Selamat Datang di Maumere...

SELAMAT BUAT PAKET AN-SAR (YOS ANSAR RERA-P.NONG SUSAR) yang dipercayakan masyarakat Kabupaten Sikka sebagai BUPATI dan WAKIL BUPATI SIKKA 2013-2018..
Pemandangan di Kolisia, Kecamatan Magepanda

Monday 10 January 2011

Lodong Balik: Ritual Nelayan Sikka Melepas Sope Ke Laut

Maumere adalah Ibukota Kabupaten Sikka, terletak di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kota Maumere berada di pesisir Pantai Utara(Pantura)Flores dengan Bandara Frans Seda serta Pelabuhan Laut L.Say sebagai pintu gerbangnya. Lewat inimaumere.com Anda bisa menjelajahi Kabupaten kecil ini, epang gawan (terima kasih) telah berkunjung... Kontak Kami
Oleh: Hersumpana
Trala-lala trala
Hela-hela golo mai tarai
Hai ho hela hela o geso-geso
(tariklah dengan benar, ayo beranjak maju-maju)
Sambil bernyanyi syair pembangkit semangat, sekitar dua puluh orang bapak- bapak, pemuda dan ibu-ibu bersama-sama menarik sope (kapal nelayan kecil) ke laut, hela-hela geso-geso, sorong terus hingga ke laut. Orang-orang kemudian bersorak. Itulah bagian puncak ritual lodong balik yang dilakukan oleh para nelayan laut selatan Sikka, yang terletak di Pulau Flores bagian tengah, sekitar 25 kilometer dari Kota Maumere.
Ritual adat menarik Sope ke laut ini dilakukan saat pagi hari ketika matahari beranjak naik di balik Bukit Kelelawar yang ada di sebelah timur pantai berbatasan langsung dengan Laut Sawu, Samudra Hindia. Ritual adat ini dipimpin oleh tetua dari famili Keluarga Parera, Bapa Omi, begitu orang memanggilnya. Bahan-bahan yang digunakan sirih pinang, bako, kapur, kelapa, benang putih, daun huler, kain putih dan ayam.

Kain putih ini berfungsi untuk membungkus welo gois (tai-tai kayu kapal dan peralatan lain, ditambah kepala ayam) diikat dengan tali lalu dibuang ke laut. Welo gois adalah simbolisasi dari halangan atau hal buruk, perlu dibuang ke laut agar terbebas dari bahaya.

Ritual adat ini dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan hala (halangan) bagi para awak kapal. Maka, dipilih orang yang bisa dipercaya dan masih ada hubungan famili dari pemilik kapal. Semua nelayan yang akan mengawaki sope duduk dekat-dekat dengan pemimpin ritual. Ritual ini diawali dengan mengambil sedikit goresan kayu, cat, atau peralatan apa saja yang ada di kapal yang kemudian ditambah kepala ayam dan dibungkus dengan kain putih. Kain ini selanjutnya dilarung ke laut oleh salah seorang sanak keluarga pemilik kapal.

Selanjutnya, pemimpin ritus membagikan sirih pinang dan rokok, semua anggota keluarga harus ikut makan dan merokok. Ketika memberikan sirih pinang tersebut tetua adat menyebut nama setiap arwah dari orang tua pemilik kapal sambil mengucapkan doa-doa.

Ina nian tana wawa ama moang blupur gete Blupur gete reta nirang tion Himo tion tear belang

(Allah Yang Maha Besar yang tinggal di tempat tinggi
Terimalah dan pertimbangkanlah persembahan kami)

Diat mi nawang bui dokang menik bano bele Blewar hure bano gele Lau watu hewar bura Lerong ena war bura

(Berilah yang manis untuk menunggu di tempat
Tebar pergilah mencari
Di tengah laut ada batu memutih
Hari ini seruan bahagia)

Kemudian semua awak kapal diperciki air kelapa dengan daun huler dengan mengucapkan doa-doa penyejuk dan penolak bala berikut:

Aha le’u waang tawa tati le’u tali dagir waing Heing plepang le’u karang kaet ‘alang Blatang ganu wair sina reta napung Blirang ganu kabor bali wali wolong

(Cabut rumput yang menghalang
Potong tali yang tersangkut di kaki
Sibak duri-duri yang menyangkut di kepala
Dingin seperti air Cina di sungai
Angin berhembus sepoi-spoi seperti nyiur kelapa Bali yang ada di bukit)
Bura nora miu (bahagia beserta anda sekalian).

Setelah itu acara menarik kapal dilakukan bersama-sama sambil menyanyi lagu pembangkit semangat. Dahulu orang-orang yang menarik kapal ke laut ini minum moke, minuman beralkohol terbuat dari sulingan buah enau atau lontar. Tanpa moke, dirasakan kurang semangat, tidak lengkap.

