“KAMU tahu letak neraka? Ada di kampungmu. Neraka adalah menumpang ‘bis kayu’ di Pulau Flores,” kata seorang misionaris asal Spanyol kepadaku di salah satu tempat yang elok di Timor Timur (kini Negara Timor Leste) medio Juli 1997. Kata-kata itu sungguh menggaruk gengsiku yang kala itu masih segunung. Wajah saya berubah merah. Malu…!
Awalnya saya sempat menganggap pernyataan itu sekadar guyonan di meja makan karena dia tahu asalku dari sana. Ternyata pastor berpostur tinggi besar dan brewokan itu bersungguh-sungguh dengan pernyataannya. Dia merasa sesak napas saat menumpang bis kayu di Flores.
“Kamu bayangkan, di dalam bis kayu saya duduk bersama babi, kambing, ayam, jagung, beras, kelapa, sayur, kayu bakar,” kata sang misionaris yang melakukan perjalanan ke Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur tahun 1995.
Ah, sebelum sidang pembaca kompasiana bingung tentang bis kayu, baiklah sekilas saya terangkan dulu benda yang satu ini. Sejatinya bis kayu adalah truk. (Di NTT biasa disapa Oto Truk). Truk yang dimodifikasi. Ada tempat duduk terbuat dari papan dan beratap. Demi melindungi penumpang, barang dan hewan dari hujan dan angin, bis kayu dilengkapi terpal penutup kedua sisi.
Khusus di wilayah barat Pulau Flores yaitu Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur, bis kayu dikenal dengan nama Oto Kol. Oto Kol alias Bis Kayu itu sama saja. Cuma beda sapaan. Secara umum masyarakat Nusa Tenggara Timur mengenal bis kayu.
Di NTT ada sejumlah pulau besar antara lain Flores, Sumba, Timor, Alor dan Lembata. Survei membuktikan, populasi bis kayu alias oto kol terbanyak di Flores. Lain lagi di Alor, mereka lebih intim dengan panser. (Mungkin lain waktu baru saya kisahkan sendiri tentang panser yang menjadi idola orang Alor. Hehehe…..)
Dari sisi jumlah, keberadaan bis kayu sekarang tak sebanyak kondisi tahun 1997, tetapi alat transportasi tersebut belum punah. Dia masih menjadi andalan marhaen karena kegesitan dan ketangguhan menerobos jalan desa dan gunung. Menembus lembah dan ngarai. Masuk sampai ke udik. Mudah Anda temukan di pasar mingguan seantero Flores. Pesonanya belum pudar meski orang NTT sekarang makin doyan dengan Avansa…
***
BAGI mereka yang mengalami pengalaman perdana menumpang bis kayu seperti misionaris Spanyol itu, kendaraan itu sungguh neraka dunia. Perasaan risih dan kesal tentu berkecamuk hebat karena manusia duduk berdesak-desakaan dengan hewan dan barang. Ada sayur, ada ayam, babi, kambing, anjing, pisang, kelapa, kakao, cengkeh, biji kopi, kemiri, jambu mete, beras, kayu bakar, ikan asin, jeriken minyak tanah, solar dan lainnya.
Makin lengkap kesengseraanmu kalau jalan yang dilewati bis kayu atau oto kol itu berlubang-lubang. Di Flores dan NTT umumnya sekitar 70 persen jalan pedesaan kondisinya rusak. So pasti Anda akan terjaga sepanjang jalan. Badan terasa sakit, pinggang seolah mau patah dan (maaf) pantat rasanya tebal karena duduk di atas papan kayu. Itu bagi orang baru.
Bagi mereka yang sudah biasa, dia akan tidur sepanjang perjalanan. Malas tahu dengan keadaan sesak-berdesak. Mereka menikmati goyangan bis kayu. Ada surga di sana. Apalagi mata mudah terpejam menumpang “kendaraan rakyat ” itu karena belaian angin sepanjang jalan. Itulah keunggulan bis kayu, dia tak butuh AC buatan manusia! Sungguh hemat energi.
Lantaran tempat duduk empuk di bis kayu cuma untuk dua orang di samping sopir, maka tempat itu selalu menjadi rebutan. Untuk mendapatkan tempat itu, calon penumpang harus mem-booking jauh-jauh hari kepada sopir yang sampai hari ini masih kaum lelaki. Sapaan kesayangan bagi mereka adalah “Om Sopir”. Kalau terlambat pesan, Anda mesti siap untuk duduk di atas papan. Bayangkan sendiri kalau jarak tempuh 70 hingga 80 km.
Seorang dokter PTT asal luar NTT pernah mengisahkan pengalamannya yang berkesan tentang bis kayu. “Awalnya saya risih, tapi lama-lama saya bisa menikmati duduk di kursi bis kayu,” kata dokter yang tugas di Manggarai dan sekarang studi lanjut di Filipina.
