Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Wednesday 9 January 2013

FRANS SEDA: PANGLIMA PERANG RAKYAT RIABEWA TANA MEGO

Maumere adalah Ibukota Kabupaten Sikka, terletak di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kota Maumere berada di pesisir Pantai Utara(Pantura)Flores dengan Bandara Frans Seda serta Pelabuhan Laut L.Say sebagai pintu gerbangnya. Lewat inimaumere.com Anda bisa menjelajahi Kabupaten kecil ini, epang gawan (terima kasih) telah berkunjung... Kontak Kami
Tulisan ini merupakan sejarah singkat Frans Seda yang di kisahkan oleh Daniel Woda Pale kepada Kanis Lewar (alm) Karakter seseorang dapat diketahui dari pintu rumah saat dia keluar dan beranjak pergi. Pepatah klasik ini menggambarkan bahwa rumah, tempat tumbuh-kembangnya perangkat nilai, moral serta semangat hidup yang dijalani para penghuninya menjadi kunci berkembangnya karakter/pribadi di tengah kehidupan yang luas dan bahkan bergejolak. Tata nilai dan moralitas yang yang dijalani secara konsisten dapat melahirkan pribadi yang unik, besar dan kharismatik dalam cara pandang dan karier. Pribadi semacam itu boleh disebut sebagai “sosok pencipta sejarah.” Apalagi mereka yang oleh karena latar budaya dan struktur adat dikukuhkan untuk jabatan tertentu. Baik karena kepribadian mereka yang kharismatik, kompetensi dan kemampuan yang dimiliki maupun karena mandat berdasarkan garis keturunan