Pagi itu tidak ada moke, mereka bernyanyi saja. Banyak orang yang ikut menarik termasuk ibu-ibu, aku juga ikut mendorong kapal itu. Kapal memang berat, semua orang sampai keringatan sambil berteriak mendorong sekuat tenaga kapal itu masuk ke air laut. Moke baru disuguhkan setelah pekerjaan selesai. Para nelayan diundang oleh pemilik kapal untuk syukuran dengan makan bersama sambil minum moke dan merokok (musung bako).

Mematri Ingatan
Ritual lodong balik sudah lama tidak dilakukan di Sikka, orang-orang muda mulai melupakannya. Ini menjadi memori bagi para nelayan tua Sikka akan masa kejayaan mereka 20 tahun lalu ketika mereka masih melaut, sekaligus momentum untuk para nelayan muda masa kini. Kekayaan laut selatan sangat besar, merupakan sumber kehidupan hampir seluruh penduduk Sikka. Beberapa orang muda Sikka yang kembali dari merantau sekarang ini memilih jadi nelayan. Hasil dari menangkap ikan cukup menjanjikan dibanding bekerja di ladang atau menenun.
“Sekarang ini kehidupan sulit, daratan tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, lautan merupakan kekayaan terpendam yang maha luas”, demikian kata Kepala Desa Sikka, Hipotalis Kerwayu yang ikut dalam prosesi ritus lodong balik.

Teknik menangkap ikan nelayan Sikka, nelayan asli Flores, masih tradisional. Sebagian besar masih menggunakan sampan-sampan kecil (gepung) yang dikayuh dengan dayung, untuk melepas long line atau teknik pancing dengan menggunakan senar yang panjangnya mencapai dua ratus meter dengan ratusan mata kail.

Mereka kalah bersaing dengan nelayan-nelayan dari Bugis, Wajo, dan Buton yang menguasai sebagian besar wilayah pantai Flores. Mereka sudah menggunakan kapal-kapal besar yang berbobot sekitar 10 – 30 ton dan mengunakan pukat harimau. Hasil tangkapan nelayan Sikka tergolong kecil. Dalam satu malam, jika beruntung, mereka mendapat ikan sekitar 50-100 kg berbagai jenis. Mereka mendapat hasil cukup besar jika berhasil menangkap ikan merah. Satu ekor ikan merah besar dengan bobot 30 kg bisa mencapai harga 200 ribu rupiah. Jika mereka mendapatkan ikan babi (i‘ang wawi) meski besar dan panjangnya mencapai 2 meter tetapi harganya murah. Ikan yang paling laku keras adalah ikan tembang. Jika mereka menjual ikan tembang di pasar Maumere dengan menyebut tembang lela, dalam sekejap ikan habis diserbu pembeli. Ikan jenis ini kecil-kecil tetapi lezat rasanya. Ikan tembang ini menjadi semacam “identitas” atau trend mark jaminan kelezatan, ikan- ikan segar dari pantai selatan Sikka.

Pekerjaan melaut di tengah derasnya ombak laut selatan dengan menggunakan sampan-sampan kecil ini, memang berat. Konon, menurut tuturan Bapa Omi ada masa di mana banyak perempuan Sikka menjadi janda karena para lelaki yang pergi melaut tidak berumur panjang.

Banyak dari mereka menderita penyakit dan mati muda akibat hantaman ombak laut selatan yang keras. Penggunaan kapal bermesin menjadi satu cara untuk mengatasi kerasnya ombak dan meningkatkan hasil tangkapan. Ritual lodong balik ini menandai dimulainya penggunaan kapal-kapal bermesin diesel untuk meningkatkan hasil tangkapan dan meringankan beban kerja para nelayan. Kapal nelayan bermesin dengan 3-4 awak ini bisa mendapatkan hasil yang lebih besar. Penghasilan mereka semalam mencapai 1- 2 juta rupiah. Jika menggunakan sampan- sampan kecil (gepung) semalam pendapatan mereka rata- rata hanya bisa untuk makan sehari atau sekitar 50 ribu – 100 ribu.

Pekerjaan nelayan di Sikka ini kurun waktu terakhir kurang menarik minat karena banyak nelayan besar dari daerah lain menggunakan bom ikan di lingkungan perairan mereka. Mereka berasal dari Paga dan Ende, bahkan ada yang dari Jawa Timur.