Menurut dia, duduk di bis kayu malah bagus untuk kesehatan. Bis kayu adalah terapi bagi orang yang kerap mengalami nyeri punggung. Dokter itu sudah merasakan khasiatnya. Jadi, kalau Anda termasuk orang dengan penyakit nyeri punggung, sebaiknya datang ke Flores dan menikmati sensansi bis kayu. Hehehe…
Untuk menghibur para penumpangnya, sopir bis kayu akan memutar musik dari tape rocorder yang dilengkapi dengan pengeras suara. Lagu kesayangan Om Sopir di Flores adalah dangdut dan lagu-lagu daerah yang sedang populer. Juga lagu daerah Ambon, Manado dan Batak. Musik dan lagu sungguh tergantung selera Om sopir.
Sebagai kendaraan rakyat, bis kayu amat fleksibel. Dia tidak cuma mengangkut manusia dan barang melewati rute yang sudah dipatok. Jika ada kedukaan, bis kayu siap mengantar keluarga berduka melayat jenazah hingga membawanya ke pekuburan. Jika masyarakat hendak melakukan aksi demontrasi, bis kayu juga siap mengantar pergi dan pulang. Tinggal negosiasi harga. Kalau cocok, oke!
Menjelang pilkada atau pemilu seperti hari-hari ini, bis kayu laris manis. Dan para sopir pasang tarif lebih tinggi dari biasanya. Bis kayu siap mengantar massa menuju arena kampanye, tergantung permintaan partai atau caleg. Sopir bis kayu biasanya hafal jadwal kampanye karena itulah salah satu sumber pemasukan bagi mereka dan pemilik bis kayu.
***
SELAIN bis kayu alias oto kol yang meletupkan canda tentang neraka, kata ”neraka” kembali mengganggu saya saat menjemput seorang sahabat yang tiba dari Aimere, Kabupaten Ngada menggunakan jasa Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Umakalada di Pelabuhan Bolok-Kupang bulan Oktober tahu lalu. “Saya menemukan neraka di geladak Umakalada,” kata sahabat itu sambil geleng-geleng kepala begitu menginjakkan kaki di Dermaga Bolok.
Dia hendak pulang ke salah satu kota di Pulau Jawa setelah berlibur di kampung asal istrinya. Tidak mendapat tiket pesawat ke Kupang, menumpang kapal feri jadi pilihan agar bisa kembali sesuai jadwal cuti.
“Kecuali toilet, hampir seluruh bagian Umakalada penuh manusia dan barang. Sebagian penumpang duduk di tangga kapal karena tidak ada lagi tempat kosong. Saya cemas selama perjalanan. Tidak nyaman. Sulit tidur. Tapi saya heran, banyak juga penumpang yang bisa tidur nyenyak. Mungkin sudah biasa bagi mereka,” katanya sambil tertawa.
Memang tidak mengherankan saya. Bis kayu dan kapal feri adalah bagian dari keseharian mayoritas penduduk NTT. Tidur di geladak berdekatan dengan kambing, babi, ayam, kuda, sayur, beras, sepeda motor, truk dan mobil adalah hal biasa. Kapal feri yang nyaman masih sebuah cita-cita.
Kapal di NTT memakai prinsip ALS. Asal Lintas Saja dulu. Kenyamanan bukan prioritas utama. NTT juga tempat relokasi kapal bekas yang sudah bosan dan karatan melayari rute Surabaya-Madura, Ketapang-Gilimanuk atau Bakahuni- Merak.
Sudah berulang kali dirilis bahwa feri milik PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) seperti KMP Ile Mandiri, Kambaniru, Ile Ape, Cucut, Balibo, Rokatenda, Mutis dan Uma Kalada usianya sudah tua. Rentan terhadap kecelakaan dan tak mampu memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat. NTT pernah membeli kapal sendiri, namun nasibnya tidak jelas sampai sekarang karena salah urus. Lebih lama berlabuh ketimbang berlayar. Mirip kapal-kapalan.
Markus, kawan akrab beta yang anggota Dewan baru-baru ini berkata jujur. Sejak mendapat sapaan Wakil Rakyat yang Terhormat lima tahun silam, dia kikuk dan malu menumpang kapal feri. “Gengsi ko. Biar dana cekak, saya usahakan pakai pesawat. Pinjam pun tak apa,” katanya.
Saya kira banyak orang seperti Markus. Setelah bertitel “pejabat negara” atau pekerja NGO dengan funding internasional, nyaring berteriak pro rakyat dari ruang kerja ber-AC, jok mobil empuk dan jendela pesawat. Kenyataan di luar sana sekadar dibayang-bayangkan saja. Ah, rakyat! (Dion DB Putra/Kompasiana)*
www.inimaumere.com