Sidney Hook dalam The Hero in History menggunakan dua term yakni eventful man dan event-making man. Yang pertama adalah orang yang terlibat bersama sejumlah orang dalam sebuah peristiwa; dan yang kedua adalah orang yang menciptakan peristiwa, sejarah atau karya-karya monumental.
Sidney Hook, pribadi yang menciptakan peristiwa adalah figur yang mampu mengendalikan peristiwa, bahkan mampu mengarahkan masyarakat sesuai dengan yang diinginkannya. Seorang tokoh karismatik biasanya lebih beruntung karena selalu berada pada posisi dan waktu yang tepat, mengambil keputusan yang berdampak besar bagi masyarakat luas. Soekarno atau Mahatir, dengan pidato-pidatonya yang inspiratif termasuk dalam kategori ini (Aswi Warman Adam, Tempo, 16 Nov.2003 hal. 116)
Panglima Perang dan Putra Seorang Guru SR
FRANSISKUS XAVERIUS SEDA yang lebih dikenal dengan sapaan Frans Seda, lahir di Biri Gaka, Nangablo. Pada tanggal 04 Oktober 1926, anak pertama dari tujuh bersaudara yakni Fransiskus Xaverius Seda, Yoseph Soa Seda (meninggal tahun 1991), Henny Seda (meninggal pada usia 1 tahun), Rince Seda (meninggal pada usia 2 tahun), Alexander Sega Seda (meninggal pada tahun 1976), serta kembar Bonifasius Bedo Seda dan Skolastika (meninggal pada saat dilahirkan). Ketujuh bersaudara ini adalah buah cinta dari pasangan suami istri Almarhum Paulus Setu Seda yang berprofesi sebagai Guru SR (Sekolah Rakyat) dan Almarhumah Maria Sipi Soa Seda, seorang ibu rumah tangga yang rajin bertani.
Fransiskus Xaverius Seda pada saat kelahirannya hendak diberi nama FRANSISKUS XAVERIUS SOA yang merupakan nama dari kakeknya SOA LIGA (Ayah dari MARIA SIPI SOA). Tetapi nama itu kemudian dibatalkan oleh Kakeknya SEDA MUDE, ayah dari PAULUS SETU SEDA.
Pada saat pemberian nama Fransiskus Xaverius Seda, terlontarlah uangkapan spontan dari Seda Mude tentang Frans Seda. Ungkapan itu dalam bahasa Lio Mego disebut “Kase”, sebagai berikut:
Frans Seda Koba Kela Su’a Taka Deki Belanda Leja Kai Meta Uja Kai Dusa*). Ungkapan ini bermakna sakti yakni, Frans Seda akan menjadi seorang tokoh kesohor; dan sekali waktu akan menginjakkan kakinya di negeri penjajah, Belanda. Langkah kariernya tak akan bisa dihentikan oleh siapapun ( = menjalar dan terus berbuah). Dia akan melahirkan dan meninggalkan perbuatan-perbuatan besar ( = jasa-karya bakti) bagi tanah air dan dunia international.
Ungkapan serupa kemudian didaraskan lagi oleh Guru Mali pada upacara peringatan pernikahan FRANS SEDA dengan JOHANA MARIANA PATINAJA SEDA pada minggu ketiga Agustus 1961 di Gereja Maria Imaculata Lekebai. Inilah anak kami. Ele leja di kainara meta; Ele wuja di kainara jigha (= Inilah anak kami, biarpun hujan mengguyur sepanjang musim, tetaplah kau berbunga; biar panas mengganas sepanjang tahun tetaplah kau tegar dan mekar.
Ketika Frans Seda berhasil dalam hidupnya, ia juga tak lupa akan kampung halaman dan tanah kelahirannya dengan memberikan sumbangan demi kemajuan di bidang ekonomi, kerohanian, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan. Beliau banyak memberikan sumbangan untuk pembangunan dan renovasi Gereja Sta. Maria Immaculata Lekebai, SD Katolik Lekebai, rumah Adat, Balai Budaya, membukan jalan yang terisolasi dengan system padat karya melalui Yayassan Dobo Nualolo.
Dalam struktur ada Lio Mego, Frans Seda menduduki jabatan sebagai “Kororia” (Panglima Perang) yang merupakan jabatan dalam struktur Riabewa Tana Mego. Jabatan ini diwariskan secara turun temurun dari Kakeknya bernama Seda Mude yang berasal dari Woloboa ( sekarang Desa Dobo Nuapuu, Kecamatan Mego).
Kakek Seda Mude pada waktu itu harus berpindah ke Nualolo karena diangkat sebagai Kapitan Mego Wena dan ana Wawo Pare di Nualolo dan menikahi Sikka. Dari pernikahan ini lahirlah lima bersaudara yakni: Sare Seda, Sega Seda, Wasa Seda, Mbu Seda dan Paulus Setu Seda. Setelah Seda Mude wafat, jabatan Kororia dan Kapitan jatuuh ke tangan Sega Seda, sebagai laki sulung.
*). Koba Kela = koba lala ke’na tana (sejenis tanaman yang menjalar yang pada musim panas berwarna hijau dan pada musim hujan warnanya memudar.
Kapitan Sega Seda menikah dengan Dua Kolo Mera yang berasal dari Kampung Sikka dan dikaruniai dua orang putri yakni Asella Sega dan Maria Imakulata Sona. Karena Sega Seda menghendaki anak laki-laki, maka Frans Seda pada usia 1 tahun oleh Kapitan Sega Seda yang merupakan kakak kandung dari Paulus Setu Seda diangkat menjadi ana dari nia pase lae orang tua Sega Sega.
Berproses dari Anak Desa menjadi anak Internasional Kehidupan masa kecil Frans Seda dihabiskan di Lekebai, Desa Bhera, Kecamatan Mego sampai tamat Sekolah Desa. Dari Sekolah Desa di kampung halamannya Lekebai, Frans Seda melanjutkan pendidikannya ke Schakel School di Ndao Ende tahun 1935 – 1941.
Meninggalkan kampung halaman dan menuju Ndao dalam sejarah hidup Frans Seda adalah sebuah “proses” perluasan wawasan yang juga dibutuhkan untuk mengukuhkan dimensi kewenangannya sebagai “Ata Laki” dalam struktur Riabewa. Di Ndao ini Frans Seda justru menyadari bahwa kewenangan yang diwariskan kepadanya sebagai Ata Laki adalah hal yang rada kecil bila dibentangkan di atas Geografi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pandangan itu semakin menguat ketika untuk pertama kalinya Frans Seda bertemu Bung Karno yang berkunjung ke Ndao.
Dari Ndao, Frans Seda melanjutkan pendidikan ke Xaverius Kolege, Muntilan Jawa Tengah. Di lembaga pendidikan yang didirikan oleh Romo Frans van Lith ini, ia mengenal tokoh-tokoh nasional dan juga tokoh pendidikan seperti Romo Frans van Lith. Moral katolik yang mengalir sejak Frans Seda kecil kemudian menasional sebagaimana diungkapkannya dalam “Pengakuan Muntilan”, “Muntilan tempat saya dididik, merupakan pusat nasionalisme dari kalangan Katolik. Dan saya ada di sana mengambil seluruh predikat tersebut.(Frans Seda, Atma Jaya Baktiku dan Titipanku, dalam buku Atma Jaya: Universitas untuk Umat dan Bangsa Menelusuri Jejak Keterlibatan Frans Seda, hal.282-283).
Tahun 1950 Frans Seda melanjutkan studi di Katholieeke Economische Hogcschool Tielburg, Belanda atas prakarsa Pater Frans Cornelissen, SVD. Kebanggaan dirinya sebagai manusia Flores yang katolik sekaligus yang Indonesia, ditantang dalam sebuah dunia baru: dunia Internasional. Keinternasionalan Tielburg memiliki akar yang sama seperti yang dialami sebelumnya yakni sekolah dengan suasana katolik. “Saya seperti masuk dalam dunia, tempat semua manusia dipandang sama”. Sekembalinya dari Negeri Belanda, Frans Seda mengabdikan dirinya untuk Bangsa dan Negara tercinta Republik Indonesia.
Saat pulang kampung, Frans Seda selalu berceritera dan memberikan motivasi kepada anak-anak sekolah dan kaum muda Lekebai. Salah satu nasehat penting yang disampaikan beliau dalam bentuk ungkapan miu naja tau jadi manusia harus pake ote noo ate. Artinya, kalau ingin menjadi manusia yang baik dan berguna harus menjaga keseimbangan antara akal budi dan hati atau moralitas. Ungkapan inilah yang masih terpateri dalam pikiran dan hati anak-anak muda Mego hingga saat ini.

