba di Ledalero adalah dua novis, yakni Lukas Lusi dan Niko Meak, didampingi pemimpin novisiat P. Jac. Koemeester. Lukas Lusi kemudian menarik diri dari SVD dan menjadi imam praja Keuskupan Agung Ende. Niko Meak kemudian meninggal dunia pada tanggal 30 November 1938 sebagai frater.
Tidak lama berselang, rombongan para frater yang telah studi pun tiba. Di antaranya Gabriel Manek dan Karolus Kale Bale, yang kemudian ditahbiskan sebagai dua imam pribumi pertama SVD Indonesia pada tanggal  28 Januari 1941.
Saat rombongan para novis dan frater tiba untuk pertama kalinya di Ledalero, mereka disambut umat Nita dengan ucapan dalam bahasa Sikka: "He miu ata novisen mole ata frater, mai baa deri ei Ledalero" yang artinya: hai para novis dan frater, datanglah dan tinggallah di Ledalero. Pada saat awal itu, jumlah calon imam sebanyak 16 orang: 5 orang frater mahasiswa teologi, 5 orang frater mahasiswa filsafat, dan 6 orang novis. 
Ungkapan orang Nita di atas menunjukkan bahwa pendidikan calon imam dan biarawan didukung sepenuhnya oleh umat. Umat menerima mereka dengan tangan terbuka untuk mengambil bagian dalam hidup mereka, mengalami jatuh bangun perjuangan hidup dan kegembiraan serta kebahagiaan. 

Para biarawan calon imam tidak melayang di atas angin, tetapi mesti berakar dalam kehidupan umat. Seminari, tempat persemaian panggilan untuk menjadi imam dan biarawan bukan pertama-tama rumah yang dibangun megah dengan aturan yang ketat, tetapi kehidupan umat di gubuk-gubuk sederhana yang mengenal matahari sebagai satu-satunya jaminan ketetapan ritme hidup. Jika rumah yang megah menumpulkan kepekaan para biarawan dan calon imam untuk menangkap kegelisahan umat, dan ketatnya aturan mengeraskan hati mereka untuk menanggapi persoalan masyarakat, maka seminari sebenarnya gagal menjalankan perannya. 
Berkat keramahan dan keterbukaan umat untuk selalu membumikan panggilan para biarawan dan calon imam, maka Ledalero, kendati harus menghadapi banyak tantangan dan masalah, tetap menjadi rahim yang menghasilkan imam, misionaris biarawan SVD yang diutus ke berbagai bangsa dan barisan panjang para awam yang berkiprah pada beragam bidang kehidupan. Pada tahun 1939 Ledalero mencatat 19 calon imam SVD.
Menurut catatan Karel Steenbrink dalam bukunya Orang-Orang Katolik di Indonesia, Jilid II, 1903-1942, dari 176 siswa di seminari menengah yang memulai pendidikannya antara tahun 1926-1936, hanya 29 orang atau 16% menjadi yang ditahbiskan imam. Kini, pada saat merayakan pesta 75 tahun, seminari ini telah menghitung lebih dari 893 imam SVD sebagai alumninya, di antaranya 10 orang uskup. Sebagian yang lainnya ditahbiskan sebagai imam dalam beberapa tarekat religius lain atau imam praja dari sejumlah keuskupan. Lebih dari separuh alumni adalah awam.

Tiga Periode Penting Seminari ini telah melewati tiga periode penting dalam sejarahnya. Periode pertama dapat disebut sebagai periode Seminari Belanda, yakni dari awal berdiri sampai akhir tahun 1950-an.
Kenapa disebut demikian? Karena kebanyakan staf dosennya adalah misionaris berkebangsaan Belanda dan bahasa pengantar di komunitas adalah bahasa Belanda. Dalam perkuliahan digunakan bahasa Latin.  Para frater harus mengenakan jubah pada hampir setiap saat.

Disiplin dan kerja keras menjadi kata kunci. Tetapi juga kedekatan dengan umat sangat diperhatikan baik oleh para dosen pun para frater. Generasi yang dihasilkan dari periode dapat dilukiskan dengan kata-kata yang digunakan P. Anton Pernia dalam suratnya mengenang alm. Mgr. Donatus Djagom, SVD.  "Gerenasi pertama SVD dari Indonesia dan Asia yang cerdas, tangguh, sedikit individualis, memiliki karakter kepemimpinan yang kuat. Cerdas, serta memiliki komitmen religius yang kuat. (Paul Budi Kleden/bersambung)(http://kupang.tribunnews.com/2012/09/07/dititip-di-rumah-tinggi-2)

Artikel Terkait



 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Dititip di 'Rumah Tinggi' (2) | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---