Bom-bom ikan itu banyak menghancurkan terumbu-terumbu karang tempat tinggal ikan, sehingga ikan-ikan menjadi tidak berkembang dan berkurang populasinya. Dahulu orang Sikka setiap hari bisa melihat ikan-ikan lumba-lumba bermain-main di laut lepas, sekarang ini tidak ada lagi. Ritual lodong balik mencoba mematrikan kembali kesadaran para nelayan untuk bijak dalam menangkap ikan. Kembali meniupkan semangat kebersamaan di antara para nelayan sekarang. Tampaknya ini akan menghadapi tantangan besar perkembangan zaman yang lebih menekankan pencarian keuntungan sebagai motif utama dalam pencarian ikan.
Ironi (kegetiran)
Seringkali terjadi olok-olokan di antara para nelayan dengan para pemborong ikan. Ketika mereka berkumpul sambil minum moke dan membakar pisang, percakapan menjadi menarik.

Mereka menceritakan pengalaman-pengalaman mereka, baik sebagai nelayan maupun pengalaman-pengalaman lain ketika mereka merantau ke luar daerah. Bagi mereka menjadi nelayan merupakan satu pekerjaan yang cepat mendapatkan uang dibanding bekerja di kebun, yang memang terlihat gersang dan tidak banyak memiliki harapan.

Sementara jika mereka melaut, jika nasib baik, dalam semalam mereka bisa mendapatkan uang antara 300-500 ribu, bahkan jika musim ikan mereka bisa mendapatkan hasil mencapai 1 juta rupiah semalam. Di Sikka kebanyakan hasil-hasil ikan tangkapan nelayan itu sudah ditunggu para pemborong yang berasal dari kampung mereka sendiri. Jadi setiap kali habis melaut hasil mereka langsung menjadi uang. Salah satu tanda jika mereka mendapat uang banyak adalah keramaian para nelayan yang mabuk moke. Jika keadaan tenang itu berarti hasil mereka jelek.

Saat minum bersama para pemborong ikan ini berkelakar, nelayan-nelayan ini bodoh benar, mereka tidak tahu menyimpan uang. Dapat hari ini habis juga hari ini, tidak pernah berpikir hari esok. Lain kami, para pemborong tahu bagaimana harus menyimpan. Jika musim ikan jelek kita masih punya simpanan ikan kering. Para nelayan sendiri juga tidak kalah garang, mereka menyebut para pemborong itu suka berbohong, istilahnya pemblorong.

Pemblorong artinya suka omong besar tetapi tidak ada isinya. Menarik sekali melihat hubungan di antara nelayan dan pemborong ini. Ada semacam hubungan khusus, simbiose mutualitis di antara mereka, kerjasama saling menguntungkan. Sangat jarang para nelayan menjual tangkapannya sampai ke Maumere. Mereka lebih suka menjual ikan ke tetangga-tetangganya. Memang benar, ikan di Sikka jauh lebih mahal di banding di kota Maumere. Tingkat konsumsi ikan di Sikka sangat tinggi. Ikan merupakan menu utama. Pagi, siang, sore pasti lauknya ikan. Berkat protein yang tinggi itu konon kabarnya, orang-orang Sikka pintar-pintar. Hingga sekarang, orang-orang luar Sikka menyebut orang-orang Sikka sebagai orang yang pandai. Kepintaran orang Sikka itu terbukti bagaimana dari kampung kecil yang tandus itu mampu mendominasi suku-suku sekitarnya.

Suatu ketika dalam sebuah acara mete-mete atau kumpul-kumpul di rumah orang yang meninggal di Sikka selama empat hari setelah mayat dikubur, para nelayan ini dan para pemborong ikan terlibat dalam adu mulut setelah mabuk karena minum moke. Dalam adat Sikka, setiap acara pesta kematian atau nikah pasti disuguhi dengan moke. Akibatnya, ada seorang anak muda yang mabuk berat sampai baku hantam dengan orang tua, karena olok-olokan tentang pemblorong dan pembohong.

Si orang tua ini menanggapi serius lalu memukuli si anak muda. Orang tua ini marah besar karena anak muda ini sudah tidak hormat lagi pada orang tua. Kebanggaan orang Sikka dulu adalah apapun yang dilakukan orang tua, orang muda tidak akan berani. Seiring berjalan waktu, kebanggaan orang-orang Sikka tentang sukunya yang diekpresikan dalam ungkapan Sikka di (hanya Sikka), Sikka paling hebat, tampaknya perlu dikoreksi. Sebagaimana ritual lodong balik ini membuktikan betapa ritus penting ini sudah mulai dilupakan oleh para nelayan muda Sikka, sejak dua puluh tahun lalu. Saya merasakan bahwa identitas itu terus berubah seiring dengan semangat jaman.(Hersumpama).

www.inimaumere.com

Artikel Terkait



 

© 2007 MaUmErE oF FlOrEs: Lodong Balik: Ritual Nelayan Sikka Melepas Sope Ke Laut | Design by MaUmErE Of FlOrEs







---[[ KeMbAlI kE aTaS ]]---