Penutup Sejak tahun 1959 sampai 2009 sudah diangkat 147 orang pahlawan nasional. Kini masyarakat diramaikan dengan usulan pengangkatan Abdurachman Wahid (Jawa Timur), Soeharto (Jawa Tengah), dan Frans Seda (Nusa Tenggara Timur). Aswi Warman Adam, Kompas, 09 Januari 2010, hal.6). Taman Makam Pahlawan Kalibata saat ini terdapat lebih dari 7.000 orang tokoh. Enam ribu diantaranya berasal dari kalangan militer dan hanya seribuan orang dari kalangan sipil.
Kalangan militer masih jauh lebih banyak. Mengapa? Jawabannya ada pada definisi pahlawann itu sendiri seperti tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 1964 yakni (1) Warga Negara RI yang gugur dalam perjuangan – yang bermutu – dalam membela bangsa dan negara serta (2) Warga Negara RI yang berjasa membela negara dan bangsa yang dalam riwayat hidup selanjutnya tidak ternoda oleh satu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya.
Dengan persyratan kedua – tidak ternoda – maka para tokoh nasionalis dari kalangan yang telah berjasah dan tanpa cacat dalam mengabdikan dirinya bagi kemajuan bangsa seperti Drs. Frans Seda, sudah sepantasnya menerima gelar Pahlawan Nasional. DRS. DANIEL WODA PALE./KANIS LEWAR(nian alok)

Artikel Terkait



 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: FRANS SEDA: PANGLIMA PERANG RAKYAT RIABEWA TANA MEGO | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---